All Characters Belongs Masashi Kishimoto

.

.

Story Belongs Monica Murphy

.

.

Pair : Sakura X Sasuke

.

.

Disclaimer : Seperti yang saya sebutkan di atas cerita ini bukan milik saya. Karena saya sangat menyukai karakter Sakura dan Sasuke milik Masashi Kishimoto, saya ingin menjadikan mereka berdua sebagai tokoh utama dalam cerita ini.

.

.

Selamat Membaca SasuSaku Lovers ^^

.

.

Bab 12

Hari ke-6 (Black Friday/Hari setelah Thanksgiving), 11.00 Siang…

.

Orang yang tahu kamu paling baik merupakan orang yang paling bias menyakitimu. -Uchiha Sasuke-

Sasuke POV

Aku sangat menderita ingin menghilangkan diriku dalam dirinya sehingga aku bisa melupakan semuanya.

Setelah ke pemakaman, kami segera menyambar makanan cepat saji untuk makan siang, lalu menuju kembali ke rumah. Tidak banyak hal yang kami bicarakan, dan jikapun aku mencobanya, aku tidak bisa membuat percakapan. Aku lelah, baik secara mental dan fisik, dan dia tahu itu. Sakura tidak menekanku, tidak meminta penjelasan apapun kecuali kalau dia menganggap itu penting.

Seperti pertanyaannya, apa yang terjadi di hari Mirai tenggelam. Sulit untuk di percaya, tapi terasa biasa saja ketika membicarakan semuanya, menyebabkan kelagaan dalam dadaku. Aku tidak pernah bicara tentang kematian adikku dengan orang lain. Tidak orang tuaku, tidak dengan siapapun. Aku sudah menahannya dalam diriku selama 2 tahun dan sekalinya aku bicara, itu seperti bendungan yang bocor.

Aku menangis. Bersedih, berduka. Aku menceritakan kisahku dan sangat berterima kasih saat dia tidak menjauh, tidak menyalahkan, tidak menghakimi. Dia hanya memelukku erat dan membiarkanku menangis, seperti aku ini sejenis bayi besar.

Sialan. Aku tidak ingin menghakimi diriku sendiri, kecewa atas diriku karena mempunyai emosi sialan. Aku kehilangan adikku dalam pengawasanku. Aku punya setiap pembenaran untuk menangis dan mengamuk jika aku ingin.

Kami tertidur melewatkan sisa sore begitu saja. Bersama. Meringkuk di tengah di kasurku, tangan kami saling terkait, selimut tersusun di atas kami. Sore terlewati, sebagian besar malam kami tetap seperti ini, dan aku tahu kami berdua membutuhkannya. Kami tertidur di sebagian besar minggu saat Carmel (pertemuan salah satu ordo keagamaan katolik).

Kami pergi keesokan harinya, pada hari yang di nyatakan keluargaku sebagai peringatan 2 tahun kematian adikku. Aku bersyukur keluar dari sana, tapi tidak yakin, menjadi seperti apa kehidupanku dan Sakura saat kami kembali ke rumah.

Aku takut dengan apa yang mungkin aku bisa lakukan. Apa yang mungkin dia bisa lakukan. Apa yang mungkin kami berdua bisa lakukan bersama untuk membuat semuanya berantakan.

Teleponku berbunyi dan aku tahu tanpa melihat siapa itu. Ayahku atau Kurenai, dua orang paling terakhir yang ingin aku ajak bicara. Aku bergerak cepat dan duduk, mencari teleponku. Lampu di meja rias dari sisi sebelah masih menyala, melemparkan cahayanya memancarkan kegelapan. Melihat sekilas pada teleponku, aku memeriksanya, yup, itu ayahku yang mengirimkan pesan dan sesaat aku akan membacanya, telepon mulai berdering. Lagi, itu dari ayahku.

"Maaf aku belum membalas telponmu," aku segera mengatakannya, merasa bersalah. Dia juga melewati waktu yang berat, dan tidak seharusnya aku menutup diri, tidak perduli bagaimana ia membuatnya terlihat mudah.

"Jangan berani-beraninya kau tutup telepon dariku." Sial, ini Kurenai.

"Apa yang kau inginkan?" aku mencoba menjaga suaraku tetap rendah, mencoba usaha terbaikku untuk tidak mengganggu Sakura tapi dia bergemerisik di bawah selimut, berputar sehingga punggungnya menghadapku.

Aku tidak tahu dia terbangun atau tidak, tapi aku tidak berencana mengatakan apapun pada Kurenai yang mungkin akan di tanyakan Sakura nanti. Sudah cukup buruk aku mengaku apa yang terjadi pada Mirai hari ini. Tidak bisa lagi aku bertindak bodoh di depannya.

"Besok kau ikut dengan kami, kan? Ke makam Mirai?"

"Aku sudah pergi hari ini."

Kesunyian mematikan yang menjawabku dan aku tidak mengatakan apa-apa sebagai balasannya. Aku tidak akan menjadi orang pertama yang bicara. Aku lelah tunduk pada keinginan wanita itu. Hal itu sudah berjalan terlalu lama.

"Apa kau pergi dengannya?"

"Aku memang melakukannya."

Sebuah desisan lepas dari Kurenai. "Beraninya kau membawanya ke makam gadis kecilku."

"Dia adikku. Sialan. Aku bisa membawa pacarku ke makamnya."

"Dia bukan… oh Tuhan." Kurenai tampak terpaksa menelan kata-katanya.

"Kau akan datang dengan kami besok. Aku perlu kau disana."

"Kami meninggalkan tempat ini besok. Aku tidak bisa datang. Itu alasannya aku pergi hari ini." Tidak sepenuhnya benar, tapi penjelasanku masuk akal.

"Kau akan mengecewakan ayahmu." Dia merendahkan suaranya, terdengar seperti dia hampir berbisik padaku. "Kau tidak mau mengecewakannya, iyakan? Kau selalu menjadi anak baik, Sasuke. Kau selalu melakukan apa yang aku katakan. Apa yang aku minta padamu."

Kulitku benar-benar bergidik pada bagaimana dia bicara padaku dan aku menutup mataku, mengambil nafas panjang dan berdoa tidak kehilangan ketenangan. Namun, lagi. Aku menjadi mabuk emosianal 24 jam tanpa henti sejak aku datang ke sini. Aku tahu ini akan jadi buruk. Aku tidak mengharapkan semua itu terjadi. "Aku tidak pergi denganmu, Kurenai. Ini waktunya mengakhiri hubungan demi kebaikan bersama." Aku menutup teleponnya sebelum dia bisa mengatakan hal yang lain.

