MEMORIALS

Disclaim : M. Kishimoto

Genre : Romance – School

Rate : T - M


Bangkuku ada di samping, meski bukan paling sisi tapi kurasa kurang menonjol untuk jadi tempat mengobrol dengan begitu banyak siswa–lebih banyak dari jari tanganku setidaknya. Perempuan dan laki-laki mengerubungiku seperti lebah, yang mungkin dalam anggapanku sendiri yang kusembunyikan bahwa lebah-lebah ini cuma memanfaatkan pertemanan mereka denganku demi beberapa alasan. Aku sadar pemikiran itu jahat, sadar betul. Tapi sekalipun kuenyahkan berkali-kali selalu muncul lagi saat melihat wajah-wajah mereka yang berbicara denganku, memandangiku meski dengan kekaguman nan tulus pun.

Aku tidak pernah menginginkan jadi populer di masa SMP seperti ini, walau memang bayangan diasingkan tanpa teman juga menakutkan bagiku. Tapi setidaknya bukan kelewatan seperti tiga tahun selama ini, bahwa aku begitu disukai banyak orang–yang entah sungguhan menyukaiku atau bukan. Tentu ada yang terang-terangan bilang kalau mereka menyukaiku, terutama laki-laki yang sudah tak kuhitung lagi berapa banyaknya yang sudah menyatakan perasaan mereka. Aku menolak, semuanya dengan tegas tanpa kurang ajar–meski tak kuperdulikan juga kalau dianggap kurang ajar. Aku tak ingin membuat hubungan khusus dengan satu orang, karena sekalipun aku beranggapan semua teman cuma memanfaatkanku namun aku tak ingin membuat mereka menjauhiku karena hubungan khusus semacam itu, aku tak ingin mengecewakan orang tanpa alasan yang kuat.

Entah seperti apa aku di mata mereka, tapi kebanyakan bilang kalau aku menarik–cantik maksudnya. Aku tidak pernah sengaja memunculkan keinginan untuk tampil menonjol seperti yang mereka lihat. Aku hanya menyukai satu bagian tubuhku yaitu rambut, saking sukanya sampai-sampai kurawat dan kubuat seindah mungkin ... seindah yang kulihat bukan yang mereka lihat–aku tak perduli pandangan mereka.

Rambutku hitam kebiruan, seperti malam yang cerah, begitu yang dikatakan almarhum ibuku. Karena ibu lah aku jadi menyukai rambutku seperti ini, karena dia juga menyukainya sejak aku masih sangat kecil. Karena dia aku berusaha membuat rambutku selalu tampil indah, entah dengan model apapun yang pasti setiap langkah-langkahku aku ingin ibu tetap menyukaiku dari surga sana.

Aku suka saat kubiarkan tergerai tanpa aksesoris apapun, biar setiap helainya menjadikanku kuat dan tidak merasa sendirian–kebiasaan sejak saat ibu meninggal. Kadang juga aku ikat, mengepang beberapa di samping wajahku, atau kuputar-putar di belakang ... tapi setidaknya tetap ada bagian yang kubiarkan tergerai.

Dan menurutku, sungguh-sungguh, kalau tak ada bagian lain yang menarik dari diriku selain mahkota kepalaku itu. Bagiku aku ini sama saja dengan perempuan lain, yang mungkin banyak dari mereka justru lebih baik merawat dirinya ketimbang aku. Tapi entah kenapa orang-orang lebih memperhatikanku, atau setidaknya sebagian besar dari mereka.

Kemampuan akademisku juga terbilang baik, masuk dalam peringkat-peringkat terbaik. Aku kan siswa sekolah, tidak mungkin jadi aneh kalau aku giat belajar demi nilai-nilaiku. Dan memang menyenangkan kalau aku bisa mengerjakan soal dengan mudah–siapa sih yang suka dengan kesulitan? Tapi lagi, entah kenapa mereka memuji-muji hal tersebut. Datang setiap hari, berkali-kali dalam sehari untuk sengaja diterangkan mengenai beberapa pelajaran. Bilang kalau belum mengerti atau pura-pura saja tidak mengerti biar bisa berbicara denganku. Itu yang paling banyak digunakan sebagai alasan untuk mendekatiku, seperti di jam istirahat saat ini.

Sekali lagi, bisa saja perilaku-perilaku mereka itu wajar ... layaknya teman sekolah biasa. Aku suka mendorong pikiranku dengan keras agar tidak memandang buruk mereka semua, aku tidak mau jadi kelewat jahat–dan membuat ibu kecewa. Aku senang-senang saja dengan mereka semua, keakraban kami, aku balas dengan senyum dan canda yang tulus. Tak ada ruginya berteman dengan orang banyak asal aku tidak membuka hatiku secara serius hingga terjerumus dengan hal-hal yang tidak aku sukai. Aku jarang, hampir tidak pernah mau diajak untuk pergi ke tempat-tempat di luar jam sekolah. Kalau alasannya untuk belajar biasanya aku mau, tapi tetap tidak sering.

Lalu ada juga orang-orang yang memandangku dengan cara yang tak menyenangkan, iri dengan beberapa hal mungkin. Tidak ada bisik-bisik secara keras hingga terdengar telingaku seperti di film, namun aku tahu saat ada yang membicarakanku dari belakang–aku merasa seperti itu. Tak ada yang mengambil resiko dijauhi teman-temanku kalau ada yang kelihatan tidak menyukaiku, bisa jadi seperti itu. Dan menyangkut hal tersebut, mungkin satu alasan terbesar dari orang-orang yang mengakrabkan diri denganku adalah untuk mendongkrak keberadaan mereka sendiri, tak mau diasingkan. Aku tidak bisa menyalahkan diriku sendiri mengenai hal itu, tentu saja.

