Tomioka Giyuu terbangun ketika sinar matahari menyusup masuk ke jendelanya melalui sela tirai. Matanya berkedip pelan beberapa kali, kemudian dia mengerang pelan. Dia menatap langit-langit kamar sembari mengingat mimpinya barusan.
Mimpi basah.
Kimetsu no Yaiba © Gotouge Koyoharu
—a Kimetsu no Yaiba fanfiction created with no profit gained
Warning! This fanfiction contains sexual content. Please step back if you're still under 18 y.o!
Dia masih ingat. Itu adalah mimpi malam pertamanya dengan Shinobu setelah menikah. Bahkan bagimana mereka bercumbu pun masih diingatnya dengan jelas—atau lebih tepatnya, diingatkan.
Sudah satu tahun berlalu sejak awal pernikahan mereka. Perbedaan umur lima tahun sungguh merupakan rintangan besar bagi Tomioka Giyuu untuk mendapatkan hati seorang Kocho Shinobu. Itu adalah cinta monyet pada pandangan pertama kala umurnya masih 12 tahun. Awalnya orang-orang—bahkan Shinobu sendiri—mengira kalau perasaan seorang anak lelaki yang masih duduk di sekolah dasar akan cepat menghilang dengan sendirinya. Tapi siapa yang sangka, bahkan ketika dia lulus dari SMA pun, dia tetap tidak gentar berusaha membuat Shinobu melihat ke arahnya.
Kegigihannya bersambut, hingga akhirnya mereka menikah satu tahun lalu. Sampai menikah, Shinobu tidak mengizinkannya melakukan apapun lebih dari sekadar ciuman. Makanya, ketika Giyuu bisa benar-benar menyentuhnya, dia memastikan mematri baik-baik setiap detiknya di dalam ingatan. Kemudian, seiring waktu, dia mulai melupakannya karena mulai terbiasa. Hingga mimpi barusan yang seolah menariknya kembali ke masa lalu.
Suara napas halus di sebelahnya menyadarkan Giyuu dari lamunannya. Dia menoleh, melihat Shinobu yang tengah tidur sambil memunggunginya. Lantas, matanya tertuju pada lekukan leher yang terlihat di sana.
Giyuu melihatnya cukup lama, sampai akhirnya beringsut dan memeluk istrinya dari belakang. Pelukannya cukup erat, hingga Shinobu pun mengerang pelan, merasa tidurnya terganggu. Tapi Giyuu tidak melepaskannya. Alih-alih, dia menenggelamkan wajahnya di lekukan leher putih itu, mencium aroma tubuh Shinobu, kemudian mencium lehernya hingga meninggalkan bekas kemerahan. Sementara itu, tangannya diam-diam menyusup masuk ke balik piyama, menyusuri kulit lembut dan kenyal istrinya.
Tangannya terus berjalan hingga berhenti pada dada padat di balik kain. Dari semua bagian tubuh Shinobu, harus Giyuu akui, kalau dia paling senang meremas dadanya. Dada Shinobu terasa padat dan kenyal, begitu pas di tangannya.
"Mmghh…" Merasa tubuhnya digerayangi, Shinobu perlahan membuka matanya. Dalam keadaan setengah sadar, dia mengangkat tangannya dan mengacak rambut Giyuu, yang kini sudah mulai menggigit dan menjilat telinganya. "Hei … ini masih pagi…"
"Tak apa. Biar aku saja kalau kau masih mengantuk," balas Giyuu dengan suara yang mulai berat.
"Baiklah … Tapi tidak pakai ciuman…"
Giyuu cemberut. Selalu begitu. Shinobu tak pernah mau menciumnya saat pagi hari ketika belum sikat gigi. Tapi hal kecil semacam itu tak akan menghentikan niatnya. Tangannya terus meremas hingga bisa dirasakan pucuk dada istrinya mulai menegang. Sudah puas bermain di sana, tangannya bergerak turun, menyusup masuk ke bawah, ke balik celana dalamnya.