Aku melihat Sakura, dia memutar punggungnya kembali jadi dia menghadapku lagi, mata hijau itu dengan tekun melihat setiap gerakanku. Dasar perutku terasa teraduk dan aku penasaran seberapa banyak yang dia dengar.

"Dia membuat hidupmu sulit?" tanyanya lembut.

Aku mengangguk. Tidak mengatakan sepatah katapun.

Menyibakkan selimut dari tubuhnya, dia bangkit dan berjalan dengan lututnya menghampiriku, meletakkan tangannya pada bahuku, wajahnya pada wajahku. Menutup matanya lebih rendah dan dia menatap pada mulutku, aku bisa melihat laju naik turun dadanya, rasa kehangatan yang nyaman dari sentuhannya. Gadis ini, dia hanya…

Melakukan semua ini untukku.

Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya kepadanya.

"Terima kasih untuk semuanya hari ini." katanya, mengejutkan aku.

Aku cemberut saat aku mendekat dan menyelipkan seuntai rambut halusnya ke belakang telinganya. "Aku yang seharusnya berterima kasih untuk semua yang telah kau lakukan untukku."

"Ya, memang seharusnya." Senyum bergetar melengkung di bibirnya. "Tapi aku ingin berterima kasih karena kau sudah jujur. Untuk memberitahuku tentang adikmu dan berbagi bagian hidupmu denganku. Aku tahu itu tidak mudah."

Jariku perlahan bergerak di leher halusnya dan mengusap ibu jariku ke belakang dan ke depan. "Terimakasih ada di sini untukku. Mendengarkanku." Dan menahanku di lengannya dan mengijinkanku menangis.

Dia mencengkeram tubuh bagian atasku, masing-masing kakinya berada di sebelah pahaku dan otomatis aku menangkapnya, merenggang keluar, tanganku melewati pantat sempurnanya dan menariknya semakin dekat. Tuhan, dia terasa luar biasa seperti ini, mendekap erat, sangat dekat denganku, sampai seperti tidak bisa menyelipkan selembar kertas diantara kami. "Sasuke." Suaranya berbisik lembut saat dia condong ke depan dan menekan ciuman yang lembut ke bibirku. "Ini malam terakhir kita di sini. Bersama."

Tubuhku nyeri dengan kenyataan yang ada. Ini memang benar. Kami kembali ke kehidupan yang biasanya besok malam. Aku tidak bisa menunggu siksaan ini berakhir, belum lagi mengetahui aku tidak memiliki Sakura yang berpura-pura menjadi pacar palsuku lebih lama lagi…

Itu menyakitkan. Lebih dari yang aku akui.

Meluncurkan satu tangan naik ke punggungnya, aku menyelipkan tanganku di bawah baju hangatnya sehingga aku bisa memeluk dan membelai kulit telanjangnya yang halus. Dia menggigil di bawah sentuhanku saat dia condong ke depan, rambutnya jatuh di sekitar wajah kami, bibirnya melayang-layang persis di atas bibirku. Aku tahu apa yang dia mau.

Aku mau hal yang sama.

Mengarahkan kepalaku ke belakang pada kepala ranjang, aku meraup tengkuknya dan menariknya, mulut kami bertemu dalam ciuman lembut, seakan-akan tidak mau pergi. Aku menyelinapkan lidahku keluar dan menjilat bibir atasnya, mengikuti tepi bibir bawahnya, menikmati rasa manis, yang kaya akan rasa. Erangan kecil lolos darinya dan aku menciumnya lebih dalam, menggenggam belakang kepalanya lebih kuat saat aku merampas bibirnya dengan lidahku.

Aku di kuasai kebutuhanku akan dirinya. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya dan ingatan malam kami bersama, membanjiriku. Saat dia dengan sangat tidak egois membawaku ke orgasme dan tidak pernah meminta apapun untuk balasannya. Aku ingin melakukan yang sama untuknya. Memberikan apapun yang dia inginkan, apapun yang dia butuhkan dariku. Aku ingin bersamanya, ingin melilitkan tubuh telanjang kami sepanjang malam.

Kami baru saja tertidur dari sore sampai tengah malam. Aku juga perlu memastikan, dia menginginkan ini. Menginginkanku…

"Apa kau lapar? Maksudku, kita baru saja bangun." Aku mengatakan ini setelah aku terpaksa memisahkan ciumannya, bibirku terasa gatal dan sudah ingin sekali untuk kembali pada bibirnya. Aku pikir aku mencoba memberinya kesempatan untuk pergi, aku tidak tahu. Ini sangat bodoh, tapi aku tidak ingin kami menjadi terlalu dalam kalau nantinya hanya membuatnya menjauh.

Aku tahu aku siap. Tapi dia? Apakah dia siap?

Menjauh dariku, dia mencari keliman baju hangatnya dan menariknya naik dan melebihi kepalanya, melemparnya ke lantai. Dia memakai bra putih yang sederhana, garis hiasan renda dan satin putih kecil yang menunduk di tengahnya. Sangat terlihat polos dan manis, meskipun pikiranku jauh dari hal itu, saat aku menatapnya, merenungkan bagaimana aku bisa melepas bra sialnya tanpa terlihat aku terlalu cepat bertindak.

"Aku lapar terhadapmu," dia berbisik, matanya bersinar, bibirnya bengkak berkilau dari ciuman kami. "Lepas kaosmu, Sasuke."

Tanpa keraguan aku meraih bagian bawah kaosku dan melepasnya, meninggalkannya di sebelahku di atas kasur. Pandangannya tidak pernah meninggalkan pandanganku saat dia membelitkan dirinya di sekelilingku, kakinya yang terbungkus legging memutar sekitar pinggangku, tangannya bergerak ke sekitar leherku. Dia menguburkan tangannya di rambutku dan aku menutup mataku, menyerap aromanya, aku merasakan tubuh hangatnya terasa sangat dekat pada tubuhku. Bagian atas tubuh kami kulit ke kulit, satu-satunya penghalang adalah branya, dan strukturnya, berkilau dan halus seperti satin, menggetarkanku lebih jauh saat dia menggosok dadanya padaku.

Saat mulut kami bertemu satu sama lain, emosiku meluap-luap untuk gadis ini. Aku sangat kecanduan berhubungan dengannya hari-hari terakhir ini. Sial, aku sudah sangat berharap hubungan semacam ini dengan seseorang selama bertahun-tahun, tapi selalu terlalu takut untuk benar-benar percaya di dalamnya.

Tapi sekarang aku percaya. Terima kasih untuk pacar semingguku.

Terima kasih untuk Sakura.