Aku ... Hinata Hyuga toh tidak semunafik itu, sadar dari hatiku yang paling dalam.

"Aku disuruh Pak Takigawa mengambil buku, mumpung belum bel," kataku seceria mungkin, tidak mau kelihatan sekali kalau ingin menyendiri sejenak. Biasanya aku membuat-buat alasan untuk keluar dari kerumunan mereka, setidaknya berjalan di lorong bolak-balik bisa menghabiskan waktu lima menit. Tapi sekarang memang aku mempunyai tugas, yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja asal masih hari ini.

"Mau kutemani,"

Beberapa sudah unjuk diri untuk ikut denganku, bantuan yang tulus dan aku mengetahuinya dengan betul. "Tidak usah," kebetulan sekali aku ini ketua kelas, suaraku setidaknya mudah didengar oleh siapa saja dan rentan dituruti.

Aku keluar dan menyusuri koridor yang banyak sekali murid, membuatku mengulas senyum terus-menerus kepada beberapa yang menyapaku. Syukurlah kebanyakan anak punya tata krama yang bagus, berkat tingginya standar penerimaan murid di sekolah ini. Tidak mungkin muncul tiba-tiba segerombolan preman kelas yang pasti menyusahkan orang, yang kalaupun ada sudah jelas akan dikeluarkan karena ketatnya peraturan.

Ruang guru ada di lantai paling atas–sengaja agar tidak ada murid yang kebiasaan bersantai di atap sekolah– membuatku melewati tangga yang temboknya punya jendela kayu tanpa kaca maupun tirau. Yang ukurannya cukup besar untuk meloloskan angin menjelang musim panas sekarang ini, angin yang memberantakkan rambutku sampai kesulitan memeganginya. Mudah sih untuk merapikannya lagi, tapi aku tidak suka melakukannya di depan orang. Seolah-olah aku begitu sengajanya menarik perhatian dengan perangai yang membosankan seperti itu, aku sendiri mual membayangkannya.

Aku terkejut saat melihat tumpukan buku yang berada di atas meja Pak Takigawa, yang tingginya sampai kepalaku kalau kuangkat. Membuatku menyesali tawaran teman-temanku tadi. Ada beberapa siswa lain, beberapa juniorku. Tapi sepertinya mereka tak buru-buru kembali, terlebih bukan orang yang akrab denganku. Mustahil aku meminta bantuan kepada mereka, sekalipun bisa saja dan tidak mungkin memunculkan citra buruk apapun kalau kulakukan. Tapi sepertinya lebih baik kubawa separuh-separuh, biar lebih banyak waktu yang kuhabiskan juga.

"Kau disuruh membawa ini kan? Aku akan membantumu,"

Seseorang entah dari mana menawariku bantuan tersebut, kelihatan bukan baru datang jadi aneh kalau aku tidak menyadari keberadaannya di dalam ruangan sedari tadi. Dia adalah laki-laki, tingginya sedang namun karena kurus membuatnya seolah jangkung. Rambutnya pirang berantakan, yang membuatku terheran karena kalaupun model rambut tak disisir cukup populer akhir-akhir ini tapi tetap saja pria itu terlihat lebih berantakan. Apalagi dengan dua kancing bajunya yang atas dibiarkan terbuka membuat dia lebih seperti tak memperhatikan penampilan.

Aku kenal dia sih, kebetulan sekelas denganku. Namanya Namikaze Naruto, murid yang tidak begitu mencolok tapi bukan penyendiri juga. Dia berteman dengan siapapun, semua murid tanpa membanding-bandingkan. Aku sebenarnya, tidak menyukai orang yang terlalu hiperaktif, dan lebih tidak menyukai lagi orang dingin yang enggan bicara banyak. Ada di kelas yang seperti itu, tapi aku tidak memperlihatkan ketidaksukaanku secara jelas, suka-suka mereka karena aku juga hidup sesukaku.

Naruto adalah murid yang bukan seperti kedua tipe tersebut, anak itu apa adanya dan kelihatan sepertiku dari luar–asal tidak masuk ke area pribadi. Dia gampang didekati, tapi bukan layaknya mudah dimanfaatkan. Tapi dia tidak pernah terlihat jahat atau memandang orang dengan mata bosan apalagi bengis, benar-benar baik hati menurutku. Dia suka membantu, meski jarang kulihat.

Dia adalah satu-satunya orang yang kelihatan tidak mendekatiku, atau menjauhiku. Dia cuma beberapa kali berbicara denganku, biasanya saat aku sedang tak berkumpul dengan murid lain. Dan dia bicara karena memang ada keperluan, bukan membuat-buat alasan seperti yang lain. Kalau disuruh jujur ... hanya dia orang yang kusukai yang benar-benar dari hatiku, maksudku bukan konteks lawan jenis. Hanya saja, aku merasa tidak bakal keberatan kalau dijauhi semua siswa asal dia tidak. Atau dalam arti ... aku rela menukar semua teman-temanku dengan Naruto.

Tapi sepetinya dia tidak kepikiran hal yang sama, tidak mungkin. Buat apa dia memikirkan sesuatu yang tidak berguna seperti itu. Dia tidak tertarik kepada siapa pun, dan tidak juga kepadaku. Aku sih, tidak harus mengharapkan juga.

