Sepi...
Saat jauh kupandang, semuanya sudah sirna. Sayup-sayup suara angin yang berhembus pun begitu cepat berlalu tanpa singgah untuk sedikit membisikkan kata-kata ajaibnya. Meski begitu, rasa sejuk yang fana itu sedikitnya membukakan mataku bahwa dunia itu memang luas untuk diarungi.
Namun, aku masih belum tau apa tujuanku dan untuk apa aku hidup. Apakah aku akan benar-benar mengejar angin yang telah meninggalkanku? Apakah aku hidup hanya untuk ditinggalkan dan mati dalam kesendirian?
Hembusan angin yang kuat menerbangkan dedaunan dan kelopak bunga ke atas sana, menggapai langit tak terbatas. Dari ujung padang bunga yang terhampar, kulihat diriku sendiri tengah berdiri dengan dikelilingi bunga-bunga berwarna merah dan kuning. Dalam balutan gaun tidur berwarna putih, kulihat langit cerah di atas sana.
"Chise," suara itu menggema di tengah padang bunga. Suara yang sudah kukenali dengan baik, namun entah kenapa juga terasa asing bagiku.
"Chise," suara yang terdengar begitu dalam itu kembali terngiang. Aku pun menoleh, dan terpaku pada sosok bertubuh besar dengan kepala tengkorak serigala yang bertanduk. Sosok itu berdiri di sisi lain padang bunga, menatapku dengan hangat. Ya, aku bisa merasakan kehangatannya.
"Eli... as?" Seiring namanya kugumamkan, perlahan ia mulai bergerak mundur. Jarak kami semakin merenggang. Semakin kukejar, dirinya semakin menjauh. Degup kencang jantungku semakin terasa.
"Elias!"
...
"Chise?"
Ruth dalam wujud anjingnya berdiri di samping tempat tidurku, menatapku cemas. Saat mata kami saling bertemu, bisa kutebak ia mengetahui apa yang baru saja kumimpikan.
"Selamat pagi, Ruth." Gumamku pelan.
"Selamat pagi. Kau tidak apa-apa?"
Aku mengangguk perlahan dan mencoba tersenyum. "Ya. Jangan khawatir."
"Kalau begitu sebaiknya kau cepat turun. Sarapan sudah siap sejak tadi." Ucap Ruth. Ia pun berjalan ke luar ruangan.
Aku menengok ke luar jendela. Cahaya mentari memang sudah bersinar dengan terang di luar sana. Meski aku masih bisa merasakan kehangatan pagi hari, namun ini sudah lebih dari waktu ideal untuk bangun tidur.
Aku bergegas mengganti baju dan menyusul Ruth ke dapur.
Aroma manis sirup mapel bercampur aroma gurih dari bacon yang masih berada di atas penggorengan mempercepat langkahku menuju dapur. Silky yang masih sibuk di depan kompor langsung menoleh tatkala mendengar suara langkah kakiku.
"Selamat pagi, Silky. Maaf aku terlambat." Ucapku.
Si perak itu hanya tersenyum tipis, lalu kembali berkutat dengan olahan makanan yang berada di hadapannya.
Aku pun berjalan mendekati meja makan dan segera menyiapkan teh.
Cahaya matahari pagi dan kepulan asap dari teko teh yang baru dituangi air panas membuat keadaan di dapur pagi ini terasa hangat, seperti biasa. Aroma rosemary yang kucampurkan pada teh Earl Grey hadiah dari London pun sedikit menenangkanku. Hanya saja, aku sedikit resah saat aku menyadari dia belum muncul sejak tadi dan menyapa kami di dapur seperti biasanya.
"Silky, dimana Elias?" Tanyaku pada Silky yang hampir selesai memasak.
Silky menatapku dengan tatapan cemas. Ia memejamkan matanya untuk sekejap, lalu menggeleng perlahan.
Kulangkahkan kakiku menuju ambang dapur, dan kudongakkan kepalaku ke arah tangga kayu yang terlihat sepi itu, seakan menerawang sesuatu --lebih tepatnya seseorang- yang berada di atas sana, yang mungkin saja sedang berjalan turun menuju dapur untuk sarapan. Namun, tidak ada siapapun di sana. Tidak ada yang datang.
"Chise?" Ruth memanggilku dari meja makan, dengan mulutnya yang sudah dipenuhi oleh bacon dan telur mata sapi.
