Standard disclaimer applied.
Words count: 1,575
Edited: 29/6/2020
it takes many cups of latte to get a date
a girl, a waiter, and skim latte's
Sasuke bekerja di sebuah café.
Bagaimana Sakura bisa tahu?
Karena Sasuke adalah waiter-nya.
...
...
...
Begitu kakinya telah berada di dalam, Sakura langsung disambut dengan seringai (sexy– tapi sampai mati pun ia tidak akan mengakuinya) milik si waiter tampan bersurai gelap, kedua manik kembar bewarna serupa memancarkan kilau jenaka.
Sakura memaksakan senyum.
"Pagi, Sakura."
Tungkai-tungkai yang berbalut jeans melangkah menuju meja di sudut ruangan yang terpapar sinar matahari. Melalui kaca bagian depan café, Sakura bisa melihat orang-orang berlalu-lalang, bersiap memulai aktivitas di pagi hari.
"Pagi."
Menjadi seorang gentlemen seperti dirinya, Sasuke berniat menarik kursi untuk Sakura duduki. Namun, niatnya lebih dulu dibaca oleh si gadis yang buru-buru menarik kursi dan lekas duduk.
Sakura berani bertaruh kalau salah satu ujung mata Sasuke berkedut kecil, bersamaan dengan rengutan yang berusaha ditahannya dengan sebuah senyum lurus.
"Seperti biasa?"
Sakura mengangguk. "Ya."
"Oke, akan segera tiba," balas si pemuda, membalikkan tubuhnya kembali ke dapur untuk membuatkan secangkir latte untuk si pelanggan pujaan hati.
Tak lama kemudian, Sasuke kembali bersama sebuah nampan, kemudian ia meletakkan secangkir latte di hadapan Sakura.
"Terima kasih," ujarnya.
Dalam hati Sakura bertanya-tanya, ada gerangan apa yang membuat Sasuke sedikit bersikap aneh hari ini. Bukan berarti Sakura mengeluh, tetapi justru sebaliknya. Tidak ada rayuan, godaan, atau pun ajakan kencan. Hah. Awal yang baik. Mungkin hari ini dia akan mendapat–
Sakura mengutuk dirinya sendiri (dan juga si waiter sekaligus) begitu mendapati sederet angka terlukis di atas skim latte-nya. Sambil berdecak ia berbalik ke samping untuk melemparkan sepatah dua patah kata makian, hanya untuk mendapati Sasuke yang sudah berjalan menjauh sambil membisikkan sesuatu dengan isyarat mulut.
Hubungi aku.
Dan mengedipkan sebelah mata.
Sakura mendelik.
...
...
...
Esoknya, Sakura kembali lagi. Bukan untuk bertemu si waiter tampan, tapi untuk latte-nya.
Meskipun Sakura tidak terlalu menyukai Sasuke (terutama karena rayuan yang tidak ada habisnya), ia tidak bisa memungkiri bahwa latte di café tersebut tidak ada tandingannya. Keluarga dan teman-temannya juga tahu bagaimana besarnya cinta Sakura terhadap latte. Jadi, ia tidak akan membiarkan kehadiran seorang makhluk pengganggu merusak momen damainya menyisip secangkir skim latte.
"Dengar, Daisuke."
"Sasuke."
Sakura mengernyit. "Apa?"
"Sasuke," ulangnya, masih dengan sebuah senyum (sexy– Sakura masih tidak ingin mengakuinya) yang sepertinya selalu bertengger di bibirnya (yang sialnya juga sexy) setiap kali Sakura datang. "Namaku Sasuke."
"Daisuke, atau Sasuke– terserah. Tapi, dengar. Aku tidak tertarik untuk memulai suatu hubungan. Jadi, enyahlah."
Sakura pikir perkataan itu cukup untuk menyapu seringai menyebalkan (dan sexy) miliknya, namun nyata tidak. Ujung bibir si pemuda tertarik lebih lebar, matanya menatap Sakura menantang.
