Kau meronta, berusaha lepaskan kedua tangan dari cengkraman lelaki di belakangmu. Sepasang tungkaimu diayunkan sebegitunya, namun, tetap saja–ini sulit.
"Hei, lepaskan! Apa-apaan, sih? Ini bagaimana kau memperlakukan wanita, signore?"
Mista yang menahan tubuh mungilmu mengerutkan dahi. Ia sedikit tersindir. Buccellati hanya menghela napas panjang, berusaha tidak terprovokasi.
"Ini bagaimana cara kami memperlakukan tikus," Abbacchio membalas. Nadanya rendah dan tak main-main. Kau balas menatap nyalang. Bohong kalau ujung nuranimu tidak disergap rasa takut. Bahkan, tak aneh kalau bulir air transparan mulai meruak ke sudut matamu. "Kalau kau tidak memiliki niat jahat, seharusnya kau diam saja."
"Abbacchio," Buccellati menegur. Fugo tidak ingin terlibat dalam adu mulut yang tak berguna itu. Narancia–ia tidak yakin harus menginterupsi kekacauan ini. Maka ia hanya menekan password pada panel pintu, membukanya, dan membiarkan kau yang digiring oleh Mista masuk ke dalam sebuah ruangan.
Giorno sedikit tersentak oleh kerisuhan yang ada, meski ia sudah bisa mendengarnya sepanjang lorong.
"Buongiorno," kau menyahut. Ada sedikit humor serta cemooh di saat yang sama. Tapi lebih dari yang lain, kau tahu suaramu sedikit bergetar. Nyalimu hanya sebatas itu–memangnya, siapa yang tidak takut kala diringkus oleh anggota mafia dan dibawa kepada boss besar mereka? "Ingin meminta kembali dompetmu? Akan kuberikan, jadi sekarang tolong suruh bawahanmu untuk melepaskan!"
"Mista," Giorno memanggil. Yang disebutkan namanya menyodorkan pandangan ragu, namun sepasang aquamarine terlihat mantap.
Saat pegangan pada kedua pergelanganmu terlepas, kau merogoh kantung celana–kilat, melemparkan dompet kulit berwarna cokelat tua pada Giorno, yang ditangkapnya segera.
Apa yang tidak kausangka ialah–kala tangan sang Don terulur untuk menangkapnya, sesuatu yang lain menyertai. Benda kecil berbahan kulit menjelma menjadi setangkai anggrek dalam satu kedip.
Sebuah figur emas yang kokoh muncul. Manusia? Jelas bukan. Arwah? Itu lebih tidak masuk akal. Kau menjatuhkan rahang. Untuk memastikan sesuatu, kau memutar tubuh, melihat lima figur lainnya yang berdiri pada masing-masing insan.
"Sudah kuduga," Giorno berujar. Senyum tipisnya terbit. Ada sedikit rasa kesal di sana. "Pengguna stand."
Oh.
Apakah ini efek kau tidak bersekolah sedari kecil, sehingga kini otak terasa begitu bodoh?
Jojo's Bizzare Adventure: Vento Aureo © Hirohiko Araki
Warnings! Giorno Giovanna x reader, slight Buccellati x Trish, semi-canon (where all good characters are alive, yes, your welcome), romance, friendship, action, humor, time-setting takes after Vento Aureo's ending, possibly OOC, typo(s), rate T+ (16+), night club concept, foul language, EyD semoga betul seluruhnya, dan lain-lain.
Inspired by altreality's "Changeling – Giorno Giovanna x Reader" on Wattpad. Go check it out!
Fate by Saaraa
14 hours before
"Bellissimo," Guido Mista berkomentar seusai bersiul. Bola matanya mengedar hingga ke sudut-sudut ruangan. Membiarkan segala hal yang masuk pada jarak pandangnya memanjakan visual. Senyumnya merekah tanpa tahu diri dan, hei–jangan salahkan ia, ini kesempatan yang begitu jarang.
"Mista, kita ke sini untuk bekerja," Bruno Buccellati mengingati. Namun, senyum tipisnya memberikan maklum. Berada dalam buana yang dipenuhi oleh baku hantam dan adu senjata api memang membuat hal seperti ini terasa langka.
Yah–meski sebetulnya, kelab malam ialah milik semua individu, bahkan mafia. Tempat untuk curahkan hati, mencari pasangan satu malam, atau hanya sekadar nikmati suasana riuh ketika seluruh kota terlelap.
Leone Abbacchio mendengus. Sudah biasa. Jika ada yang harus dikhawatirkan, itu adalah Narancia Ghirga dan Pannacota Fugo–yang tampaknya jauh lebih inosen dari dugaan semua insan di meja itu. Keduanya hanya sibuk mengalihkan wajah dari tubuh para wanita yang, bagi mereka–kurang bahan.
Don Giorno Giovanna memasang senyum tipis.
"Baiklah, ayo bekerja, teman-teman."
.
"Target kita adalah pria berumur 46 dari Dominican," Giorno memulai. Mengingat berkas dan informasi yang telah ia kumpulkan sebelumnya dengan anak buah dan teman-temannya. "Namanya Abiezer Darius. Dia salah satu anggota dari Quirino Paulina*. Dalam dokumen resmi, ia datang ke Italia–Naples, untuk berlibur, tapi–tentu saja bukan itu. Paulina adalah salah satu dari drugs cartels paling besar di dunia."
Abbacchio kini melanjutkan, "Sudah ditemukan beberapa bukti bahwa narkoba kembali beredar, terutama di Naples. Kita sudah memeriksa seluruh caporegime Passione dan para soldato, tapi mereka bersih. Orang ini dengan sengaja datang untuk mengedarkan obat-obatan."
Narancia menyomot kentang goreng yang telah dipesan sebelumnya. Sambil mengemil, lelaki dengan bandana jingga itu bertanya, "Kenapa kita tidak boleh langsung, kau tahu–membuatnya pingsan dan menginterogasinya? Dia tepat di sana." Sesuai kalimat itu, Narancia mengarahkan jari telunjuk pada satu sosok lelaki tambun yang dikelilingi para wanita. Namun, bahasan mereka terhenti sesaat oleh karena mereka memerhatikan lelaki itu dan sikap yang dilahirkannya. Ada makian dan sumpah serapah ketika salah satu pelayan kelab salah mengantarkan pesanannya.
Oh. Tabiatnya juga menjijikan.
"Tidak bisa semudah itu, Narancia," Fugo yang kali ini membalas. "Kalau kita mengecamnya lalu ia melapor–dan kita pasti akan ketahuan bagaimana pun, pihak Paulina akan menganggap itu sebagai niat permusuhan. Ini akan berakhir buruk."
Giorno menyetujui. Iris sejernih biru-hijaunya samudra mengerling pada musuh yang ia incar. "Tapi, kalau kita bisa mengumpulkan bukti ia melakukan itu, maka kita bisa memberi peringatan pada Quirino Paulina untuk menjauhi Italia."
Buccellati menyodorkan ponselnya. "Kita perlu taktik halus untuk mendekatinya. Ia akan curiga bila kita–"
"Buonasera, signore," kau menyapa para lelaki yang terduduk pada bagian sudut ruang itu. Dalam satu sekon diskusi berhenti dilaksanakan.
Kaukirimkan kurva pada bibir tipis. Hati-hati, jemarimu sampirkan helaian surai ke balik telinga. Halter dress hitam melekat pada tubuhmu, ujung-ujung kainnya hanya menyentuh hingga setengah paha. Kau sengaja sedikit menundukkan tubuh, membiarkan ruang bagi para lelaki untuk melihat.
(Narancia nyaris tersedak, omong-omong.)
Ini bagaimana buana bekerja saat matahari merangkak ke belahan bumi lainnya, bagaimana pun.
"Ada yang bisa saya tawarkan? Minum, beberapa kudapan?"
"Tidak," Abbacchio menyahut paling pertama. Ekspresinya mengeras sebab mereka memang tengah membahas hal yang krusial. "Pergilah."
Tawamu menjelma serpihan. Bukan kali pertama menemukan seseorang yang begini. Dan, tentu, salah langkah–sebab kau langsung mendekati, duduk pada pegangan sofa dan sandarkan dirimu pada si lelaki bersurai perak. "Jangan begitu. Bukankah Anda ke sini untuk bersenang-senang?"
Giorno mengerjap beberapa kali. Selanjutnya, dengusan tercipta. Bahkan Abbacchio dapat luluh oleh seorang wanita, pikirnya, kala dilihatnya sang capo melembutkan gurat ekspresi–tidak langsung menepis kala kau mencolek dagunya dengan jari telunjuk.
Kau tergelak tipis. Menepuk dada bidang lelaki beriris dua warna.
"Signore, dengar suaraku." Sepasang bola matamu berkilat ditempa cahaya lampu. Kau lagi-lagi mengulas senyum, menilik satu-satu akan manusia di hadapan. Lalu, kau mendekati seorang lelaki pemilik helai secerah surai singa. Melabuhkan pantatmu di atas pahanya, lalu membubuhi dahinya dengan kecup lembut.
Giorno tidak paham—ada sesuatu menarik kesadarannya, mencegahnya untuk bertindak. Ada teduh merasuki syarafnya—entah itu fakta bahwa harum vanila tengah merajai olfaktorinya atau bahwa kehadiranmu memang membikin … terbuai?
Ini aneh.
Kata-kata itu menggaung kontinu pada kepalanya. Namun meski begitu, ia tak bisa menepis sesuatu yang membungkus akal sehatnya. Setir logikanya jelas tengah tak berfungsi sebagaimana mestinya dan otaknya lemah mencerna informasi. Dan itu terbukti dari tindakan si iris aquamarine yang mengangkat sebelah tangan untuk merangkul pinggangmu, membawamu sedikit mendekat, membiarkan jemarinya menelusuri hingga punggung dan pundakmu.
Fugo tersentak. Sejak kapan Giorno Giovanna bisa bersikap seperti itu? Ia memang memiliki karisma dan senyum yang meluluhkan hati wanita, tapi, Fugo tidak tahu bahwa ia juga mudah bersikap sensual.
Kau tertawa tipis melihat itu. Setelah memastikan dompet sang lelaki yang awalnya terletak pada saku celananya ada padamu, kau segera menjauhkan diri.
"Baiklah, kalau ada apa-apa, silakan panggil saya." Dan itu perpisahan yang kau lafalkan seduktif sebelum sepasang tungkaimu menjauh.
Buccellati, untuk suatu alasan—merasa was-was. Peringatan bahaya menelusup pada nadi, tapi ia tak paham apa.
Ancaman macam apa yang disodorkan dengan entitas pembawa teduh dan harum vanila yang manis?
Namun meski begitu, untuk kesehatan hatinya sendiri, Buccellati tetap memastikan, "Giorno?"
"Hmn?"
"Kau … baik-baik saja?"
Giorno kali ini mengirimkan sepasang netranya pada si surai biru gelap. "Kenapa tidak?"
"Sungguh, Giorno?" kali ini Narancia bertanya. Wajahnya sama bingung dan dipenuhi serba-serbi oleh apa yang terjadi.