Kulirik Silky yang sedang menyiapkan makanan di atas meja. Mata beriris merah mudanya yang berkilau menatapku tajam, seolah memaksaku untuk segera kembali ke meja makan dan menyantap hidangan yang sudah ia siapkan. Tanpa berkata apapun lagi, aku menurut dan langsung menikmati sarapanku.
Hidangan yang dibuat Silky selalu terasa lezat. Aroma lelehan mentega yang masih kentara di permukaan telur mata sapi dan bacon buatannya masih tercium gurih. Aroma sirup maple manis yang menyelimuti wafel yang masih panas pun begitu manis menguar, memanjakan hidungku.
Hanya saja, ada sesuatu yang membuat seakan angin berhembus dan menurunkan suhu hangat pada semua makanan di atas meja.
Dia yang biasanya menyapaku di meja makan kini bahkan tidak menampakkan ujung tanduk di atas kepala belulangnya. Suara yang terasa dalam namun ramah itu tidak terdengar di seluruh penjuru rumah. Jika bukan Silky yang menahanku di meja makan, mungkin aku sudah berlari menghampiri dirinya, dimana pun ia berada.
"Ada apa, Chise?" Tanya Ruth, membangunkanku dari lamunan, "Kau tidak memakan makananmu."
"Ah, tidak. Hanya saja, aku penasaran kemana perginya Elias." Jawabku. Aku pun mulai meraih pisau dan di atas meja, merobek telur di atas piring hingga lelehan lembut berwarna kuning di pusat telur itu pecah dan melumer.
Ruth memasukkan semua sisa makanan di piringnya ke dalam mulut. "Sejak tadi aku tidak melihat dia keluar dari kamarnya."
"Kalau begitu," aku berdiri dan segera menyiapkan makanan dan set teh, "aku akan pergi ke kamarnya."
Sebuah sentuhan lembut terasa melingkari pergelangan tanganku. kulirik Ruth yang memegangi tanganku dengan tangannya yang masih terasa agak dingin. Ia menatapku dengan tajam.
"Ada apa?" Tanyaku.
Ruth mengalihkan pandangannya pada Silky yang terlihat kesal dengan wajah lucunya. "Pertama-tama, habiskan dulu makananmu."
"Ah... iya."
~ooo0ooo0ooo~
Udara sesak nan berat itu kembali menyelimutiku dalam angan. Sesaat sebelum kakiku menginjak lantai atas, udara dingin yang entah dari mana datangnya terasa sangat menusuk. Nampan dengan set teh dan sarapan yang kubawa untuk Elias terlihat sedikit bergetar akibat tanganku yang tak bisa memegangnya dengan kokoh. Entah kenapa aku merasa takut.
Aku menghela nafas. Aku pun berusaha untuk tetap tersenyum, dan berjalan dengan langkah santai menuju kamar Elias.
'tok... tok...' kuketuk pintu kamar Elias yang tertutup rapat. Aku tidak bisa mendengar suara apapun dari dalam. Kucoba untuk mengetuk sekali lagi.
"Elias, aku membawakan sarapan untukmu" ucapku tenang.
Masih belum ada jawaban, dan aku pun mulai cemas.
"Elias?"
"Ah, Chise," suara Elias terdengar menggema dari dalam sana, "maaf, aku sedang tidak enak badan. Bisakah kau kembali lagi nanti?"
Entah kenapa aku merasa ucapan Elias terdengar seperti sebuah omong kosong, dan entah kenapa juga aku merasa sedih.
Semuanya terasa seperti beberapa waktu yang lalu, setelah insiden di pemakaman. Tubuh Elias menjadi tidak stabil setelah ia bertarung dengan Cartaphilus dan chimeranya. Saat itu ia tidak keluar dari kamarnya selama beberapa hari dan membuatku sangat khawatir.
Meski pada saat itu...
"Elias," bibirku tiba-tiba berujar dengan sendirinya.
Saat itu dia benar-benar kacau dan mengerikan. Namun, meskipun begitu, meskipun saat itu ia seperti ingin memakanku...
"tolong biarkan aku masuk."
Aku tidak suka saat dirinya menyimpan penderitaan dan rasa sakitnya untuk dirinya sendiri.
Karenanya, aku kembali memaksa untuk masuk, meski jika nantinya ia benar-benar akan memakanku.
