Sakura menghabiskan sarapannya pagi ini bersama dengan Sasuke, wanita itu tersenyum cerah membicarakan beberapa hal dengan suaminya seolah-olah kejadian tadi malam sudah dilupakan oleh Sakura begitu saja.

"Aku mau memotong rambut hari ini, apa boleh?"

"Kenapa?"

Sasuke menatap istrinya, wanita itu terang-terangan menghindari matanya, ia memilih untuk menunduk sambil tersenyum kecil.

"Aku hanya ingin saja, jangan-jangan anakmu laki-laki ya? Makannya aku tiba-tiba tidak suka mengurus rambutku sendiri."

Sasuke mengabaikan kata-kata 'anakmu' sambil mendesah perlahan, "Terserah kau saja."

Sakura tersenyum lebar, menyipitkan matanya.

.

.

.

A fanfiction

Naruto © Masashi Kishimoto

Uchiha Sasuke X Haruno Sakura

Rated M for Mature

BE LOVED IMPERFECTIONS PERFECTLY by Chocho_lolo

.

.

Tolong jangan copas² ya, terima kasih!

.

.

Usia kehamilan Sakura memasuki minggu ke sepuluh, perut wanita itu terlihat lebih besisi. Cara berjalannya juga jadi lebih hati-hati. Ia tetap bermain bersama elang-elang dan Jiro, di bawah pengawasan Suigetsu tentu saja.

Sikap Sasuke tidak banyak berubah, pria itu tetap irit bicara. Hanya saja Sakura merasa suaminya menjadi lebih perhatian (secara tersirat) padanya semenjak ia hamil.

"Sui, aku ingin sekali jalan-jalan ke hutan."

Suigetsu yang tengah memberi makan apel pada Jiro atas permintaan Sakura menoleh horor ke arah wanita itu.

"Aku bisa dipenggal suamimu, Ratu." Suigetsu mendesah lelah, ia tahu Sakura memang suka meminta hal-hal aneh selama hamil terutama ketika Sasuke sedang tidak ada di kerajaan. Entah sedang pergi ke kerajaan lain atau pergi berburu. Selalu ada-ada saja permintaan Sakura. Wanita itu juga berpesan pada pelayan istana untuk tidak mengatakan pada Sasuke apa yang dia minta.

Seperti minggu lalu, setelah pagi-pagi buta Sasuke pergi berburu tiba-tiba Sakura pergi ke dapur ingin memasak Roti untuknya sendiri. semua pelayan terkejut namun tidak berani membantah keinginan sang ratu.

Sui beberapa kali merasa jantungnya seperti mau lepas ketika Sakura mendekati alat pemanggang untuk mengintip roti buatannya.

"Sesuatu yang tidak baik seperti akan terjadi, Sui. Aku ingin sekali ke hutan."

"Ratu, suamimu bisa marah besar melihat wanita kesayangannya berjalan-jalan ke hutan ketika sedang hamil seperti ini."

Sakura terbahak-bahak sampai beberapa elang terkejut dan terbang meninggalkan taman. Suigetsu mengernyit, tatapannya kemudian beradu dengan Sasuke yang ternyata ada di belakang mereka entah sejak kapan.

Sakura masih tertawa.

Sui masih menatap Sasuke, hingga mendengar tawa Sakura mereda.

"Aku rasa tidak apa-apa asal anaknya tidak terluka."

Sakura yang tidak sadar kehadiran suaminya di belakang mereka, lantas bersandar pada kursi empuk yang memang disediakan untuknya selama duduk di taman.

"Aku beruntung sekali bisa menikah dengan orang yang benar-benar aku sukai. Kau juga harus menikah Sui, apa kau tidak penasaran rasanya jadi ayah?"

Sasuke memberi isyarat pada Sui untuk tetap merahasiakan kehadirannya, membuat Suigetsu menelan ludah susah payah sambil mengangguk patuh.

"Sasuke-sama juga beruntung mendapatkan istri seperti anda." Suigetsu tidak berani melirik Sasuke yang berdiri seperti patung di belakang mereka. Suigetsu masih fokus memberi apel pada Jiro sambil berdiri kaku.

