BOBOIBOY SEPENUHNYA MILIK MONSTA

Saya hanya meminjam karakternya

.

.

.

Mayimaginations present

.

.

.

.

Dengan melanjutkan membaca, berarti Anda sudah setuju untuk bersedia masuk ke dalam imajinasi penulis. Menyetujui untuk memaklumi apapun yang akan ditulis oleh penulis.

.

.

Anda sudah yakin?

.

I warned you~ ; )

.

.

.

Remember

.

.


"Ayah! Ayo maiin!" Rengek seorang bocah. Ia menarik-narik baju ayahnya yang sedari tadi tidak mengalihkan pandangan dari laptop.

"Iya sayang.. sebentar ya.." selalu itu kata-kata yang ia lontarkan. Anaknya menggembungkan pipi. Ia hanya ingin sedetik saja. Ia benci laptop hitam itu. Sang Ayah lebih menyayangi benda mati itu dibanding anaknya yang menggemaskan.

Tiba-tiba ia naik ke atas kursi samping ayahnya. Tanpa ayahnya sadari, ia lanjut naik ke atas meja.

PRAK!

Amato benar-benar terkejut sekarang. Layar laptopnya hilang, berganti dengan wajah anaknya yang polos tanpa dosa. Anaknya baru saja menutup laptop hitamnya dengan keras -untung saja jemarinya reflek menghindar. Belum merasa diperhatikan sang ayah, si anak lanjut menduduki laptop malang itu.

"Nah, sekarang Ayah cuma punya Boboiboy~" Ucap anak itu riang. Ia hanya mengharapkan perhatian ayahnya. Ia hanya ingin bermain dengan ayahnya.

Namun, harapan anak kecil itu sirna.

"Boboiboy. Ayah masih banyak kerjaan," Amato memijit kepalanya. Anak kecil itu terdiam.

"Tapi kan, kita kesini buat liburan, Yah.. ko masih kerja?" Tanya anak itu.

Amato memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Ia mengacak-acak rambut putra semata wayangnya.

"Kamu main dulu sama Bunda, nanti kalau pekerjaan Ayah sudah selesai, Ayah pasti main sama Boboiboy. Ayah janji akan selesaikan ini dengan cepat!" Amato mengeluarkan kata-kata andalannya. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Anaknya menunduk. Ia sudah bosan mendengar janji manis ayahnya. Dan terlebih, ayahnya bahkan tidak tahu kalau sang Ibu sedang istirahat karena kelelahan.

"Ayah ga sayang sama Boboiboy.." Lirih Boboiboy. Ia turun perlahan dari meja. Ia masih menunduk. Kakinya ia hentakan ke lantai dengan keras. Lalu ia beranjak keluar kamar. Dan langsung membanting pintu.

Amato menghempaskan punggungnya pada senderan kursi. Ya, ia memang ayah yang buruk. Tapi, pekerjaan ini tak bisa menunggu.

.

.

.

.

Boboiboy merengut. Ia mengambil bola sepakannya. Lalu beranjak ke pintu utama. Ia memutar gagang pintu dengan hati-hati tanpa suara. Dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara pintu saat terbuka.

Hei, apa yang dipikirkan bocah ini?

Entah apa yang dipikirkan Boboiboy, ia pergi ke luar rumah tanpa izin sang Ibunda. Izin ayahnya? Ia pasti tidak peduli kemanapun Boboiboy pergi.

Yang dipikirkan Boboiboy sekarang hanyalah menemui atoknya yang sedang berada di kedai. Ia juga ingin melampiaskan rasa kesalnya dengan meminum es coklat spesial buatan Tok Aba tercinta.

Sepanjang jalan, bocah laki-laki itu terus menggerutu. Kenapa ayahnya selalu saja sibuk?

.

.

Beberapa hari yang lalu, Ayah dengan wajah riang gembira mengatakan mereka semua akan berlibur ke rumah Tok Aba. Boboiboy yang baru saja libur kenaikan kelas terlihat senang sekali. Setidaknya kata-kata "libur" itu bermakna baginya karena bisa menghabiskan waktu bersama ayah dan bunda. Ia juga sangat merindukan Tok Aba yang beberapa minggu lalu berkunjung ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, ayahnya bercerita tentang masa kecilnya di kampung halaman. Lapangan luas, pemandangan indah, pantai yang bersih, laut yang jernih, membuat mata coklat Boboiboy berbinar-binar.

Ia tak sabar ingin bermain bola dengan ayahnya di lapangan, lalu bermain air di pantai. Serta menikmati es cokelat spesial buatan Tok Aba.