"Dan kenapa tidak, Sakura?"
"Pertama, seperti yang sudah kukatakan, karena aku sedang tidak ingin memulai suatu hubungan dengan siapapun, apalagi denganmu." Sakura tidak peduli kalau dia hanya mengulang-ulang kalimatnya, ia bahkan tidak keberatan untuk mengulangnya ratusan kali jika itu bisa membuat pemuda waiter tersebut minggat dari hadapannya. "Dan yang kedua, lelaki yang suka merayu seperti bukanlah tipeku. Jadi kumohon, angkat kakimu dan tinggalkan aku, dan latte-ku, sendirian."
Sasuke bersiul kecil dan mengedipkan sebelah matanya pada Sakura. Lagi.
"Tunggu saja, Sakura. Aku akan memenangkanmu."
Serius. Mengapa Sasuke sangat suka berkedip, Sakura benar-benar tidak tahu. Tapi jika sekali lagi lelaki itu mengedipkan mata kepadanya, Sakura bersumpah akan menumpahkan skim latte-nya ke wajah yang terpahat bagaikan adonis itu.
...
...
...
Hari selanjutnya, rayuan Sasuke pun kembali.
"Sakura, aku kehilangan nomorku. Bisakah aku mendapatkan nomormu?"
Sakura memutar bola mata.
"Tidak. Enyah."
...
...
...
Sasuke terus menganggunya.
Sakura hanya ingin semua rayuan yang diluncurkannya berhenti. Dan sebuah ide terlintas di benaknya.
"Aku mempunyai kekasih."
Mata Sasuke sedikit melebar begitu kalimat tersebut keluar dari mulut Sakura, tetapi seringainya tetap bertahan. Malah semakin melebar. Sakura berharap dalam hati kalau bualannya tidak akan langsung ketahuan.
"Oh? Benarkah? Dan dimana kekasihmu itu sekarang?"
"Itu bukan urusanmu."
"Baiklah. Pertanyaan lain. Bagaimana tampangnya?"
"Tampan."
"Oh, ya?"
"Rambut hitam."
"Hmm."
"Mata hitam."
"Terdengar sepertiku, bukankah begitu?"
Sakura mendengus pelan.
"Kulit pucat."
"Kulit pucat?"
"Kulit pucat. Dan dia suka melukis."
"Baiklah, baiklah. Berkulit pucat dan suka melukis. Dan kapan aku bisa bertemu dengan kekasihmu ini?"
"Bagaimana jika tidak akan pernah?"
"Lalu mungkin aku akan berpikir kau berbohong," cengirnya dan berlalu pergi.
Sakura mengupat.
...
...
...
"Sai."
"Ya?" Temannya membalas tanpa mengangkat wajahnya dari balik tumpukan kertas. Ia tampak sibuk sekali, mungkin karena ini adalah tahun terakhir. Sakura merasa sedikit tidak enak karena akan mengganggunya dengan sebuah permintaan konyol.
"Kau punya waktu luang akhir pekan?"
"Tergantung. Ada apa? Ada sesuatu yang kaubutuhkan?"
Sakura bergerak-gerak kecil, sedikit ragu apakah sebaiknya ia melanjutkan rencananya atau tidak. "Bisakah kau menemaniku ke café di depan kampus minggu ini?"
"Café langgananmu itu? Kenapa?"
Sakura tidak menjawab. Otaknya berputar-putar memikirkan sebuah alasan yang bagus untuk diutarakan.
Sai meliriknya bingung, ada sedikit kekhawatiran yang terpancar di wajahnya. "Sakura?"
"Akumengatakanbahwakauadalahkekasihkupadaorangitu."
"Ya? Kau bicara terlalu cepat, aku tidak dapat mencerna satu patah kata pun dari ucapanmu."