"Sasuke adalah laki-laki yang luar biasa baik, walaupun dia tidak pernah mau mengatakan banyak hal padaku. Dia akan menjadi seorang ayah yang hebat."

"Oh ya?"

Suigetsu memekik kaget karena suara itu bukan berasal dari mulutnya, ia menoleh horor menatap Sasuke yang berjalan perlahan lantas duduk di sebelah istrinya. Suigetsu membungkuk lantas undur diri, ia memilih untuk berdiri di dekat kandang kuda yang tidak jauh dari tempat Sasuke dan Sakura duduk

Samar-sama ia mendengar suara tawa Sakura, lalu nampak siluet wanita itu yang merapatkan diri memeluk tubuh suaminya dari samping.

.

.

"Jangan repotkan Suigetsu dengan permintaanmu yang aneh-aneh Sakura."

Sakura mengubur wajahnya pada dada sang suami ketika tahu bahwa suaminya sudah tahu tingkahnya akhir-akhir ini.

"Kau bisa katakan sesuatu padaku jika bayi kita menginginkan sesuatu."

Sasuke menoleh pada istrinya yang memeluknya dari samping dan menguburkan wajah pada dadanya. Sakura diam saja namun telinga wanita itu merah, khas dirinya ketika sedang tersipu.

"Apa aku boleh jalan-jalan ke hutan? Aku kangen binatang-binatang besar Anata." Sasuke mengernyit mendengar panggilan sayang Sakura padanya.

"Kita jalan-jalan setelah anak ini lahir."

"Aku janji tidak akan membahayakannya, Sasuke. Aku janji aku janji aku janji aku janji." Sakura merengek dengan suara rendah.

"Bukan itu yang aku pikirkan."

"Hah?"

"Ayo masuk, sudah mendung."

Sasuke menggendong istrinya dalam satu kali gerakan, Sakura dengan segera mengalungkan tangannya pada leher suaminya. Sasuke memang memperlakukannya dengan lebih lembut setelah dia hamil. Di satu sisi ia sangat bahagia, di sisi yang lain ia bertanya-tanya apakah ini semua semata-mata karena bayi dalam perutnya. Ia kemudian tersenyum miris.

Apalah arti Sakura tanpa bayi ini.

.

.

.

Sakura memeluk ayahnya, lalu memeluk sepupunya—Sai, yang datang bersama istrinya.

"Kau ini sudah menikah bodoh sekali masih suka memelukku." Sakura hanya tertawa kecil sambil melirik suaminya singkat ketika mendengar ucapan pedas sepupunya, lantas beralih memeluk istri sepupunya.

"Halo Naruto, Lee!" Sakura melambai riang pada teman sekaligus pengawalnya ketika masih hidup di Kerajaan Mitzu yang sekarang tengah berdiri di belakang ayahnya. Mereka berdua membungkuk hormat, lalu membungkuk pada Sasuke yang dibalas anggukan singkat.

Hari ini ayahnya datang menjenguk calon anak dalam perutnya juga. Raja Kakashi begitu bahagia ketika menerima kabar bahwa putri semata wayangnya tengah hamil.

Berkali-kali ayahnya menepuk pundak Sasuke bangga ketika mereka bercengkrama bertiga saja di ruang makan, sedangkan sepupunya sedang berkeliling bersama istrinya ditemani Suigetsu untuk melihat kuda-kuda dan elang Sakura.

"Aku jadi ingat waktu ibumu hamil, banyak sekali permintaannya. Jadi apa Sakura juga meminta hal yang aneh-aneh selama hamil?"

Sasuke melirik istrinya tidak yakin, "Sedikit, Ayah." Jawabnya sopan sambil berusaha tersenyum tipis pada ayah mertuanya.

"Hahaha, tidak usah malu-malu begitu menantuku. Aku juga dulu sangat-sangat kerepotan ketika istriku hamil. Malam-malam dia memintaku untuk mencarikan makanan yang tidak-tidak. Tapi aku lakukan tentu saja, aku merasa senang ketika bisa membuatnya senang. Dia sering tidak sehat ketika mengandung."

Sakura mengusap tangan ayahnya, "Sudah jangan sedih, ayah akan segera menjadi kakek, lho." Sakura tertawa kecil.

