disclaimer © Fummy
warning (berusaha untuk) canon, mungkin OOC, miss EBI, typo(s), diksi menyedihkan, death chara(s), plotless, semacam alternate ending.


"Vi-Viola-chan, aku ... sebentar lagi aku akan mati …."

Viola terkejut. "Ke-Kenapa kamu bicara begitu?!"

"Penyakitku ... semakin parah, Viola-chan ...," lirih Ellen. Kedua matanya menyipit, meringis. "Apa ... aku bisa meminta sesuatu pada Viola-chan?"

"Tentu saja! Kita kan teman!" seru Viola tanpa berpikir dua kali. "Apa yang kamu inginkan?"

"Besok ...," Ellen sengaja mengambil jeda sebelum menjawab, "aku ingin ... meminjam tubuhmu ... satu hari saja … bolehkah ...?"


"Aku sangat senang, Viola-chan! Terima kasih! Terima kasih!" Ellen berputar satu kali dengan kedua tangan mengangkat ujung gaun. "Lihat ini, Viola-chan, sekarang aku ada dalam tubuhmu!"

"Sakkh ... kit …!"

Ellen melompat, menari-nari kecil dengan tubuh barunya, belum terbiasa karena postur tubuh Viola lebih tinggi darinya. Kesepuluh jarinya bermain petak-umpet dalam helaian-helaian rambut pirang. Tersenyum cerah dengan pipi bersemu merah bahagia, Ellen menatap Viola yang kini ada dalam tubuhnya.

Keduanya adalah teman baik. Viola sering mengunjungi rumah besar milik Ellen dalam hutan. Ellen memiliki suatu penyakit langka sehingga dia tak bisa meninggalkan tempat tinggalnya. Di satu waktu, Ellen bercerita mengenai warga yang membencinya sehingga berakhir dengan dirinya yang terkucilkan di dalam hutan ini.

Viola adalah gadis berhati baik. Meskipun sudah dilarang masuk ke hutan oleh ayahnya, Viola tetap saja bersikap kepala, skeptis dengan rumor mengenai manusia-manusia yang menghilang di dalam sana. Dia hanya ingin mengunjungi rumah temannya yang sakit dan kesepian, dia hanya mau menjadi teman yang baik bagi Ellen, dengan selalu ada di sisinya setiap saat.

Karena kebaikannya, Viola secara gamblang setuju dengan permintaan Ellen yang ingin meminjam tubuhnya untuk satu hari saja. Ellen ingin merasakan bagaimana indahnya dunia luar, menari di tengah taman bunga, serta ... ingin mengetahui bagaimana rasanya dicintai orangtua. Viola begitu iba akan impian kecil Ellen, maka dari itu dia menyetujuinya. Hanya satu hari, itu tidak akan menjadi masalah.

Seringkali Viola bercerita mengenai ayahnya yang keras namun sangat menyayanginya. Ibu Viola telah lama meninggal, Ellen tak tahu kapan pastinya, karena Viola tak menjelaskannya lebih jauh. Semua itu berbanding terbalik dengan kehidupan keluarga yang ingin sekali Ellen lupakan.

Maka dari itu, Viola adalah orang yang sempurna untuk dijadikan tumbalnya.

"Viola-chan, apa kamu kesakitan?" tanya Ellen. "Sebentar, akan kucarikan obat penghilang rasa sakit yang biasa kuminum."

Ellen mencari-cari, menyusuri inci demi inci kamarnya. Sebuah botol diberikan kepada Viola yang langsung Viola tegak hingga bersisa. Rasa sakit yang Viola rasakan pada mata dan kaki dalam tubuh Ellen, semakin diperparah rasa panas dan terbakar yang menyerang esofagusnya, merusak pita suaranya hingga Viola tak mampu berbicara.

"Oh Viola-chan, sayang sekali itu bukan obat rasa sakit. Itu adalah ramuan untuk membakar kerongkonganmu." Anak dalam tubuh tiga belas tahun itu tersenyum miring. "Terima kasih banyak, Viola-chan! Kamu memang sahabat yang sangat baik!"

"Uhh …," erang Viola dalam sakitnya.