"Wah, terima kasih ya, aku sangat terbantu." Kataku begitu tulus, tersenyum lega. Biasanya laki-laki akan tersipu kalau aku berekspresi seperti ini, tapi Naruto tidak–aku senang mengetahuinya.

"Pak Takigawa juga memintaku barusan, sebelum dia pergi." Suaranya nyaring, tapi nadanya lembut bak kapas yang tersapu angin. Dia bicaranya saja terdengar menyenangkan, maklum orang gampang akrab. "Kebetulan kau datang, kukira kau lupa." Lanjut dia.

"Niatku akan mengambilnya sebelum pulang nanti, sih." Balasku jujur, membiarkan dia memandangiku yang tertawa canggung.

Dia mengambil separuh lebih dari tumpukan buku di meja, menyisakan beberapa untukku. Aku tidak terkesima dengan perilaku wajar seperti itu, tapi cukup senang entah kenapa.

Kami berjalan beriringan. Koridor depan ruang guru memang sepi, membuat suasana sunyi yang tak menyenangkan. Kalau tidak bersama Naruto mungkin baik-baik saja, malah aku akan senang sekali kalau tidak mengobrolkan apa pun. Tapi bersama lelaki ini membuatku merasa tak nyaman, merasa harus memulai percakapan. Aku tahu alasannya ... tapi aku tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata.

"Apa kau punya ikat rambut?" Dia bertanya hal yang tidak aku mengerti, membuatku kebingungan.

Aku selalu membawanya, ada di saku seragamku saat ini. "Ada di sebelah kanan," kataku sambil melirik. Aku berniat mengambilnya, tapi aku tidak bisa melepaskan tumpukan buku atau cuma mengangkat dengan satu tangan–itu cukup berat. Tapi aku tidak mungkin berjongkok dan meletakkannya di lantai dengan rok ini, tidak mungkin di depan Naruto.

Seperti mengerti yang kupikirkan, dia yang berinisiatif meletakkan bawaannya di lantai lalu mengambil buku yang kupegang. Aku tersenyum kebingungan, mengambil ikat rambutku dan mengangkatnya di depan dia, bertanya apa maksudnya.

"Ikat rambutmu sebentar,"

"Apa," aku membuka mulutku tak jelas, alisku pati berkerut aneh sekarang.

"Di tangga anginnya besar, rambutmu nanti berantakan." Dia berkata sambil memandang ke arah yang dimaksud. Memang benar, suaranya saja sudah terdengar sampai sini saking kerasnya angin yang masuk.

Tapi kenapa dia memperdulikan hal itu, apa alasannya? "Terima kasih kalau kau perduli, tapi kenapa? Aku saja tidak berpikiran untuk melakukannya, tidak masalah." Bohong, aku tidak suka rambutku berantakan.

"Jangan pura-pura, aku tahu kau sangat menyukai rambutmu." Dia tidak bermaksud membuatku tersinggung. Suaranya tetap menyenangkan, tapi aku merasa kurang bisa menerima saat ada orang yang tahu rahasiaku.

Memang ada beberapa yang bilang kalau rambutku bagus, tapi tidak sekalipun ada yang mengatakan hal itu karena tahu kalau aku sengaja merawat sebab menyukainya–tidak ada yang berhasil menyadarinya. Naruto yang pertama kali, dan aku sungguh merasa malu. "A-Apa yang kau katakan, kenapa kau berpikiran begitu?" Aku tergagap.

"Karena aku menyukainya," dia berkata tanpa beban.

"H-Hah," wajahku sudah pasti memerah, aku bisa merasakannya sampai panas.

"Jangan salah paham, aku cuma kagum."

Aku sekejap membalikkan tubuhku, dan mengikat rambutku sedemikian rupa dengan cepat. Karena terbiasa aku tidak perlu khawatir terlihat jelek. Aku tidak pernah melakukan itu di depan orang, aku tidak mau ada yang melihat–tapi aku terpaksa. Setelah itu kuambil lagi buku tersebut dan berjalan lagi dengan normal. Berpikir keras tentang bagaimana Naruto bisa mengetahuinya, berputar-putar apakah selama ini dia memperhatikanku. Tapi tidak mungkin, tidak kutemukan alasan yang masuk akal. Kalaupun dia menyukai rambutku seperti yang teman-temanku yang lain, dia seperti tidak berada dalam alasan yang sama. Membuatku kesulitan mencari yang sebenarnya.

Percayalah, setelah peristiwa itu ... aku selalu memperhatikan dia secara diam-diam, setiap hari. Aku mencari-cari keberadaannya yang jarang, menemukan fakta kalau dia memang laki-laki yang menarik. Senyumnya cerah, seperti matahari yang menghangatkan hari-hariku. Aku mengatakan itu karena memang jadi muncul alasan bahwa waktu sekolahku lebih berwarna sejak kusadari perasaan tersebut. Namun aku tidak melakukan pendekatan apapun, menekan dorongan untuk itu. Aku tidak ingin mengganggunya, seperti dia yang tak pernah menggangguku selama ini.

Namun itu berakhir membuatku menyesal, karena dia tiba-tiba tak hadir sekolah selama beberapa waktu, selamanya kupikir. Lalu muncul isu kalau orang tua Naruto meninggal karena kecelakaan, dan dia diasuh keluarga dari orang tuanya di tempat yang jauh. Membuat dia terpaksa pindah sekolah.