Sasuke diam-diam memperhatikan tubuh istrinya yang terlihat lebih kurus dari sebelumnya meskipun perut wanita itu terlihat membesar, tatapannya naik pada bibir wanita itu. Ia tengah tertawa bersama ayahnya.

Tertawa dengan lepas, seolah-olah ia sudah lama tidak melakukannya. Hanya raut wajah takut dan ragu yang terlihat ketika wanita itu bersamanya.

Raja Kakashi menghapus jejak biskuit yang menempel di pipi Sakura dengan lembut, membuat senyum Sakura mengembang seketika. Sasuke tiba-tiba ingat ia juga pernah menyentuh pipi istrinya, dengan kuku yang menancap kuat di sana, membuat raut wajah ketakutan terlihat begitu jelas saat itu. Ekspresi ketakutan itu diam-diam menghantuinya tanpa sadar.

"Anata? Kau mau menambah makananmu?"

Sasuke menoleh ke arah istrinya, lantas tersenyum kecil sambil menggeleng. Sakura tersenyum hingga matanya menyipit, lantas kembali mengobrol dengan ayahnya. Ia menyadarinya, bahwa Sakura sejak tadi berusaha keras memperlihatkan bahwa mereka adalah pasangan yang mencintai satu sama lain di hadapan ayahnya.

"Kau banyak muntah?" Sakura melirik suaminya yang menghentikan kunyahannya sekilas dengan perasaan cemas, lantas mengangguk kecil ke arah ayahnya, dibalas dengan elusan penuh sayang pada surai merah mudanya, "Tidak apa-apa, nanti juga mualnya hilang, kalau ada apa-apa jangan sungkan membangunkan suamimu. Meski kalian menikah karena perjodohan, pernikahan itu bukan hal yang main-main. Aku yakin menantuku adalah laki-laki yang bertanggung jawab."

Raja Kakashi melirik Sasuke dengan senyum maklum pada bibirnya, Sasuke mengangguk dengan senyum tipis di wajahnya. Membenarkan apa yang ayah mertuanya katakan.

Dalam hati ia baru saja menyadari selama ini ia tidak pernah mengetahui apa yang dialami Sakura selama masa kehamilan. Apa Sakura muntah, atau wanita itu merasa tidak enak badan? Sasuke tidak pernah menanyakannya. Dan wanita itu tidak pernah mengatakan apa-apa selain memberi kabar bahwa tabib mengatakan bayinya dalam keadaan sehat-sehat saja.

Seolah-olah hanya itu yang harus Sasuke ketahui. Seolah-olah Sakura hanya wadah dari bayinya, tidak lebih dari itu di hadapan suaminya sendiri. Sasuke kembali teringat wajah Sakura ketika memintanya untuk tidak berbuat kasar sampai bayi itu lahir, sejauh ini hanya itu permintaan Sakura padanya. Tidak ada yang lain.

Ini bukan salah Sakura, tentu saja, ini kesalahannya sendiri.

"Apa aku boleh ditemani tidur ayah malam ini? Besok ayah pulang kan?"

"Astaga, kau ini sudah punya suami. Lalu suamimu mau tidur dengan siapa kalau kau minta ditemani ayah?"

"Sasuke pasti memperbolehkannya ayah."

Raja Kakashi menghela napas lelah, ia melirik menantunya yang masih sibuk dengan makananya, "Sakura, hanya karena Sasuke itu suamimu, kau tidak boleh meminta sesuatu yang berlebihan."

"Ayah, tidak masalah jika Sakura menginginkannya. Lagi pula pasti dia rindu dengan Ayah karena sudah lama tidak bertemu." Sakura melirik ke arah Sasuke dengan wajah berbinar, lalu menoleh ke arah ayahnya.

"Lihat ayah, Sasuke memang yang terbaik."

.

.

.

.

"Aku kira pernikahan kalian tidak akan berhasil, selamat ya ternyata aku salah. Sepupu merah mudaku itu benar-benar banyak tingkah selama hidup di kerajaan, dia pasti banyak merepotkanmu di sini. Aku senang melihatnya baik-baik saja dan terlihat bahagia."