Sambil memainkan jemarinya, Sakura berujar: "Uh... jadi, aku sedikit mengatakan bahwa kau adalah kekasihku pada lelaki ini."
"Hah? Siapa? Lelaki yang mana?" Sai tersenyum suggestif sambil menaik-turunkan alisnya. Sakura mengerut geli. "Waiter yang sering kaubicarakan itu? Apakah dia tampan?"
"Lumayan."
"Lumayan?" ulangnya dengan nada tidak yakin yang dibuat-buat. Sakura menahan hastrat untuk mencakar.
"Baiklah. Sangat tampan."
Sai akhirnya memusatkan perhatian penuhnya pada Sakura. Ujung bibirnya terangkat. "Jadi, apalagi yang kautunggu?"
"Masalahnya, aku sedang tidak tertarik untuk menjalin hubungan. Kau tahu, kan."
Sai menghela napas dan tersenyum lembut. "Hanya karena hubungan terakhirmu tidak berakhir dengan baik, bukan berarti kau harus menolak semua lelaki yang datang, Sakura."
"Ya, ya, aku tahu." Gadis itu mengangguk-angguk cepat, tidak mau lagi mendengar pembicaraan menyangkut hubungan terakhirnya yang kandas dengan mengenaskan. Sekalipun itu dari Sai. "Tapi kumohon, kali ini saja. Ya?"
Sai menghela napas menyerah. Sakura memberikan senyum lima jadi penuh kemenangan.
"Baiklah. Tapi hanya kali ini. Kalau gagal, kau harus berjanji padaku untuk mulai membuka hati kembali. Kita sepakat?"
"Sepakat!"
...
...
...
Akhir pekan itu Sakura datang dengan tangan yang melingkar pada lengan kanan Sai. Bibirnya menyunggingkan senyum percaya diri. Sasuke menautkan alis ketika melihat pemandangan itu.
"Oh, jadi ini kekasih yang kau bicarakan itu."
"Begitulah. Dan jangan lupa, pesananku. Dan secangkir kopi hitam untuk kekasihku."
Sasuke menatapnya aneh– menelitinya– tapi kemudian langsung berlalu tanpa mengatakan apa-apa.
Saat akan membayar, Sai keluar untuk menjawab telepon yang masuk ke ponselnya, meninggalkan Sakura sendirian. Bersama Sasuke.
Seringai menyebalkan (dan sekali lagi– sexy) itu kembali bertengger di bibir pemuda itu.
"Katakan pada kekasihmu untuk memfokuskan perhatian penuhnya padamu, oke? Tidak ada yang tahu, mungkin saja kau akan diculik orang," ujar Sasuke sambil mengikis jarak di antara mereka.
Dan pipi Sakura dikecup sekali.
Ya Tuhan.
...
...
...
"Skim latte?"
Sakura memutar bola mata dan mengalihkan perhatiannya. Hari ini mood-nya sedang sangat buruk dan dia benar-benar tidak ingin diganggu.
Sepertinya Sasuke dapat merasakannya dan segera ke dapur untuk mengambil pesanan Sakura. Tetapi, setelah menyuguhkan latte-nya, bukannya pergi, lelaki itu malah menarik kursi di hadapan Sakura dan mengistirahatkan dagunya dalam tangan yang bertumpu di atas meja.
"Jadi, ada apa?"
Sakura mengerutkan dahi. "Apa?"
"Kau tidak terlihat senang."
"Aku tidak pernah senang melihatmu."
"Ouch." Sasuke memasang ekspresi sakit dibuat-buat. "Mau cerita tidak?"
"Apakah ibumu tidak pernah memberitahumu tidak sopan untuk mengurusi masalah orang lain?"
"Ibuku sudah meninggal."
Sejenak Sakura dapat merasakan atmosfer di sekitar mereka barubah. Dan itu cukup membuatnya menjadi merasa sangat tidak enak.
