Disclaimer:

Naruto Mashashi Kishimoto

Pairing:

Sasuke Sakura

Warning: Typo, gaje, bukan hiburan, bukan lawakan, bukan juga bucin.

Gak suka?

Jauh-jauh dari lapak ini.

.

.

.

HAPPY READING

.

.

.


.

.

"Sakura-chan, pikirkan lagi ya. Lebih baik di operasi. Kau masih punya kesempatan untuk sembuh."

"Tidak, dokter. Tolong, jangan paksa. Aku masih kuat. Lihat! Sekarang wajahku sudah merah lagi." Sakura memamerkan senyum didepan kaca, hanya untuk memastikan rona wajahnya tidak sepucat kemarin sore saat ia dilarikan ke Rumah Sakit.

"Aku hanya ingin memastikan yang terbaik untuk mu."

"Kapan Dokter Tsunade berangkat, tenang saja Aku akan patuh pada Dokter baru." Sakura tersenyum ceria.

"Besok. Besok juga, dokter pribadi mu yang baru akan datang, masih muda, tapi dia cukup berbakat dan berpengalaman."

"Asalkan dia bisa sabar, hehehe."

"Kau ini, ingat kau harus sembuh, Kau tak berpikir bagaimana perasaan Ayahmu?" Sakura diam membisu. "Sudah lama Aku ingin bilang ini, semoga ini bisa menjadi bekal kamu untuk berusaha sembuh. Demi Ayahmu, Dia hanya memiliki mu. Bagaimana jika nanti ternya--. Tidak, pokoknya Kau harus sembuh." Sakura hanya mengangguk pelan.

"Besok Sakura. Jika kau sembuh, Aku akan menunggu mu di Tokyo. Sampai jumpa." Tsunade pergi meninggalkan Sakura dalam lamunan.

'Tokyo, ya. Sebersit pun, aku tak bisa berpikir untuk berhadapan dengan dia lagi.' Gumam Sakura sendu.

'Sasuke-kun.'

Flashback

"Kenapa kau tak ikut bermain?" Sasuke menghampiri Sakura yang duduk sudut ruangan kelas, menatap keluar jendela, melihat bagaimana teman-teman sebayanya tengah bermain lincah, bersenda gurau di lapang Taman Kanak-Kanak. Sedangkan Sakura hanya duduk termenung sesekali menyeka airmata.

Sakura menatap Sasuke sendu. Dan menggeleng. "Kalena Saki melepotkan."

"Siapa yang bilang?" Tanya Sasuke polos.

"Ibu." menyeka airmatanya lagi. "Gulu-gulu." Suara Sakura serak.

"Kenapa begitu?"

"Saki seling pingsan."

"Kau, ingin bermain?" Sakura mengangguk lemah.

"Kalau begitu bermain saja." Sakura melihat Sasuke ragu. "Aku janji akan menjaga mu, tapi jangan terlalu centil seperti mereka." tunjuk Sasuke pada segerombolan anak yang sedang bermain kejar-kejaran. Sakura mengangguk patuh.

Flashback off

.

.

.

Tok tok tok

"Masuk." Sakura tersenyum lembut saat menyambut kedatangan Suster Matsuri. Pemeriksaan pagi. Itu artinya dia akan bertemu dokter barunya.

"Selamat pagi, Sakura-chan. Ditensi dulu ya, dokter sebentar lagi datang." Sakura memang telah hampir mengenal dokter dan suster di Rumah Sakit ini. Bisa dikatakan Sakura adalah pasien tetap. Karena hampir setiap minggu setidaknya Sakura masuk Rumah Sakit.

"Terimakasih, Suster Mat--."

Sakura terpaku. Belum genap Sakura akhiri, pintu kembali terbuka menampilkan sosok tinggi yang sangat ia hindari. Setelah sekian tahun. Setelah kejadian yang membuat mereka harus saling menghindar. Setelah semua rasa yang belum berhasil terkubur ternodai. Dan, kenapa sosok itu ada disini. Ditempat ini. Dikejauhan yang ia jauhi.

"Selamat pagi, Dokter Uchiha. Nona Haruno Sakura adalah pasien khusus Dokter Tsunade yang akan Anda tangani sebagai dokter pribadi."

Sakura menegang. Masih dalam posisi berbaring setelah Suster Matsuri selesai melakukan tugasnya. Menatap Sasuke versi dewasa tak percaya. 'Mimpikah dia karena semalam teringat awal mereka bertemu?' 'Dokter?'