"Ya," Giorno menjawab, telak. "Ayo lanjutkan pembahasan kita."
.
Pada akhirnya pembahasan tak meraih titik temu. Belum ada cara cukup baik untuk kelarkan perihal ini. Darius harus diringkus dengan aman tanpa timbulkan secercah pun pertikaian. Tentu, sebagai mafia, adu kekuatan ialah lebih mudah untuk dilaksanakan, namun—lain ceritanya bila ini menyangkut sindikat luar Italia.
Giorno menarik napas, lalu menghelanya pelan. Setidaknya mereka tahu bahwa Darius akan tetap mengunjungi kelab itu untuk beberapa hari ke depan selama masa "libur"nya.
Giorno menutup pintu dengan kakinya. Kunci otomatis berbunyi, serta secara serentak penerang ruangan menjadi benderang di waktu yang sama. Saat sadar ada sensasi yang menggelitik pada telapak tangan, Giorno perlahan membuka jemarinya. Beberapa tungkai baby breath lembut berdiam diri di sana. Giorno termenung.
"Kapan aku membuat ini, Gold Experience Requiem?"
Gold E. R. muncul, tampak sedikit bingung. Meski memang raut wajahnya tak akan sejelas milik manusia, namun perasaannya yang menjadi manifestasi nurani dari pengguna stand tampak begitu jernih; menggantikan Giorno untuk berekspresi.
"Tadi, ya, ketika naik ke sini?" tanya Gio. Stand miliknya mengangguk perlahan. Giorno mengernyitkan alisnya. Sekar yang halus dan putih itu perlahan kembali pada bentuk semula; kunci mobilnya.
Apa ini? Kenapa … apa yang sebelumnya aku sedang pikirkan ketika mengubah ini?
Giorno mengira-ngira mengapa hatinya serasa ringan dan seolah sekar tumbuh di sana–bukan dalam arti harfiah.
Fakta bahwa ini pukul empat dini hari membuat Giorno tak ingin berpikir untuk sekarang. Ia terlalu lelah untuk memutar kepalanya. Giorno melepas bros kumbang toska yang ia kenakan. Berikutnya ia melucuti kancing baju yang serupa gakuran hitam, melepas fabrik yang hampir seharian penuh merekat pada tubuhnya. Baju itu dilemparnya asal ke dalam keranjang dan kakinya menyeret untuk duduk di sisi kasur.
Barulah saat itu—ia sadar ada yang salah. Adrenalin baru saja menendang cepat pada sekujur tubuh. Dengan panik menghujam relung dada, ia membiarkan kedua telapak tangan merasai kantung kiri dan kanannya. Saat sadar tak ada apa pun di sana, rautnya berubah warna.
"Merde."
Aku ingat sekarang.
Kemarin itu tak wajar.
Giorno terburu meraih ponselnya, kemudian menekan tombol dan memilih salah satu kontak di sana.
"Pronto? Sono Buccellati—"
"Buccellati!" Giorno tidak membiarkan sang Sottocapo menyelesaikan kata-katanya. Sebuah pengakuan tercipta dan meski ia telah menjaga nada suara agar tak terdengar frustrasi, rasa kesal jelas tengah mengulik hati. "Dompetku dicuri."
"Eh? Apa—kau? Bagaimana bisa?"
"Aku tidak tahu," Giorno menjawab. Pada titik ini harga dirinya sedikit terluka. "Tidak—mungkin aku tahu. Oleh wanita semalam dari kelab itu."
"Berapa ratus euro?"
Giorni terdiam sesaat. "Itu … lupakan itu dulu. Kita butuh dia, Buccellati. Aku tak bisa menjelaskan sekarang tapi bantu aku mencarinya."
Giorno dapat mendengar keheningan sesaat sebelum akhirnya Buccellati menjawab, "Baiklah. Aku akan hubungi yang lain. Sementara itu, tidurlah meski hanya sebentar, Boss. Kau yang paling harus bisa berpikir jernih."
Ia benar. Maka itu, seusai Giorno meretas panggilan, ia tak butuh waktu lama untuk mengempaskan punggung pada kasur dan terseret dalam semesta mimpi.
.
.
.
Dan ini kembali pada awalnya. Giorno melangkah mendekat. Kau memastikan sepasang kakimu cukup kuat untuk dipaksa melaju kabur–meski kau tahu tidak akan berhasil, karena ada enam lelaki dewasa yang mengawasi.
"Apa, sih?" kau akhirnya bersuara, seusai sunyi yang membungkus suasana. Ingin segera tancap gas dan bersembunyi secepatnya–lari dari beberapa pasang mata yang terasa menusuk hingga jiwa. "Aku sudah mengembalikan dompetmu, kan?"
"Hm-mnn," Giorno menggumam, nyatakan persetujuan dengan mengangguk. Kau semakin tak paham. Terlebih kala lelaki itu perlahan menyeret kakinya, memutari tubuhmu.
Kau sadar bahwa yang lain hanya membungkam hasrat untuk bersuara. Baiklah–barangkali yang bibirnya dipoles warna ungu lembut itu sudah seperti hendak menerkam, karena kau mendadak teringat dia adalah seseorang yang menjadi korban pertama.
Namun berdasarkan observasi sederhana, konklusi ditarik: lelaki bersurai pirang ini ialah kepalanya. Kau menarik napas panjang, lalu menghelanya cepat, berujar, "Baiklah, hei–aku tidak tahu kalau kau Boss Passione dan tentunya aku tidak akan melibatkan diri dengan mafia jika aku tahu. Jadi–"
"Bukan masalah itu, kok," Giorno memutus. Bola matamu mengikuti pergerakannya dan melihat bahwa ia perlahan kembali berdiri pada hadapanmu, menaruh kedua tangannya di belakang. "Aku tak akan repot untuk mengejar pencuri dompet."
Kau menautkan kedua alis. "Tapi?" tagihmu, masih mengunci sepasang iris hijau samudra.
Giorno memasang senyum–begitu arogan. Bukan ekspresinya yang biasa. Buccellati paham. Ini masalah harga diri yang terluka. Berikutnya, ia mengangkat sebelah tangan yang tadi bersembunyi di balik pinggang, dan menunjukkan ponsel milikmu yang sebelumnya ada pada kantung belakang.
Kau terkesiap, reflek mengunjun dirimu untuk memeriksa kantung belakang celana. Kosong.
Ohhh … baiklah, aku paham sekarang.
"Tapi, aku tidak percaya seseorang bisa mengambil barangku tanpa aku tahu. Hanya saja, kalau ini sudah berhubungan dengan stand–itu lain cerita." Giorno sekali lagi tersenyum tipis. Kemudian ia berubah fokus, mengarah pada kawan-kawannya. "Sebelum itu … kalian pergilah mandi dan istirahat sebentar. Sehabis itu baru kembali ke sini."
"Akhirnya," Abbacchio mendesah jengah. Kau sedikit menoleh ke arahnya, mendapati delikan yang tidak menyenangkan.
"Yayy!" Narancia meloncat senang. Pikirannya telah membayangkan makan siang yang belum ia dapatkan sama sekali. "Giorno, boleh aku memesan margeritha? Oh! Dan bruschetta?"
Giorno terkekeh tipis. "Boleh. Tanyakan yang lain ingin makan apa. Aku ikut saja. Tambahkan satu porsi, Narancia," sambung Giorno.
Maka, sisanya mengundurkan diri, keluar dari ruang kondominium sang Don. Masing-masing mengarah pada ruangannya sendiri di lantai yang berbeda. Ketika satu per satu manusia telah tersingkir, Buccellati masih ada di sana.
Senyumnya merekah tipis. "Giorno, aku akan pinjam kamar mandi dan bajumu."
"Tentu."
Langkah kaki Buccellati mengarahkannya pada kamar Giorno sebelum pintu tertutup dan lagi-lagi–hening tercipta. Giorno mengedikkan dahu, menyuruhmu untuk duduk pada sofa. Kau mengusap tengkuk, menuruti. Toh–tak ada yang benar-benar bisa kaulakukan untuk sekarang.
Kala melabuhkan dirimu di sana, kau menoleh ke kanan, tepat di mana sebuah jendela kaca besar terpatri pada dinding bangunan. Di sana, kau mampu melihat kota Naples dan segala keindahannya. Sang surya yang di angkasa, awan membubung tinggi, burung berkeliaran tanpa tahu diri–segalanya cantik, ketika kau tidak harus berpikir.
"Mencarimu cukup sulit," Giorno memulai. Ia mengambil tempat tepat di hadapanmu. Kalimatnya yang ini berhasil kembali merebut atensimu. "Kau tidak bekerja di kelab semalam dan kami harus mencari wajahmu satu-satu di data penduduk. Bahkan alamat rumah yang kaudaftarkan pada pemerintah itu ternyata kosong dan sudah disita oleh bank. Makin membikin bingung."
Kau mendengus. Kali ini mengempas napas panjang–sedikit lega sebab tak ada lagi tekanan berat dari para bawahan si kepala mafia. Namun, kau tahu lengah bukan jawaban. Lelaki ini dapat menjadi Don di umur yang muda karena suatu hal, bagaimana pun. "Yah, mau bagaimana lagi. Aku perlu mencari uang–untuk makan, setidaknya."
"Aku tahu."
Jawaban itu membuatmu mengarahkan pandangan ragu. Bagaimana ia tahu? Hidupnya berlimpah harta dan loyalitas bawahannya begitu tumpah-ruah. Segalanya terasa paripurna–pikirmu.
"Dengar," ujarmu pada akhirnya. "Kalau ini soal uangmu, aku minta maaf. 300 euro-mu sudah kusumbangkan ke lima panti asuhan, sisanya untukku makan siang dan malam. Aku akan berusaha mengembalikannya, oke?"
Giorno menggeleng. "Tidak apa. Aku tahu, kok–ada laporan bahwa beberapa panti asuhan di Naples menerima uang dari anonim."
Kau mengerjap. Porca vacca–kau tahu Passione adalah organisasi yang menguasai Italia, namun ketika dihadapkan dengan realitas ini, mau tak mau ada sedikit rasa takjub.
Itu pasti bagaimana cara dia melacakku.
"Lalu? Aku tak berguna, loh."
"Yah–anggap saja ini caramu meminta maaf?" Giorno memberi saran. Senyumnya masih tercipta pada bibir sang Don muda yang baru di awal umur 19. "Kami butuh kau untuk membalas budi."
Kau terdiam sesaat. Berikutnya dengan gaya hiperbolis kau menyilangkan kedua tangan di hadapan dadamu. Giorno nyaris tersedak.
"Bukan itu–lagipula, bukankah kau sendiri yang menunjukkan kemarin malam?"
Kau segera menepis, bibirmu merengut dan ruas pipimu digurati warna merah muda pucat, "Itu pengecualian!"
"Oh?" Giorno menantang. Sedikit terhibur. Gadis ini lebih mudah diajak berbicara dari kelihatannya. "Pengecualian bagaimana?"
"Yah!" Kau berpikir sesaat, mencari balasan yang bagus. "Daripada itu, kau sendiri? Kenapa pemuda baru dewasa sepertimu bisa jadi Boss dan datang ke kelab malam?"
