"Eh Ice, Ice!"
Yang dipanggil menoleh dengan malas dari minuman dingin yang dia bawa.
"Apa?"
"Tukeran baju yuk!"
Ice menganga tidak paham, "Ha?"
.
.
Boboiboy milik Animonsta
Tidak ada keuntungan apapun selain imajinasi penulis tertuang di sini
Warning: elementalsiblings! typo(s) miss EBI, apa itu diksi? mahkluk apa itu?SWAP TaufanIce
Enjoy
.
.
Ice menatap Taufan, orang yang mengajaknya bertukar baju tadi, dengan aneh. Kakaknya ini... baru saja melakukan aktifitas keseharian (baca: mengacau Halilintar) kah dan terbentur di dinding, atau bagaimana?
"Ya? Ayolah, sesekali kan gak apa-apa. Ya ya ya???" Taufan mulai mengeluarkan jurus mautnya. Ah gawat, tatapan itu—
"Untuk apa? Tidak berfaedah sekali," tolak Ice kembali akan memejamkan matanya. Dia sedang berada di sofa dan berleha-leha. Tidak punya kerjaan.
Taufan cemberut. Adiknya yang satu ini memang susah sekali diajak gerak. Padahal permintaannya juga tidak sulit.
"Ayolah Iceeeee..." Taufan menarik lengan Ice agar bangun. Si pemilik kuasa es dan air itu mengerang kesal.
"Urggghhhh, gak mau."
"Kubeliin es krim nanti."
"Oh, oke."
Tapi Taufan ingat, semudah itu menjinakkan sang adik.
Lalu di sinilah mereka berdua. Di depan sebuah kaca setinggi badan dengan sudah memakai pakaian yang berganti. Ice memakai baju Taufan. Pun sebaliknya.
"Waw, aku ganteng!!" kata Taufan memegang kedua pipinya dan memuji diri sendiri. Sepertinya, efek bersaudara dengan Solar. Taufan memang memakai jaket Ice, tapi kini hoodie yang selalu Ice gunakan bahkan di dalam ruangan itu dia lepas. Panas katanya.
"Hm," Ice singkat, padat, gak jelas.
"Ternyata gak cuman Kak Hali aja yang ganteng, aku juga!" Taufan masih belum memperdulikan Ice dan masih mengagumi kegantengannya.
"Allah... kau dan Kak Halilintar itu kembar. Ya tentu saja kau ganteng. Tunggu, kok jijik bilang gitu?" Ice memutar matanya jengah.
Detik selanjutnya Taufan baru sadar dengan tangan kanan Ice yang masih berwujud es biru itu.
"Oh ya, tanganmu itu, kau bekukan ya?" tanya Taufan menunjuk tangan kanan Ice yang memeluk tubuhnya.
"Ah, ya, dan hmmm tidak juga. Sebagian aku iseng bekuin dan sisanya efek jam kuasa. Kenapa?" Ice malah bertanya. Taufan mengernyit sedikit tak suka.
"Iseng?"
Ice terlihat memalingkan pandangannya. Taufan makin curiga.
"Terus bakal selamanya gitu?" tanya Taufan. Kali ini Ice menggeleng.
"Gak juga. Aku bisa kembaliin ke asalnya," jawab Ice seakan hal itu sudah biasa.
"Wah! Seriusan? Lihat lihat!!" Taufan menatap antusias pada Ice yang kini mengangkat tangannya. Beberapa detik dia menatap tapi tangan adiknya tetap seperti itu.
"Ehe, jangan dilihat, malu," kata Ice dengan malu-malu. Kalau ini di komik, Taufan sudah yakin artist yang menggambarnya sudah membuatnya terjengkang ke belakang.
"Masya Allah, kayak begitu juga ternyata," Taufan menatap Ice tidak percaya. Ice mengusap belakang kepalanya. Dirinya mulai fokus lagi dengan apa yang biasanya dia lakukan.
Taufan seperti melihat ilmu sihir ketika melihat es pada tangan transparan itu mulai mengelupas dan terbang ke udara akibat pengurangan massa. Di balik partikel es tadi, tangan Ice yang asli, yang dulu selalu Taufan gandeng kemanapun agar tidak hilang kini mulai menampakkan diri.
"Wu-wuidih... kok keren gitu?? Agak serem sih," takjub Taufan. Ice menghela napas.