Sampai lulus, aku tidak bisa melupakannya. Aku tidak malu mengakuinya, kalau Naruto adalah cinta pertamaku, yang bisa saja sudah terjadi sejak lama tanpa kusadari. Aku merasa lebih kesepian daripada sebelumnya, merasa lebih ingin menyendiri sekalian agar tidak kedapatan melamun di tengah-tengah pembicaraan. Tetapi aku sangat hebat menyembunyikan fakta itu dari siapa pun, sampai aku berpisah dengan teman-temanku dan masuk ke SMA swasta yang lebih biasa–membuatku tak bertemu lagi dengan mereka kecuali beberapa, satu dua saja.

Aku melakukan hal tersebut untuk memulai cara hidupku yang baru, untuk tak berpenampilan menonjol supaya tidak populer seperti saat SMP. Sekalipun ada secercah alasan yang tidak aku akui dalam hatiku, kalau aku melakukannya karena kecewa dengan akhir-akhir SMP yang tidak menyenangkan–yang hampa tanpa dia. Yah, alasan terbesar sih sebab aku lelah dengan hidup yang merepotkan seperti itu. Aku jadi lebih dewasa dan bisa menganggap tidak perlu berlebihan dengan rambutku, merasa baik-baik saja dan percaya ibu akan tetap menyayangiku bagaimanapun aku terlihat.

Aku mengikat rambutku sepanjang tahun pertama SMA, dengan sederhana asal tidak tergerai saja. Dan seperti yang kuinginkan, pertemananku juga sangat biasa. Dengan beberapa yang akrab, jarang bicara dengan lawan jenis, setidaknya tidak sampai ada yang memusuhiku.

Namun, ada sedikit hal yang tidak kuharapkan terjadi. Sekolah ini jadi sarang perkelahian, hidup berkelompok-kelompok untuk saling mendominasi kekuatan. Hampir setiap hari ada perkelahian, setiap hari ada hukuman, dan tidak sedikit juga yang dikeluarkan. Tapi aku bersyukur tidak ada yang begitu kurang ajar kepada perempuan, tidak ada yang sampai memperlakukan seenaknya. Jadi aku tak pernah merasa terancam saat kemana pun, malah makin lega karena ketidakpopuleranku membuatku jarang dilirik.

Dan ada kejadian besar waktu upacara penerimaan saat itu, ialah siswa tahun pertama seorang diri yang menghajar belasan senior sampai begitu parah, sampai di rumah sakit berminggu-minggu. Bukan sekedar memar biasa, sampai patah tulang dan ada yang gagar otak ringan. Aku tidak tahu bagaimana persisnya, cuma mendengar dari cerita saja–yang mungkin bisa jadi dibuat berlebihan. Namun memang waktu itu ada polisi yang datang, membawa seorang murid yang jadi tersangka. Sekalipun perkelahian di sekolah ini sering terjadi, tak pernah ada yang sampai mengundang kedatangan badan hukum seperti saat itu. Jadi cukup menghebohkan, wajar.

Namun anehnya, murid itu tidak keluarkan entah karena apa. Dia masih datang ke sekolah, yang kabarnya diberi syarat agar tidak membuat keributan lagi. Tapi hal itu justru dimanfaatkan para senior lain untuk balas dendam, mereka mengeroyoknya sampai babak belur, sampai waktu yang tidak sebentar tanpa perlawanan. Murid itu yang awalnya menghajar senior tanpa ampun lalu membiarkan dirinya dikeroyok setelahnya tanpa memberikan perlawanan apapun ... memunculkan pertanyaan kepada para siswa lain. Setidaknya bukti dari perkelahian pertama bahwa murid tersebut adalah berandalan yang tidak memedulikan aturan, membuat ada keraguan kenapa tiba-tiba dia menuruti syarat yang diberikan.

Akibatnya dia harus berada di rumah sakit selama hampir setengah tahun, bisa hidup saja syukur mungkin. Membuatnya tak pernah kelihatan lagi hingga kenaikan kelas. Aku tidak tahu siapa orangnya, meski ada desas-desus mengenai namanya tapi aku tidak kenal, tidak mungkin aku kenal memang.

"Kita sekelas lagi,"

"Tempat dudukku di mana?"

Sekarang aku sedang melihat papan pengumuman yang ramai sesak, untuk melihat di mana aku berada di tahun kedua saat ini. Setelah merunut nama-nama yang banyak tersebut, ternyata aku berada di kelas A lagi. Nafasku terdengar lega entah kenapa.

Aku memasuki kelas dan mencari tempat duduk di tengah, yang biasanya dihindari orang. Aku memperhatikan siapa saja yang sudah berada di dalam, dan siapa saja yang baru datang. Ternyata kebanyakan dari kelasku dulu, aku tersenyum karena tak harus kerepotan berkenalan dengan orang baru.

Ada Ino, si perempuan cantik yang tidak sombong. Lalu Sakura, yang bergaul dengan siapapun dengan mudah. Shikamaru yang tukang tidur, tapi selalu masuk lima besar dalam peringkat sekolah–bukan cuma kelas saja. Dan Sasuke yang dipuja-puja murid perempuan, tapi dingin–jenis yang tidak kusukai saat SMP dulu. Tapi tidak masalah, ini hidupku yang baru, tidak ada alasan lagi aku membenci karakter seseorang. Kalau ada yang membuatku risih kukatakan saja dengan lantang, hal itu tidak membuatku takut.

Seorang wali kelas datang, pria tinggi berambut putih dan memakai masker. Dia langsung menulis sesuatu di papan tanpa mengenalkan diri terlebih dahulu.