Tanpa menunggu balasan dari Elias, aku pun membuka pintu kamarnya --yang ternyata tidak ia kunci. Aku bersyukur saat aku membuka pintu bukan sesosok monster yang meneteskan liur yang kutemui, melainkan Elias dengan piyamanya yang masih terkulai lemah di atas ranjangnya. Namun tetap saja, aku merasa cemas.
Elias yang menyadari kedatanganku memandangiku dengan tatapan tidak percaya. "Chise?"
"Selamat pagi... Elias"
"Sudah kubilang untuk kembali lagi nanti, kan?" Ujar Elias.
Aku berjalan menuju tempat tidurnya, lalu meletakkan nampan yang kubawa di atas meja di sampibg tempat tidurnya. "Tidak. Aku harus tahu kenapa kau tidak turun untuk sarapan."
Aku terduduk di samping tempat tidurnya dan mulai mengulurkan tanganku untuk menggapainya.
Elias terdiam. Ia tak sedikit pun bergeming saat aku mulai menyentuh bahunya dan sedikit memijatnya. Meski wajah tulangnya tidak menunjukan apapun, aku bisa merasakan bahwa Elias sedang tidak baik-baik saja. Mungkin yang dia katakan sebelumnya benar. Dia sedang tidak enak badan.
Dan sekarang aku benar-benar bingung bagaimana memeriksa keadaannya. Kepala tulangnya masih tetap terasa dingin saat kusentuh. Yah, mana mungkin juga akan terasa panas karena demam.
"Anu, Elias... bisa kau katakan apa yang kau rasakan sekarang?"
Elias melirikku. "Aku tidak apa-apa. Kau tidak usah khawatir."
"Apakah terjadi sesuatu?" Timpalku tanpa mempedulikan ucapannya sebelumnya.
"Sudah kubilang aku tidak apa-apa." Tukas Elias.
Dalam kesunyian yang berlangsung selama beberapa detik itu, aku merasa lesu. Ucapan yang seharusnya menenangkanku itu justru membuatku resah. Rasa ingin meledak muncul selintas di benakku, namun aku tahu itu tidak baik.
Elias selalu saja menyembunyikan sesuatu dariku, dan lama kelamaan aku merasa kesal. Meski begitu...
"Elias," kugenggam tangannya dengan lembut, dan kutatap mata merah bersinarnya dengan lekat, "kau tidak perlu menyembunyikannya dariku. Aku bisa merasakan bahwa kau sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja, aku tidak tahu kau kenapa. Jadi, bisakah kau menolongku untuk mengatakannya?"
Elias terdiam untuk beberapa saat, sampai akhirnya ia pun membuka mulutnya. "Maaf, Chise. Aku hanya tidak ingin membuat dirimu kerepotan."
"Aku tidak pernah merasa kerepotan," jawabku sembari senyum, "lagi pula, aku pun sudah banyak merepotkanmu. Justru aku akan merasa sangat senang jika kau mau menceritakan banyak hal tentangmu padaku. Bukankah kita ini... pasangan hidup?"
Elias nampak tercekat saat aku mengatakan kata-kata itu. Ah, aku sungguh malu mengatakannya.
"Eh... itu... maksudku..."
Sebuah sentuhan lembut mendarat di pelipis kiriku. Elias menempelkan mulutnya di pelipisku, dan menggosokkannya perlahan. "Terima kasih."
Aku merasa sedikit tersipu, namun juga merasa lega.
Aku kembali berdiri dan meraih nampan yang kubawa tadi. Kutuangkan cairan hangat beraroma menenangkan itu ke dalam cangkir porselen yang berdiri di atas nampan. "Jadi, kau kenapa?"
"Aku tidak tahu. Sekujur tubuhku terasa sakit dan berat." Elias mengambil secangkir teh yang baru saja kusajikan. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih, lalu meminumnya secara perlahan.
Aku sendiri tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya membuat Elias tampak kurang sehat hari ini. Aku mencoba untuk mengingat apa yang kami lakukan beberapa hari ini. Namun , aku tidak menemukan petunjuk kenapa Elias bisa seperti ini.
Sentuhan tangan Elias yang lembut mendarat di atas kepalaku dan mengelusku perlahan, "semuanya baik-baik saja. Kau tidak perlu cemas."