Kaset memorinya berputar, kenangan kembali meruak pada permukaan. "Aku sedang bekerja," sahutnya. Lalu tawa tipis diberikan secara cuma-cuma dan Giorno melanjutkan, "Kau jauh lebih mudah diajak bicara daripada semalam."
Ketika kau bersikap sensual. Terlihat sekali itu bukan dirimu.
Senyum tipis terukir pada bibir. Bukan yang tulus. Tertunduk sedikit, kau melanjutkan, "Tidak semua orang bisa menjadi pemimpin kepala mafia dan memiliki tempat tinggal."
Aku perlu mencari uang. Cara termudah adalah dengan bertingkah seperti itu.
Itu adil, Giorno membatin. Tentu, ada perjuangan untuk sampai di titik ini, sesuatu yang betul-betul korbankan darah dan butuh tekad kuat. Dan ironisnya di saat yang sama, itu tak adil untuk memaksa orang lain, terutama yang bukan dari buana macam ini–untuk mengerti. Maka, dia hanya diam.
Lalu, suara pintu yang terbuka terdengar. Kau dan Giorno sama-sama mengalihkan wajah ke arah sumber suara. Buccellati di sana, meloloskan kuapan dan mengusap surai biru gelap dengan handuk selembut bulu domba. Ia memakai kemeja putih dan ripped jeans.
"Aku tidak tahu kau punya pakaian trendy seperti ini, Giorno," Buccellati berujar, tersenyum tipis. Giorno hanya membalasnya dengan gestur ekspresi yang sama. Sang Under Boss mendekat untuk duduk di samping sang Don. "Jadi … namamu–," ia menyebutkan silabel namamu. Terasa asing. Namun menggelitik. Aneh. "–kan? Salam kenal. Aku Bruno Buccellati, Under Boss dari Passione."
Kau mengangguk. Semakin merasa bersalah–untuk suatu alasan. Kau mencolong uang atasannya dan lelaki berwajah manis ini masih bersikap lembut. Ya, tentu, ada pula seseorang yang tanpa tedeng aling-aling menunjukkan rasa jijik–seperti lelaki bersurai perak yang tadi. Namun, ini, tak kausangka.
Giorno sadar ada sedikit garis hitam pada bawah mata Buccellati. Maka itu dia mengangkat tangannya, mengusap sisi wajah kawannya. "Tidurlah. Dua puluh menit pun cukup," ujarnya, paham betul bahwa Buccellati tak mendapat tidur sama sekali sejak semalam.
Saran itu dituruti. Buccellati merebahkan diri di sofa, menggunakan pangkuan Giorno sebagai alas kepalanya.
Kau menopang dagu dengan tangan, lalu terkekeh. "Kalian semua … terlihat sangat akrab. Aku nyaris iri."
Tentu–bukankah memiliki seseorang yang sebegitu dekat, dapat diandalkan, adalah keinginan hati setiap insan? Bukankah untuk tujuan itu manusia tercipta, demi mencari bahagia dan sosok yang setia?
Giorno memusatkan irisnya pada Buccellati dan tak butuh waktu lama hingga napas bertempo rapi terdengar–ah, ia sudah pulas. "Yah, kami … melewati banyak hal bersama."
Kau menggulirkan bola matamu ke bawah. Mendadak sepasang kakimu menjadi hal menarik ketika ada yang harus dipertimbangkan dalam kepala. Bisakah kau percaya padanya?
Ia tak terlihat jahat. Hanya lelaki dengan strata yang tinggi, namun tak terlihat sewenang-wenang. Di saat yang sama, setelah itu–apa? Apa yang akan terjadi, apa yang hendak kaulakukan, ketika pintaannya ini selesai?
Kau tidak tahu cara mafia bekerja, namun jelas kau paham bahwa membunuh dan menyingkirkan yang tak perlu adalah salah satunya.
But you have nothing to lose, don't you?
"…. Snow Patrol."
Saat suaramu berkumandang lembut, satu figur humanoid tampak. Giorno mengerjap–tidak sangka bahwa kau akan menunjukkan stand milikmu. Figur itu berwarna putih–serupa seperti namanya; salju. Tubuhnya tampak lembut dengan sepasang bola mata sejernih kristal–biru dan cantik. Serupa dewi Yunani, fabrik yang melekat pada tubuhnya begitu panjang, mengayun dan terasa ringan.
"…. Cantik."
Kau terkesiap. Detak jantung melompati satu interval. Oh. Stand-ku, ya?
"Makasih," ujarmu. Kemudian melihat ke arah Snow. "Apa kau mau menebak kekuatannya–mumpung kau berhasil menerka bahwa aku punya kemampuan ini?"
Giorno mengusap helaian biru gelap Buccellati sebelum berujar, "Manipulasi emosi. Kurasa kuncinya pada suaramu, sebab seusai mendekati Abbacchio, kau dengan jelas berkata, 'Signore, dengar suaraku.'"
"Woah." Kau merasa itu impresif. Ia sangat teliti.
"Selama suaramu dapat meraih gendang telinga orang-orang di sekitarmu, kurasa kau dapat menciptakan efek tertentu. Tapi untuk benar-benar mengerahkan kemampuan itu dan memengaruhi seseorang, kau harus memfokuskan dirimu pada satu orang saja. Itulah mengapa kau mendekatiku, agar suaramu tidak terpantul ke yang lain."
Kau memberi anggukan. Itu benar.
"Jadi?" Giorno kali ini yang bertanya. Jelas ingin tahu apa yang bermain-main pada sekrup otaknya semalam. "Emosi macam apa yang kautanamkan padaku di kelab itu?"
Kau menunjukkan cengiran terbaikmu. "Terangsang."
Giorno menutup dan membuka pelupuk matanya dua kali. Berusaha mengatur ekspresi agar tetap kalem. Namun kau belum selesai, kau melanjutkan, "Dan cinta. Bukan dalam dosis yang banyak, tapi cukup untuk membuatmu lengah dan menoleransiku."
Giorno memijit pelipisnya. Tidak heran perasaanku jadi ringan. Baby breath yang tidak sengaja kuciptakan dengan Gold Experience Requiem juga pasti efek dari emosi itu.
Itu … terasa asing. Tapi tidak buruk.
"Mau coba lagi?" Kau mengusili, siap tertawa.
Giorno memberi dengusan melalui hidung. Namun selanjutnya, keinginan untuk menjahili juga muncul, sehingga ia berujar, "Entahlah, apa kau bisa menghadapi aku yang suka padamu?"
Kau mengerjap. Ingin membalas, tapi belom sempat, sebab tak lama, pintu ruangan Giorno kembali timbulkan bunyi–tanda bahwa seseorang membuka pintu. Fugo dan Mista yang masuk pertama, tampak sedikit lebih segar. Keduanya sedang berbincang soal gim rilisan terbaru atau sesuatu semacam itu. Di belakangnya, Narancia membawa tiga kotak pizza besar dan beberapa kotak pasta.
"Pizza mozzarella, pizza mozzarella …." Lelaki dengan bandana itu berujar bahagia.
Kau hampir meloloskan tawa. Mengapa tidak ada orang yang membantunya?
Dan–ah, di sana dia. Lelaki penggerutu, pemilik sepasang netra heterochromia sebagian. Padahal kalau ia tidak galak, atau senantiasa tampak seperti ingin mencabik daging orang, sepasang iris violet berpadu emas itu terlihat indah.
Pundakmu menegang, kembali waspada. Meski Don Giovanna sendiri yang mengampunimu, tetap saja–sudah menjadi insting naluriah untuk takut pada sesuatu yang mengancam.
Giorno jeli menangkap hal sederhana. Perlahan, lelaki itu meraih bantal di sebelahnya, mengangkat kepala Buccellati, dan mengalasinya dengan bantal. Kemudian keputusan ia ambil, "Abbacchio, kemarilah."
Abbacchio mengangkat sebelah alis sebelum menuruti. Kau mencengkram celanamu sendiri. Kenapa malah dipanggil ….
"Dia ingin minta maaf untuk semalam," ujar Giorno. Ia mendekatimu, lalu merangkul pundakmu, membiarkan tubuhmu bersandar padanya. Kau terkesiap, tapi tidak menolak. Kau mulai paham cara mainnya yang memiliki tendensi untuk betul-betul menyatukan. Tak heran dia boss-nya. "Hei, apa kau bisa mengeluarkan stand-mu untuk menunjukkan bahwa kau tidak bermaksud jahat?"
Abbacchio semakin mengernyit. Ia tidak lupa ada perasaan aneh yang mengacaukan kepalanya. Dan tentu menaruh dendam untuk itu, sebab ia benci akan permainan manipulasi seperti itu. Kau meneguk ludah sebelum berbisik, "Snow Patrol."
Saat figur serupa manusia muncul di tengah udara hampa, yang lain langsung terfokus.
"Cantik!" Mista berseru. Giorno langsung menaruh jari telunjuk di hadapan bibir, melirik Buccellati. Maka pemilik Sex Pistols menutup bibirnya dengan sebelah telapak tangan terbuka.
"Mirip Snow White," Fugo melirih. Ia ingat akan tugas kuliahnya di awal masuk universitas. Dulu sekali. Penelitian sederhana terhadap animasi yang menjadi pondasi dunia animasi. Ia ingat bahwa gadis yang tersedak apel beracun itu memang begitu jelita dalam bayangannya—berkulit putih, bibir semerah darah.
"Kau menonton film anak-anak, Fugo?" tanya Narancia, tulus. Namun Fugo mengira itu cara kawannya menghina, maka ia hanya merengut kesal.
"Aku …," kau berujar perlahan. Memberanikan diri mempertemukan irismu dengan miliknya, yang terbagi oleh dua warna sekunder. "… minta maaf."
Mendengar suara lembut yang dikerahkan dari pangkal tenggorokan, Abbacchio menghela napas panjang. Ekspresi melunak, ia menaruh sebelah tangan di pinggang.
"Terserah. Giorno, biarkan Buccellati tidur. Ayo kita makan."
.
.
.
Buccellati bangun tepat setelah masing-masing duduk dalam bentuk lingkaran di atas sofa. Giorno mengambilkannya satu kotak seafood aglio-olio dan Buccellati bertanya padamu apakah kau suka carbonara atau tidak–kau menjawab sejujurnya, lalu menikmati carbonara-mu dengan lahap.
Sementara itu Giorno mulai membuka akar masalah, "Baiklah. Kita mulai dari awal." Lelaki pirang itu menoleh ke arahmu, lalu kirimkan senyum timpang. "Namaku Giorno Giovanna. Aku boss dari Passione."
Buccellati hanya mengangguk dan tersenyum–sebab ia sudah mengenalkan diri sebelumnya. Maka itu, selanjutnya suara serak Mista berdendang, tersenyum cerah, "Aku consigliere, Guido Mista. Salam kenal, mia tesoro."
Kau nyaris terkikik.