"Sakura-chan, ini Dokter Uchiha, pengganti Dokter Tsunade, yang akan menjadi dokter pribadi juga saat nanti tiba-tiba dirumah kambuh." lanjut Matsuri.

Sakura meliarkan pandangan kemana saja, asal tidak pada sosok itu, pertahanannya mulai goyah, sebisa mungkin tidak ditunjukan.

"Mo-mo-hon ban-tuan-nya, dok-ter." Sakura merutuki ucapannya yang terbata, semoga saja suara seraknya tidak kentara, namun Sakura justru salah.

"Kau baik-baik saja, Sakura-chan?" Tanya Matsuri khawatir. Pun dengan Sasuke yang sudah semakin mendekat.

"Aku baik." Memberikan senyum paksa pada Temari. Berusaha tulus, namun orang bodoh pun tahu, senyuman itu terlihat sangat amat ganjil.

Flashback

"Kenapa Sasuke-kun juga ada disini?"

"Kenapa Kau menangis lagi?" Tak mengindahkan pertanyaan Sakura.

"Saki sakit."

"Telinga mu sakit?" Sakura menggeleng. "Lalu?" Sakura hanya diam berurai airmata.

"Jangan dengarkan kata orang yang tidak kamu mengerti. Abaikan saja." Sasuke memperhatikan Sakura yang semakin menunduk. "Jika orang lain menyakitimu, buat semua orang menyayangimu." Sakura memandang Sasuke dengan mata polosnya.

"Tapi, bagaimana caranya."

"Tersenyum." Sakura mengerut kening bingung. "Tersenyumlah, walaupun terpaksa, walaupun lebih sakit, dengan begitu orang akan menyayangimu."

"Benarkah?" Sasuke mengangguk yakin. "Kalau begitu Saki, akan tersenyum biar Ibu datang menjenguk, Saki tidak cengeng."

"Ya. Percayalah padaku." Sasuke mengacak rambut berantakan Sakura.

Flashback off

"Bagaimana hasil tensinya?" Suara Sasuke masih sama hanya lebih berat.

"Lebih baik dari sebelumnya, dokter."

"Serahkan Sakura padaku."

"Baik, kalau begitu Saya permisi ke ruang yang lain dulu, dokter, Sakura-chan." Matsuri melenggang pergi.

Mendengar Matsuri pergi, Sakura menoleh cepat, seolah mengatakan tak ingin ditinggal berdua. Nafasnya memburu cepat. Namun tak bisa melakukan gerakan berarti apapun.

"Kau sesak?" Sasuke khawatir dengan Sakura yang beberapa kali mengatur nafas.

"Tidak, Saya baik." Sasuke mengangguk dan melanjutkan pemeriksaan.

Beberapa lama kemudian, Sakura pikir Sasuke akan pergi, tapi malah meletakan stetoskop diatas meja nakas, dan duduk dikursi samping ranjang. Sakura sudah sangat pegal memalingkan muka untuk menghindari kontak dengan sahabat atau mantan sahabat kecilnya.

"Hai." Sasuke menghela napas berat saat tak mendapat perhatian. Sudah sepantasnya. "Kau bisa keram jika terus berpaling ke arah sana." Masih hening. "Senang akhirnya bisa menemukan mu lagi." Ucap Sasuke lirih.

Sasuke tahu, disana Sakura menangis. Dia memutuskan berdiri dan mengambil stetoskopnya.

"Istirahatlah, Aku merindukanmu." Mengusap rambut dan mengecup singkat keningnya.

Setelah memastikan pintu tertutup, Sakura terisak nyaring. "Bohong." Suaranya serak dan lirih. "Kau bohong Sasuke-kun." Sakura semakin sesenggukan.

"Maaf. Maafkan Aku, Saki." Sasuke memejamkan mata erat. Masih terdengar nyaring suara isak Sakura yang meneriakinya dibalik pintu yang tertutup.

"Sembuhlah. Kau pasti bisa."

Flasback

Sasuke menepati semua janji kepada Sakura. Mereka selalu bersama sejak hari itu, bahkan sekarang sedang menempuh kelas XI Senior High School di tempat dan kelas yang sama. Selalu bersama. Siapapun berpikir mereka memiliki hubungan spesial.