-Sakura-

Sasuke Uchiha benar-benar mempunyai tubuh laki-laki paling indah yang pernah aku lihat, dan aku malu mengakuinya, aku melihat lebih dari imajinasiku dari tubuh maskulinnya.

Aku sangat teralihkan oleh keberadaan mulutnya yang terkunci pada mulutku yang akhirnya aku patahkan, menjauh dari ciumannya, pertama-tama merasa lebih senang untuk mendapatkan semua otot dan uratnya yang terekspos. Terakhir kali kami bersama, kami di selubungi kegelapan. Terlalu takut untuk melihat satu sama lain karena kekawatiran yang sangat mungkin terlihat.

Sekarang aku ingin melihat semua. Semuanya. Aku ingin menatap ke dalam matanya saat pertama kali dia memasukiku. Aku ingin kami tetap berpandangan saat dia membuatku datang. Aku ingin mendengar dia membisikkan namaku saat dia datang…

Sebuah getaran bergerak melewatiku saat aku mendorong jariku menjejaki dadanya yang bidang, turun ke tangannya, melekat pada bisepnya yang keras berotot, meluncur pada rambut hitam dan lengan bawahnya. Dia tetap sangat tenang, tapi aku bisa merasakan mata panasnya padaku, melahapku saat aku dengan tekun berhasrat menemukan kepuasan sensualnya dengan tanganku. Aku menyentuh dadanya, ujung dari jari telunjukku menggelinding di putingnya secara serentak dan dia melompat kecil, membuatku tersenyum.

Tapi senyumku memudar saat aku menjadi bergairah dengan setiap lekuk dan alur dari perut ratanya. Aku memelankan pencarianku, membiarkan tanganku dengan lengkap memetakan otot perutnya dan aku merasakan ototnya gemetar di bawah sentuhanku.

Mengangkat kepalaku, aku menemukannya melihatku, alisnya terangkat, mulutnya membentuk setengah senyuman. Sejauh ini, ini adalah saat dia paling senang, yang aku lihat dari sore dia membawaku makan siang dan menciumku di jalan negeri dongeng, waktu hujan turun, dengan cahaya putih berkerlap-kerlip di sekitar kita.

Tanpa kata aku menekan bibirku padanya, menjaga mataku terbuka sampai daun matanya tertutup dan aku menemukan diriku jatuh begitu mudah pada pesonanya. Ciuman ini lebih lapar, lebih mendesak dan aku membiarkannya untuk memimpin, menikmati bagaimana dia meletakkan tangan besarnya di atas dadaku sebelum mengeser tangannya naik untuk menyentuh ringan tenggorokanku dalam sikap yang seluruhnya posesif, yang membuatku melayang-layang.

Tangan yang sama meluncur kembali ke bawah, jarinya turun di bawah melepaskan tali pengikat bra ku, mendorongnya lepas dari bahuku. Dia melakukan hal yang sama untuk tali yang lain, secara ajaib memindahkan braku dalam hitungan detik dan payudara telanjangku menekan ke dadanya, puting kerasku melawan kehangatan kulitnya.

"Aku menginginkanmu," dia berbisik di telingaku, mengirim getaran miring ke bawah ke tulang belakangku. "Sangat menginginkanmu, membuatku menderita, Sakura."

Aku suka dia menyebutkan namaku di saat yang bersamaan dengan nafasnya dia mendeklarasikan menginginkanku. Daripada tersesat dalam kegelapan atau buta oleh masa lalu, dia di sini. Denganku sekarang, menyentuhku dan menciumku, secara perlahan menggesekkan ereksinya padaku. Aku secara penuh terhisap olehnya, hilang ke dalamnya dan tidak ada tempat yang lebih baik daripada sekarang ini.

Dia menangkap pergelanganku dan menidurkanku di atas tempat tidur sehingga aku tidur telentang, dia menekan tangannya di samping kepalaku di kasur saat dia mencondongkan diri disekitarku, mulutnya tidak pernah meninggalkan mulutku. Di posisi ini, dia tidak sedekat yang aku inginkan, dan aku melingkarkan kakiku di sekitar pinggulnya, sangat ingin menariknya mendekat.

Memisahkan ciuman kami, dia menarik diri, menjauh dan meluncur turun di sepanjang tubuhku, tangannya membuka ikat pinggang legging hitam tipisku secara perlahan, dengan perlahan menariknya ke bawah, melepaskan celana dalamku. Aku bergetar, nafasku terlalu cepat dan aku menatap ke atas pada langit-langit, menggigit bagian dalam bibirku saat jarinya menyentuh pahaku, lututku, betisku saat dia melucutiku. Aku merasa nafasnya ada di pusat bagian tubuhku dan aku menutup mataku, kenikmatan membanjiriku saat aku merasa tangan besarnya mendorong membuka pahaku.

Dia menyelidikiku di bawah sana dan aku tidak tahu suatu hal untuk di pikirkan, untuk di katakan. Dia mengeluarkan nafas tidak teratur, tangannya mencengkeram pinggulku dan kemudian dia mencium dadaku, melarikan mulutnya ke seluruh payudaraku hingga aku merasakan lidahnya menjilati putingku.

Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Aku bukan seseorang yang tetap diam di tempat tidur, aku tidak pernah diam, tapi aku juga bukan orang yang sangat berisik saat berhubungan sex. Tapi sentuhannya, mulutnya di kulitku terasa sangat enak, aku melengkung ke arahnya dan berteriak keras. Aku berada pada perasaan sempurna yang berlebih, benar-benar telanjang dan terbuka dan aku tidak pernah terasa sangat cantik, di cintai. Sangat hidup.

"Kau sangat cantik," dia berbisik pada dadaku saat dia memuja dengan mulutnya. Aku menanamkan tanganku ke dalam rambutnya dan menahannya padaku, mengeliat di bawah mulut dan lidah sibuknya. Aku masih heran. Sejujurnya, aku tidak cukup tahu bagaimana kami sampai ke titik ini. Aku membencinya, penilaianku. Aku benar-benar melakukan ini untuk uang. Aku kira dia adalah orang brengsek yang kacau. Aku masih tetap berpikir dia seperti itu.

Tapi begitu juga aku. Dan dia sangat indah, sangat perduli, sangat mudah di sakiti. Kami dapat menjadi kacau bersama. Aku ingin menyembuhkannya. Aku tahu aku bisa menyembuhkannya.

Penyatuan tubuh kami ini adalah langkah pertama.

"Tunggu," dia bergumam. Aku membuka mataku dan wajahnya menatapku. Dia mencuri ciuman cepat dan memindahkan dirinya dariku, pergi dari tempat tidur. "Aku akan kembali."