"Yang ingin menjadi perangkat kelas, silahkan maju dan tulis nama kalian. Aku tidak akan menggunakan sistem suara atau menunjuk seseorang, aku tak mau ada yang dikambing hitamkan."

Suaranya malas sekali, begitulah kupikir. Matanya sayu-sayu, tapi pandangannya menakutkan. Dan apa yang diutarakan barusan sungguh sangat membantuku, bahkan anak-anak lain juga. Tak banyak guru yang mau melakukan hal tersebut, kebanyakan memang melakukan pemungutan suara agar lebih seolah adil. Tapi bukan berati hal itu juga mudah, tak ada orang yang mau maju secara suka rela sampai beberapa waktu. Itu membuktikan bahwa tak ada yang mau jadi perangkat kelas.

"Akan kubiarkan seperti ini. Kalau masih kosong sampai aku kembali lagi, rapor kalian pasti kosong juga sampai kenaikan kelas." Dia santai-santai saja mengucapkan itu dan melangkah meninggalkan kelas.

Semua memekik kebingungan, tak percaya dengan guru itu. Berarti sama saja dengan sistem suara, karena setelah ini pasti timbul keributan untuk menunjuk satu sama lain agar jadi perangkat kelas. Di dalam ruangan ini ada beberapa yang dulu menjabat, namun entah kenapa tidak ada yang mau maju sekarang. Mungkin mereka merasa tak mau lagi direpotkan dengan hal itu.

Aku menghela nafas, dengan kebisingan yang jelas datang ini. Di kelas satu dulu Sasuke jadi ketua kelas, tapi sepertinya tak mungkin ada yang berani menunjuk lelaki itu kembali.

Pintu kelas terbuka lagi, memunculkan seorang siswa dengan seragam yang ditutupi sewater hoodie warna putih. Aku terpaku, membulatkan mataku lebar-lebar melihat sosok itu. Tidak salah lagi, itu Naruto. Badannya jadi lebih tinggi, tetap kurus dan tegap. Rambutnya lebih berantakan dari pada yang bisa kuingat. Dia jadi lebih dewasa, tapi tetap saja aku tak mungkin salah mengenali karena hanya tak bertemu selama beberapa tahun saja. Dia menuliskan sesuatu di papan, mengisi semua bagian dengan nama. Kedatangannya mendiamkan seisi kelas, dan perilakunya jelas sangat mengejutkan seluruh orang.

Di papan, ketua kelas diisi dengan nama Sasuke. Wakil ketua justru anehnya adalah Shikamaru. Dan bagian lainnya ada nama yang mungkin dipilih acak, tapi yang mengejutkanku adalah ada namaku juga. Anehnya juga Naruto hafal nama orang-orang tersebut, beserta cara penulisannya juga. Sekejap saja kelas dibuat lebih berisik daripada tadi.

Sebelum Naruto pergi melangkah ke salah satu bangku kosong di belakang–yang membuatku senang bukan main karena dia di kelas ini– Sasuke berdiri dan menghalaunya. Mengangkat kerah jaketnya dengan kasar.

"Hoi, apa yang kau lakukan?" Suaranya dingin, menakutkan seperti biasa.

Naruto balas menatap dengan datar, yang membuatku sangat heran karena dia tampak begitu berbeda dengan saat SMP. Aku sempat merasa keliru orang, apakah dia Naruto atau bukan? Tapi tidak salah lagi, aku yakin betul. Tapi perbedaan raut wajahnya hampir 180 derajat, sama sekali bukan orang yang pernah aku kenal.

"Sana hapus kalau tidak terima, tapi ganti dengan nama yang lain, jangan sampai kosong. Hanya itu peringatan dari wali kelas, bukan?" Suaranya rendah, bukan lagi selembut air yang menenangkan. Bagiku, lebih menakutkan ketimbang Sasuke.

"Kau yang hapus, atau kau menerima akibatnya," Sasuke tidak pernah kedapatan berkelahi, tapi dia itu ditakuti semua lelaki bahkan senior juga. Ini pertama kalinya dia terlihat marah–meski tanpa ekspresi– membuat semua orang bungkam dan gemetar. Tak berani melerai.

"Lakukan semaumu," Naruto tidak menantang, tapi tidak juga gentar. "Aku sih tidak perduli soal rapor kosong, tapi kalian tidak mungkin dimaklumi."

Lalu ada bisik-bisik, yang mengatakan kalau bukankah Naruto adalah murid yang dulu terkena masalah di tahun pertama, yang menghajar dan dihajar senior serta dijemput polisi pada waktu itu. Dan ada yang bilang kalau dia ternyata kerabat kepala sekolah, hal itu membuatnya mendapat toleransi dan tak dikeluarkan. Aku tidak mempercayainya, sekalipun hampir semua anak mengiyakan hal tersebut. Aku tidak pernah melihatnya kalau dia ternyata bersekolah di sini, selama setahun pun.

"Sudahlah, kita diskusikan lagi nanti." Shikamaru mengangkat suara, dengan mata setengah pejam. Aku sendiri, bahkan seolah lupa suara lelaki itu. Karena saking tak pernahnya bicara, cuma bisa tidur. "Yang penting papannya sudah diisi nama. Memang benar katanya, hanya itu yang penting. Sebentar lagi wali kelas pasti datang, dia kelihatan galak jadi tidak usah ribut dulu." Dia terdengar cerdas, seperti sosoknya memang.