Giorno akhirnya membiarkan telunjuknya menjadi pengarah bagi matamu. "Sisanya adalah caporegime. Itu, Leone Abbacchio, Pannacota Fugo, dan Narancia Ghirga. Biasanya mereka berkuasa di daerah yang berbeda, tapi untuk beberapa kasus–seperti yang ini, mereka bekerja bersamaku."
Giorno kali ini memunculkan Gold E. R. miliknya. "Ini adalah stand milikku," sambungnya. Meraih bros kumbang yang terpatri pada bajunya, ia kemudian membungkus bros itu dengan kedua telapak tangan. Ketika dilepas, seekor burung gereja muncul dari sana–begitu patuh dan lucu. Kau memerhatikan jeli; tak berkedip. Perasaan membuncah pada dada, begitu hangat–begitu berbunga. Ini sama ketika kau melihat ia mengubah dompet menjadi setangkai anggrek.
Tukang pamer, Abbacchio berpikir. Meski begitu, ia sedikit terhibur melihat Don Giorno Giovanna menikmati momen menjelaskan kemampuannya hanya teruntuk seorang gadis. Aha–ia akan mendapatkan materi ledekan untuk atasannya.
"Kemampuanku adalah membuat benda mati, menjadi sesuatu yang hidup."
Kini kau melihat irisnya. Aquamarine. Persis seperti samudra yang ombaknya bergelung-gelung, yang permukaan airnya berkilau ditimpa cahaya mentari, yang alunan airnya menenangkan batin. Dan betapa mudahnya kau terlena oleh iris yang–begitu manusiawi untuk seorang pemimpin mafioso.
Giorno mengalihkan pandangan dan kau tersadar dari lamunan. Berikutnya, burung gereja kembali pada bentuk semula. Kau tahu ini gantianmu berbicara. Maka kau memanggil secercah bagian dari dirimu, "Snow Patrol."
Saat stand itu tampak, kau mulai menjelaskan, "Ini Snow Patrol. Kemampuannya adalah manipulasi emosi dan perasaan. Biasanya aku menggunakannya hanya untuk …," kau terbatuk, "mencuri. Sebagian besar. Menggoda seseorang, atau memanipulasi bahwa mereka adalah orang yang sangat baik dan sayang padaku sehingga memberiku uang."
Ini menyedihkan, kau menjerit dalam hati. Aku sudah tahu hidupku payah, tapi begitu dituang dalam kata-kata–ini terasa sangat parah.
Namun, di luar ekspektasimu, sebuah suara mengucap penuh kagum, "Ke—keren!"
Kau tak paham. Narancia tersenyum senang, kembali melanjutkan, "Hei, Giorno, dia keren sekali! Aku baru pertama kali bertemu stand yang menyerang mental musuh!"
Buccellati menendang sebelah sudut bibir. "Yah, kami memang tidak menyetujui caramu dalam mencari uang, tapi," lelaki itu terdiam sesaat. Kau melihat ke arahnya, mencari jawaban. "… kau masih bisa menebus kesalahan itu."
Oh. Fugo mengepalkan tangannya, membawanya pada depan bibirnya. Ia mulai menangkap apa tujuan Giorno dan mengapa kau diseret dalam perkara ini. Maka lelaki itu membiarkan isi pikirannya jadi verbal, "Kau ingin … dia," Fugo menunjukmu, "melakukan infiltrasi dan mengorek informasi dari Abiezer Darius dengan kemampuannya?"
Pundakmu melonjak kaget. Kau fokus pada wajah Giorno; mencari sesuatu di sana. Yang kautemukan hanyalah senyum tipis—amat percaya diri, dibumbui sedikit arogansi yang atraktif. Seolah ia ingin menunjukkan bahwa ia paham betul apa yang tengah ia lakukan.
Satu sekon berikutnya kau berdiri dari sofa itu. Sesuatu mengikis kesabaranmu, meletupkan katup emosi yang ada di hatimu.
Apa orang-orang ini waras? Yang–
"–benar saja!" kau menyergah. Menautkan alis dalam-dalam pada sang Don dari Passione. Namun, Giorno tak gentar–tentu saja tidak. Kau tahu pasti mengapa. "Kau yakin dari mana aku bisa melakukannya? Aku tidak punya kesetiaan padamu! Kau mengirimku untuk mengorek informasi–tapi, bagaimana kalau malah aku yang menjual kalian?"
Kau menggigit bibir. Tunggu. Kenapa aku harus mengatakan itu? Aku bisa melakukannya diam-diam.
Saat merasakan sesuatu membungkus pergelangan tanganmu, kau terkesiap. Pundakmu melemas. Kaulihat Buccellati menarik lembut, memintamu untuk duduk. Kau menuruti, meski masih ada rasa pahit di ujung lidah.
Maka, Giorno angkat suara, "Kau mengambil 300 euro dari dompetku."
Mista mengedipkan mata beberapa kali. Mengapa juga kau menyimpan 300 euro di dalam dompet dalam bentuk kas? Pikirnya, begitu heran pada Giorno.
"Tapi, kau tidak membuang dompetku, atau foto tua di dalamnya. Kau menyumbangkan sebagian besar untuk panti asuhan. Apakah kau yakin nilai moralmu benar-benar tidak ada?"
Kau membeku. Itu kesimpulan konyol yang ditarik dari observasi terhadap tingkah yang tak jelas. Entah untuk meyakinkan siapa kau membatin. Mungkin dirimu sendiri.
Lalu belum cukup si lelaki bersurai pirang mengulik hatimu, Buccellati ikut andil dalam permainan itu. Meski kau ingin percaya bahwa–dan memang, lelaki beriris angkasa tulus apa adanya ketika belah bibirnya mengucap, "Kurasa tak ada salahnya kalau kau mendengarkan ini sampai akhir. Sesudah itu, apakah kau ingin tetap mencuri di jalan, atau sekali-kali mencoba untuk melakukan hal yang benar … itu pilihanmu."
Abbacchio, begitu sadar–telah tersenyum tipis. Ia ingat bagaimana Buccellati mengumpulkan timnya, bagaimana ia memiliki hati teruntuk mereka yang dikucilkan masyarakat, sendirian, dan terperangkap dalam rasa bersalah. Dasar. Apa jadinya kita tanpa kau, Buccellati.
"Aku akan melanjutkan," Giorno berujar. Kini ia menatap anak buahnya. "Darius bukan sosok yang penting di Quirino Paulina. Tapi sedikit salah langkah, bisa-bisa kita yang dianggap menyatakan perang. Aku tidak ingin membuat keributan dan dicap oleh masyarakat, karena itu berarti kita tak akan dipercaya. Akan semakin sulit mencegah peredaran narkoba untuk ke depannya."
Kau menautkan alismu–tak paham. Bukankah reputasi mafia memang jelek? Aku bahkan pernah mendengar boss Passione yang sebelumnya itu rada sinting! Dan bukankah pekerjaan mereka termasuk menjual narkoba, memalak, dan sebagainya?
"Anuu, Giorno," Narancia memanggil, mengangkat tangan. "Dia sepertinya bingung, mungkin kita harus jelaskan dari awal?" lanjutnya, menunjukmu.
Memangnya ekspresiku sebegitunya terbaca?
"Oh, benar juga," tanggap Giorno. "Kalau begitu, kau yang jelaskan, Narancia."
"Yay!" serunya–persis serupa anak-anak. Maka, Narancia mulai berceloteh, "Passione sudah berubah sejak di bawah kepemimpinan Giorno 4 tahun lalu–"
"Aku tidak pernah setuju dia jadi Don," Abbacchio mencibir.
"Mau bagaimana lagi, dia yang mengalahkan Diavolo, kan?" sambung Mista, tergelak. Tampaknya Abbacchio masih tetap pada pendiriannya bahwa Buccellati lebih pantas jadi kepala. Tapi meski selalu berkata begitu, lelaki bersurai perak itu selalu siap menopang Giorno dan membantunya–dasar, tak pernah jujur. "Oh, Trish bahkan setuju Giorno yang jadi penerus! Secara keturunan, Trish bisa jadi boss, tahu?"
"Jangan meracau, kurasa akan lebih baik jika Trish meninggalkan dunia mafia sejak apa yang terjadi padanya," timpal Fugo.
"Ya, ya!" Narancia berdeham. "Intinya, Passione tidak seperti organisasi yang biasa kauketahui. Tugas kami termasuk menghentikan peredaran narkoba, melacak kriminal dan menyerahkannya pada polisi, merampas sedikit uang dari orang-orang kaya dan membagikannya pada orang miskin. Selain itu, masih banyak lagi, sih, tapi itu inti kerjaan kami!" Lelaki berumur 21 itu mengakhirinya dengan senyum bangga dan senang.
Kau meloloskan dengus tawa. Kelompok yang aneh.
"Siapa Diavolo?" kau bertanya ketika mendadak mendengar nama yang asing.
"Ah …," Giorno mengingat memori lama. Ia mengirimkan cengiran tipis padamu. "Itu rahasia."
Jantungmu meloncati satu interval lagi. Kau mengalihkan wajah, dahi berkerut dalam.
"Baiklah, selanjutnya berarti … informasi yang kuterima, Darius senang mengunjungi kelab itu untuk suatu alasan. Kurasa karena wanita? Sejak ia datang ke Naples satu minggu lalu, ia tak pernah absen datang ke sana."
"Apa kau sudah memastikan bahwa ia bukan bertemu kolega di Italia?" Abbacchio keluarkan pertanyaan.
"Itu yang sedang kuselidiki." Mista yang memberi kunci jawaban atas pertanyaan si iris dwiwarna. "Tapi, ketika kita mengawasinya semalam, jelas bahwa dia tidak bertemu siapa-siapa. Kurasa di pikirannya memang hanya wanita."
"Dengan kata lain; kau tapi versi lebih berengsek," Fugo menyahut acuh dan ringan–seolah-olah ia tidak baru saja menyakiti perasaan kawannya.
"Hei!"
Narancia terkikik-kikik. "Tenanglah, kalau dia ternyata membawa kawan, kita bisa mengatasinya."
Ah … mereka begitu percaya satu sama lain.
"Di sini yang akan jadi tricky," Giorno membiarkan nada bicara itu lebih rendah. Tanda bahwa apa pun kalimat yang siap disodorkan, lebih baik hati-hati diberi perhatian. "Kita harus cari cara untuk membiarkanmu dan Snow Patrol mendekati Darius."
Kau mengerling pada si iris turquoise. Dia berbicara seolah-olah aku sudah setuju akan ikut. Apa bahkan aku punya pilihan sejak awal?
"Kalau aku mendekatinya langsung, ada kemungkinan Darius mengenal wajah Don dari Passione. Begitu pula kalian sebagai anggota. Aku cukup percaya setolol apa pun dia–dia akan berjaga-jaga dengan mengenali teritori mafia di tempat yang akan dia datangi.
"Selanjutnya, karena akan sulit mengumpulkan bukti fisik, satu-satunya cara adalah dengan rekaman. Selama kita bisa membuatnya berbicara dan mengakui bahkan hanya sedikit hal, kita bisa mengirimkannya pada kepala Quirino Paulina. Dengan itu, harusnya mereka cukup tahu diri untuk menarik Darius dari Italia."