Kurengkuh tangan Elias dan kugenggam dengan hangat. "Inginnya begitu, tetapi aku tetap merasa cemas. Harus ada yang merawatmu, dan aku yang akan melakukannya."
"Merawatku?"
"Ya," timpalku, "aku akan merawatmu selama kau sakit. Kau juga selalu merawatku saat aku sakit atau tidak sadarkan diri, kan?"
"Bukankah hari ini kau harus menemui Angelica? Kau sudah berjanji untuk membantunya menyelesaikan perlengkapan sihirmu." Tukas Elias.
"Kalau begitu aku akan menghubunginya dan meminta maaf padanya bahwa hari ini aku akan tinggal di rumah untuk merawatmu."
Saat kuintip Elias dari sudut mataku, ia tampak bingung. Aku tak mendengar sepatah katapun keluar dari mulut Elias untuk menampik perkataanku. Ia tampak risau, namun ada rasa lega dan senang yang tersirat dari kepala tulangnya –meski aku tidak bisa memastikannya.
"Baiklah," ujar Elias, "tetapi berjanjilah satu hal."
"Hmmm?"
"Kau tidak boleh pergi kemana-mana. Tetaplah di rumah."
Aku tidak bisa menahan senyumanku muncul. Terkadang sifat kekanakannya membuatku tersipu, namun aku merasa senang. Aku lebih senang jika ia bersikap sedikit manja seperti sekarang. Selain itu, aku tahu ia merasa senang saat aku berkta akan merawatnya hari ini. Satu lagi sikap Elias yang membuatku tak bisa menahan senyumku.
"Baiklah. Kalau begitu aku akan membuatkanmu ramuan herbal."
~ooo0ooo0ooo~
Sangat sulit untuk membuat Elias mengungkapkan apa yang ia pikirkan atau rasakan. Semua tentang dirinya selalu abu-abu. Bahkan terkadang sifat keras kepala diperlukan untuk meyakinkannya. Aku tahu ia tidak ingin membuat semua orang khawatir. Namun, ia masih belum tahu perasaan manusia itu seperti apa….
Semua pekerjaan rumah kuserahkan pada Stella, sementara pekerjaanku yang lain kutunda dulu. Hari ini aku hanya ingin menemani Elias yang terbaring lemah di atas ranjang. Pada awalnya Elias keberatan karena aku harus meninggalkan pekerjaanku membuat pesanan orang-orang. Tetapi, sekali lagi aku berhasil meyakinkannya.
Aku kembali ke kamar Elias sambil membawa ramuan yang kujanjikan. Elias sedang tertidur saat aku melangkah masuk ke dalam kamarnya. Aku pun menyimpan gelas berisi ramuan di atas meja.
"Elias? Aku membawakan ramuan untukmu." Ucapku setengah berbisik.
Elias tidak bangun.
"Elias?"
Ia masih belum bangun
"Chise, ada apa?" Ruth tiba-tiba muncul dari dalam bayanganku.
"Elias belum bangun juga." Ucapku gusar.
Sesaat setelah Ruth menatap Elias nanar, aku menjulurkan tanganku dan mulai meraba kepalanya, lalu turun menuju leher. Aku sedikit terperangah saat tanganku menyentuh lehernya. Rasanya panas. Aku lalu menggenggam tangan Elias yang tergolek lesu di atas tempat tidur. Tangannya juga terasa panas.
Dadaku terasa sesak dan keringat mulai meluncur di pelipisku. Aku mulai mengguncang tubuh Elias secara perlahan sambil terus membisikkan namanya, namun ia tidak bangun juga. Kuraih gelas di atas meja dan mencoba memasukkan cairan di dalamnya ke dalam mulut Elias, namun Elias tidak mau membuka mulutnya, bahkan setelah kupaksa.
"Elias… Elias…."
Ruth menepuk bahuku secara perlahan, lalu mengelus-elusnya dengan lembut. "Chise, biarkan saja dulu."
"Sepertinya keadaannya semakin memburuk. Tubuhnya terasa panas." Ujarku panik.
"Aku tahu," timpal Ruth, "tetapi kau harus tenang. Biarkan dia beristirahat dulu."