Suara desah tertahan dan erangan pelan terdengar, seiring Shinobu yang mulai menggesek-gesekkan pahanya gelisah, merasakan jari-jari kasar Giyuu yang memanjakannya. Tak lama, mendadak semua gerakan itu berhenti untuk melepaskan celana di sana dengan kesusahan. Menyadari suaminya yang mulai kesusahan, Shinobu memutuskan membantu. Dalam lima detik, celana panjang piyama beserta celana dalamnya sudah tergeletak di atas lantai.
Tampaknya, Giyuu pun tidak menyia-nyiakan waktunya. Saat Shinobu melepas celananya, dia pun melakukan hal yang sama. Sehingga mereka berdua kini hanya memakai piyama bagian atas.
Semua sentuhan yang awalnya dirasakan Shinobu pun kembali. Hanya saja, kini ada sesuatu yang menyelip di antara pahanya. Kedua tangannya yang bebas pun turun, berusaha turut memanjakan suaminya, saling mempersiapkan diri sebelum lanjut ke tahap yang lebih jauh.
"Giyuu … kalau tidak cepat … kau bisa … mmgh … terlambat," kata Shinobu yang sempat melirik jam kecil di atas nakas di samping kasur.
"Aku tahu."
Sebelah tangannya mengangkat sebelah kaki Shinobu untuk memberikan jalan. Namun, dia masih bergerak di bagian luar celahnya, memastikan jalannya masuknya cukup basah agar Shinobu tidak kesakitan. Setelah memastikan sudah cukup basah, Giyuu masuk perlahan-lahan, diiringi desah pelan dari Shinobu ketika merasakan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya, menyatukan mereka berdua.
Derit kasur pun terdengar saat Giyuu mulai bergerak dengan konstan.
"Ti—Tidak pakai pengaman lagi…?" tanya Shinobu di tengah desah.
"Kenapa baru tanya sekarang?"
Mereka berdua tahu, ketika kepala mereka sama-sama dipenuhi oleh kabut nafsu, tidak ada yang bisa berpikir jernih. Apalagi mereka melakukannya saat Shinobu masih setengah sadar. Kesadarannya baru kembali seutuhnya karena rangsangan yang diterima tubuhnya. Mana mungkin dia ingat menyuruh Giyuu menggunakan pengaman?
"Kau … keberatan?" tanya Giyuu lagi dengan napas terengah-engah.
"Tidak—aah…"
Gerakan Giyuu semakin cepat, begitu pula suara desah yang terdengar semakin jelas.
"G-Giyuu … a-aku…"
Giyuu mengeratkan rahangnya. Ada sensasi hangat yang juga menjepitnya erat. Dia sempat berhenti beberapa saat karena cengkeraman pada tubuh bagian bawahnya membuat nafsunya semakin tinggi. Dia masih belum selesai.
Pinggulnya kembali bergerak, memberikan beberapa kali gerakan maju mundur, sampai dia memberikan hentakan akhir yang menyertai pelepasan sari serta hormon endorfinnya. Napas keduanya terengah-engah.
Meski AC di ruangan mereka menyala, dan memastikan ruangan tetap sejuk di tengah musim panas ini, mereka berdua masih berkeringat.
…
Shinobu baru bangun sepenuhnya dan turun dari ranjang dua jam setelah kegiatan mereka tadi pagi. Hari ini adalah hari libur kerjanya, sehingga tak masalah jika Shinobu bermalas-malasan lebih lama di atas ranjang. Mungkin pengaruh lelah akibat jadwalnya yang padat belakangan dan juga pengaruh endorfin yang dia lepaskan, makanya Shinobu masih bisa tertidur lelap selama dua jam.
Keadaan rumahnya sepi. Giyuu sudah berangkat ke kantor sejak tadi. Tak lama, Shinobu seperti tersadar sesuatu dan segera mengambil ponselnya untuk mengirimkan pesan pada suaminya.
