Biru

BBB Fanfic

.

.

.

.

"Kau terlihat biru."

"Kau 'kan juga, Taufan."

"Oh, iya ya!" Taufan pun tertawa. Lebar dan puas sekali. Apa pun yang keluar dari mulut dan ekspresi wajahnya pasti sangat nyata. Semuanya berasal dari lubuk hati terdalam. Tidak pernah berdusta. Apa adanya. "Hali dan Blaze terlihat merah, Gempa terlihat coklat…? Tapi terkadang juga terlihat oranye, Thorn terlihat hijau, dan Solar terlihat putih. Kita sudah seperti pelangi saja, ya!" seru Taufan.

Taufan itu selalu ceria. Bahkan dalam keadaan buruk pun selalu terlihat senyumnya yang lebar itu. dia selalu bilang ingin menjadi lebih positif dari kemarin, lebih baik dari kemarin, lebih-lebih dan lebih dari kemarin. Ice bahkan mulai bertanya kapan mulut mungil seseorang yang satu warna dengannya itu melebar sampai telinga? Dan lagi, apa pipinya tidak sakit terus menerus di Tarik ke atas begitu?

"Kau selalu fokus ke depan," ucap Ice.

"Bagus, kan? Berarti aku fokus pada apa yang aku mau,"

Ice tidak membalas. "Menurutmu kita pantas bahagia?"

"Mengapa tidak? Semua orang berhak bahagia tapi memang untuk mendapatkan sumber kebahagiaan itu sendiri sangat susah. Orang bilang bahagia paling sederhana adalah menjadi diri sendiri tapi ucapan itu sendiri menjadi omong kosong jika hanya di mulut,"

"Kalau begitu lakukan saja," kata Ice.

Taufan menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak semudah itu, Ice."

"Kenapa?" tanya Ice. Mata biru pucatnya menatap langsung mata biru tua yang redup itu. mata penuh kesedihan. "Kau bilang semua orang berhak bahagia."

"Betul." Taufan menoleh ke kiri. Membuang muka. "Maksudku… caranya. Mengatakan 'aku mau bahagia hanyalah sebuah ucapan semu. Bahagia itu relative. Dan sumber kebahagiaan orang sendiri berbeda. semuanya berhubungan dengan kesukaan orang tersebut. Pastinya. Atau bahkan sesuatu yang tidak terduga. Tidak ada yang tau. Jika semua orang tau pasti apa kebahagiaannya maka sudah dipastikan dunia akan lebih berwarna."

Ice mendangak dan menatap angkasa raya. Di matanya, langit selalu berwarna biru. Tepatnya dusty blue tanpa awan. Di matanya, langit selalu terlihat ingin menangis tapi sampai detik ini tidak pernah menitikkan air mata. Selalu mendung, terlihat menenangkan namun menyedihkan. Banyak yang bilang biru dari mereka berdua terkesan aneh. Ada yang disembunyikan? Oh, ya. Tentu. Tapi bahkan semua orang punya rahasianya masing-masing. Banyak hal yang tidak diceritakan, kebanyakan alasannya karena ego. Tapi bukankah dengan begitu akan membuat manusia sendiri menjadi lebih menarik?

"Aku bertanya-tanya, kenapa langit yang kita lihat selalu terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi berakhir diam, memendam, bahkan mengatakan hal yang berlainan?" Taufan bertanya, mungkin lebih untuk dirinya sendiri. "Apa karena diam-diam kita mengutuk dunia jadi apa pun yang kita lihat tampak seperti suasana hati kita? Begitukah?" tanya Taufan lagi. "Waw… Bahkan jika tidak punya emosi saja diangap seperti penjahat."

"Kupikir apa yang salah dengan dunia adalah tidak ada yang mengatakan perasaan mereka yang sebenarnya, mereka selalu menyimpannya di dalam. Mereka sedih, tapi tidak menangis. Mereka bahagia, tapi tidak menari atau bernyanyi. Mereka marah, tapi tidak menjarit. Karena jika dilakukan, mereka akan merasa malu dan itu adalah perasaan terburuk di dunia. Jadi semuanya berjalan dengan kepala tertunduk dan tidak ada yang melihat betapa indahnya langit. Kita tidak bisa menjadi orang lain meski ingin. Kita buka si merah yang bisa mengeluarkan marahnya, bukan si coklat atau si oranye yang bisa mengatakan dengan lantang apa yang salah, bukan si hijau yang hanya melihat sesuatu yang remeh saja senangnya bukan main, bukan si putih yang selalu percaya diri dan bersinar terang. Kita adalah si biru yang tenang juga stabil namun suram,"

"Aku tidak mengatakan bahwa aku benci diriku, bagaimana bisa jika diriku sendiri saja tidak tau apa yang aku rasakan? Biru itu sendiri bisa berkurang tapi tidak hilang. Kau tau, seperti ada lubang besar di dadaku ini. Kenapa, ya? Apa karena kita sama-sama mengutuk dunia atas pemikiran negatif kita?"

"Mungkin," balas Taufan. Kemudian tertawa lagi. Entahlah, mungkin akhirnya menyadari betapa lucunya mereka berdua. "Jika mereka tau, sudah dipastikan kita akan di omeli."

"Ya. Sudah dipastikan." Ice mengangguk setuju. "Terutama si merah."

Suara tawa kembali meledak. Kali ini lebih kencang, kali ini lebih berwarna, kali ini lebih ringan. "Benar! Benar! Aduh! Mereka bukan lagi mengomel tapi ngamuk! Si coklat juga!"

Ice tersenyum simpul. Sebenarnya semuanya akan marah jika tau rahasia besar mereka berdua. Marah karena berpikir negatif dan bingung. Lucu. Karena harusnya mereka bicara bukannya meninggikan suara beserta ego. Bicara tenang itu menjadi langka untuk si biru. Ingin bicara tapi selalu di potong, di abaikan, dan di gurui padahal belum mendengarkan.

Mungkin bukan karena tidak bahagia karena dunia mengerjai dan tidak adil tapi karena tidak ada yang mau mendengar hingga akhirnya berhenti di satu titik bahwa "kau bukan siapa-siapa. Kuatlah selalu. Tegakkan badanmu maka semua akan melihatmu". Ice dan Taufan terlalu tau maka mereka putuskan untuk diam dan berbagi kesendirian secara rahasia.

Karena mereka berdua sangat pelit berbagi.

.

.

.

.

Yehey! Up lagi!

Ternyata kalo lagi ada moodnya nulis jadi lancar jaya…

Ini yang kedua, pengennya fokus ngerjain yang blom kelar tapi susah juga ternyata. Hmmmmmm

Semoga suka dan jangan lupa buat review, ya!

Makasih…