Aku melihatnya pergi dan aku menutup mataku dengan kedua tanganku, mencoba usaha terbaikku untuk menenangkan jantungku yang berdebar, nafasku memburu dengan cepat. Tubuhku sangat mendukung, bergairah, tidak membutuhkan banyak usaha untuk mengirimku tepat mendekati orgasme. Aku bergetar, sangat penuh dengan adrenalin dan hasrat dan apapun emosi misterius lain yang beputar-putar dalam tubuhku. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Sama sekali.

Kenyatan ini membuatku sesak nafas.

Sasuke meluncur ke dalam ruangan beberapa menit kemudian, menutup pintu dan memutar kunci ke tempatnya. Aku melihatnya dalam diam saat dia berjalan mendekati tempat tidur dan meletakkan sekotak kecil kondom di meja samping tempat tidur. Aku beradu pandang dengannya, salah satu alisnya terangkat dan dia tersenyum.

"Kita bernasib baik. Ada sekotak dalam kamar mandi di bawah bak. Selalu di tempatkan di sana, seperti handuk dan sampo dan sabun. Membuat rumah samping ini tetap di tempati, seperti hotel kadang-kadang, aku bersumpah. Ayahku selalu mempunyai klien bisnis yang menginap di sini."

Huh. Yah, jika anggota keluarga Uchiha selalu punya tamu yang tinggal bersama mereka, paling tidak mereka menyediakan tempat yang aman.

Aku tidak bisa merenungkan soal kondom terlalu lama di pikiranku. Tidak saat Sasuke sibuk membuka kancing dan membuka jeansnya, membiarkan jeansnya jatuh dari pinggul untuk di tumpuk di lututnya sebelum dia menendangnya. Mulutku jadi kering saat melihatnya, bagaimana dia mengisi boxer katun hitam pendeknya dengan sangat sempurna.

Dan kemudian dia melepasnya juga, dan tanpa malu aku menatapnya, kagum pada bagaimana sangat besarnya dia dan bagaimana kemungkinan rasanya saat akhirnya dia menyatukan tubuhnya ke tubuhku.

Saat masuk, itu mungkin akan sakit. Semuanya terasa tiba-tiba, dan aku sangat takut.

Aku bisa membuktikan dia bisa merasakan perubahan moodku dan dia mencoba untuk membuatku tenang. Dia mendekapku dalam lengan kuatnya, menahanku dalam dekat. Aku menutup mataku dan mengubur kepalaku pada dada kokohnya, menghirup baunya yang bersih dan unik. Dia lembut, dia sabar tapi juga gigih dan segera setelah itu, kami berciuman, menelusuri tubuh satu sama lain dengan tangan yang aktif, bergulung di selimut seperti sepasang anak dalam permainan pertandingan gulat.

Tapi tidak ada yang main-main tentang laki-laki besar berotot menjepitku ke tempat tidur, tanganku terpisah di atas kepalaku, jarinya mengunci di pergelanganku saat dia menyelidikiku dengan mata hitamnya yang indah itu.

Dia menggunakan kondom beberapa saat lalu. Aku tahu dia siap. Aku siap. Tapi masih tetap gugup. Ini adalah titik balik di hubungan kami, tentang suatu hal kita tidak pernah bisa kembali lagi. Aku tidak akan melupakannya atau malam ini. Dia secara abadi menuliskan dirinya dalam sejarahku.

"Tidak akan ada jalan kembali," dia berbisik, seperti bisa membaca pikiranku.

Aku mengangguk perlahan, terlalu tidak berdaya untuk menemukan kata-kata.

"Sekalinya aku masuk ke dalam dirimu, kau adalah milikku."

Oh. Aku tidak pernah, sangat tidak pernah mengira mendengar laki-laki mengatakan hal yang begitu membuatku menggetarkan hatiku, begitu membuatku terangsang, tapi itu terjadi. Aku selalu mengira diriku sebagai orang yang mandiri. Tak berhubungan dengan siapapun.

Tapi gagasan membuat suatu hubungan dengan Sasuke, memenuhiku dengan begitu banyak kesenangan, aku takut aku mungkin meledak.

"Aku ingin kau jadi milikku, Sakura." melepaskkan pegangannya pada pergelangan tanganku, dia menurunkan kepalanya, mengecup pipiku, hidungku. Itu hal paling manis, perlakuan paling seksi dan aku merintih saat aku melingkarkan lenganku sekitar di lehernya dan menariknya mendekat.

"Aku ingin menjadi milikmu," aku menjawab dalam bisikan nafas. "Aku ingin bersamamu, Sasuke. Hanya denganmu."

Dia menciumku, pada saat yang sama meluncurkan tubuhnya ke dalam tubuhku. Inchi demi inchi, menghembuskan nafas bersamaan merasakan miliknya dan aku gugup, menahan nafasku saat dia memasukkan lebih dalam dan dalam lagi ke dalam diriku.

"Aku menyakitimu." Dia menekan ciuman cepat yang manis ke seluruh wajahku. "Santai. Bernafaslah."

Aku melakukan apa yang dia minta, mencoba usaha terbaikku untuk mengurangi ketegangan di perut dan hal itu jadi lebih mudah, Sasuke mendorong ke dalam. Seluruh tubuhnya tegang karena menahan, kulitnya tertutup dalam kabut tipis dari keringat dan aku menggerakkan pinggulku, memisahkan kakiku sedikit lebih lebar, mengijinkan dia untuk menenggelamkan diri lebih dalam.

Kami berdua mengerang atas sensasi dan mulai bergerak. Bersama. Sementara, pertama-tamanya, mempelajari ritme satu sama lain, menyesuaikan tubuh kita sampai jadi sinkron waktu berubah-ubah, di dalam gerakan yang mudah. Dia mengayun ke dalam diriku lebih keras. Lebih keras lagi, membuatku kehilangan pikiran bersama tiap dorongannya. Aku kehilangan diriku, otakku kabur, pikiranku terpisah. Semua yang bisa aku lakukan hanya menikmatinya. Gelombang yang luar biasa, mengancam, aku tahu aku hampir benar-benar sampai tapi lalu dia mengejutkanku.

Sasuke menarikku ke posisi duduk, punggungnya melawan papan ujung kasur, kakiku mengenai sekitar pergelangannya, lebih seperti posisi duduk kami sebelumnya, ketika kami masih berpakaian lengkap. Hanya saja sekarang, kami telanjang, baik fisik maupun emosional, tubuh kami terpaut, miliknya terkubur sangat dalam ke diriku, aku merasa seperti dia melekat di dalamku.