Aku mengerti, di saat seperti ini aku tidak boleh panik. Mungkin saja Elias hanya demam biasa, meskipun aku ragu makhluk seperti dirinya bisa terkena demam biasa. Selain itu, aku tidak bisa merawat Elias dengan baik jika aku panik. Namun, bayangan atas mimpi itu kembali muncul. Aku masih ingat, saat pertama kali aku bertemu dengan Elias, aku berkata tidak masalah jika pada akhirnya ia menyerah atas diriku dan pergi meninggalkanku. Aku mengatakan itu. Tetapi, kali ini… aku tidak ingin Elias meninggalkanku, apapun alasan dan penyebabnya….
Suara batukan sedikit membuatku tersentak. Elias masih tidur, namun ia terlihat sangat menderita. Suara batukan yang sebelumnya terdengar ternyata berasal darinya.
"Chise… Chise…." Erang Elias.
"Aku di sini." Jawabku sedikit panik.
Mata Elias masih terpejam, terlihat dari sinar merah yang biasa menyala di bingkai matanya kini masih nampak padam. Nafasnya semakin tidak beraturan, dan ia terus mengerang. Kubelai kepala terngkoraknya dengan tanganku yang gemetar, sambil terus mengingat-ingat mantra sihir yang mungkin saja bisa membuatnya tenang. Namun, kepalaku justru terasa berat. Pikiranku menjadi tak karuan. Keringat dingin meluncur di pelipisku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku belum pernah melihat Elias seperti ini sebelumnya.
Aku menengok ke arah Ruth dan menatapnya gusar. "Ruth, ini tidak baik. Apa yang harus kulakukan? Elias semakin parah, dan dia tidak mau meminum ramuannya."
"Tenang dulu Chise." Ucap Ruth yang kini nampak kebingungan.
Saat aku melihat raut wajah Ruth, aku merasa ia seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"Ruth, ada apa?" Tanyaku lirih.
Ruth memandangku sekejap, lalu menunduk. "Maafkan aku, Chise. Sebenarnya… Elias sudah merasa sakit sejak tiga hari yang lalu."
Seperti petir yang menyambar di siang hari yang cerah, ucapan Ruth membuatku terenyak. Ia mengatakannya dengan perasaan ragu, namun tanpa cela. Aku benar-benar terkejut.
"Tiga hari… tapi dia terlihat baik-baik saja sebelumnya." Timpalku.
"Elias tidak ingin membuatmu khawatir, jadi ia menyembunyikannya. Karena itu juga, ia memintaku untuk tidak memberitahukannya padamu."
Kesal. Entah kenapa aku merasa kesal. Meski pada akhirnya Elias mau sedikit terbuka padaku, tetapi ternyata masih ada yang ia sembunyikan. Aku tidak tahu berapa banyak lagi hal yang ia sembunyikan. Saat kutatap Elias yang terkulai lemah di atas tempat tidur, aku ingin menangis.
Tetapi, ini bukan saatnya bagiku untuk menangis, baik karena keadaan Elias, maupun karena sikapnya yang selalu tidak mau terbuka padaku.
"Ruth, apa kau tahu kenapa Elias bisa seperti ini?" Tanyaku setengah berbisik.
"Maaf, aku tidak tahu." Jawab Ruth lirih.
Aku berjalan menghampiri Ruth yang terlihat lemas. Kuraih tangannya dan kugenggam dengan erat. Aku pun menatap lurus ke dalam bola matanya, berharap dirinya bisa membantuku. Tidak, Ruth selalu membantuku. Tapi untuk kali ini, aku harap ia mau berpihak padaku.
"Ruth, tolong jaga Elias. Aku akan pergi sebentar." Ucapku seraya berlari menuju ambang pintu.
"Chise! Kau mau kemana?" Tanya Ruth tercekat.
"Aku akan mencari bantuan." Ujarku sambil berlari ke luar.
Aku tidak tahu kemana kakiku akan membawaku. Secara spontan kakiku berlari ke luar rumah, mencari seseorang yang bisa membantuku. Setidaknya untuk mengetahui apa yang terjadi pada Elias.
Tanpa sadar aku telah berdiri di jalan masuk hutan, terhenti oleh otakku yang akhirnya jernih dan bisa diajak berpikir. Aku mulai mencari beberapa nama dalam memoriku yang mungkin bisa membantuku. Pada awalnya nama Simon-san muncul, lalu Lindel-san dan beberapa orang lainnya, sampai akhirnya satu nama yang aku yakin benar-benar bisa membantuku muncul dalam benakku.