.

Namun semua itu hanyalah mimpi.

Begitusampai di Pulau Rintis, setelah melepas rindu, berbincang ria dengan Tok Aba, Amato mendapat telepon. Ya, Boboiboy benci alat elektronik itu. Alat yang menyampaikan pekerjaan kepada Ayahnya.

.

.

.

"Eh? Boboiboy?" Sang Atok terkejut melihat kedatangan cucu satu-satunya itu. Ia bergegas menghampiri Boboiboy.

"Sama siapa kesini? Ya Allah.. untung kamu tidak nyasar nak," Tok Aba mengusap kedua pundak Boboiboy.

"Tok.. Boboiboy mau es cokelat," ujar Boboiboy to the point. Tok Aba menghela nafas. Lalu tersenyum. Lagi ngambek ya?

Tok Aba menggandeng tangan Boboiboy. Lalu menaikkannya di atas kursi.

Tak beberapa lama, Tok Aba menyerahkan segelas plastik es cokelat.

"Terima kasih, Tok,"

.

.

.

Boboiboy bosan karena Tok Aba sibuk dengan pelanggannya -padahal ia baru beberapa menit duduk di sana. Ia memutuskan untuk bermain bola di taman depan kedai.

Kali ini ia meminta izin terlebih dahulu. Setelah Tok Aba membolehkan, Boboiboy girang menendang-nendang bolanya. Sepertinya mood bocah itu sudah membaik.

.

.

DUAK! DUAK!

.

Oh.. sepertinya belum membaik.

Boboiboy menendang bolanya dengan keras ke pohon. Berulang-ulang.

"Padahal, aku punya teknik baru," Boboiboy menggerutu. Ia ingin menunjukkan kebolehannya bermain bola.

Boboiboy semakin ganas menyerbu pohon yang malang itu. Daun-daun pohon mulai berguguran. Entah bagaimana kekuatan yang dilampiaskan Boboiboy pada pohon itu. Boboiboy tidak punya teman di sini, pohon itulah yang menjadi teman pertamanya di sini. Terima kasih pohon. Engkau telah rela menjadi bulan-bulanan bocah yang sedang ngambek dengan ayahnya.

"BERHENTI!"

Boboiboy terkesiap. Suara cempreng menggelegar itu berhasil membuatnya berhenti menyakiti si pohon.

Seorang anak perempuan, kira-kira sepantaran dengannya, merentangkan tangan di depan pohon malang itu.

"Jangan sakiti pohon ini!" Anak perempuan itu berseru marah.

Boboiboy mengernyit. Anak siapa ini?

"Aku tidak menyakiti pohon itu! Aku hanya ingin bermain!" Sergah Boboibo tak terima dikatakan salah. Anak perempuan itu menatap Boboiboy tajam. Ia masih merentangkan tangannya, melindungi pohon itu.

"MINGGIR!" Boboiboy mulai merasa jengkel. Anak perempuan itu menggeleng kuat.

"Atau kamu yang kutendang!" Ancam Boboiboy. Ia mulai memasang kuda-kuda, berharap agar anak itu takut dan segera menyingkir.

"Tendang saja kalau berani," cibir anak perempuan itu. Ia sama sekali tidak gentar.

BUAGH!

"HUAAAAA"

.

.

.

"Tok," Boboiboy muncul tiba-tiba membuat Tok Aba hampir menjatuhkan cangkir. Tok Aba mengelus dada.

"Ada apa Boboiboy?" Tanyanya sambil tersenyum.

"Boboiboy mau es cokelat lagi boleh?" Boboiboy memohon. Ia tahu, presentasi kemungkinan ia boleh meminum es cokelat dua gelas sehari sangat kecil. Tok Aba tampak berpikir sejenak.

"Boleh ya, Tok? Boboiboy janji, nanti malam gosok gigi dua kali!" Boboiboy menunjukkan kelingkingnya. Tok Aba tersenyum. Ia tidak bisa menolak wajah menggemaskan cucunya.

"Baiklah," Tok Aba membuatkan es cokelat lagi untuk cucunya tersayang.

"Yeay, terima kasih Tok Aba, Atok memang terbaik!"

.

.

.

"Nih, minum," Boboiboy menyerahkan gelas plastik berisi minuman spesial. Si anak perempuan menatap pemberian Boboiboy. Hidungnya masih merah.

"Apa itu?" Tanya si anak perempuan.

"Es cokelat," jawab Boboiboy singkat.