'Maaf aku tidak sempat menyiapkan sarapan dan bekalmu. Jangan lupa makan siang.'
Tanpa menunggu balasan, Shinobu meletakkan ponselnya begitu saja di atas kasur, kemudian dia melangkah menuju kamar mandi. Sebelum kembali tidur, Shinobu hanya membersihkan tubuh bagian bawahnya dan tidak sempat mandi karena matanya terasa berat. Kini dia berniat mandi karena tubuhnya terasa agak lengket. Sepertinya karena keringat.
Di kamar mandi, Shinobu menyempatkan bercermin. Sebagai seorang dokter, dia menyadari kalau wajahnya sedikit pucat. Mungkin anemia, pikirnya. Dia tak mau pikir panjang dan segera melepas pakaiannya. Tapi sebelum melangkah menuju pancuran, langkahnya terhenti, karena sepasang mata violetnya terpaku pada laci di bawah cermin
Begitu laci dibuka, di dalamnya menunjukkan beberapa alat tes kehamilan. Tangannya pun terulur dan mengambil satu alat itu untuk digunakan.
Yah, bukan berarti Shinobu merasakan keganjalan pada dirinya yang menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dia melakukannya hanya karena penasaran dan coba-coba. Apalagi belakangan mereka sudah tidak pernah pakai pengaman. Shinobu pun beberapa kali lupa mengonsumsi pilnya.
Pada akhirnya, Shinobu pun duduk di atas kloset sambil menunggu. Dia membayangkan, bagaimana jika dirinya sungguhan hamil? Memang Shinobu pernah bilang kalau tak keberatan memiliki anak kapan pun, apalagi umurnya yang sudah menyentuh kepala tiga. Tapi akhir-akhir ini pun tidak ada pembicaraan ke arah sana. Pengaman yang habis pun tak segera dibeli lagi karena Giyuu yang terus menunda, berdalih terlalu lama jika harus pergi ke minimarket dulu.
"Dasar anak muda."
Alat di tangannya perlahan menunjukkan hasil. Ada garis samar yang muncul di sana, membuat Shinobu melongo. Garisnya begitu samar sampai Shinobu sendiri tidak yakin apakah hasilnya positif atau negatif.
Sehingga, alih-alih lanjut mengguyur dirinya dengan air, Shinobu keluar dari kamar mandi dan minum air banyak-banyak. Tapi dia tahu benar kalau prosesnya tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, meski dia sampai lompat-lompat di tempat. Sebagai seorang dokter, dia merasa tindakannya amat bodoh.
Shinobu pun menyerah. Akhirnya dia memutuskan masuk kembali ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Yah, meski setelah keluar dari kamar mandi pun dia kembali menghabiskan satu gelas penuh air mineral.
…
Menjelang pukul enam, pintu rumah terbuka dan menampakkan seorang pria berumur 25 tahun dengan raut lelah. Sepertinya dia menemukan cukup banyak masalah di kantor. Setelah melepas sepatunya, dia berseru, "Shinobu, aku pulang!"
Tidak ada balasan dari orang yang dipanggil. Kerutan dahi pun tampak di wajahnya yang sudah lelah. Sambil terus memanggil, kakinya melangkah masuk dan berniat menuju kamar. Namun sudut matanya menangkap sesuatu di meja makan, sehingga langkahnya terhenti seketika.
Di atas meja makan sudah terdapat macam-macam makanan. Ada lobster, dimsum, sayur, dan lain-lain. Bahkan di atas kompor yang menyala masih ada panci yang mengepulkan asap. Dengan makanan sebanyak ini dan kompor yang menyala, Giyuu tidak menemukan Shinobu dimanapun. Karena tak ingin sup di atas kompor jadi habis karena menguap, Giyuu pun mematikan apinya.
"Shinobu?" Dia kembali memanggil.