"Aku telah menyesatkan pikiranmu." Dia tahu aku dengan sangat baik. "Dan aku tidak ingin kau lupa dengan siapa kau bersama. Siapa yang membuatmu datang." Suaranya dalam, sangat dalam, seperti miliknya dan aku bergidik di sekelilingnya. Bersemangat oleh nadanya yang posesif, takut oleh kata-katanya yang manis.

Sasuke benar-benar membuka diriku, dengan tatapan, dengan kata-kata, dengan dorongan dari tubuhnya, dengan jilatan dari lidahnya. Setiap hal yang dia lakukan padaku sangat meluluhkan. Memabukkan. Memperbarui.

Setiap hal masuk ke dalam diriku.

"Aku tidak akan lupa dengan siapa aku datang," aku berbisik di bibirnya sebelum aku menciumnya. Tangannya mencengkeram pinggulku, menarikku turun dan aku bekerja dengannya, ingin sekali meledak, namun menunggu untuk melepaskannya sedikit lebih lama lagi.

Dia melengkungkan tangannya sekitar belakang kepalaku, jarinya menjerat rambutku dalam cengkraman yang kuat, nyeri. Tapi aku menikmati kesakitannya, bagaimana itu membuatku terasa hidup. Bagaimana berada dalam lengan Sasuke, menguburnya jauh ke dalam diriku membuatku merasakan.

Hidup. Di inginkan. Di cintai.

Dia menghembuskan namaku pada bibirku dan aku tahu dia sudah dekat. Begitu juga aku. Aku mengatur diriku dengan hati-hati, menggosoknya, mengayun di dalamnya dan aku terpecah dengan jeritan kecil, seluruh tubuhku bergetar. Dia bergetar setelahku, tubuhnya menggigil saat dia mengerang dalam perjuangan yang indah, lengannya mengepit pinggangku sangat erat, aku hampir tidak bisa bernafas.

Kami melekat satu sama lain dalam beberapa menit yang lama setelahnya, tubuh kami masih bergetar, nafas kami perlahan teratur. Aku tidak ingin membiarkannya pergi, aku tidak ingin membiarkannya keluar dari tubuhku dan aku tahu aku menjadi konyol.

Tapi aku tidak bisa mengontrol diriku. Sasuke Uchiha telah merubah aku selamanya, dan pemahaman itu sama-sama menguatkan dan menakuti diriku. Masih ada banyak hal yang aku tidak tahu.

Masih banyak yang aku butuhkan darinya untuk di ungkapkan padaku. Bagian menakutkan hidupnya yang takut untukku dengar. Tapi kenyataannya… bukankah mereka mengatakan kebenaran akan membebaskanmu?

Aku ingin membebaskan Sasuke dari penjara masa lalu yang membebaninya. Dan satu-satunya cara aku bisa melakukan itu adalah jika aku tahu apa yang terjadi.

Dan besok, aku putuskan untuk mencari tahu.

Aku harus menemukannya.

.

.

Hari ke-7 (keberangkatan), 09.00 pagi…

.

Rangkaian perjalanan cinta sejati tidak pernah berjalan mulus.

-William Shakespare-

.

-Sasuke-

Kami tertidur nyenyak, tubuh telanjang kami saling melengkung, punggungnya tepat di depan mukaku dan tanganku menangkup payudaranya. Dengan rambut wanginya di wajahku dan kakinya menjerat milikku, aku bangun dengan sekeras baja dan siap untuk mengambilnya lagi.

Itu yang aku lakukan.

Aku bercinta dengan Sakura 4 kali sejak tadi malam. Setiap kali lebih baik dari sebelumnya dan aku sangat jatuh, terpesona pada gadis ini, ini menyedihkan. Rasanya menakjubkan.

Dia akhirnya mendesak aku keluar dari kasur, memberitahuku kami butuh melanjutkan hidup dan dia benar. 4 jam berkendaraan di jalan pada hari kerja yang sibuk, aku tahu ini mungkin jadi lebih lama dari biasanya.

Tambah lagi, aku ingin kabur jadi aku tidak harus menghadapi Kurenai. Atau ayahku. Seberapa mengerikan itu? Aku menyayangi ayahku tapi hari ini… hari ini akan jadi hari yang berat untuknya. Dan aku tidak tahu apa aku bisa melakukan ini. Aku sebenarnya merasa bersalah, menjadi sangat senang hari ini–meskipun ini bukan tepat hari kematian Mirai, tapi cukup dekat dengan hari kematiannya– namun aku ingin mengusir perasaan itu.

Aku bosan merasa bersalah dan letih. Cemas dan malu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku hanya bercinta dengan gadis cantik sepajang malam dan aku ingin menikmati itu. Aku ingin bersamanya, menyentuhnya dan mengatakan betapa berartinya dia untukku, bukannya lari menjauh dan bersembunyi dari semuanya.

Sakura adalah orang yang terlalu baik untukku. Aku tidak akan pernah membiarkannya pergi.

Kami mandi bersama dan karena aku rakus, begitu juga dia. Aku meluncurkan jariku diantara kakinya dan hati-hati membawanya ke orgasmenya, mulutku melebur dengan mulutnya setiap saat, mengenyampingkan celahnya dan mengerang saat air hangat mengenai kami. Dan kemudian dia berlutut dan membawaku ke mulutnya, bibirnya membungkus sekitar kepala dari penisku, lidahnya memetakan setiap bagianku sampai aku datang dengan getar nafas yang keras.

Hal ini merupakan titik balik yang penting. Pengalaman masa laluku membuatku membenci blow job. Hanya karena mereka mengisiku dengan banyak perubahan ketika ingatan itu muncul. Rasa malu, rasa ngeri pada bagaimana mudahnya aku tunduk pada desakan seorang wanita bahwa apa yang kami lakukan tidak salah. Tidak ada yang memalukan.

Dia telah salah. Aku tahu apa yang telah kami perbuat tidak benar, namun aku tidak bisa mengontrol diriku, keinginanku, respon diriku untuknya. Dia tahu bagaimana untuk mendapatkanku dan aku benci itu.

Aku benci apa yang dia lakukan, karena itu merubahku. Permainan seksualnya, semua hal yang di lakukan untuk memikat untuk mengambil dan bercinta dan masturbasi dan mengekploitasi sampai aku kehabisan tenaga dan sakit sampai ke perutku. Lebih dari sekali setelah dia meninggalkanku, aku bermaksud bunuh diri. Tapi aku tidak bisa melakukan itu. Aku dulu terlalu takut, terlalu khawatir apa yang mungkin terjadi jika aku hidup setelah semua ini terjadi.