Ellen meninggalkan kamarnya, membiarkan Viola di dalam sana seorang diri, dalam tubuh lama Ellen yang dua kakinya telah dipotong, dua bola matanya yang telah dicongkel, serta kerusakan parah pada kotak suaranya. Ellen sengaja melakukannya sebelum Viola datang sesuai jam yang dijanjikan, agar Viola tak dapat melihat, tak dapat bergerak mencari bantuan, dan juga berbicara.

Tentu saja Viola terkejut dengan penampilan Ellen sebelum bertukar posisi, tetapi Ellen terus mengungkit janji yang tak bisa Viola ingkari. Rasanya memang sakit, Ellen tahu itu, karena bagaimana pun dia merasakannya sendiri sebelum akhirnya sihir mengubah takdir mereka berdua.

Sebelum menutup pintu kamar, Ellen sempat melihat Viola yang jatuh dari tempat tidur, kedua tangan mengambil alih tugas kaki yang kini diseret-seret, bergerak dengan perlahan sambil sesekali mengulurkan tangan kirinya, meminta Ellen mengembalikan tubuhnya secara isyarat.


Ellen berjalan dengan melompat-lompat riang, melewati pohon demi pohon yang membatasi mansion miliknya dan dunia luar. Jalinan bunga mawar membentuk sebuah dinding yang sama tinggi dengan Ellen dalam tubuh Viola. Pastilah Viola yang melakukan ini karena tidak terima dipermainkan. Beruntungnya, Ellen sempat membawa botol ramuan yang langsung mematikan bunga-bunga mawar tersebut kurang dari satu menit.

Seberkas sinar menyerang korneanya. Ellen mencoba untuk membiasakan dirinya dengan dunia barunya, dunia yang berbanding terbalik dengan rumah bercahaya minim. Hangat, Ellen tersenyum kecil. Begitu bahagianya dia saat impiannya—yang selama ini dia kira mustahil terwujud—bisa menjadi kenyataan.

Sekalipun dia harus mengkhianati sahabatnya sendiri.

Mana mungkin dia mau melepas kesenangan ini begitu saja, bukan?!

"Viola!" Suara bariton menyebut namanya. Ellen bahkan belum sempat menyusun kalimat balasan saat pria paruh baya itu telah berada di depannya. "Syukurlah Ayah menemukanmu! Dasar nakal! Sudah berapa kali Ayah memperingatimu untuk tidak datang ke sini?!"

"M-Maaf Ayah, aku ... hanya khawatir dengan temanku ...," lirih Ellen palsu.

"Kau begitu menyayangi temanmu, ya?" Ayah Viola menepuk-nepuk kepala buah hatinya, memberikan seulas senyum. "Kamu sendiri pernah bilang ingin mengajaknya tinggal bersama kita, bukan? Kamu bercerita bahwa dia punya penyakit sampai dia tak bisa bergerak, tapi kamu juga bilang dia tinggal sendiri, bagaimana bisa?"

Iris hijau yang kini Ellen miliki mengerjap dua kali. Viola ... ingin mengajaknya tinggal bersama? "A-Aku …."

Ayah Viola memotong jawaban Ellen dengan hipotesisnya. "Ah, Ayah paham. Kamu selalu datang untuk membantunya, bukan? Kamu memang anak Ayah yang sangat baik. Mungkin kita bisa menerima temanmu itu dalam keluarga kita. Akan Ayah coba carikan dokter untuknya."

Detik itu juga, waktu bagi Ellen terasa seperti berhenti berlari.

Mengapa? Mengapa dia tiba-tiba saja merasa sangat ... sedih dan terpukul? Mengapa dia menyesali ini, padahal dia sudah mendapatkan yang dia inginkan? Mengapa dadanya kini sesak dan matanya ingin sekali meneteskan air—?

"Vi-Viola, kenapa kamu menangis? Ada a—Viola! Ke mana kamu mau pergi?!"

Ellen berlari tak tentu arah, membiarkan kedua tungkai yang sebenarnya bukan miliknya itu menentukan jalan mereka sendiri. Iris hijau berkaca-kaca, lelehan produk netranya tak mau berhenti mengalir. Suara ayah Viola masih mencapai indra auralnya, namun Ellen tak menghiraukannya.