Giyuu yakin Shinobu masih ada di rumah, karena baik sandal maupun sepatunya masih lengkap. Secara otomatis, dia melangkah menuju kamar, dan rupanya, Shinobu tengah tergeletak di sana, tampak pulas dengan dada yang naik turun secara teratur.
"Shinobu?" Giyuu mendekat, kemudian menggoyangkan bahunya pelan hingga Shinobu tersadar.
"Oh … Giyuu…"
Shinobu perlahan bangkit dan duduk di kasur sambil mengusap matanya. Namun sebelum Giyuu mengatakan sesuatu soal makanan dan dapur, Shinobu tersentak lebih dulu karena teringat lupa belum mematikan kompor. Dia segera berdiri dan berniat berlari menuju dapur, tapi Giyuu sudah menahan tangannya terlebih dahulu.
"Tidak apa, aku sudah mematikannya."
"Oh … Terima kasih. Dan … selamat datang."
Sebuah hela napas lega lolos dari celah bibirnya. Tangannya lantas terangkat dan mulai membuka kancing jas Giyuu dan melepasnya untuk digantung di lemari. Ketika tengah melepas dasi dan kemeja, Giyuu teringat sesuatu.
"Tumben hari ini masak banyak sekali. Ada apa?"
Dari tempatnya, dia melihat Shinobu tersenyum dan terkekeh kecil seraya menggantung jasnya. Rambut hitamnya bergoyang ketika Shinobu berbalik ke arahnya. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang senang. Jangan lupa cuci mukamu, lalu kita makan."
Giyuu membiarkan Shinobu keluar lebih dulu, sementara dirinya masih mengganti pakaiannya dan mencuci muka. Butuh sekitar 10 menit hingga dia keluar dan menuju ke ruang makan. Namun Giyuu melihat Shinobu yang sedang menutup hidung dan mulutnya menggunakan tangan, sementara matanya memejam, seolah menahan sakit.
"Kau baik-baik saja?" Sebuah usapan pelan diberikan di punggung Shinobu, bermaksud menenangkannya.
Wanita itu menggeleng. "Tidak apa-apa, aku hanya sedikit pusing. Ayo makan sebelum dingin."
Meski masih ada tanda tanya besar di kepalanya, Giyuu memutuskan menurut dan duduk. Dia terus memerhatikan gerak-gerik Shinobu yang masih bisa terlihat normal. Jika istrinya sakit, mungkin besok dia akan meminta libur dan menemaninya berobat ke rumah sakit, atau hanya menemaninya di rumah hingga sembuh.
Selama acara makan malam, Shinobu nyaris tak menyentuh makanannya sama sekali. Dia hanya memasukkan sesumpit kecil nasi ke dalam mulutnya, kemudian terdiam lama. Saat memasukkan potongan kecil lauk lainnya pun sama. Bahkan sepertinya Shinobu lebih banyak minum daripada memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"Shinobu?"
Shinobu tidak menjawab, alih-alih dia langsung berdiri hingga menyebabkan kursinya berderit keras, lantas berlari menuju kamar mandi. Tentu saja Giyuu tak bisa tinggal diam. Dia pun menyusul Shinobu yang sudah muntah-muntah di atas wastafel. Lagi, dia mengusap punggung Shinobu pelan hingga wanita itu selesai mengeluarkan isi perutnya.
Tanpa mengatakan apapun, Giyuu menuntun Shinobu menuju kamarnya dan mendudukkannya di kasur. Dia berlutut di lantai sambil menggenggam tangan Shinobu. Wajahnya tampak khawatir.
"Mau kutemani ke rumah sakit?" Dia tahu, meski Shinobu sendiri adalah dokter, dia pernah dengar kalau dokter pun tetap harus berobat ke dokter lain jika sakit. Meski dia awalnya tidak begitu percaya, tapi dia baru yakin setelah dibilang, 'Memangnya dokter bedah akan membedah dirinya sendiri?'