Sasuke seakan tak mendengar apapun, tapi dia melepaskan cengkeramannya. Jadi Naruto melangkahkan kakinya lagi, menuju tempat di belakang serta melewatiku. Dia tak melihat barang melirik pun ke arahku. Tapi dia menuliskan namaku di papan, aku ragu dia tak mengingatku, atau pura-pura tidak kenal.

"Oh, sudah lengkap ya, bagus." Wali kelas memang langsung datang secepat setelah keributan selesai, membuktikan perkiraan Shikamaru. Guru itu kemudian memberitahukan kurikulum dan jadwal, sebelum memulai pelajaran yang berjam-jam.

Saat murid-murid diabsen, aku tak mendengar penyebutan nama Naruto. Aku toh sudah mendengarkan lekat-lekat, tapi memang tidak ada. Membuatku ragu apa dia memang Naruto. Tapi dia sama sekali tak menjawab apapun saat pengabsenan, membuatku ragu lagi apa dia memang murid di kelas ini. Dan tapi, Pak Guru yang terlihat galak tersebut tidak mempermasalahkan hal itu, bahkan diam saja saat seorang siswa ada yang tak melepas jaketnya di dalam kelas, seolah Naruto kasat mata.

Aku meliriknya cuma sekali saja. Dia memandang ke luar jendela, tanpa berekspresi apapun. Aku tidak mengenali apapun darinya, selain fisiknya saja yang, baiklah kurindukan selama ini. Tapi yang lebih kurindukan adalah senyumannya, wajahnya yang memandang siapa pun bagai teman. Bukan seperti saat ini. Aku mungkin tidak bisa ... mencintai sosok yang baru. Membuatku sedih, hampa lagi. Tapi aku sudah dewasa, aku berupaya tak memikirkannya berlarut-larut. Kalau kebetulan bisa bicara dengannya, lebih baik aku bertanya macam-macam hal nanti.

Selesai pelajaran, dan belum jam istirahat, Sasuke langsung berjalan menghampiri Naruto. "Sebaiknya kita selesaikan," ujarnya rendah hampir tak kedengaran. Tapi karena semua perhatian tertuju padanya, semua tahu akan jadi seperti apa.

"Di luar saja," Naruto tidak terprovokasi, tapi langsung berdiri dan melangkah keluar.

Sebelum itu sudah dihadang seseorang, Sakura."Sasuke-kun, aku akan jadi ketua kelas. Jadi kumohon, hentikan ini." Dia takut-takut, tapi tak gentar berdiri di hadapan dua lelaki tinggi nan dingin seperti mereka berdua. Usulannya masuk akal, kebetulan tidak ada nama Sakura di papan tadi.

"Ini tidak ada hubungannya dengan masalah tadi," Sasuke menjawab datar, tapi meyakinkan seolah memang karena sesuatu yang lain.

Naruto sudah lebih dulu keluar kelas dengan melompati salah satu meja. Gerakannya gesit, luwes bak seekor musang. Sasuke menyusulnya tanpa kesusahan, melewati Sakura yang mematung. Mereka berdua tak kembali ke kelas sampai jam istirahat, membuatku tak tenang memikirkan apa yang terjadi. Aku mencemaskan keduanya. Naruto sebagai orang yang dulu kusukai–dan masih kusukai saat ini ternyata. Dan Sasuke karena lelaki itu tak pernah jadi seperti ini, tidak pernah serta-merta bolos pelajaran sekalipun–dia itu murid teladan tanpa perlu dipuji orang lain.

Setelah bel pelajaran selesai, aku langsung pergi begitu saja mengabaikan guruku yang belum keluar. Aku tahu tidak sopan, tapi tubuhku bergerak sendiri. Di koridor malah sudah banyak murid-murid, jadi kupikir mereka semua lebih tidak sopan ketimbang aku.

Aku bertanya kepada siapa pun, mengenai Sasuke yang kemungkinan sudah dikenal banyak orang. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang tahu di mana keberadaan teman sekelasku itu. Aku memutari sekolah yang cukup besar, sampai melewati gedung anggota klub yang berada paling sisi wilayah sekolah. Di sana banyak sekali siswa, wajah-wajah berandalan. Tapi karena ada beberapa juga murid perempuan–dan karena penampilanku yang biasa saja– tak ada yang mencoba menggodaku, aku lega sekali.

Lebih bersyukur lagi saat kudapati lelaki itu, Naruto sendirian duduk bersandar bawah pohon di samping jalan. Tempat itu sepi, karena gedung klub lebih kelihatan bagus untuk jadi tempat tongkrongan. Aku tidak melihat Sasuke, mendorong rasa penasaranku untuk bertanya apa yang telah terjadi.

Aku masih meyakinkan diriku untuk menghampiri lelaki itu, berusaha supaya biasa saja sambil memikirkan apa yang akan mulai kukatakan. Karena kebingunganku memakan waktu yang entah berapa lama, ada lima anak yang menghampiri tempat Naruto lebih dulu. Mereka murid laki-laki, dari seragamnya tampak sepertiku yang merupakan kelas dua. Tapi badan mereka besar-besar, tampangnya lebih seperti pria dewasa yang biasa kerja kasar.

Aku hampir bisa mendengar suara mereka, provokasi mereka kepada Naruto yang bersantai sambil memejamkan mata. Namun aku tidak tahu apa yang mereka katakan, sampai membuat Naruto berdiri di tempatnya. Dia memasukkan kedua tangannya di saku celana, sambil memandang bosan orang-orang di hadapannya tersebut.