Aku kembali berlari menembus hutan, menuju suatu tempat dimana aku mungkin bisa bertemu dengan Shanon-san. Hanya dia yang bisa menyembuhkan Elias.
Langkahku melambat saat gerbang menuju dunia peri tertangkap oleh mataku. Kala itu hari sudah beranjak sore, dan tidak ada cahaya yang muncul dari celah bebatuan gerbang itu seperti saat pertama kali aku datang ke tempat ini. Mungkin memang gerbangnya sedang tertutup. Selain itu, aku tidak bisa masuk begitu saja ke dalam sana.
Sayup-sayup suara tawa yang manis terdengar, membuatku berkeliling untuk mencari sumbernya. Tak lama kemudian, Ariel muncul dan tersenyum tepat di depan wajahku. Tubuh kecilnya yang melayang di udara kini memenuhi penglihatanku.
"Chise, sedang apa kau di sini?" Tanya Ariel riang.
"Anu… sebenarnya aku… sedang mencari Shanon-san." Jawabku.
Ariel memalingkan wajahnya ke arah gerbang dunia peri, lalu berbalik padaku sambil tersenyum. "Mau masuk? Aku tahu kau ingin bertemu dengan dokter dari dunia peri karena bocah duri itu, kan?"
Aku mengangguk perlahan.
Untuk sejenak Ariel menatap lekat kedua mataku. Raut wajahnya tiba-tiba berubah murung. "Kau tahu aku benci melihat wajah sedihmu itu? Baiklah, aku akan melakukan apapun demi dirimu." Ujarnya.
"Sungguh?"
"Asalkan jangan perlihatkan wajah sedihmu itu lagi." Ujar Ariel sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Terima kasih, Ariel." Balasku.
"Akan menjadi masalah jika bocah duri itu tahu kau masuk ke dalam sana sendirian. Jadi, tunggulah di sini. Aku akan memanggil dan membawanya padamu." Ucap Ariel seraya terbang menuju gerbang dunia peri.
Cahaya yang cukup menyilaukan muncul dari celah bebatuan itu, menelan tubuh mungil Ariel yang terbang menghampirinya. Aku tidak menyangka Ariel bahkan tidak mengajakku ke dunia peri seperti yang selalu ia –dan peri-peri lainnya- biasa lakukan.
~ooo0ooo0ooo~
Aku menunggu Ariel dan Shanon muncul, namun sampai saat matahari hendak kembali ke peraduan Ariel tidak kunjung datang. Aku mulai cemas karena hari semakin gelap dan aku sudah meninggalkan Elias di rumah cukup lama. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Elias sudah bangun saat aku kembali nanti. Aah, omelannya cukup membuatku pusing. Terlebih ku sudah berjanji padanya akan tetap berada di dalam rumah untuk merawatnya.
Hembusan angin sore itu kian kencang. Hari semakin gelap dan aku masih berada di dalam hutan. Gemerisik semak-semak membuatku tidak nyaman. Aku merasa seperti ada seseorang –atau sesuatu- yang mengawasiku, namun saat aku menoleh tidak ada siapapun di sana. Karena Ariel tak kunjung datang, aku pun memutuskan untuk pulang. Mungkin besok aku akan menghubungi Lindel-san saja.
Saat aku hendak berbalik, sebuah bayangan hitam besar melintas di hadapanku dengan cepat. Sangat cepat hingga aku tidak bisa menangkap sosoknya dengan jelas. selain itu, keberadaannya pun seketika menghilang. Angin kembali berhembus kencang, membuat sekujur tubuhku gemetar hebat. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Aku pun mulai menggerakkan kakiku dan meninggalkan tempatku.
Hingga… sesosok monster besar berwarna hitam muncul secara tiba-tiba di hadapanku….
Tubuhnya seperti kelabang berukuran raksasa dengan tangan dan beberapa wajah mirip manusia berkulit putih di kepalanya. Mulut di semua wajahnya seperti sedang membisikkan sesuatu, namun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Aku tahu, mereka mungkin ingin memakanku atau membawaku pergi karena aku seorang sleigh vega. Itu sudah biasa terjadi.
Namun, rasa takut itu pun elalu muncul seperti biasanya….
Tubuhku tiba-tiba terasa kaku, dan aku pun tidak bisa bergerak meskipun aku mau. Keringat dingin mulai meluncur di beberapa bagian tubuhku, dan rasa takut mulai menjalari diriku.