"Tapi dingin, kata Mama, kalau habis panas-panasan ga boleh minum dingin, nanti sakit," jelas si anak perempuan. Ngomong-ngomong, siang ini memang panas. Boboiboy mendengus frustasi.

"Terimalah.. anggap saja ini permintaan maaf ku," paksa Boboiboy. Ia meletakan gelas es cokelat di tangan si anak perempuan.

Si anak perempuan menggeleng membuat Boboiboy gemas.

"Jangan minta maaf sama aku, minta maaf sama pohon ini," ujarnya. Boboiboy mendengus. Haruskah ia menyiram pohon itu dengan es cokelat agar anak ini puas? Boboiboy tak tahu lagi bagaimana cara menghadapi anak ini.

Si anak perempuan tetap menuntut Boboiboy untuk meminta maaf.

"Baiklah," Boboiboy berjalan malas. Ia berdiri di depan pohon yang menjadi korbannya tadi. Ia melirik anak perempuan di sampingnya. Si anak perempuan menunjuk telapak tangannya. Menyontohkan untuk menempelkan telapak tangan di batang pohon. Boboiboy menghela nafas. Ia menurut. Telapak tangan kanannya menyentuh batang pohon. Ia melirik anak itu lagi. Si anak perempuan tersenyum sambil menyuruh Boboiboy untuk mengeluarkan permintaan maafnya.

"Maaf," ucap Boboiboy.

"Yang serius!" Omel si anak perempuan di sebelahnya.

"Baiklah, aku minta maaf karena telah menyakitimu, Pohon," Boboiboy mengelus-elus batang pohon. Ia melirik lagi ke arah si anak perempuan. Anak itu tersenyum senang.

"Nah, karena sudah minta maaf, kamu dapat hadiah," ujar si anak perempuan. Ia memberi es cokelat miliknya pada Boboiboy. Boboiboy mengernyit.

Entah mengapa, atau mungkin karena Boboiboy senang mendengar kata hadiah, ia menerimanya dengan senang hati.

"Tapi minumnya nanti, kalau sudah tidak dingin" Boboiboy cemberut mendengar perkataan si anak perempuan.

.

.

.

"Ini kan cuma pohon, kenapa harus minta maaf?" Boboiboy menopang pipi dengan tangan kirinya. Sepertinya ia masih tidak ikhlas saat minta maaf pada si Pohon.

"Pohon kan makhluk hidup, jadi ga boleh disakiti," sisanak perempuan menjawab dengan lembut. Boboiboy hanya mengangguk sekilas. Kalau itu, ia juga tahu.

"Habisnya, aku ga punya teman main," Boboiboy mengutarakan perasaan yang sedari tadi ia pendam. Ia hanya ingin bermain. Si anak perempuan menatap Boboiboy.

"Kalau gitu, ayo kita main!" Si anak perempuan langsung berdiri. Ia tersenyum riang. Boboiboy menatapnya. Agak ragu karena hidung si anak perempuan masih merah akibat perbuatannya.

"Hidungmu sudah baikan?" Tanya Boboiboy khawatir. Jujur, ia merasa bersalah.

"Tidak apa-apa kok, aku kan anak kuat," si anak perempuan mengacungkan jempol. Boboiboy mendengus. Padahal tadi ia menangis keras.

Si anak perempuan mengulurkan tangannya. Mengajak Boboiboy untuk segera berdiri. Boboiboy terdiam sejenak. Akhirnya ia menemukan teman bermain -walau anak perempuan. Ia tidak kesepian lagi. Setidaknya ini bisa melupakan rasa kesal dengan (pekerjaan) ayahnya.

"Nah, sekarang kita mau main apa? Bola?" Tanya anak perempuan itu riang. Boboiboy mengangguk.

"Kalau kena, jangan nangis ya," ledek Boboiboy sengaja. Ia mulai menendang bola. Sementara gadis kecil itu melotot sebal. Mereka berlarian di lapangan hijau.

.

"Oh iya! Nama kamu siapa?" Boboiboy teringat sesuatu. Sejak tadi mereka belum saling mengenalkan nama.

Anak perempuan itu lalu tersenyum lembut. Hijab merah mudanya menari tertiup angin.

.

"Namaku Mimi, kalau kamu?"

.

.

.

.

TBC

.

Lanjut?

Teheheh~ Fanfic lama yang sudah berlumut. Setelah ditulis malah jadi berantakan. -_-

Mohon maaf apabila ada salah kata. Mohon maaf lahir dan batin.

Terima kasih bagi sudah membaca dengan sabar : )

Silakan review bila berkenan

See U

.