Sektika salah seorang yang paling besar menerjang Naruto, membuatku menutup mulut tak percaya dan ingin memalingkan wajah. Tapi Naruto mudah saja menghindari itu, dengan bergeser ke samping secara gesit tanpa membuat gerakan yang berlebihan. Lainnya ikut berteriak dan melancarkan serangan-serangan, yang semuanya bisa dihindari pemuda pirang itu dengan gampang. Seluruh upaya mereka selanjutnya tak ada yang berguna, sekalipun Naruto tidak sekalipun mengeluarkan tangannya dari saku.

Namun, salah satu ada yang berhasil memukulnya. Hantamannya keras, sampai membuat Naruto hampir tersungkur. Membuatku memekik ketakutan di tempatku. Tapi serangan selanjutnya bisa dihindari lagi sampai terdengar suara seseorang dari gedung olahraga di kejauhan meneriaki mereka, dari seorang guru. Membuat siswa-siswa yang mengeroyok Naruto tersebut berlari menjauh.

Aku memperhatikan Pak Guru yang cuma menggelengkan kepalanya, tanpa punya niat menghampiri Naruto. Aku memandang itu tak percaya, memikirkan perkelahian di sekolah ini ternyata sebegitu ditoleransi–asal tidak kelewatan. Tapi Pak Guru tersebut tidak mau sekedar menanyakan keterangan apapun dari siswa yang terlibat, hal itu yang paling mengherankan.

Sambil bersungut-sungut aku menghampiri Naruto yang sekarang memberantakkan rambutnya sendiri, seolah frustrasi. Dia tak menyadari kedatanganku, tak melihat sampai aku menarik lengan jaketnya hingga ia memandangku. Matanya menunjukkan keterkejutan, tapi hanya sebentar–sampai aku tidak yakin melihat itu atau tidak.

Aku sekarang marah, hampir ingin memaki-maki. Dan menjadi lebih marah saat melihat sudut bibir lelaki itu yang berdarah, tidak parah tapi mampu menyayat-nyayat hatiku. "Ikut aku ke UKS," aku tidak tahu kenapa aku jadi tegas, aku sendiri tak menyangka.

Tapi Naruto diam bergeming, membuatku mustahil meski menyeretnya. Aku akhirnya menyerah dan memandangnya lagi, lalu menarik dia ke bawah pohon. Syukurlah dia menurut, bahkan mendudukkan diri sama sepertiku.

Aku mencari-cari sapu tangan, mencoba mengusap setitik darah di wajah Naruto. Tapi lelaki itu menghindar, menyesap sendiri bibirnya dan meludahkan darah tersebut ke samping. Aku sedih melihatnya, tapi setidaknya aku sudah berhadapan dengannya sekarang. "Namikaze-san,"

"Namaku Uzumaki," dia memotong begitu saja.

Aku terkejut, mengetahui alasan kenapa aku kesulitan mencari namanya–yang tidak pernah kulakukan sih. Aku tidak pernah mengira-ngira di mana keberadaannya saat ini, apalagi memikirkan apakah dia bersekolah di sini juga. Aku menyerah menanti pertemuan lagi dengan lelaki itu. "Naruto-san,"

"Langsung nama depan? Kau begitu blak-blakan ternyata," sindirnya hampir ketus.

Aku tak memedulikannya. "Apa yang kau lakukan dengan Uchiha-san tadi?"

"Cuma bertanding basket," dia mungkin mengada-ada. "Dia itu temanku dari SMP, setelah pindah waktu itu. Shikamaru juga,"

Aku kebingungan dengan sikap terus terangnya, tapi aku masih waspada dengan kebohongan. "Kalu kau bilang begitu, berati kau mengingatku kan? Teman SMPmu yang lama,"

"Aku tidak tahu kau menganggapku teman," dia sama sekali tak melihat ke arahku sejak tadi. Sekarang dia menyandarkan tubuhnya ke pohon, sambil pura-pura tidur.

Ucapannya barusan ternyata menusuk hatiku, sampai-sampai sadar kalau sosok tersebut memang bukan Naruto yang aku kenal. "Aku menganggapmu teman. Malah aku menyukaimu, menanti-nantimu tanpa jelas selama ini. Aku bodoh sekali sih," kataku menyedihkan.

"Langsung menyatakan perasaan? Blak-blakan sekali," ucapan itu lagi, membuatku kesal saja.

Dia tak terkejut sedikit pun setelah mendengar pernyataanku. Aku tidak mempermasalahkannya, cukup puas saja dengan perasaan lega setelah mengungkapkan itu–seperti kata temanku yang lain kalau sudah menyatakan perasaan. "Kau ternyata berubah ya," ucapku.

"Seolah kau tidak saja," dia menjawab secepat tadi, tanpa kesusahan.

Aku menyadarinya, kalau aku memang berubah. 'Tapi kan tidak sepertimu' ucapan itu terpendam tanpa ingin kuutarakan. Aku memang tak bisa menyalahkan seseorang yang ingin melakukan perubahan. Tapi setidaknya aku percaya perasaanku masih tetap sama, seperti dulu. Ada dorongan untuk berteriak meyakinkan Naruto mengenai itu, tapi aku sudah tahu jawabannya sekarang. Jadi aku berniat bangkit dan pergi dari tempat ini, yang menyiksa hatiku sebelum bisa kusiapkan sebelumnya.