Apa yang sebenarnya telah dia lakukan?!

Selama hidupnya yang tak pernah lagi Ellen hitung, sudah banyak orang-orang yang Ellen jadikan teman dengan mempertemukan mereka dalam jebakan sihir. Viola adalah korban terakhirnya, korban yang diperlukan sebagai media untuk mengabulkan keinginan terbesarnya.

Viola memiliki tubuh yang sehat, sementara dia tidak. Viola begitu dicintai ayahnya, sementara dia tidak. Viola memiliki kebebasan, sementara dia tidak. Viola adalah teman yang baik, sementara dia ...—

"Hiks hiks ... huk ... sniff sniff …."

—tidak.

Jika dia tidak sakit, maka tidak akan ada orang yang menghinanya maupun mengasihaninya. Ellen hanya ingin dihargai seperti bagaimana manusia normal. Akan tetapi, nyatanya bahkan kedua orangtuanya pun tak bisa melakukan itu untuknya. Apakah dia jahat dengan membunuh banyak orang demi merealisasikan keinginan kecilnya?

Sampai kala itu, Viola datang, merangkai asa bersama Ellen untuk menjadi sahabat selamanya, meski tak mengetahui hati busuk bernanah milik gadis berusia ratusan tahun, yang terjebak dalam fisik berumur tujuh tahun—tahun terakhirnya sebagai manusia sebelum akhirnya menjadi seorang penyihir, dengan menandatangani kontrak iblis. Ellen hanyalah anak kecil yang sudah muak dengan klisenya kehidupan, orang datang dan pergi hanya untuk menyakitinya, membuat Ellen berakhir dengan melakukan hal yang sama, yaitu menumbalkan mereka sebagai makanan untuk iblis.

Seharusnya Ellen sadar, Viola itu berbeda. Dia bukan teman yang seperti itu!

Perkataan ayah Viola telah membuka visi Ellen. Mengenai ketulusan, kebaikan hati, serta kasih sayang. Semua yang sudah lama tak pernah Ellen dapatkan, sehingga Ellen dengan mudah melupakannya. Ketika pada akhirnya Ellen direngkuh itu, Ellen justru mengotorinya dengan pengkhianatan keji. Bukankah itu yang selama ini Ellen inginkan—berharap dicintai orang lain? Jika Ellen sudah mendapatkan itu meski dia sakit-sakitan, tidakkah impian terbesarnya sudah terwujud?

Lantas, mengapa Ellen menuntut lebih? Sejak kapan ... semua ini menjadi salah?

"Huhuhu ... huhuhu …."

Ellen jatuh dengan posisi berlutut. Tanpa sadar, Ellen kembali ke mansion miliknya yang kini terlihat sepuluh kali lebih gelap. Bergegas, Ellen menghapus air matanya dengan kasar, bangkit dan berlari memasuki gedung tua itu, berusaha mencapai kamarnya yang letaknya kini mengalami distorsi. Ada banyak perangkap yang Ellen tak ingat kapan dia pernah memasangnya.

Sampai pada akhirnya, Ellen berhasil memasuki kamarnya. Di sana, Viola menyeret tubuhnya yang mengerikan, mendekati Ellen dengan dendam dan penuh kebencian.

"Aku memenuhi janjiku, Viola-chan," lirih Ellen, "untuk meminjam tubuhmu satu hari saja. Terima kasih, aku ... Viola-chan sudah menjadi sahabat yang baik untukku."


tamat


Sudut penulis :

Fiksi ini ditulis setelah menamatkan RPG game ini. Oh Tuhan, ending-nya! ENDING-NYAAAAAA! QwQ

Apalagi pas baca komiknya—UARGH PLS, BOTH ELLEN AND VIOLA DIDN'T DESERVE THIS!

Akhirnya muncul fiksi gaje ini, haha, maafkan! Hanya sebuah tulisan dari seorang author yang tidak terima nasib tragis Viola :")) t-tapi, menurut Edel, Ellen ngga salah ... /lalumojok

Terima kasih yang sudah menyempatkan diri untuk membaca ini! Ciao~!

~himmedelweiss 24/05/2020