Sasuke selalu menyempatkan diri untuk mengantar dan menjemput Sakura ditengah-tengah kesibukan sekolah. Membuat rangkuman dan mengajar ketertinggalan kala Sakura kambuh hingga terpaksa izin sekolah. Semua demi senyum Sakura tidak luntur. Demi semangat yang rapuh.

Semua masih sama sampai hari itu. Sikap Sasuke. Kehadiran Hyuga Hinata seorang Siswi baru yang berhasil menarik perhatian Dewa Sekolah. Melupakan kebiasaan tanpa kabar.

Bukan kedekatan yang mereka yang Sakura permasalahkan walaupun melukai perasaan terdalamnya, dia sadar diri untuk tidak meminta lebih dari kata sahabat. Tapi ketidakterbukaan Sasuke selalu membuat Sakura kelimpungan. Sakura selalu menunggu seperti biasa, menunggu didepan teras, menunggu didepan parkiran sekolah, menunggu untuk belajar bersama. Berkali-kali Sakura kesiangan Sekolah, berkali-kali pula Sakura tumbang di jalan, hanya demi tidak membuat Sasuke menunggu lama, nilai Sakura juga anjlok karena tidak bisa mengejar ketertinggalan.

"Apa Sasuke-kun mulai membenci, Saki?" Setelah bel berbunyi Sakura duduk dibangku tempat dia dulu, samping Sasuke, sekarang posisi itu telah berganti tanpa alasan dan Sasuke tidak mengkonfirmasi apapun. Hinata mungkin sudah keluar duluan sehingga ini adalah kesempatan Sakura.

"Apa maksudmu? Sudah, jangan pikirkan apapun. Aku harus pergi." Sasuke memang menyadari mereka jarang mengobrol lagi, perasaan bersalah selalu datang saat melihat Sakura. Lebih baik mereka berjauhan.

"Apa Hinata melarangmu untuk berdekatan denganku?" Pertanyaan serak lirih Sakura berhasil menghentikan langkah Sasuke, bukan karena iba, tapi pertanyaan bersifat tuduhan.

"Jangan menyalahkan orang lain. Apalagi itu Hinata." Sasuke memperingati tegas.

"Benarkan?" Sakura menyendu. "Hinata cemburu padaku, sehingga memintamu menjauhiku."

"SAKURA."

"Aku bisa menjelaskan kepada Hinata jika kita bersahabat, tapi tolong jangan menjauhiku, aku kesepian." Airmata Sakura meluruh diakhir tapi dengan cepat dihapus, Sasuke tak menyukai gadis lemah dan cengeng.

"Sudah ku bilang ini tidak ada hubungan dengan Hinata yang meminta. Aku. Aku berinisiatif sendiri." Sakura tak akan mempercayai penyataan tegas Sasuke, tidak akan pernah Sasuke meninggalkannya. Itu janjinya.

"Tapi kenapa?"

"Mengertilah! Aku sudah mulai memikirkan masa depan. Wajar jika aku ingin merintis dari sekarang. Termasuk hubungan asmara. Aku sadar akan seperti apa jadinya ketika aku berhubungan dengan seorang gadis tapi selalu ada gadis lain disamping ku." Sasuke memandang Sakura tak enak hati. "Aku mencintai Hinata, Dia menolak ku karena mengira aku kekasih mu."

"Lalu Aku harus bagaimana?"

"Sakura. Masih banyak kehidupan lain yang bisa Kau raih."

"Kau tahu Aku tak bisa melakukan itu." Sakura menjerit frustrasi. Beruntung kelas dalam kondisi kosong.

"Kau bisa. Sampai kapan Kau akan bergantung padaku? Pernahkah kau berpikir?"

"Sasuke-kun berjanji." Suara Sakura melirih.

"Aku terpaksa. Kau lemah. Jiwamu terguncang. Kau pikir apa yang akan Aku lakukan?"

Sakura menggeleng lemah. "Cukup tidak mengabaikan ku. Aku mohon. Aku- Aku juga mencintai Sasuke-kun."

" Jangan gila, aku tak mungkin mengencani gadis pesakitan seperti mu. Mulai sekarang aku tegaskan menjauh dariku, Aku tidak mau gagal mendapatkan Hinata karena terlalu fokus pada mu."

"Tidak, Sasuke-kun. Kau tak mungkin berbuat begitu."

"Kadang ku pikir, daripada menghabiskan waktu keluar masuk Rumah Sakit karena kelelahan, lebih baik Kau-."