Sasuke melirik Sai singkat, berusaha tidak tersulut dengan sarkasme lelaki itu. Ia tahu bahwa Sai adalah satu-satunya orang yang menyadari bahwa ada yang aneh dari kehidupan rumah tangga mereka. terlihat dari caranya berbicara sejak tadi siang.

"Mungkin aku harus meminta paman untuk meninggalkan Naruto dan Lee untuk menjaga Sakura selama hamil? Aku tidak ingin saudara iparku terlalu lelah menuruti semua keinginan Sakura."

"Aku bisa menjaganya, kenapa harus ada orang lain?" Sasuke sudah menghilangkan wajah ramahnya kali ini, toh mereka hanya berdua saja di depan perapian. Menikmati minuman hangat berdua saja. Sakura berada di kamar mereka ditemani oleh ayahnya, akhirnya Raja Kakashi setuju menemani Sakura tidur, hanya sampai Sakura tidur saja. Setelahnya beliau akan menempati kamar lain agar Sakura tetap tidur bersama suaminya.

"Sakura bisa membohongi siapa pun di dunia ini, kecuali aku. Tidak masalah jika rumah tangga kalian tidak semanis perkiraan paman, tidak masalah tentu saja. Tapi akan menjadi masalah jika suatu hari terjadi sesuatu padanya. Aku hanya berpesan padamu, jika suatu hari dia sudah tidak bisa tinggal di sini lagi, jangan sungkan memintaku untuk menjemputnya," Sasuke menatap tajam sepupu istrinya yang tengah menatap tajam juga ke arahnya, "Kau tidak perlu mengantar Sakura ke mana-mana jika dia sudah tidak punya tempat di sini, aku sendiri yang akan menjemputnya."

"Aku tidak tahu apa yang kau katakan." Sasuke menyesap minumannya, ia berusaha keras untuk tidak menanggapi ucapan Sai.

"Ya, pokoknya itu kau harus ingat-ingat. Kau tidak perlu mengantar Sakura ke mana-mana kalau dia sudah tidak punya tempat di istanamu yang megah ini."

Pria itu lantas berdiri, masih dengan tatapan tajam yang tidak lepas dari suami sepupunya.

"Aku permisi dulu, Yang Mulia Uchiha Sasuke."

.

.

.

.

Sasuke masuk ke dalam kamarnya, ia mengira bahwa ayah mertuanya sudah kembali ke kamarnya sendiri lantaran waktu sudah menunjukkan tengah malam.

"Ah, maaf aku masih di sini. Sakura bangun beberapa kali karena mual, aku tidak tega kalau meninggalkan dia. Karena kau sudah datang, sebaiknya aku tidur. Pegal sekali punggung orang tua ini." Raja Kakashi tertawa pelan sambil tetap mengusap-usap perut anaknya.

"Maafkan aku ayah, aku baru saja berkeliling istana sebentar setelah mengobrol dengan Sai. Ayah sebaiknya istirahat, sekali lagi aku minta maaf."

Sasuke membungkuk tidak enak melihat ayah mertuanya terlihat lelah karena menunggui istrinya.

"Kalau kau tidak terlalu lelah, tolong usap-usap perutnya supaya tidak terlalu mual."

Sasuke mengangguk, ia kemudian membungkuk singkat ketika ayah mertuanya berjalan ke arah pintu.

.

.

.

Jendela kamarnya masih gelap ketika ia mendengar suara-suara asing berasal dari kamar mandinya, Sasuke menoleh ke samping dan tidak menemukan sosok istrinya. Maka dengan cepat ia melangkah ke arah kamar mandi, lantas melihat Sakura tengah kesusahan memegang rambut sedangkan sebelah tangannya bertumpu di pinggiran bak air yang biasa digunakan untuk membuang air setelah berkumur.

Sasuke mendekatinya dengan tidak yakin, ia lantas memegang rambut Sakura, juga memijit pelan tengkuk istrinya. Setelah selesai memuntahkan isi perutnya sakura berkumur juga membasuh bibirnya. Ia menoleh ke arah Sasuke dengan cemas.

"Maaf membuatmu bangun, dan terima kasih aku sedikit lega." Sakura membungkuk singkat ke arah suaminya, membuat Sasuke mencelos melihat raut ketakutan pada wajah yang pucat bukan main.