Sebuah firasat terselip pada otakmu. Ragu, kau mengangkat sebelah tangan, berusaha masuk pada area pandang Giorno. Lelaki itu menyadari, menoleh, dan menunggu kau mengatakan sesuatu.
"Aku– … maksudku, apa yang akan terjadi pada orang itu kalau atasannya tahu ia berulah di teritori organisasi lain … ?"
Abacchio menyeringai. Ia suka topik ini. "Kau ingin jawaban jujur?"
Buccellati menggeleng lelah. "Tidak, Leone–," ia berusaha memanggil nama pertama si surai perak, isyarat bahwa ia serius.
Tapi sayang sekali, Abbachio juga bisa bermain di ranah itu. "Bruno, sebentar. Bukankah kalau jadi reserse harus tahu dulu tanggung jawab dan resikonya?"
Kau semakin menautkan kedua alismu.
"Kalau Darius ketahuan, kemungkinan dia akan–"
"–dibunuh. Dibakar seperti penyihir. Mungkin sedikit siksaan sebelum benar-benar pelaksanaan eksekusi. Tergantung cara kerja mereka, sungguh," Giorno berujar, memutus kalimat Abbacchio sebelum sempat diselesaikan, lalu mengangkat bahu. Tidak melepaskan kelereng sewarna hijau samudra dari bola matamu yang berdilatasi. "Dan itu bukan urusan kita untuk memikirkan."
Aku tak paham.
Tentu kau tidak paham. Di satu keadaan, Giorno tampak seperti lelaki yang ramah, penuh afeksi–tapi di sisi lain, ia tak ragu, tak pernah bimbang. Ia melaju dan tak pernah menoleh ke belakang. Bahkan jika sukma jadi taruhan, ia akan terus melangkah, tak membiarkan mimpinya tertahan. Apa ini sikap yang ia tuai kala mendapatkan posisinya sebagai boss dari organisasi yang merajai Italia?
Atau justru karena sikapnya yang begini, ia bisa jadi boss.
Abbacchio mendecak. Hilang sudah kesenangannya. Meski tak ia sangka bahwa Giorno tak ragu untuk menjelaskan dengan begitu transparan, seolah tanpa hati.
"…. Baiklah," kau menjawab, pada akhirnya. Sedikit sakit kepala. "Ayo anggap itu skenario terbaik. Apa yang akan kalian lakukan jika aku gagal?" Kali ini kau mencoba ikut dalam diskusi, mempertanyakan rencana dan mempertimbangkan baik-baik. Jelas belum sepenuhnya kau setuju pada hal ini, tapi–tidak ada hal lain yang dapat kaulakukan untuk sekarang.
Giorno terdiam untuk sesaat. Kupikir dia akan kalap lagi.
"Yah–kalau begitu, apa boleh buat. Mungkin Darius bisa melapor pada atasannya. Kalau dia cerdas, dia bisa menyembunyikan fakta bahwa dia mengedarkan narkoba di teritori mafia lain, sekaligus memanipulasi fakta sehingga menunjukkan seolah kita yang memulai permusuhan. Selebihnya bisa ditebak … kurasa."
"Bisa ditebak" … bagi kalian, ya?
Giorno mengusap kepalamu. Kau terkejut akan tindakan tanpa aba-aba dan memilih tetap menundukkan kepala.
"Kau punya waktu berpikir hingga malam ini. Dan kalian punya waktu untuk tidur," sambungnya, mengarahkan tatapan pada kawan-kawannya.
Kau masih tetap menunduk, bahkan hingga langkah kaki satu-satu menjauh, keluar dari ruangan, terkecuali sang empunya.
.
.
.
Saat senja datang, Buccellati menyodorkan satu kantung kertas padamu. Isinya adalah oversized sweater dan sweatpants. Kau melihat tag-nya–dan tampak itu masih baru. Harganya sudah dilepaskan dan kau mendengus akan betapa sopan serta teliti tindakan itu. Kau hampir terbatuk ketika melihat sepasang pakaian dalam baru juga hadir di sana.
"Siapa yang membelikan?"
"Oh, aku minta tolong Trish. Kurasa ukuranmu mirip dengannya."
Telingamu menegak mendengar nama perempuan. Dengan senyum, kau mengangkat kedua alismu dengan cara menyenangkan sebelum meloloskan suaramu, "Dan Trish adalah … ?"
Buccellati membersihkan kerongkongannya. "Temanku."
Kau mengangguk-angguk. "Teman … ? Hm-mnn, begitu?"
Tentu–teman. Teman yang membikin ruas pipi digurati warna merah muda kala memikirkannya dan teman yang dengan senang menuruti pintaan untuk membelikan baju. Saat Buccellati tidak memberikan jawaban lebih, kau mengangkat bahu, dan melenggang ke arah kamar mandi–dengan seizin sang Don.
Giorno memberi anggukan, ia sendiri melebarkan blueprint dari sebuah bangunan di atas meja makan. Pensil terselip di antara jemarinya dan postur duduknya–sangat tak jelas. Jika biasanya ia akan menumpukan satu tungkai di atasnya, kini ia memilih menekuk sebelah kaki ke atas, lalu menjadikan lututnya sebagai topangan tangan.
Surai pirang yang sebelumnya dikepang begitu rapi dengan gulungan pada bagian poni kini sedikit sengkarut. Giorno rasa ini sudah waktunya mandi, namun ia hanya tak bisa meninggalkan pikirannya dari setiap langkah yang harus ia ambil begitu memutuskan meringkus Darius. Itu, dan selain fakta bahwa kau tengah membasuh diri.
Giorno memijit pelipis, menaruh dahinya di atas meja kaca. Ia sadar suara pintu dari arah kamarnya terbuka–namun ingin abai untuk sekarang. Ia mendengar bahwa ada suara alas kaki yang bertemu pualam. Bunyinya lembut dan meneduhkan–entah mengapa.
Tap,
tap–
Ah, Giorno berpikir pada dirinya sendiri. Harum vanila.
–tap.
Clak.
Suara tirta jernih yang telak tabrak dengan pualam juga terdengar.
"Di mana Buccellati?" kau bertanya, mengambil tempat duduk di sebelahnya. Giorno membalas dengan gumaman, tak terdengar seperti bahasa manusia.
Itu, sebelum akhirnya ia mengangkat wajahnya dan berujar, "Kembali ke ruangannya. Kurasa Trish sudah sampai."
Kau yang kini menyahut dengan suara kecil, tanda bahwa kau mengerti. Handuk yang berlabuh di atas kepalamu masih mengusap surai yang bertempias tirta.
Untuk sesaat, sunyi dibiarkan membaluti. Hanya suara jam dinding yang penunjuk detiknya berdetak satu-satu, menghapus waktu. Ketenangan yang sudah lama tidak kautemui–mengingat bahwa hanya untuk tidur, kau perlu menumpang sana-sini, dipenuhi keberisikan yang mencekik raga.
Saat sadar bahwa ada tarikan lembut pada handukmu, kau menoleh. Menatap iris turquoise yang tak kehilangan cahayanya, namun jelas dibungkus lelah. Giorno telah kembali merebahkan kepala di atas meja, beralaskan kedua lipatan lengannya. Kau menebak bahwa ia pun tak mendapat banyak waktu tidur sejak semalam.
"Tidurlah," ujarmu.
Gelengan disodorkan. "Aku harus mandi sebentar lagi. Kemudian kembali membahas ini dengan Buccellati dan–"
"Snow Patrol."
Giorno menautkan alis.
"Hei–"
Oh. Kantuknya semakin bertambah dan rasanya ingin sekali menutup pelupuk mata. Yang tersisa dalam penglihatannya sebelum segalanya menjadi gelap adalah senyum tipismu.
"Begitu kau bangun–ayo bersiap meringkus Darius."
Saat napas bertempo teratur terdengar, kau menghela napas lega. Kau menaruh handuk pada tengkukmu, lalu perlahan mengulurkan jemarimu, menyentuh surai pirang itu. Kelopak bertirai bulu mata lentik tampak nyaman dalam tidurnya.
"Apa yang membuatmu yakin bahwa pilihanmu tepat?"
Stand di sisimu bertanya. Suaranya persis seperti milikmu–kala masih kecil, kau akan merasa itu janggal dan mengerikan. Pada titik ini, kau bersyukur–sebab siapa lagi yang dapat kauajak bicara, selain dirimu sendiri?
Dan, hei–rasanya tidak buruk ketika benar-benar menemui seseorang yang bisa diajak bicara. Meski pilihan pertamamu ialah sebuah tim yang eksentrik dan pencari mati.
"Siapa yang bilang aku yakin?" sahutmu. Kau merasa begitu relaks. Memberi lirikan singkat pada jam dinding, jarum yang lebih pendek mengarah pada angka enam. Masih ada tiga jam lagi sebelum berangkat jalani misi. Kau tahu bahwa lelaki yang diincar kurang lebih akan datang pukul sepuluh atau sebelas.
"Apa? Sebuah afeksi?"
Kau ragu menjawab.
"Mungkin," ujarmu. "Mungkin juga tidak." Sambungannya.
Stand milikmu mengirimkan senyum. Berikutnya ia bersatu dengan udara, tubuhnya menjelma jadi ribuan fraksi salju dan cahaya sebelum lesap sepenuhnya.
Saat terdengar suara pintu yang terbuka, kau teburu menarik jemarimu dari helaian pirang. Tak tahu apa yang harus dilakukan dengan tanganmu, kau mengusap tengkuk. Lalu melihat akan kehadiran Buccellati dan Trish.
"Dia tertidur?" Trish merendahkan suara, mendekat padamu dan Giorno. Anggukan canggung kauberikan. "Ah, kau pasti yang dibicarakan, ya? Aku Trish Una."
"Ah–ya, salam kenal, Trish." Oh. Ini menyenangkan, Trish tampak seperti wanita yang sangat kalem dan baik hati.
Buccellati mengangkat sebelah alis, menaruh beberapa kantung kertas di atas meja. Ia mendekati Giorno dan mengusap lembut puncak kepalanya.
"Tumben sekali. Bahkan kalau aku mengoceh, ia akan selalu keras kepala dan menolak tidur di tengah misi."
"Yah—," kau menahan kalimatmu dan terkikik tipis. "—aku membuatnya tidur. Ia tampak sangat lelah."
Trish menahan tawa. Alisnya saling menaut tak percaya. "Apa? Kau … kau luar biasa."
Sedikit disenggol keraguan, kau bertanya, "Apa aku dalam masalah?"
"Tidak," jawab Buccellati. Setidaknya–ia yakin dengan pasti soal itu. "Tenang saja. Oh, harusnya Abbacchio dan yang lainnya akan segera ke sini."
"Oh. Bagus." Responmu yang satu itu tidak disangka oleh kedua lawan bicaramu. Tapi kau belum menjelaskan apa-apa. Hanya cengiran lembut sebelum kalian kembali mendengar pintu terbuka.
.
.
.
"Kau harusnya bangunkan aku."
"Kau tertidur pulas."
"Ya, terima kasih untukmu."