"Mati." Sakura memotong cepat dan membuat Sasuke melotot kaget. Sakura tertawa sesak. "Kau benar." Sakura masih tertawa pedih. "Tapi bahkan Tuhan masih membenciku."

"Kau kalah dengan ucapanmu, Sasuke-kun."

"Aku akan mati ketika Tuhan muak."

"Terimakasih untuk dua belas tahun pertemuan kita, aku pernah mencintaimu." Sakura berjalan gontai ke arah luar, ingin segera pulang. Tak lagi ia pedulikan kelas akan segera masuk.

Beberapa minggu kemudian, Sasuke kehilangan jejak keluarga Haruno. Setelah pertengkaran itu Sasuke mendengar Sakura dilarikan ke Rumah Sakit. Sebenarnya, Sasuke ingin menjenguk seperti biasa, tapi kali ini Sasuke pikir akan menunggu ketika Sakura masuk kelas, dengan catatan yang kembali ia susun untuk Sakura. Hingga di minggu kelima, setelah berpikir Sakura tak pernah dirawat selama itu, Sasuke mendatangi kediaman Haruno yang telah kosong. Begitu pulang, Ibunya menjawab pertanyaan Sasuke yang menyatakan Keluarga Haruno pindah ke luar Kota. Sasuke tahu Ayahnya tahu tapi bahkan setelah Sasuke memaksa tak ada yang memberi tahu Sakura dimana. Sasuke sempat terpukul, merasakan ada rongga yang hilang. Sasuke bertekad akan kembali bertemu. Selama itu pula Sasuke tenggelam dalam belajar, mengikuti kelas akselerasi bahkan ke jenjang perguruan tinggi.

Flasback off

.

.

Malam hari Sasuke kembali melakukan kunjungan ke kamar rawat Sakura. Kali ini pun tak langsung pergi setelah melakukan pemeriksaan rutin.

Sakura masih enggan menatap ke arah dokter. Sasuke memaklumi. Mata Sakura sembab. Sasuke tak berharap Sakura menangisi pertemuan mereka, sesakit apapun.

"Aku meminta kamu istirahat, tidak menangis sepanjang hari." Sasuke mengusap pipi tirus Sakura.

"Berhenti bersikap perduli." Dengan geram Sakura menepis tangan kekar Sasuke.

"Aku minta maaf, Saki."

Sakura membuan nafas kasar. "Anda tidak salah. Pergilah jika pemeriksaan sudah selesai, Dokter Uchiha!"

Pengusiran Sakura tak lekas membuat Sasuke pergi. "Aku akan disini. Sudah makan malam, hm?"

"Baik sekali. Apakah ini pelayanan spesial untuk pasien baru yang Anda tangani." Ucap Sakura sarkas.

Sasuke menggeleng pelan. "Tidak ada salahnya menemani sahabat yang sedang sakit." Sasuke berinisiatif mengupas apel yang tersedia di meja.

"Sahabat? Menggelikan." Sasuke hanya mengangguk.

"Aku tak punya sahabat, tuh." Sakura memancing Sasuke yang masih menampilkan raut biasa saja. Benar-benar Sasuke.

"Makanlah! Aku sudah memotong kecil-kecil. Kau mau makan apa, kita bisa delivery." Sasuke menanggapi Sakura lembut, sama seperti dulu, tak berubah kecuali saat mereka bertengkar dulu.

"Aku mau kamu yang beli, setelah itu suruh kurir mengantarkan dan kau pulang tanpa kesini lagi."

"Kau hanya sakit bukan ngidam."

Sakura tersedak apelnya sendiri mendengar pernyataan Sasuke yang diucapkan dengan nada datar.

"Aku meminta Kamu makan bukan tersedak." Sasuke memberikan minum setelah menepuk pelan punggung ringkihnya.

"Kenapa kamu begini, Sasuke?" Sakura menangkup wajah tampan Sasuke yang duduk disamping ranjang.

"Oh, jadi sikap formalnya udahan." Sasuke terkekeh dengan dengusan Sakura. Sesungguhnya Sasuke bingung harus menanggapi apa.

Sasuke menggenggam tangan Sakura. "Sembuhlah! Dokter Tsunade berkata kamu bisa sembuh dengan operasi." Sakura semakin mendengus.

"Hei, tidak baik seorang gadis menampilkan wajah masam begitu."

"Kenapa ke sini?"