Namun, tanganku ditahan, ditarik sampai tubuhku jatuh ke atasnya–sebagian tubuhku. Tangannya menahan kepalaku, mengarahkan tepat dan tak membuang-buang waktu, wajahku ke wajahnya.

Aku tak percaya, saking kagetnya sampai nafasku saja seolah hilang, seolah belum pernah bernafas sebelumnya hingga sulit sekali untuk melakukannya lagi. Dia membuka mulutnya, memagut bibirku perlahan dengan beberapa gerakan konstan nan lembut. Aku tak kuasa, menahan keinginan untuk melakukan hal yang sama. Aku merasakan darahku meleleh, kulitku meremang-remang, dan cairan di beberapa tempat seolah berjatuhan dari asalnya. Mataku, bibirku, dan tempat lain yang tak bisa kujelaskan.

Setelah entah beberapa lama, sampai aku nyaris pingsan berkat sensasinya, dia menghentikan kegiatannya. Mata birunya yang bak bongkahan es menatapku, mengembalikan kesadaranku dengan seketika.

"A-Apa yang kau," aku buru-buru menarik diri dan mengibaskan lenganku seperti seekor anak anjing. Wajahku memerah, panas dan hampir berasap. Kuraba bibirku sendiri dengan gemetar, bahkan ingin kumasukkan juga jariku untuk memastikan kenapa rasa itu masih saja membekas alih-alih hilang malah makin parah.

"Kalau tidak suka kenapa tak menghentikanku?"

Apa, cuma itu yang menghantami kepalaku bertubi-tubi. Aku seketika meninju perutnya dengan begitu keras, sampai buku-buku jariku kesakitan. Aku khawatir terlalu keras, tapi lelaki itu biasa-biasa saja. Air mataku mengalir seperti hujan, kutahan dengan menggigit bibirku sampai nyeri. "Aku benar-benar," tak kuasa aku melanjutkannya.

"Jangan membenciku begitu dong," dia menegakkan tubuhnya dan bersila di hadapanku. Wajahnya sekalipun tetap datar, aku seolah bisa membaca sesuatu, seolah melihat sosoknya yang dulu. "Aku merindukanmu. Kukira tak bakal lagi melihatmu yang sangat kusukai selama ini. Yah, aku masih bertanya-tanya sampai sekarang, kenapa kau merubah penampilanmu. Tapi percayalah, dariku, kau tak bisa menyembunyikan sosok cantikmu yang sebenarnya. Tak bisa menyembunyikan keindahan mahkota kepalamu itu, meski kau ikat sedemikian rupa."

Kata-katanya panjang, diucapkan dengan lama sambil duduk seperti kucing yang tanpa malu-malu. Aku butuh waktu lama untuk mengerti apa yang dia bilang tersebut, sampai kurasa dia kebosanan menunggu reaksiku. Aku tidak tahu harus bagaimana, terlalu cepat untukku mempercayainya karena kupikir selama ini cuma aku yang menyukainya–menyembunyikan perasaan itu sampai akhirnya putus asa karena perpisahan. Kukira hanya diriku yang memohon-mohon agar takdir mempertemukan kita kembali.

"Aku menoleransi semua kenakalanmu selain perkelahian," suara wanita terdengar tiba-tiba. "Tapi bukan berarti aku memperbolehkanmu berbuat mesum."

Aku seketika saja berdiri dan membungkuk formal. Beliau adalah kepala sekolah, yang tampak cantik dan awet muda. Aku tak berani mengangkat kepalaku lagi, saking gugup dan takut kepadanya. Kepalaku pusing membayangkan apakah Kepala Sekolah melihat perbuatan kami barusan, perutku juga mual saat detik-detik waktu yang berjalan selambat otakku, tapi tak secepat detak jantung dan darahku yang berdesir.

"Aku saja yang dihukum. Aku memaksa dia untuk berciuman." Naruto berbicara enteng.

'Astaga, itu sama saja kau mengakui kalau kita sudah berbuat hal yang tidak-tidak, bodoh' pikiran itu membuatku ingin meledak saja. "T-Tidak, kami tidak melakukan apapun," akuku terbata-bata seperti bayi yang hendak menangis. Kuharap lirikan mataku bisa membunuhnya saat ini, tapi aku tak mau Naruto mati. Kuharap kita mati bersama saja. Wah ... aku yang lebih bodoh ternyata.

"KALIAN MENIKAH SAJA," bentak Kepala Sekolah yang memaksa nyawaku keluar secara perlahan.

"Nanti setelah lulus,"

Sungguh aku ingin membunuh lelaki itu karena tak ada niatan sedikit pun untuk membantuku keluar dari situasi ini. 'Aku ingin kuliah dulu' dan dirimu Hinata Hyuga ... adalah gadis paling bodoh di dunia ini karena sempat-sempatnya memikirkan hal itu dalam kepalamu.

Lebih baik aku mencari cara menghadapi lelaki tersebut mulai sekarang, yang kuharap mampu kumenangkan dalam hal apapun. Tapi sepertinya susah. Lihatlah ... menatapnya saja membuat hatiku mencair dalam perasaan yang tak tertahankan seperti ini.

Ini baru permulaan ... ingin sekali aku menjeritkan hal itu agar didengar semua orang.

.

.

.

.


NOTE : Tapi sudah end :D ... Fic yang saya tulis dalam setengah hari saja. Jadi jangan heran kalau absurd dan tidak enak dibaca. Tiba-tiba saja muncul ide, saya tidak tahan kalau tidak ditulis.

Thanks for Reading