"Maaf–salahku kalau kau mendapat istirahat cukup dan merasa segar sekarang?"
Giorno menarik napas, menghelanya panjang. Mista yang memberi lirikan melalui rear-view mirror hanya mendengus geli. Langka, amat langka–untuk melihat Giorno terlibat dalam adu kata-kata yang sesungguhnya tak penting. Buccellati yang duduk pada kursi penumpang juga hanya mengangkat bahu, tersenyum tipis.
Mista menggerakkan tuas gigi,berbelok ke arah kiri seusai memberi lampu sen. Tak lama, mereka akan sampai pada destinasi. Ketika mereka sampai, pintu siap dibukakan oleh pelayan. Buccellati menengokkan sedikit kepalanya, memastikan sepasang cerulean miliknya bertemu bola mata kau dan Giorno, lalu berujar, "Kalian hati-hati. Lakukan sesuai rencana."
Kau mengangguk. Giorno keluar dari mobil terlebih dahulu, lalu sodorkan lengannya padamu. Kau meraih, menjadikannya pegangan untuk langkahmu. Memastikan bahwa heels hitam yang menjadi alas kakimu tidak menyengkat dirimu sendiri dan membikin segalanya berantakan.
Saat melangkah masuk ke dalam gedung, hiruk-pikuk kembali merusuh dalam gendang telinga. Giorno memerhatikan beberapa sudut ruangan, di mana anak buahnya telah siap lebih dulu. Lalu ia mendekatkan diri pada telingamu, memastikan bisikannya tidak terbungkus suara lagu dari pengeras suara, "Darius ada di sana. Dekatilah."
Kau menarik napas panjang, sebelum mengempasnya perlahan. Jantungmu berdetak bertalu-talu, bagian dalam telapak tanganmu serasa berkeringat–namun itu bukan alasan untuk mundur sekarang.
"Baiklah."
Dengan itu, kau perlahan melepas tangannya.
.
"–pasti dia juga akan mengatakan hal yang sama. Nah, tuh. Dia bangun," Abbacchio berujar kala melihat punggung Giorno perlahan menegak dari posisi tidurnya. Lelaki bersurai pirang mengusap sudut mata dan sepertinya tengah menyatukan serpihan pandangan sebelum berbalik dan melangkah ke ruang tengah.
Ada kuapan yang ia tutupi dengan sebelah tangan sebelum pundaknya menurun dan bertanya, "Apa saja yang sudah kalian diskusikan?"
Ia sempat menggulirkan kelereng turquoise ke arah ekor mata, melihat jam dinding. Pukul delapan. Hampir genap 120 menit ia terlelap.
"Oh. Kami berpikir kalau dia sebaiknya mendekati Darius sendirian. Kalau Darius sudah mengenal wajah kita, akan susah," sahut Mista, mengarahkan kepalanya padamu.
"Tapi kami akan berjaga-jaga dan membagi jadi dua tim. Satu berjaga-jaga di dalam dan satu lagi di luar gedung." Buccellati menambahkan.
Selanjutnya, Fugo ikut menjelaskan kesimpulan yang telah dibentuk masak-masak, "Tim Alfa adalah kau–Giorno, Mista, dan Narancia. Kalian akan berjaga-jaga di dalam gedung, memastikan keamananmu," ia mengalihkan pandangan padamu, "lalu menyelidiki apakah ada yang janggal.
"Tim Beta berisi aku, Abbacchio, Buccellati, dan Trish. Kami akan berjaga-jaga di luar kalau-kalau Darius membawa back up. Trish akan memonitor situasi di mobil dengan laptop dan memastikan bahwa rekaman yang dibawa oleh _ akan langsung terkirim kepada Boss dari Quirino Paulina; Don Castillo*."
Giorno mengangguk. Tampak seperti susunan yang akan ia rancang. Selanjutnya, ia melengkapi, "Saat aku lihat cetak biru gedung kelab itu, ada rongga kosong di lantai bawah tanah. Kalau dia menggiringmu ke sana," Giorno melihat ke arahmu. "–kita akan tahu. Aku akan memasangkan transmitter padamu."
Kau tafakur, lalu tersenyum hingga telinga. Sadar bahwa sepasang iris violet-emas menghujam tajam pada sosokmu. "Baiklah."
"Itu juga sudah didiskusikan," sambung Trish, memasang senyum tipis. Berikutnya gadis itu mengangkat dua perangkat kecil dan berujar, "Yang satu adalah rekaman, yang satu adalah alat komunikasi sama seperti yang lain. Tapi, karena dia tidak bisa menaruh earphone di telinganya karena akan ketahuan, maka tujuan alat komunikasi ini sesederhana agar aku bisa menjaga dan mendengar percakapannya dengan Darius."
"Kalau begitu, Giorno–kau harus mandi dan berpakaian rapi!" Narancia menyahut, keterlaluan ceria untuk seseorang yang hendak melakukan misi rahasia.
"Bagaimana kau bisa ketiduran jam segini?" Abbacchio menyahut, tampak terlihat ingin menekan dahinya.
Kau tertawa tipis, tidak menjawab. Giorno hanya menggeleng-geleng singkat, lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri. Seusai memastikan bahwa ia telah masuk dan tak akan keluar dalam waktu singkat, kau pergi ke arah meja makan dan membuka kantung kertas yang tadi dibawa oleh Buccellati.
"Kalau begitu, aku juga perlu ganti baju."
.
"Snow Patrol," lirihanmu sehalus napas, saru dengan udara. Memastikan bahwa stand-mu siap di sisi.
Kau menggerakkan tungkaimu perlahan. Mendekati sesosok lelaki tambun yang dikelilingi wanita. Saat pandangan matanya mulai tersorot padamu, senyummu merekah, ada helai yang kauselipkan ke balik telinga.
"Buonasera, signore," kau menyapa. Sedikit menundukkan diri–memberi salam. Wanita lain tampak tidak senang. Jelas ada decakkan halus dan tatapan mengusir. Namun, tuan mereka tampak begitu bahagia dan bergairah. Tak ada yang bisa menyuarakan komplain soal itu, lebih-lebih merusak perasaan senang Darius. Maka mereka memilih mundur perlahan, memberikan jalan padamu.
"Baru pertama kali ke sini?" kau bertanya, duduk di atas pahanya. Trik lama–namun selalu berhasil.
Giorno memerhatikan baik-baik dari sudut ruangan yang satunya. Saat ia merasakan suara serupa bunyi sayap lebah pada earphone-nya, ia memberi dua ketukan, lalu bertanya, "Kenapa?"
"Tidak. Hanya memastikan apakah Boss fokus pada target." Suara Abbachio menggaung, disusul oleh suara serupa plastik bergesekan.
"Tentu saja," Giorno menjawab. Mantap dan tegas. "Aku tidak paham apa maksudmu, Abbacchio."
Giorno bisa mendengar suara kikik Mista. "Perhatikan Darius, bukan gadis itu, Giorno."
Don Giovanna memilih tidak menjawab itu. Ia memilih untuk tidak membuang tenaga dan fokus padamu dan Darius. Di sana, ia melihat bahwa jemari Darius menyentuh pinggangmu dan satunya lagi berlabuh pada pahamu.
Giorno mengeraskan rahang. Sesuatu meletup-letup kecil dalam sumbu kesabarannya. Ia ingin menyelesaikan ini secepat mungkin.
Mengapa?
Oh. Tentu saja, bukankah lebih cepat kelar lebih baik? Masalah pergi, hutangmu selesai–bukankah itu jawaban yang benar?
"Dengar suaraku, signore," kau berbisik seduktif. Mengusap telinganya.
Menjijikan.
Kau tersadar akan sesuatu.
Ini seperti yang biasa aku lakukan.
Dan kau selalu merasa bahwa semua ini, setiap jari yang sempat menyentuhmu meski hanya sesaat, setiap goresan yang diberikan dengan kau menahan diri begitu susah payah–bukankah memang selalu nista? Tak peduli apakah target yang telah terkunci dalam otakmu itu seseorang yang semok, terlalu kurus, berwajah tampan, memiliki garis rahang tegas, memiliki mata yang atraktif–tetap saja, itu semua, menggelikan. Jauh-jauh buang sajalah. Kau tak akan sudi bila tidak demi makan.
Tapi kemarin, saat aku mencuri dompetnya …
… hanya yang itu, satu-satunya, untuk pertama kali–terasa nyaman.
"Signora?" Darius memanggil.
"Ah." Kau tersadar, terkikik. "Maafkan saya, saya melamun. Sepertinya malam ini adalah saat yang tepat untuk terbuai dalam alkohol, bukan begitu? Apakah signore bersedia menemani saya?"
Snow Patrol, buat ia merasa sedikit mabuk.
"Tentu, tentu, aku juga merasa melayang bahkan meski hanya minum satu gelas," Darius menjawab, memberi tawanya. Berikutnya ia menangkup tangkukmu, membawamu mendekat. Berbisik pada daun telinga, "Aku memiliki ruangan yang bisa kusewa di bagian bawah tanah, kau mau ikut?"
"Dengan senang hati, signore." Senyum bisnis kautampilkan nihil cacat cela. Maka langkahmu mengikuti miliknya. Wanita yang lain sempat ingin mengekori, namun kau membikin mereka merasa mabuk oleh alkohol dengan Snow Patrol.
Kau melinjak pualam, satu-satu, perlahan. Saat sampai pada lift, kau melihat sebuah kotak kecil berwarna hitam di atas pintunya. Kotak itu memiliki lampu kecil yang berwarna merah. Sadar bahwa pandangan sepasang irismu mengarah pada itu, Darius berujar, "Oh, tak usah khawatir, sayang. Itu hanya perusak sinyal; memastikan bahwa pelanggan tak akan diganggu."
"Oh." Kau menyengir renyah. "Begitukah?" Sialan.
"Mereka bergerak," Giorno berbisik, mengetuk earphone pada telinga. "Trish, apa kau melacaknya?"
"Aku–," Trish terhenti. Ragu untuk beberapa saat. Meski sepasang bola matanya telah baik-baik meneliti layar laptop, tak ada pergerakan setelah kau turun lewat lift. Suara juga mendadak tak terdengar. "–kehilangan dia. Tak ada sinyal dari transmitter dan alat komunikasinya."
Giorno terkesiap. Kepalanya langsung menoleh pada lift yang tertutup. Jantungnya seolah jatuh pada perutnya. "Hah? Bagaimana bisa?"
"Aku tidak yakin, tapi mungkin mereka memiliki alat untuk merusak sinyal atau sesuatu semacam itu," jawab Trish. "Kita hanya bisa berharap dia mendapatkan pengakuan Darius lalu keluar dari sana."
"Tapi kita kehilangan dia!" sergah Giorno. Ketika sadar beberapa insan di sekitar melihat ke arahnya, lelaki itu buru-buru meminta maaf, berusaha menembus samudra manusia di dalam kelab, mengalahkan suara musik yang memekakkan gendang telinga. "Kita tidak akan tahu pasti keadaannya di bawah sana!"