Jadi aku berubah menjadi kerangka. Sebuah robot yang hanya bergerak, menjalani hidupku, melakukan apa yang di harapkan dan bersikap baik-baik saja. Menjaga jarak pada setiap orang, mendalami sepak bola dan tidak ada yang lain.

Sampai gadis ini datang dan membangkitkan minatku. Mengejutkanku. Memabukkanku.

Menelanjangiku seluruhnya.

"Kau tak pernah puas," dia mengatakan padaku setelah kami saling menghanduki satu sama lain.

Kata-katanya membuatku beku. Kurenai mengatakan hal yang sama malam itu di Country Club. Kata-kata itu membuatku marah sekali, membuatku malu.

Sebanyak yang di lakukan kata-kata itu sekarang.

Senyuman surut dari bibir sempurna Sakura saat aku menatapnya, mencoba untuk mengendalikan kemarahanku di bawah kontrol. Aku tidak boleh kehilangan kontrol, tidak seperti ini. Tidak setelah menghabiskan malam yang paling sempurna di hidupku dengannya. "Ada yang salah?" dia bertanya.

Aku menggelengkan kepala dan keluar dari kamar mandi, menuju kamarku jadi aku bisa berganti. Aku sudah siap mengepak dan cukup siap untuk pergi, dengan menyimpan beberapa hal. Aku butuh untuk pergi dari sini, jauh dari rumah ini. Jauh dari hidup ini. Ini bukan sebagian diriku lagi dan aku bisa merasakan ini seperti sulur berduri yang berliku pada pikiranku, mencoba untuk menyelinap memasukiku dan tidak pernah mengijinkanku lolos.

Beberapa menit kemudian Sakura ada di kamarku, tergesa-gesa berpakaian, jeans nya belum terkancing, kaosnya di masukkan begitu saja. Dia menempatkan kaosnya dengan benar di sekitar pundak rampingnya, menawarkan pandangan sekilas kulitnya yang menggoda dan untuk sejenak aku teralihkan.

Tapi aku yakin pandangan menyelidikinya terkunci padaku dan dia tidak membiarkanku kabur. "Katakan apa yang salah."

"Aku hanya… siap untuk pergi." Itu jawaban yang cukup bagus. Jawaban itu harus cukup bagus.

"Ada sesuatu yang terjadi di belakang ini. Aku ingin tahu apa itu." Dia menyilangkan lengan di depan dadanya, hal yang tidak pernah aku lihat di lakukannya dalam beberapa hari ini, dan aku sadari itu bentuk pertahanan. Dia mencoba menjadi tangguh, menunjukkan bahwa dia tidak akan menyerah.

Baik, aku tidak akan menyerah juga. Kami tidak bisa mengobrol di sini. Sekarang. "Biarkan saja, Sakura. Ayolah."

"Tidak." Dia melangkah ke depan dan mendorongku tepat di dada dengan kedua tangannya. "Aku lelah berpura-pura tidak ada yang salah disini. Aku muak kau tiba-tiba sangat marah dan berhalusinasi liar, lalu mengatakan padaku kau baik-baik saja. Aku tahu kau masih berduka untuk adikmu. Aku tahu kau merasa bersalah atas kematiannya, dan aku mengerti. Tapi ada lebih dari itu, yang terjadi disini. Ada yang lain terjadi yang tidak kau katakan padaku. Dan aku benar-benar butuh kau memberitahuku, Sasuke."

Perlahan aku menggelengkan kepalaku, udara dari paruku semuanya keluar dalam sekali hembusan. "Aku–aku tidak bisa."

"Kau harus bisa." Dia mendekat untuk mendorong aku lagi dan aku menangkap pergelangannya, menghentikannya. "Aku perlu tahu. Bagaimana lagi aku bisa membantumu melewati semua ini?"

"Kau tidak ingin tahu, percaya padaku." Aku pergi darinya dan berputar mengambil tasku yang ada di atas kasur tapi dia menangkap tanganku, menyentakku sehingga aku menghadapnya sekali lagi.

"Jangan singkirkan aku. Aku disini untukmu. Setelah semua yang kita lewati, setelah apa yang kita bagi." Dia mendesah dan sesaat mendekatkan matanya, seperti jika dia benar-benar tak berdaya. "Aku buka tubuh dan jiwaku padamu, dan aku belum pernah, sama sekali belum pernah melakukan ini untuk siapapun. Jadi tolong, aku mohon. Ceritakan apa yang terjadi!"

Aku menatapnya, sangat menyedihkan untuk mengakui. Takut akan reaksinya. Aku membuka bibirku, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ini seperti seluruh dunia bertengger di dadaku, menghancurkan hatiku dan merubahnya jadi debu.

"Boleh aku menebak?" suaranya sangat lembut, aku condong ke dalam untuk mendengarnya. "Aku… aku punya dugaan. Bisa aku menanyakan pertanyaan dan kau menjawab ya atau tidak?"

Apa yang dia usulkan adalah jalan keluar yang pengecut. Dan aku mempertimbangkannya, aku cukup pengecut tiap kali menghadapi ini, ini satu-satunya jalan untukku.

Jadi aku mengangguk.

Dia menarik nafas dalam, dia melangkah mundur, bersandar pada meja rias di belakangnya. "Apa pun yang terjadi padamu di masa lalu, terjadi disini, iyakan? Tidak di rumah tamu tapi di sini, di rumah ini. Tidak di sekolah, tidak di tempat lain, benar?"

Aku menelan dengan sulit dan mengangguk sekali.

"Oke." Dia menutup bibirnya, matanya keruh, lebih seperti terlihat khawatir. "Aku pikir… ini ada kaitannya dengan Kurenai, bukankah begitu?"

Aku terdiam. Lumpuh. Aku ingin berkata iya. Ingin lari. Dugaannya begitu dekat. Sangat dekat untuk mengerti apa yang terjadi dan kemudian aku menyadari, dia mungkin memang sudah mengerti, dan aku sangat malu, aku ingin muntah.

"Iya," aku berkata dalam nafas tidak teratur, menggosokkan belakang tanganku lewat mulut. Aku yakin aku mau muntah.

Ada ketakutan di matanya saat dia melihatku. Simpati dan khawatir dan air mata, aku tidak ingin dia menitikkan air mata untukku. "Dia–dia memperkosamu, apa benar?"

Aku menggelengkan kepala, terkejut dengan pilihan katanya. "Dia tidak memperkosaku. Aku tahu persis apa yang aku lakukan dengannya."

Mulut Sakura ternganga. "Apa?"