Sasuke menggeleng pelan, dengan sigap ia mengangkat tubuh Sakura. Membuat tubuh wanita itu menegang.

Dengan perlahan Sasuke menurunkan tubuh ringkih istrinya ke atas tempat tidur, dengan hati-hati ia menyelimuti tubuh Sakura. Mengabaikan tatapan penuh tanya yang tercetak jelas di paras ayu Sakura.

"Mulai sekarang jika ada apa-apa kau bisa membangunkan aku."

Sakura terkejut lalu mengangguk singkat.

Sasuke kembali berbaring di samping istrinya lalu membawa wanita itu dalam rengkuhannya. Lubang di dadanya tidak tertutup, rasa bersalah yang ia miliki nyatanya begitu menganggu. Ia tahu apa maksud Sai, pria itu sedang mengajarinya bagaimana cara mengkondisikan dirinya sendiri jika suatu hari ia tidak menginginkan Sakura lagi.

Sasuke tidak yakin apakah ia mulai ingin memperhatikan wanita itu karena ada keturunan Uchiha dalam perutnya, ataukah karena ada hal lain yang ia sendiri tidak mengerti itu apa?

Ia jadi ingat belum lama meminta Suigetsu untuk membinasakan istrinya sendiri lantaran wanita itu mengetahui sisi terkelam dalam hidupnya. Rasa bersalah luar biasa merasukinya malam ini.

Ia membayangkan bagaimana jika hal itu terjadi, bagaimana jika Sakura mati ditangannya sendiri malam itu? Ia lalu melirik wajah damai istrinya yang tertidur dalam dekapannya. Wanita yang dengan lantang mendeklarasikan bahwa ia mempunyai cinta begitu besar pada suaminya bahkan sebelum mereka menikah.

Apa benar laki-laki yang memiliki hati keras seperti dirinya berhak menerima cinta sebanyak ini?

.

.

.

.

Seminggu setelah kujungan Raja Kakashi, Sasuke merasa istrinya jauh lebih pendiam dari biasanya. Awalnya ia mengira bahwa itu karena Sakura masih merindukan ayahnya, namun sisi lain hatinya ia merasa ada yang salah dengan istrinya tersebut. Jika diingat-ingat dia tidak melakukan kesalahan apa-apa, mereka bahkan jarang sekali bertegur sapa. Sakura lebih banyak mengurung diri di kamar, ia bahkan menutup jendela balkon kamar mereka agar elang-elang tidak mengajaknya bermain.

Malam ini ia tahu Sakura masih belum tidur meski wanita itu tidak bergerak sama sekali dalam dekapannya.

"Ada apa sebenarnya? Kau sakit?"

Sakura terlihat terkejut karena ia mengira suaminya sudah tidur dari tadi. Sakura menggeleng lemah, tidak yakin akan mengatakan ini pada suaminya. Ia takut kalau Sasuke marah besar.

"Tidak, anak kita baik-baik saja." Ucap Sakura lemah, ia takut jika suaminya terlalu khawatir pada anaknya dan membuat pria itu tidak konsentrasi ketika bekerja.

Sasuke menghela napas pendek, Sakura selalu saja mengira bahwa hanya bayi dalam perutnya yang ada dalam pikiran pria itu.

"Aku tanya kau sakit atau tidak?" Sakura menoleh ketika mendengar nada sangat lembut dari suaminya. Ia menggeleng gugup karena merasa diperhatikan oleh Sasuke seperti ini.

"Kau bisa cerita, aku tidak akan marah." Ucap Sasuke asal-asalan, ia bahkan tidak yakin istrinya menyembunyikan sesuatu darinya.

"Janji tidak akan marah?" Sasuke mengangguk ragu, oh, benar istrinya menyembunyikan sesuatu.

"Apa benar yang diucapkan Sai bahwa kau memperbolehkan ia menjemputku kalau kita sudah berpisah?"

Sasuke mendesah lelah, "Tidak ada yang akan berpisah, Sakura. Sebaiknya kita tidur."

"Jadi dia bohong?"

"Hm,iya."

"Dasar orang itu, suka sekali menakut-nakutiku."