"Che palle–Giorno, tenanglah," Abbacchio mendesis. Gadis itu betul-betul nekad. Tak heran dia cocok dengan Giorno. "Rekaman yang ada pada bajunya akan ketahuan, jadi biarkan dia berusaha mengorek informasi sebelum itu terjadi."
Narancia kali ini berbicara dengan nada gawat, "Uh, teman-teman? Kurasa kita kedatangan tamu."
Dan sebetulnya peringatan itu tidak penting–sebab dalam detik berikutnya, sebuah suara kaca yang pecah menjadi milyaran serpihan terdengar. Para tamu berteriak; kalut–berusaha mencari jalan keluar, berdesak-desakan. Giorno terdorong, namun segera memantapkan pijakannya, serta dengan sigap melempar seluruh orang yang menghalangi ke arah depan hingga mereka bisa melarikan diri.
"Stand user," Giorno berbisik. "Kenapa aku tidak terkejut. Total musuh?"
"Tiga di depan. Berapa di dalam?" Buccellati balik bertanya, terdengar dari arah suaranya bahwa keberisikan juga menyertai.
"Tiga," jawab Mista. "Boss, keputusanmu?"
Giorno mengepalkan kedua telapak tangan–terlalu erat. Total enam musuh, masing-masing adalah pengguna stand. Akan timpang bila ia pergi, menuju lift, dan mengejarmu.
"Giorno, percayalah padanya," suara Trish masuk ke dalam telinga.
Ia percaya–tentu. Namun ia juga tahu persis bagaimana akal orang licik bekerja. Giorno menggertak giginya sebelum menjawab, "Kita lumpuhkan musuh. Sehabis itu, kita selamatkan dia."
Gedung kelab sudah sepi, yang lain lari jauh dan tak sudi kembali, terkecuali beberapa orang. Giorno menatap nyalang pada sosok manusia lain yang mendekatinya, berbicara dalam bahasa yang asing baginya, "Saludo! Te importa si te mato*?"
Giorno membiarkan Gold E. R. muncul dalam posisi siap baku hantam. Meski begitu, ia tetap hati-hati, terutama karena stand musuh tidak tampak. Namun ia tahu bahwa ada sebuah tenaga tak wajar yang membungkus musuhnya.
"Aku tidak mengerti kaubicara apa," Giorno berujar. "Gold Experience Requiem! Hajar–"
Saat Gold E. R. mengayunkan tinju, orang tersebut lesap bersama udara, dan tinju mengarah–
CRANG!
–memecahkan meja kaca.
"Apa?"
.
–CRANG!
Kau tersentak, menengadahkan kepala. Bunyi pecah barusan itu terasa lebih dekat, datang dari atas. Darius merangkulmu, tersenyum. "Tidak usah dipedulikan. Mungkin pelayan bodoh itu memecahkan gelas."
Oh. Itu pasti Passione yang dirumorkan. Syukurlah aku sudah berjaga-jaga, sudah kuduga mereka akan mengincarku.
Kau terdiam sesaat, lalu berusaha memberi kurva yang sama pada bibirmu. "Anda benar."
Kau biarkan ia menuntunmu, meski bola matamu mengedar pada lorong dan perhatikan pintu yang berjejer. Telinga diasah, kau dapat mendengar sedikit suara erang dan desah.
Kau tertawa renyah dalam hati.
Ah, ya. Wajar.
Lalu dari lorong yang membentang, kau sampai pada sebuah ruangan paling ujung. Darius tampak telah memiliki kuncinya, sebab ia langsung merogoh kantung celana, menggerakkan kunci dan sendi di dalamnya, hingga pintu terbuka.
Lampu dinyalakan. Hanya sebuah ruangan sederhana dengan kasur, sofa, dan televisi.
Kau mengempas napas lega. Setidaknya dia hanya sendiri. Aku bisa mengatasi kalau sekadar itu.
Saat pintu ditutup, kau tersenyum—dengan amat, sangat, manis. Meski takut merengkuhmu dan rasanya ingin segera memacu langkah kaki, kau tetap berusaha hingga titik ini. Mengangkat botol alkohol yang sempat kaubawa ke sini dan suaramu berdendang sehalus sutra, "Minum dulu, yuk?"
.
"Don Giorno Giovanna dari Passione, senang bertemu denganmu."
Harus diakui—resah membungkus hati. Ia tak tahu bagaimana cara musuh menjadi satu dengan sekeliling, tak tampak sama sekali–namun Mista dan Narancia perlu kerahkan seluruh tenaga hanya untuk bertahan diri.
"Aku tidak bisa mendeteksi dengan Aerosmith! Seolah-olah … mereka sama sekali tidak bernapas, Giorno!" Lelaki itu mengeraskan suara, berusaha menembaki hanya dengan naluri yang masih tersisa di ujung syaraf yang belum mati. Meski begitu, ia akan mendapat gores luka sesekali dan likuid kental berbau besi pekat akan merembes dari sana.
Mista merasakan hal yang sama. Ada satu titik di mana ia pikir ia mengetahui posisi musuh, namun begitu Sex Pistols ia luncurkan—tak ada siapa pun di sana dan malah ia mendapat hunusan pisau pada sisi-sisi tubuhnya.
"Kau tak akan bisa mengalahkan stand-ku; Take My Breath Away!"
Giorno meringis kala merasakan sesuatu menembus bahunya. Perih dirasakan dan panas menjalar hingga ujung jemarinya. Ketika bunyi denting logam bertemu pualam—ia sadar itu peluru.
Musuh tidak bernapas? Itu tidak mungkin.
"Hei, Don Giovanna, apakah kau akan diam saja dan menerima kematianmu?"
Giorno tak ingin terprovokasi. Lebih baik ia memutar otak dan kendalikan setir emosi agar bisa berpikir jernih. Apa stand musuh? Bagaimana cara mereka bekerja?
Hanya aku saja, atau di sini semakin sejuk?
Giorno tidak yakin bagaimana Abbachio, Buccellati, dan Fugo di luar sana, tapi—mereka sepertinya tidak mengalami hal yang sama. Perkelahian yang terjadi melibatkan sosok yang terlihat; bukan tembus pandang. Setidaknya itu jauh lebih baik.
Giorno menutup lukanya dengan Gold E. R. Baru saja ia melakukan itu, sesuatu yang keras menghantam dahinya, membuatnya terjengkang dan jatuh beralaskan punggungnya. Ia mengaduh keras, lebih-lebih kala dirasakan ada cengkraman erat di lehernya, menyentuh nadi dan siap meretas uratnya.
"Giorno!"
Mista dan Narancia menyergah kasar dan terburu—rasanya semakin panik dan betul-betul dibalut murka.
"Ah. Kemampuan yang mengerikan, kau bisa sembuh hanya dengan begitu? Yah—tak masalah. Aku hanya perlu memastikan saluran napasmu terhalang hingga kau mati, atau membiarkanmu teracuni oksigen."
…. Teracuni oksigen?
.
"Kalian yakin aku tidak perlu ke sana?"
"Tidak, Trish," Buccellati menjawab. Ia mengambil napas, lalu menghindar ke kanan kala sebuah kepalan tangan dihunus ke arahnya. "Diam di mobil saja. Kalau _ kembali, ia bisa menemukanmu."
Abbacchio menggunakan seluruh tenaga bagi kaki kanannya untuk menjadi poros dan kaki kirinya terayun penuh, menghajar perut lawannya, melemparnya hingga telak tabrak dengan tong sampah dekat dinding.
"Yah, tentu saja. Buccellati akan marah kalau sampai gadisnya kenapa-napa, jadi kau kalem lah di dalam mobil," ujarnya, masih bersiap-siap ketika dia lihat musuhnya bangkit.
"Thanks, Abbacchio …."
"Sahabat yang baik, Leone," Buccellati menjawab. Meski terkesan dililit oleh sarkasme—sebetulnya ia tulus.
"Teman-teman," Fugo memanggil. Kepalan Purple Haze mendarat pada wajah lawannya—tapi tidak pecah. Stand orang itu menghalangi. "Fokus."
"Hahaha! Stand-mu lemah! Tinjunya sangat ringan!"
Fugo mendelik jengah. Cukup sudah. Memangnya siapa dia? Berani berbicara dengan nada merendahkan. Dasar tidak tahu diri!
Saat musuhnya sibuk tertawa, Purple Haze mencopot kapsul dari kepalan tangannya, lalu melempar ke dalam kerongkongan lawannya hingga ia tersedak, tercekik napasnya, dan berakhir dengan buih pada mulut serta dagingnya meleleh bagai terkena bahan korosif.
"Lemah? Kau yang lemah, sialan! Stronzo!"
Fugo mulai lagi. Abbacchio berkedip—sudah biasa.
Tapi, memang benar—musuh-musuh ini terlalu … payah. Tubuh mereka tampak ringkih dan satu-satunya yang mencegah sukma mereka terlepas dari raga adalah karena mereka keras kepala.
Semoga yang di dalam baik-baik saja, Buccellati berpikir. Namun untuk sekarang—ia harus fokus pada lawan di hadapan.
.
"Silakan, signore." Kau mengulurkan gelas burgundy pada lelaki yang duduk di sisi kasur itu. Ia menerimanya, menghirup aroma sebelum menyesap isi dengan perasa di ujung lidah.
Snow Patrol, dengan perlahan—buat dia ingin menjawab jujur padaku.
Kau meneguk ludah.
Sebuah fakta menarik–tubuh akan selalu memikirkan reaksi fight of flight ketika dalam bahaya. Respon adrenalin akan menutup seluruh fungsi organ yang tak berguna untuk bertahan hidup–salah satunya, organ pencernaan. Menyingkirkan ludah dari mulut adalah bukti bahwa pada saat itu tubuh tidak akan mengonsumsi sesuatu. Tidak bisa makan, bukan–ketika sukma jelas terancam, atau merasa dalam bahaya?
Manusia punya dua setir, logika dan emosi. Keputusan penting yang diambil oleh manusia kebanyakan didasari oleh emosi, diolah si logika, dan berakhir dengan pertimbangan yang dianggap terbaik. Bagaimana dengan keputusan dalam waktu singkat, yang diambil dengan kacaunya emosi?
Tentu saja—petaka. Kau ingat bahwa ada satu waktu di mana kau terburu-buru membuat seseorang "suka" padamu, hanya demi sekian euro untuk makan siang. Rasa suka itu berkembang keterlaluan pekat, hingga kau hampir berakhir mengenaskan diseret ke gang sempit—jika saja polisi tidak menolong.
Kau jera. Kau juga ingin mengeliminasi resiko bahwa rasa "suka" yang kauracik pada kepala seseorang malah membuat setir logikanya mengambil alih, merasa janggal, dan pergi seketika. Itu akan jadi skenario terburuk yang tadi siang dibahas.
"Signore, jasmu bagus dan tampak mahal. Kalau saya diizinkan untuk bertanya, apa pekerjaan Anda?"
Lelaki itu terkekeh tipis. Wajahnya serupa kepiting rebus—paduan antara alkohol yang menggerogoti darahnya dan kewarasannya yang dipermainkan oleh tampilanmu.
"Kau diam-diam saja, tapi tugasku adalah mengedarkan narkoba. Kau pernah mencobanya?"