"Tapi gak bisa kupertahanin lebih dari dua jam sekarang. Lebih mudah kalau pakai yang tangan es dan sekarang kebiasaan. Tangan asli beban buatku," kata Ice lumayan panjang. Taufan menutup mulutnya. "Ah, begitu," gumam Taufan.
"Ngomong-ngomong," kata Taufan melihat Ice dari ujung atas sampai bawah.
"Kau cocok juga pakai itu. Kupikir tadi aku sedang ngaca waktu melihatmu," kata Taufan jujur. Ice tersenyum tipis.
"Kan sudah kubilang. Kita ini kembar, tentu saja mirip. Dan lagi warna mata kita 11/12. Hanya beda tone saja," kata Ice.
"Iya ya, benar juga," Taufan mengangguk paham.
Mereka masih bercengkrama ketika tiba-tiba pintu kamar Ice terbuka dengan kasar.
"Ice! Main yuk! Eh, ada Kak Taufan. Tumben ngumpul di sini, kalian ngapain?"
Blaze datang dengan senyum merekah. Ice memipihkan mulutnya tidak bersuara. Bisa-bisa kalau dia menjawab dia diajak bermain permainan yang membuat jantungnya naik turun.
"Gak ngapa-ngapain. Kenapa Blaze?" tanya Taufan. Blaze menggandeng tangan kiri Taufan dan menatapnya jahil.
"Kalau gak ngapa-ngapain, main yuk. Kak Taufan, pinjem Ice nya sebentar ya," kata Blaze menatap Ice. Taufan dan Ice melongo.
"E-eh, Blaze?" Taufan ditarik Blaze. Sementara Ice yang melihat kesempatan langsung tersenyum (paksa) ala Taufan.
"Ah, iya, gak apa Blaze. Bawa aja," ujar Ice dan senyum yang membuat Taufan merasa terkhianati.
"Kau—"
"Oke, yuk Ice!! Dah Kak Taufan!!!" Blaze pun menarik Taufan yang dia kira Ice itu dari kamar si penguasa es. Ice melambaikan tangannya penuh kelegaan.
Syukur deh, sekarang dia bisa tidur atau makan. Eh, makan dulu aja kali ya. Ice akhirnya turun ke dapur —masih menggunakan outfit Taufan— dan mencari makanan.
Pintu kulkas di buka. Menelisik setiap inci di sana apa ada makanan yang bisa dia tandaskan sekali telan. Pandangan terpaku pada biskuit yang dibuat Taufan kemarin. Tangan kanannya menjulur menarik kotak biskuit itu keluar.
"Hei."
Ice sedikit tersentak. Suara itu... Ice menoleh dengan wajah datar. Halilintar berdiri di belakangnya dengan wajah sama datarnya.
"Apa?" tanya Ice kembali memalingkan wajah pada biskuit tercinta incarannya.
"Kau yang apa. Sudah kutunggu di depan tidak keluar-keluar," kata Halilintar dengan topik yang tidak Ice paham.
"Ngapain nunggu aku?" tanya Ice menutup pintu kulkasnya dan membuka kotak biskuit itu. Biskuit dengan bentuk seperti di iklan itu rasanya enak sekali. Ice bersyukur punya kakak Taufan yang pintar membuat biskuit.
Halilintar menaikkan alisnya. Heran.
"Kau itu pikun apa gimana sih? Kita sudah janji mau ke bukit sana. Katamu mau jalan-jalan," ujar Halilintar. Sukses membuat Ice menjatuhkan biskuitnya —untung masuk kembali ke kotak. Lalu menatap Halilintar dengan horor.
"Jalan-jalan? Aku yang ngomong gitu?" tanya Ice. Tidak-tidak, ini pasti kesalahan. Bukan dia yang—
"Sudah deh, jangan banyak alasan. Mumpung aku lagi mood. Ayo," Halilintar berbalik. Tapi Ice masih belum beranjak dari syoknya. Halilintar berhenti, melirik tajam ke belakang.
"Taufan. Ayo."
—Bukan Ice yang ada janji dengan Halilintar.
Gawat, ini gawat sekali. Ice pengen masuk lubang saja daripada melihat Halilintar yang salah mengenalinya dan menatapnya setajam katana itu. Ice mau ke lubang, lubang selimut maksudnya.
Ada lanjutannya, malas jadiin satu chapter.