"Tidak apa-apa." Shinobu tersenyum. "Aku hanya … morning sikness."
Ruangan menjadi hening saat.
"Kau … apa?"
Shinobu mengalihkan pandangannya dengan pipi sedikit merona. Dia tidak menjawab, melainkan mengulurkan tangan dan menarik laci yang ada di samping ranjang. Di tangannya kini ada satu buah tongkat kecil, yang kemudian diberikan pada Giyuu. Giyuu sendiri pun menerimanya tanpa bertanya, kemudian melihat benda apa itu.
Tongkat kecil di tangannya adalah alat tes kehamilan yang menunjukkan tulisan '+ positive'. Suasana ruangan masih hening hingga 15 detik kemudian. Karena tak kunjung mendapat balasan, Shinobu khawatir kalau sebenarnya Giyuu belum menginginkan kehadiran anak dalam pernikahan mereka. Dia berniat bertanya, tapi batal karena melihat lelehan air mata yang mengalir di pipi suaminya.
Shinobu lantas dibuat kaget dengan pelukan tiba-tiba yang dia terima. Bibirnya hanya mengulas senyum sembari menepuk-nepuk lengan yang memeluknya.
"Syukurlah … Syukurlah…"
"Shuush. Kenapa kau menangis keras begini?"
Dengan posisi masih memeluk Shinobu, Giyuu membalas, "Kata Sabito, kalau terlalu sering makan salmon, aku bisa mandul."
Tangan Shinobu yang mulanya masih mengusap-usap lengan Giyuu, mendadak berhenti. Matanya membelalak, kemudian dia tertawa, bahkan sampai menutup mulutnya agar tak kelepasan tertawa hingga terpingkal-pingkal.
"Jadi itu alasanmu tidak mau pakai pengaman?" Tangan Shinobu bergerak menghapus air mata di sudut matanya. Melihat Giyuu mengangguk pelan, dia kembali tertawa. "Sering makan salmon tidak akan membuatmu jadi mandul…" Shinobu terdiam sesaat, kemudian melanjutkan, "… Papa."
Satu kata panggilan itu membelalakkan mata Giyuu, membuat dadanya terasa penuh dan membuncah. Lagi-lagi dia memeluk Shinobu, namun kali ini seperti menerjang, hingga keduanya jatuh di atas kasur. Giyuu menyanggah diri dengan kedua tangan dan lutut, kemudian mendekatkan kepalanya, berniat mencium calon ibu dari anaknya. Tapi sayangnya, Shinobu meletakkan tangannya di antara bibirnya dan bibir Giyuu sebelum sempat bersentuhan.
"Tidak sekarang," balasnya lirih.
Dia baru saja memuntahkan isi perutnya, ingat?
Kerutan lagi-lagi timbul di dahi Giyuu. Dia tampak tak puas. Bahkan sejak bangun tidur sampai pulang bekerja pun, dia belum bisa mencium istrinya.
"Kalau begitu, sebelum tidur. Harus."
Shinobu hanya terkekeh geli.
Kira-kira bayinya nanti laki-laki atau perempuan?
Fin.
HAHAHA I CAN'T, OH MY GOODNESS! Awalnya kepikiran pengen bikin fanfic ini karena fanart dan juga prompt dari Ribo. Cuma sesimpel bilang 'hamil' dan juga sedikit nyeritain gimana hidup mereka setelah reinkarnasi. Tapi mendadak jadi diselipin adegan mantap-mantap hanya karena ingin latihan bikin lemon lagi. Awalnya ragu banget mau post karena ga kuat, MALU, merasa menodai OTP ini. Tapi nulisnya udah jauh banget, yah masa mau disimpen jadi WIP forever gitu kan ya?
Anyway, tolong berikan kesan dan pesan. Semoga bagian mantap-mantapnya tidak cringe. :amin
Ps. Saya ga kuat proofread. Semoga tidak ada typo. :run
June, 5th 2020
Cake Factory