"Aku mencari mu, dan aku menemukan mu."

"SASUKE."

Sasuke menghembuskan nafas pelan. "Aku tak akan bilang menyesal karena permintaan tolol ku waktu itu, apalagi dengan pemikiran bodoh kau benar-benar menjauh tanpa bisa ku jangkau."

"Kau..." Sakura kesal karena dibilang bodoh. Sasuke menggenggam tangan Sakura meminta perhatian.

"Kepergian dirimu membuat aku tahu, tanpamu aku kosong."

"Aku lemah dan pesakitan, tak akan pernah pantas masuk dalam daftar penting bagi dokter sempurna seperti Dokter Uchiha." Sindir Sakura sarkas.

Sasuke hanya memaklumi, sejatinya dia sendiri yang mengatakan itu dulu. "Maafkan aku."

Sakura menggeleng tidak percaya. "Aku sudah baik-baik saja, setelah pergi."

"Aku tahu kau menolak untuk sembuh."

Sakura tertawa sumbang. "Karena Tuhan tak bisa membuatku sembuh." Sasuke memandang Sakura sendu, jalan pikiran Sakura sudah sangat sesat.

"Kau bisa, keinginan adalah kekuatanmu." Sasuke merapihkan surai Sakura yang berantakan, wajahnya sangat pucat.

'Jangan membuatku semakin merasa bersalah.' Gumam Sasuke dalam hati.

"Pergilah, dok. Kita tahu, tidak akan ada yang baik-baik saja ketika kembali dipertemukan." Sakura menepis uluran tangan Sasuke yang dulu selalu membuatnya nyaman ketika mengelus puncak kepalanya yang pusing. Kini, dia melakukannya lagi. 'Kau, hanya akan menghambat masa depanmu.' Kata pedih yang tak akan terucap.

"Kau tak lihat jas putih yang aku kenakan? Ini untukmu. Kau alasan bagiku untuk tetap tinggal."

Sakura terkekeh mengejek. Merasa lucu. Pernyataan sombong Sasuke hanya sebuah kata penghibur untuk anak TK. Sekarang, Sakura tak ingin terjebak lagi. "Aku bangga. Selamat dengan gelarmu, maaf terlalu terlambat mengucapkannya. Tapi. Jangan pilih aku sebagai pasienmu."

Sasuke menggeleng cepat. "Tidak. Saki, ini tidak seperti yang kamu simpulkan." Dari ibunya Sasuke tahu, Sakura berhenti sekolah dipertengahan kelas XII. Tapi Sasuke tidak bermaksud untuk menyinggung Sakura.

"Aku hanya ingin kau menerimaku lagi. Aku mencarimu. Tak ada yang memberitahuku. Aku putus asa. Aku bertekad untuk mencari alasan pantas untuk kita. Aku akan mendampingimu untuk sembuh. Tolong, bantu aku berjuang sekali lagi." Sasuke menggenggam tangan Sakura erat. Seolah, tak ingin membuat Sakura lepas lagi.

Mendengar itu, airmata Sakura mengalir tanpa komando. Sakura tidak tahu untuk apa Sasuke melakukan semua itu. Tidak. Ini bukan lagi saat yang tepat bagi Sasuke untuk selalu berada disamping dirinya. Ia, pesakitan. Sasuke, dokter. Masih banyak pasien pesakitan yang mengharapkan kesembuhan, dan seharusnya peran Sasuke digunakan untuk mereka yang masih punya harapan.

"Dokter! Bersikaplah sesuai profesimu. Jangan pilih kasih. Karena tidak hanya aku pasien disini." Penolakan Sakura membuat Sasuke menyendu. Sasuke menutup mata lekat, sambil mengatur nafas yang sesak, dan membuangnya dengan kasar. Menatap Sakura yang masih enggan melihat wajahnya.

"Akan aku ingat! Sebagai pasien, terimakasih sudah mengerti. Aku juga berharap kau menjadi pasien patuh kedepannya. Aku menolak menyerahkan dirimu pada dokter lain. Mari kita bekerjasama sebagai pasien dan dokter." Sasuke mengulurkan tangan ke arah Sakura yang tercenung atas perkataannya. Sasuke tahu Sakura ingin kembali menolak. Tapi detik berikutnya, tanpa kata yang berhasil terucap, balasan uluran tangan diterima.