"Kami punya hubungan asmara. Itu yang terjadi. Tidak ada pemerkosaan, dia tidak menyentuhku saat aku masih kecil. Dia mencoba mendapatkanku, menggodaku, aku terjebak padanya, dan kami punya hubungan rahasia selama beberapa tahun." Aku menghamburkan kata-kata terakhir keluar, sangat jijik dengan diriku, dengan susah payah aku menatap lurus. "Inilah Sakura. Inilah jawabanmu. Sekarang kau sudah tahu, apa yang kau pikirkan? Aku menjijikkan, kan? Menyelinap dengan ibu tiriku, memasukkannya ke dalam kamarku di tengah malam. Bercinta mati-matian dengannya lagi dan lagi. Dia selalu tahu bagaimana membuatku keras dan aku tidak mengerti bagaimana mudahnya dia mengontrolku." Aku gemetar, nafasku terputus-putus dari paruku dan gigiku bergemeretak. Aku tidak percaya aku baru saja mengatakan semua itu. Aku mengatakan padanya semuanya. Semuanya.

Sakura hanya berdiri di sana menganga padaku, matanya masih banjir dengan air mata. "Saat–saat kau umur berapa ini pertama kali terjadi?"

"Hampir 15 tahun." bergairah bagai kesetanan juga. Kurenai tahu itu. Dia cantik, misterius. Dia merayuku, bermain-main denganku dan aku merespon. Dia hanya 11 tahun lebih tua dariku, dia memberitahuku kami melakukan lebih dari yang biasa dia dan ayahku lakukan, dan dia menyelinap ke kamarku di tengah malam, menyentuhku. Memberikan oral, membuatku datang dengan sengat keras, aku kira aku akan pingsan.

Aku masih muda, penuh dengan hormon dan hasrat untuk bercinta. Terus-menerus. Dan meskipun aku punya rasa malu dan benci untuk aku dan dirinya, diam-diam aku menginginkan dia untuk melepasku. Mencari perhatiannya karena untuk sesaat, aku merasa di inginkan, berhasrat, di cintai.

Dan kemudian, saat dia meninggalkanku sendiri dalam kamarku, aku malu. Jijik. Penuh kebencian untuk dia dan diriku sendiri. Untuk ayahku, yang benar-benar buta akan semuanya. Untuk ibuku, yang meninggal ketika aku kecil dan tidak ada di sini untuk melindungiku.

"Kau masih anak-anak dan dia mengambil keuntungan darimu, Sasuke. Tidak ada hubungan rahasia antara dua orang yang di anggap dewasa, ibu tirimu memperkosamu." Suaranya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar, sebanyak tubuhku, dan lalu dia melakukan hal yang paling gila.

Dia lari padaku dan memelukku, menahanku sangat erat, seperti dia tidak akan pernah membiarkanku pergi. Dia menangis, terisak dalam kaosku dan aku perlahan meluncurkan tanganku padanya dan menahannya dalam dekat. Aku tidak punya air mata, tidak ada kesedihan yang mendatangi diriku. Aku tidak beremosi. Kosong. Aku pikir aku mungkin syok.

Aku baru saja mengakui sisi tergelapku, rahasia terkotorku dan Sakura tidak lari. Dia tidak tertawa, dia tidak mengolokku, dia tidak menyalahkanku.

Untuk sekalinya dalam hidupku, aku seperti merasa, akhirnya menemukan seseorang yang mengerti aku.

.

.

-Sakura-

Aku tahu itu, sebanyak aku tidak ingin menghadapinya, aku tahu masalah berakar dari Kurenai. Satu minggu berjalan dengan lambat, ada petunjuk dan lebih banyak lagi yang tampak dan dugaanku terus tumbuh.

Dan sekarang hal itu sudah di tegaskan.

Kebencian memenuhiku, dengan sangat kuat membanjiriku, aku pusing dengan itu. Aku benci apa yang telah di lakukan perempuan itu pada Sasuke. Bagaimana dia terus menyiksa Sasuke. Dia menjijikkan. Dia si brengsek, pemerkosa anak yang seharusnya di penjara, atas nama kasih Tuhan, bagaimana dia mengambil keuntungan dari Sasuke.

Aku membencinya, sangat membencinya.

"Kita harus pergi," aku berkata di dadanya, suaraku bergumam. Aku menarik diriku sehingga aku bisa menengadah menatap dirinya, memperhatikan bahwa wajahnya benar-benar tanpa emosi. Dia dalam mode robot dan aku tidak bisa menghakiminya karena biasanya dia menggunakan itu lebih seperti mekanisme pertahanan.

Sesaat setelah kami menginjak rumah, aku mengatakan padanya, dia perlu pergi ke ahli terapi professional. Mengeluarkan apa yang terjadi padanya dari pikiran penuhnya. Tidak berarti dia bisa membiarkan pengalaman masa lalunya pergi begitu saja dengan baik, tapi dia paling tidak bisa berbicara pada seseorang. Mencari bantuan sehingga dia bisa lebih baik menghadapi semuanya.

"Sasuke." Aku menguncang lengannya dan matanya fokus padaku sekali lagi. "Kita harus pergi. Sekarang."

"Kau benar. Ayo pergi."

Aku lari ke kamarku dan melemparkan semuanya ke dalam tas, lalu menutup resletingnya. Aku menyambar dompetku, baju hangat lengan panjangku yang akan aku pakai dan menatap sekilas pada ruangan, memastikan tidak meninggalkan sesuatu.

Sebenarnya tidak perduli jika aku meninggalkan sesuatu. Aku sangat ingin keluar dari sini, dan sangat tidak perduli dengan yang lain.

Aku menunggu Sasuke di ruang tamu, tetap mengawasi keluar jendela, tatapanku kosong pada rumah utama. Mereka belum pergi untuk apapun yang mereka rencanakan, untuk di lakukan pada acara berkabung kematian Mirai. Aku melihat Range Rover di pakir di jalan masuk rumah sepertinya ayahnya Sasuke mengeluarkannya lebih awal untuk persiapan. Paling tidak mobil itu tidak menghalangi truknya Sasuke.

Terima kasih Tuhan.

"Apa kau mau berpamitan pada ayahmu?" aku bertanya saat dia datang masuk ke ruang keluarga, tasnya di sandangkan pada pundaknya, ekspresinya masih agak kosong.

Dia dengan perlahan menggelengkan kepalanya. "Aku akan mengirim pesan padanya. Apa mereka belum pergi?"

"Belum." Panik nyata-nyata ada dalam suaraku dan aku berdehem, terganggu oleh diriku sendiri. "Sasuke, aku tidak berpikir ide yang bagus jika kita pergi ke sana…"

"Aku juga berpikir itu bukan ide yang bagus," dia menginterupsiku.