Saat aku berbalik dan hendak berlari, monster itu mengeluarkan suara tawa yang mengerikan dan meluncur ke arahku dengan sangat cepat, mencoba menyerangku sebelum aku lari. Aku tidak sempat untuk bergerak satu inci pun, hingga akhirnya yang bisa kulakukan hanya menjerit sekeras mungkin dan memejamkan mataku.
Dan mungkin… aku tidak tahu lagi….
Saat aku merasa nasibku akan berakhir di sini, tanpa kusadari diriku sudah dikelilingi oleh duri-duri yang menjalar yang muncul dari sebuah lingkaran cahaya yang muncul di atas tanah yang kupijak. Cahaya itu semakin meredup, digantikan dengan bayangan hitam pekat yang hampir menyelubungiku. Saat kubuka mataku secra total, aku melihat Elias dengan jubah bayangan hitamnya berdiri di hadapanku, menahan makhluk mengerikan yang hendak menyerangku itu.
"Eli… as…?"
Elias tidak berkata apapun. Bahkan, fokusnya kini tertuju pada makhluk besar yang sedang ia tahan. Elias mencengkeram bahunya hingga cairan hitam yang kental keluar dari bahu monster tersebut. Ia mendorong monster itu mundur, hingga akhirnya ia merobek bahunya. Dengan cepat Elias meraih wajah terdepan makhluk itu dan meremasnya hingga hancur. Serangan terakhir Elias lancarkan pada titik tengah monster itu. Elias meluncurkan tangannya dan melubangi perut monster itu. Perlahan, monster itu pun hancur dan akhirnya lenyap.
Dadaku masih terus berdegup kencang bahkan setelah monster itu lenyap. Kakiku terus gemetar hingga akhirnya aku terduduk lemas. Elias berbalik, menatapku dengan sorot mata yang tajam. Begitu pun diriku, menatapnya balik tanpa sedikit pun berkedip. Dari pada takut kena omelannya, aku justru terkejut karena ia datang saat aku sedang berada dalam bahaya di tengah kondisinya yang sedang benar-benar lemah.
"Elias… kenapa kau…"
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tubuh Elias tumbang dan ia pun terduduk lemas. Aku pun mendekatinya dan menahan tubuhnya agar tidak ambruk.
"Bukankah sudah kubilang, tetaplah tinggal di rumah." Gumam Elias. Suaranya terdengar begitu berat.
Sudah kuduga, ia masih sakit. Tetapi ia memaksakan diri untuk datang menyelamatkanku.
"Kau sendiri tahu kan kondisiku saat ini sednag tidak baik." Lanjutnya.
"Maafkan aku karena tidak bisa merawatmu dengan baik." Ucapku perlahan.
Elias menggeleng perlahan. "Tidak. Bukan itu. Aku memintamu untuk tetap di rumah… karena aku takut tidak bisa melindungimu jika kau berada dalam bahaya… karena kondisiku yang sedang buruk."
Mendengar ucapan Elias hatiku benar-benar tertegun. Saat kukira kalau Elias sedang manja-manjanya, saat Elias sedang dalam kondisi yang bahkan dirinya sendiri tidak bisa mengatasinya, ia masih terus memikirkanku.
"Tapi syukurlah, aku masih punya kekuatan untuk melindungimu. Untung saja ku memberimu kalung itu." Smbung Elias sambil meraih kalung batu yang ia berikan padaku di hari pertama ia membawaku ke rumahnya.
Secara refleks aku menyambar tubuh lemahnya, memeluknya dengan sangat erat. "Sekali lagi, maafkan aku. Padahal kau tidak perlu memaksakan dirimu seperti ini."
"Sudahlah, tidak apa-apa," timpal Elias. Ia pun merangkulku dengan begitu hangat. "Maaf sudah membuatmu khawatir."
"Eh?"
"Ruth memberitahuku kalau kau pergi menemui Shanon untuk mengobatiku."
Di tengah keheningan hutan yang bersinar itu, hawa dingin yang sebelumnya kurasakan kini berangsur pergi. Yang kurasakan saat ini adalah kehangatan. Ya, Elias tak pernah berhenti memberiku kehangatan. Itu sebabnya aku tidak ingin kehilangan dirinya. Aku ingin Elias selalu ada untukku, dan aku juga ingin agar aku bisa selalu ada bersamanya.