Sakura mengusap bagian belakang lehernya, sebuah gestur yang selalu secara tidak sadar ia lakukan ketika merasa canggung.
"Oh. Maaf."
Sasuke menggeleng dan tersenyum. "Jadi, ada apa?"
Gadis itu meraba isi tasnya, mengambil sebuah ikat rambut. Musim panas sudah sampai pada puncaknya, jadi suasana memang sangat menggerahkan. Sakura mangikat rambutnya, setelah itu mendapati Sasuke yang tengah memandangnya dengan intens. Hal itu membuat Sakura sedikit salah tingkah. Semoga gerak-geriknya tidak terlalu terbaca.
"Kampus. Skripsi," jawabnya kikuk.
Sakura tidak punya pilihan lain selain bercerita, mengingat Sasuke sendiri sudah membuka kartu mengenai internal keluarganya. Dan pada akhir keluhannya, Sakura berpikir Sasuke adalah seorang pendengar yang baik. Lelaki itu benar-benar mendengarkannya tanpa menyela sedikitpun. Setelah Sakura selesai berbicara, barulah Sasuke memberikan beberapa tanggapan.
Mungkin Sasuke tidak seburuk yang ia pikirkan. Mungkin mereka bisa menjadi teman.
Percakapan berlanjut, merambat ke berbagai arah. Sasuke bercerita tentang pengalaman bekerjanya, sedikit tentang kakaknya yang menyebalkan tapi sangat disayanginya, dan berbagai hal lainnya. Sakura terkejut menemukan dirinya sesekali tertawa karena candaan Sasuke.
"Dan Sakura?"
"Ya?"
"Apa kau memiliki peta?"
Sakura melirik si pemuda bingung. Baru saja ia hendak menjawab, tetapi lebih dulu dipotong oleh Sasuke.
"Karena aku tersesat dalam matamu."
Senyum Sakura memudar.
Oke. Sakura berubah pikiran. Sasuke memang seburuk yang dia pikirkan.
"Ingat? Aku memiliki kekasih."
Sasuke menyeringai. "Sumber mengatakan bahwa kekasihmu itu sebernarnya hanyalah sahabatmu."
"Apa? Kau menguntitku?"
"Teman dari temanku memiliki teman yang berteman dengan teman dari temannya yang temannya ternyata adalah teman dari temannya yang merupakan teman kekasihmu."
"Apa aku harus mempercayai itu?" tanya Sakura retoris, tatapannya malas. Tapi Sasuke hanya menggedikkan bahu.
"Ya, tidak, aku tidak akan memaksamu."
Dan ia mengedipkan sebelah matanya pada Sakura.
Ini dia.
Sakura menumpahkan skim latte-nya tepat di wajah Sasuke.
...
...
...
"Kali ini aku berpikir untuk mengajakmu kencan secara normal."
"Tidak."
"Aw. Kenapa?"
"Karena kau akan melakukannya dengan sangat buruk."
...
...
...
"Hei, Sakura, selamat pagi."
"Pagi," balasnya masam.
"Apakah itu sakit?"
"Apanya?"
"Terjatuh. Pasti sakit sekali terjatuh dari surga bagi bidadari sepertimu."
"Sasuke?"
"Ya?"
"Baiklah."
Sasuke melemparkannya sebuah tatapan bingung. "...Ya?"
"Aku akan berkencan denganmu."
Lingkar matanya sedikit membesar. Sebuah cengiran merambat di bibirnya (yang sexy– untuk miliaran kalinya). "Wow." Sasuke menggeleng, seperti menyadarkan dirinya sendiri. "Wow."
"Ya."
"Kalau begitu, akhir pekan, jam delapan?"
Sakura mengangguk sambil menyisip skim latte-nya. "Terdengar bagus untukku."
Cengirannya melebar. "Jadi, kuharap kau tahu bagaimana caranya melakukan CPR, karena kau telah mengambil na–"
"Serius, Sasuke. Diam."
Well, that was fun.