Kelegaan menjalar melewatiku dan kami keluar menuju truknya dengan langkah terburu-buru, gerak-gerikku kalut dan tanpa jeda saat aku melemparkan tas ke dalam tempat duduk belakang di kabin tambahan. Dia naik ke dalam truk bersamaan denganku dan serentak kami mengempaskan pintu, Sasuke memasukkan kunci dalam starter.

Kami hampir keluar dari sini, aku bisa merasakannya. Aku tidak pernah merasa sangat bahagia karena meninggalkan suatu tempat seperti yang aku lakukan saat ini.

"Sasuke!"

Aku sentakkan kepalaku ke kiri, melihat tidak percaya saat Kurenai berlari mendekati truk, berhenti pada sisi pintu pengemudi. Dia mengetuk kaca dengan kepalan tangannya, berteriak agar Sasuke menurunkan jendela dan Sasuke menatap padanya, tangan Sasuke sudah berada di gigi persneling, siap untuk memundurkan truk.

"Jangan lakukan itu," aku bergumam. "Jangan buka jendela. Dia tidak pantas mendapatkan perhatianmu lagi, Sasuke."

"Bagaimana jika dia memberitahu ayahku?" suaranya kecil, dia terdengar seperti anak kecil dan hatiku sangat pedih untuknya. Kesedihannya menjadi kesedihanku.

"Siapa yang peduli? Kau tidak salah dalam situasi ini. Dia yang bersalah."

Masih dengan menundukkan kepalanya, dia bergerak maju dan menekan kuat kenop sehingga jendela pelan-pelan terbuka. "Apa yang kau inginkan?" dia menanyai Kurenai dengan dingin.

"Hanya… tolong ikutlah dengan kami. Aku ingin kau di sana, Sasuke." Dia menyorotkan tatapan dingin, tajam yang singkat padaku dan aku balas menatapnya. Sama dingin, sama kerasnya.

Aku ingin menyakitinya, aku sangat membencinya.

"Aku sudah mengunjungi makamnya kemarin. Aku sudah memberikan penghormatan pada adikku. Hal apa lagi yang kau inginkan dariku?" suaranya seperti es, sedingin pandangannya yang di lemparkan pada Kurenai dan Kurenai benar-benar tak menghiraukan hal itu.

"Ada banyak hal yang tidak kau tahu dan aku–aku perlu memberitahumu. Secara pribadi. Ini penting Sasuke, tolong."

"Berhenti memanggilnya seperti itu." Aku tidak mengontrol ini, aku harus membuatnya berhenti. Aku tidak tahan caranya mengatakan nama Sasuke.

"Itu namanya." Suaranya datar. "Dan siapa kau, anak sialan, yang memberitahuku apa yang harus aku lakukan?"

"Jangan bicara padanya seperti itu." Suara rendah Sasuke memperingatkan, tapi tetap saja tidak terlihat berpengaruh pada Kurenai.

"Dia bukan siapa-siapa, Sasuke. Tak berharga. Kenapa kau menghabiskan waktu dengannya? Apa dia hebat di ranjang? Apa dia melebarkan kakinya untukmu secara berkala dan itu kenapa kau tetap bersamanya?" Kurenai terdengar nyata-nyata tidak rasional. Aku menolak untuk mengijinkan hinaannya mempengaruhiku apapun itu.

Dia sangat tidak pantas menghinaku karena apa yang dia lakukan pada Sasuke, dia pantas untuk membusuk di neraka.

"Paling tidak aku tidak memperkosa anak-anak," aku bergumam di bawah nafasku.

Tarikan nafas terkejut yang aku dengar dari Kurenai jelas mengindikasikan aku tidak bergumam cukup pelan. "Apa yang kau katakan, pelacur?"

Sial, aku masuk kedalam masalah ini sekarang.

"Dia tahu, Kurenai," Sasuke menyela kasar. "Dia tahu semuanya."

Ketenangan yang membebani, menggantung di sekitar kami bertiga mendekati menyakitkan. Aku tidak mampu melihat Kurenai. Aku tetap berfokus pada lututku yang bergetar, mencoba usaha terbaikku untuk menjaga nafasku tenang dan terkontrol. Aku melirik sekilas Sasuke, melihat menggeretakkan rahangnya, caranya mencengkram setir kemudinya sangat erat, buku jarinya memutih.

"Baiklah." Suara Kurenai mencicit dan dia batuk kecil. "Jadi. Kau memberitahu padanya semuanya, hmmm? Dia tahu tentang hubungan cinta kecil kita?"

"Memperkosa bocah berumur 15 tahun sangat berbeda dari mempunyai hubungan cinta." Aku menjepit, mengunci mulutku dan menutup mataku. Ibuku selalu mengatakan mulut besarku akan menempatkanku dalam masalah.

Aku tebak dia benar.

"Baik, kau mau dia tahu semuanya, lalu aku malah akan terus maju dan mengatakan padamu, tentang apa yang ingin kukatakan secara pribadi, di depan pelacur bermulut besarmu." Suara Kurenai manis dan ringan, sangat mengerikan, aku tak bisa melakukan apa-apa kecuali mengangkat kepalaku dan melihatnya.

Aku tidak suka apa yang aku lihat. Ada kekejaman yang berpijar di matanya dan bibirnya melengkung ke atas membentuk senyum menyeramkan. Kurenai jelas dalam hampir kehilangan kewarasannya.

"Kita harus pergi," aku berbisik pada Sasuke dan tanpa kata-kata dia menyalakan mesin.

"Tidakkah kau ingin mendengar apa yang harusku katakan padamu?" Kurenai bertanya dalam suara nyanyian menyeramkan.

"Tidak juga." Pandangan Sasuke beralih pada setir kemudi.

"Sayang sekali. Karena ini tentang Mirai."

Dia menoleh untuk menatap Kurenai, seperti yang aku lakukan. "Ada apa dengan Mirai?"

"Aku sudah sangat lama mencoba memberitahumu, hanya waktunya tidak pernah tepat. Tapi kau perlu tahu. Aku selalu merasa ini kebenarannya… aku tidak yakin. Bagaimanapun sekarang aku tahu ini benar. Tanpa keraguan, aku tahu."

"Katakan saja, Kurenai."

Perutku terasa teraduk saat aku menunggu. Ketakutan membuat telapakku basah dan aku menggenggam lututku, sangat menakutiku atas apa yang di katakannya.

"Mirai bukan adikmu, Sasuke." Kurenai berhenti sejenak, senyum menghancurkannya di arahkan padaku. "Dia anakmu."

.

.

.

TBC