.

.

.

.

Seingatnya Sakura sedang memetik stroberi bersama Suigetsu, lalu ia mendengar pria itu memekik keras, Sakura menoleh lantas menemukan sebilah anak panah menancap pada kaki Suigetsu. Lalu semuanya gelap.

Ia bangun dalam keadaan pegal luar biasa. Sakura merasakan sakit akibat ikatan pada tangannya, ia juga merasakan dingin pada kakinya yang menyentuh lantai keramik.

Ruangan ini begitu gelap. Ia hanya melihat seberkas cahaya matahari senja masuk melalui fentilasi kecil di atas kepalanya. Sakura menatap pintu besi yang ditutup rapat di hadapannya. Sakura yakin dia diculik, tapi karena apa?

.

.

.

Sasuke merasakan kemarahannya begitu besar dan menyakitkan. Ia ingin sekali mengancurkan sesuatu sekarang untuk melampiaskannya.

Bagaimana tidak, dia baru saja sampai ke hutan hendak berburu ketika tiba-tiba kawanan elang menyerang rombongan perburuannya. Sasuke dengan cepat memahami bahwa elang-elang sebanyak itu adalah elang yang biasa bermain dengan istrinya. Salah satu kawanan elang membawa ikat rambut Sakura dan terus terbang di sekitar tubuhnya. Kuda-kuda terlihat takut, namun tidak sampai berlarian ke sembarang arah.

Dengan cepat Sasuke memacu kuda miliknya kembali ke istana.

Semua orang berhamburan seperti sedang dalam bencana besar di dalam istana lantas hening seketika ketika Sasuke menginjakkan kakinya ke dalam kastil utama.

"Sasuke-sama." Sasuke menoleh, melihat Suigetsu tengah berjalan dengan bantuan seorang tabib. Kakinya terluka parah.

"Maafkan aku, Sasuke-sama."

Lalu udara seolah-olah menghilang begitu saja dari kehidupannya.

.

.

.

Sasuke bersama semua prajurit garda depan dan prajurit istana lainnya memacu kuda meski hujan turun dengan lebat sore ini. Sasuke bersama Jiro, kuda hitamnya berlari sekuat tenaga seolah-olah mengetahui bahwa Sakura dalam bahaya. Puluhan elang terbang lebih rendah dari ketinggian pohon-pohon di hutan, mereka menjadi petunjuk ke mana Sakura dibawa pergi oleh penculik.

Sasuke memang memiliki banyak pesaing, atau kerajaan yang benar-benar tidak menyukai kerajaannya. Namun sejak dulu, dalam sejarah tidak pernah ada satu pun keluarga Uchiha yang diculik seperti ini, tidak ada satu pun yang berani mencobanya.

Sasuke mengeratkan tangannya pada pedangnya sambil terus memacu kuda. Dalam hati ia berharap diberikan kesempatan untuk menyelamatkan Sakura beserta bayinya saat ini juga. Dia tidak mau istrinya terluka.

Membayangkannya saja ia tidak mampu.

Sakura. Tunggu aku.

.

.

.

halo halo halo!

fyuh, akhirnya upload juga di sini. Sebenernya di wattpad udah kemarin-kemarin si, belum sempat buka FFN aja. heuu, oya perasaanku aja atau emang udah mulai sedikit fic-fic di Fandom Naruto ya?

Di fic ini memang aku rasa Sasuke bener-bener nyebelin,masa sama istrinya begitu? hmm tapi settingnya kan kerajaan, aku mencoba menunjukkan sisi Sasuke yang benar-benar waspada dengan kemungkinan Sakura akan menjadi musuhnya dengan sisi dominasi yang coba Sakura tunjukkan di awal cerita. Apa lagi mereka dijodohkan yekaannn, Si Sasuke tidak tahu watak wanita itu sebenarnya. ditambah dia minim sekali pengetahuan. Apa lagi raja seperti dia harus mementingkan keamanaan kerajaan ketimbang semua hal pribadi. /duh maap malah banyak omong hiks *ditimpuk

btw terima kasih untuk semua review, follow, fav semuanya bikin aku semangat nulis-nulis lagi.

see you next chap.

cho.