Tidak masalah. Apapun bagi Sasuke, sekecil apapun kesempatan itu datang, ia akan memulai dari pertemuan hari ini. Ini tidak akan mudah. Sasuke sudah mempelajari, mental orang sakit sangat sensitif. Kesalahannya dulu telah mencapai titik sensitif Sakura.

"Aku tahu kau bercita-cita sepertiku. Ayo kejar aku!"

"Licik." Sakura mendelik sinis.

Sakura terpaksa menerima ajakan Sasuke atas nama 'kerjasama'. Dia tak tahu sekalipun menolak, apa bisa? Jika gagal, maka Sasuke akan pada sikapnya yang memanjakan dirinya seperti dulu, memprioritaskan dirinya, dan seperti sikap-sikap tadi yang ia benci ketika Sasuke terkesan akan melakukan apapun untuk membuatnya sembuh. Setidaknya, hubungan antara pasien dan dokter masih ada gate yang menghalangi peran masing-masing, kan?

Sasuke terkekeh. "Aku akan mengikuti semua permintaanmu, jika pada saat itu kau mampu sejajar denganku, termasuk--" Sasuke kembali menghempaskan nafas yang sesak. "--jika kau kembali meminta ku untuk pergi seperti tadi."

"Kau sudah berjanji, dokter." Sakura mempertegas dengan cepat.

"Ya." Sasuke mengangguk kelu. Sebesar itu Sakura menginginkan dirinya pergi.

"Aku berjanji." Secepat kilat Sasuke mengecup dahi lebar Sakura yang terasa hangat. Mendapat plototan tajam Sakura. Sasuke tergelak.

"Baiklah, pasienku, ahhh, atau sainganku, waktunya berbaring, kau mulai demam." Sakura nampak enggan menuruti.

"Jadi seperti ini kerjasamanya. Belum apa-apa sudah dilanggar." Sindir Sasuke main-main.

Sakura mendelik Sasuke tajam. Tidak terima jika ia dikatai ingkar janji. "Jadi?" Sasuke bertanya, dengan dagu menunjuk bantal.

"Oke." Sakura menjawab ogah-ogahan.

Tepat ketika Sasuke selesai membantu merapihkan selimut Sakura. Ia kembali menyondongkan kepala.

"Tidak ada dokter yang akan mengecup kening pasiennya." Sakura berkata sinis.

"Ah, benar." Sasuke nampak kikuk, tidak jadi merealisasikan niatnya yang sudah terbaca. Dan menghempaskan tubuhnya pada kursi disampingnya.

"Tidak ada dokter yang menemani pasiennya menginap." Suara sinis Sakura lagi-lagi menggema.

"Astaga, Saki. Cuma nginap, doang."

"Tidak ada, dokter." Sakura menggeleng tegas. Dan menunjuk pintu keluar dengan dagunya.

"Aku jaga malam." Bela Sasuke tak mau kalah.

"Perawat Matsuri bilang, Dokter Uchiha jaga pagi, jadi tidak ada jadwal malam." Sakura mencemooh dengan kebohongan Sasuke.

"Baik. Baiklah, aku kalah. Tapi tidak menutup kemungkinan ketika jaga malam aku akan disini." Sakura tidak perduli dengan sifat kekeh Sasuke. Nanti ya nanti. Sekarang, Sakura ingin Sasuke pergi.

"Selamat malam, bungaku." Senyum Sakura terbit, entah untuk apa. Dia senang kembali bertemu Sasuke. Dengan kondisi berbeda dari terakhir kali mereka. Hanya saja ia tak ingin lagi terlalu membebaninya.

"Selamat malam, dokterku." Sakura membalas ketika Sasuke telah menutup kamar rawat dirinya.

.

.


.

END

.


.

.

Selingan untuk dari: Reborn, My Lord; Dunia Shinobi; My Heart, My King.

Ini juga tanda, walaupun dua lapak aku mendapat penghinaan, lebih tepatnya kesannya menghina 'saya'-nya, selama masih ada yang mengharapkan itu lanjut, akan aku lanjut.

Dan aku baca ulang-ulang komen baik buruknya. Termasuk penghinaannya. Dan berusaha memperbaiki jika itu tentang typo atau EYD dll-nya (aku senang untuk bagian ini).

Semoga kalian yang gak suka saya jangan mampir di lapak saya. Apalagi sampe membaca. Saya haramkan!

See you next time di Reborn, My Lord; Dunia Shinobi; My Heart, My King.

Jangan lupa tinggalkan jejak!