"Terima kasih, Chise." Suara Elias berbisik lembut di telingaku, menjalar dengan lembut hingga ke dalam hati.
"Elias, tolong biarkan aku merawatmu sekali lagi sampai kau benar-benar sembuh. Kali ini aku benar-benar tidak akan pergi keluar rumah meninggalkanmu." Ucapku.
"Kalau begitu," timpal Elias, "mari kita pulang."
"Ya."
~ooo0ooo0ooo~
Sudah tiga hari semenjak Elias terbaring sakit. Selama itu pula aku tetap berada di dalam rumah untuk merawatnya dengan baik. Shanon datang di keesokan harinya, setelah insiden di dalam hutan itu. Ia tidak memberitahuku apa yang terjadi pada Elias, namun ia memberiku obat yang bisa kuberikan padanya setiap hari.
Hari ini matahari bersinar dengan cerah. Aku terbangun di atas ranjang yang sama dengan Elias. Ya, selama Elias sakit, aku tidur bersamanya. Ini… sedikit memalukan, tapi entah kenap aku begitu menikmatinya.
"Selamat pagi, Chise." Sapa Elias tatkala aku membuka mataku.
Aku pun terbangun dan melemparkan sebuah senyuman padanya. "Selamat pagi, Elias. Bagaimana keadaanmu."
"Sepertinya, obat yang Shanon berikan sangat mujarab. Kupikir aku sudah sembuh."
"Benarkah?"
Elias mengangguk perlahan. "Ya. Aku merasa jauh lebih baik sekarang."
Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan senangku saat itu. Kugenggam tangan Elias dengan erat dan kupandangi dirinya dengan penuh rasa riang. "Syukurlah. Kalau begitu, sebaiknya kita turun untuk sarapan."
Aku bergegas beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu dengan penuh suka cita.
"Chise."
Aku berhenti dan berbalik pada Elias. "Ya?"
"Terima kasih banyak."
Tidak ada yang bisa membuatku begitu senang selain melihat orang yang kusayangi baik-baik saja. Bukan ucapan terima kasih Elias yang membuatku secara refleks tersenyum di hadapannya. Lebih dari itu, aku sangat senang bisa menjadi seseorang yang selalu ada untuk dia yang sangat berarti bagiku. Bagiku, Elias adalah segalanya. Ia yang telah menyelamatkanku dari kegelapan, dan membawaku menuju cahaya. Karenanya, aku ingin selalu ada untuk dirinya, di saat susah maupun senang.
Aku ingin Elias selalu menemaniku, dan aku ingin terus bisa menemani Elias…
Saat aku dan Elias turun ke lantai bawah, Silky menyambutku dengan wajah yang cerah. Ia langsung menerjang dan memeluk kami berdua dengan erat.
"Ah, permisi." Sela Ruth. "Berhubung Elias sudah sembuh, bisakah kau melanjutkan pekerjaanmu, Chise?"
Aku dan Elias saling memandang. Pekerjaan apa?
Ruth membawaku dan Elias menuju ruang tengah. Ia menunjuk meja dengan tumpukan kertas dan buku, gelas, toples, serbuk dan tanaman sihir yang berserakan di pojok ruangan.
"Kau masih harus mengerjakan banyak pesanan ramuan dan beberapa herbal. Selain itu, waktu panen kita tertunda karena kau sibuk merawat Elias." Ucapnya dengan nada datar.
"Ah, aku lupa. Aku juga harus mengerjakan beberapa pekerjaan yang Angelica-san berikan padaku. Aku juga belum membereskan buku-buku dan perlengkapanku di ruang belajar." Timpalku. Kulirik Elias yang masih berdiri di sampingku. "Sepertinya, hari ini aku akan sangat sibuk. Hehe."
Elias membelai kepalaku dengan lembut. "Kalau begitu hari ini aku akan membantumu menyelesaikan pekerjaanmu hingga selesai."
Aku tersenyum, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah. Terima kasih."
"Mungkin setelah itu kita harus pergi berlibur sejenak. Hampir seminggu diam di rumah rasanya sedikit membosankan." Sambungnya.
"Ya, kau benar."
Hari ini akan menjadi hari yang panjang, tetapi sepertinya menyenangkan...
#StayAtHomeChallenge