Kau menggeleng—berusaha menunjukkan ketertarikan. Wine kembali kautuang kala isi gelas Darius sudah menipis.
"Wah, hebat. Apa Anda tidak takut ketahuan?"
Dia tergelak hebat, melingkarkan lengannya pada pinggangmu.
"Takut. Kau tahu, kami harus mengucapkan sumpah dan berperilaku baik. Aku seharusnya tutup mulut, selalu setia, dan tidak melirik wanita. Hukumanku bila melanggar hal di atas adalah eksekusi."
Benar. Aku tahu.
"Kami?"
Darius terkikik. Mengarahkan hidungnya pada tengkukmu.
"Aku harus rahasiakan itu, sayang."
Sudut-sudut bibirmu berkedut.
Sialan!
.
"Khh—"
"Aha. Wajahmu membiru. Apa kau tahu kalau kematian yang disebabkan oleh cekikkan kira-kira berlangsung selama 4-6 menit?"
Dia kuat. Giorno mencakari lengan yang menekan lehernya. Ia tahu ada seseorang di sana. Saat cakarannya cukup dalam, darah mengalir keluar, begitu merah gelap di antara udara transparan. Mista segera gunakan kesempatan untuk memasang kuda-kuda, membiarkan kedua lengan sejajar dengan ruas pipi dan arahkan moncong senjata pada titik itu—Sex Pistols menjerit, pergi menuju targetnya.
"Seraaaang!"
Saat peluru itu menembus tangan lawannya, ia mengerang keras, melepas rematan dari leher Giorno. Maka si iris turquoise meloncat ke belakang, menghindari serangan selanjutnya.
"Giorno!" Narancia memanggil, memastikan keselamatan atasannya—namun ia teralihkan dan sayap Aerosmith dilukai, menghasilkan pangkal lengannya terluka.
"Mista! Narancia!" Giorno menyahut keras, memaksakan pita suara yang serak dan perih. "Terima kasih, tapi—fokuslah pada musuh kalian sendiri! Perintah dari Boss!"
"Ba—baik!"
Giorno mendengar suara tawa. Detik berikutnya ia menggunakan tenaga dari lengan untuk bangkit, berusaha menjauh.
"Pftt." Darah yang tampak menetes satu-satu kini perlahan membaur dengan udara. "Fokus pada musuh sendiri? Apa kau mendengar dirimu yang sudah sekarat dan di ujung tanduk begitu?"
Aku tahu apa kekuatannya. Dia bilang keracunan oksigen, berarti … itu hanya akan terjadi kalau kami terlalu banyak menghirup O2.
Giorno meloncat dari satu meja ke meja lainnya, meraih gelas dan menjatuhkannya ke pualam—apa saja, yang penting masuk dalam jarak sentuhnya, akan ia pegang.
Aku merasa sejuk di dekatnya karena stand miliknya membuat seluruh tubuhnya tersusun oleh oksigen—itu yang menjelaskan mengapa dia tembus pandang dan seolah sama dengan udara.
"Kau mau lari ke mana, Giorno Giovanna! Kau sudah kalah!"
Kalau musuh yang lain tidak terlihat juga, kemungkinan dia membantu mereka menyamarkan diri. Tidak aneh kalau Narancia tidak bisa mendeteksi mereka. Dan mungkin, dia malah menggunakan karbon dioksida untuk mengolahnya jadi oksigen, seperti tumbuhan.
Aku juga jadi paham mengapa mereka tidak memilih bertarung di luar dan mengapa Buccellati bisa melihat musuh; karena area luar adalah tempat yang luas. Terlalu banyak oksigen dan juga kandungan CO2. Bisa-bisa tubuhnya meledak karena kapasitasnya tidak bisa menampung seluruh karbon dioksida itu.
Itu berarti jarak efektifnya sederhana. Hanya ruangan tertutup saja.
"Teruslah berloncatan! Dasar kalian mafioso Italia!"
Aku tahu cara mengalahkannya.
.
Ayolah, kau harus baik-baik saja, Trish mengulang repetitif dalam kepalanya. Ia masih baik-baik mendengarkan sang tim bertarung di luar sana.
"Signore, tapi saya ingin sekali tahu." Suaramu terdengar—kelewat manja. Trish mengulum bibir bawahnya sendiri—khawatir. Ia tidak tahu seberapa kau berpengalaman soal ini, tapi sebagai sesama wanita—ia tahu seberapa membikin jijik disentuh oleh mereka yang asing. Musuh.
Kau merasa geli dengan suaramu sendiri namun ini bukan saatnya mempertahankan harga diri. "Anda datang dari mana? Kenapa memilih mengedarkan di sini, signore?"
Pria nyaris setengah abad itu menaruh gelas di atas meja nakas, sebelah kasur. Ia mengusapkan jemarinya pada tengkukmu.
Baiklah, ini mengesalkan. Dan aku mulai merasa ngeri.
Kau memikirkan berbagai alternatif kemungkinan bila pertahanan mental sang pria tetap tangguh dan ia tak ingin membocorkan satu hal pun.
Mengkabuti pikiran dengan mabuk? Sudah. Mengirimi hormon oksitoksin pada otak perlahan—agar dia lengah dan percaya padamu? Kelar. Namun, sebagai seorang mafia—
—pria ini benar-benar keras kepala. Dan loyal, tentunya. Itu mengesalkan. Apa aku harus menambah dosis mabuknya? Tapi kalau dia melayang lebih dari ini, dia malah akan tertidur alih-alih bercerita.
Namun sebelum tali sabarmu benar-benar habis, akhirnya suaranya yang sengau; tersiram minuman dingin sedari tadi terdengar, "Baik jika itu maumu, bellissimo. Aku datang dari Dominican. Kau tahu—" cegukan, "—Quirino Paulina? Keluarga besar mafia itu?"
Bagus! Kau menahan senyummu. Berusaha kendalikan endorphin yang mendadak merasuk pada pusat otak. Tinggal sedikit lagi.
"Wah! Jauh sekali. Anda datang sejauh itu ke Naples untuk mengedarkan narkoba? Anda pasti sangat dipercaya, signore."
"Ahahaha!" Tawanya pecah jadi serpihan. Kau menahan untuk tak menggeliat, hindari tubuh yang semakin merapat. "Sama sekali tidak, sayang—hanya kebetulan. Naples kota yang cantik. Sayang sekali, kan, kalau orang-orang di sini tidak bisa merasakan segarnya narkotika?"
Sayang sekali? Kau menggertak gigi. Sudut bibirmu terasa begitu lelah—untuk tersenyum. Berengsek. Pergi saja jauh-jauh dari kotaku.
"Baiklah, signore, aku paham."
Snow Patrol, tambahkan rasa kantuk—
Sebelum kau sempat berpikir, tubuhmu diempas pada atas kasur. Pupilmu membola dan seluruh aktivitas pada otak mendadak beku. Kau tak dapat berpikir, terlebih kala tangannya mulai menelusup ke dalam kerah gaunmu dan ia menemukan sesuatu.
"Apa ini? Alat rekaman?"
Oh. Gawat–
.
"Tadi kaubilang, ada sesuatu yang ingin kaukatakan?" tanya Buccellati, setelah semuanya berkumpul dalam ruang.
Kau sedikit menoleh dari bahu, memastikan bahwa Giorno masih berkeliaran dalam alam mimpi yang tenang. Usai itu, kau menghela napas panjang. "Benar."
"Apa? Kenapa kita tidak bangunkan dia yang enak tertidur di sana?" ujar Abbacchio, membuang jari telunjuk melewati pundakmu.
Kau mengirimkan senyum tipis. "Tidak, biarkan dia tidur sebentar lagi. Dan apa yang ingin aku katakan adalah soal Darius."
Mendengar nama itu, serentak seluruh insan dalam ruangan memasang telinga baik-baik. Memastikan bahwa atensi mereka hanya terarah untuk satu hal ini saja.
"Sejujurnya, aku juga memerhatikan Darius kemarin malam. Ia cukup mencolok, kan? Seingatku, ia datang ke kelab pukul …"
"… 10 malam," Fungo menjawab. "Setelah itu dia mengambil tempat, meminta para wanita, merokok dan minum."
"Tepat." Kau membawa kepalan tangan dekat bibirmu, lalu menggulirkan bola mata ke samping, berusaha mengingat-ingat. "Dia datang pukul 10. Kemudian tepat tengah malam, ketika aku melihatnya lagi … asbak rokoknya berisi 5 linting yang hampir terbakar habis."
Narancia mengerjap, ia mengangkat sebelah alis—menunjukkan ketidakpahaman. "Mungkin dia hanya pecandu rokok yang menghisapnya seperti menghirup udara?"
"Tidak," Buccellati menyahut. "Kita memerhatikan dia, kan? Dia lebih banyak berbincang dan minum bersama perempuan–bukan merokok."
Kau sekali lagi memberi anggukan. Kali ini, kau bisa dengan pasti nyatakan hasil penyelidikan singkat. "Dan tidak mungkin pelayan kelab memberinya asbak bekas orang. Ia bisa murka dan tidak terima. Aku tidak tahu bagaimana caranya, atau apa kekuatan temannya ini–yang pasti, dia memiliki partner dan mereka bertemu kemarin."
"Lalu?" Mista kali ini memutuskan untuk angkat suara. Ia ingin tahu niat apa yang tersembunyi pada sepasang bola matamu yang sarat akan determinasi. "Apa yang kaurencanakan?"
Kau hampir ingin memijit pelipis. Aku tidak percaya aku mengatakan ini.
"Aku tidak tahu … seberbahaya apa ini. Tapi, pada saat kita masuk ke dalam bangunan itu, aku ingin kalian pura-pura tidak mengenalku. Aku punya dugaan Darius menyiapkan bantuan karena ia mungkin, mungkin–punya firasat bahwa mafia dari Italia akan mengincarnya. Jadi kalau kalian tidak melihatku, atau aku digiring ke suatu tempat olehnya, anggap saja dia ingin cari aman, menjauh dari keributan, dan terima beres. Pada saat itu, jangan berusaha menyelamatkanku—aku akan mengorek informasi darinya dan kembali pada kalian. Yah, yang paling penting—kalian harus fokus pada musuh apa pun yang ada di sana."
Abbacchio mendengus. "Itu terlalu bahaya dan kau terlalu nekad," sahutnya, tanpa ditutupi oleh pemanis. Tentu–kau harus paham resiko yang ada dan bekerja dalam lini ini berarti kau siap korbankan jiwa. Namun, sejak awal, kau bukan bagian dari Passione–tak ada alasan bagimu untuk terbunuh dalam misi yang seharusnya sederhana. "Kalau kami tidak bisa melacakmu, lalu kau mati di dekat tong sampah, tidak ada yang tahu–"
"Oi, Abbacchio!"
"–tutup mulut, Mista. Dengar. Aku bukannya tidak setuju–merde!–bahkan itu apa yang akan kulakukan jika aku adalah kau. Aku hanya memastikan bahwa kau tak akan punya penyesalan."
Kau mengerjap. Pikiranmu masih memproses kalimat si iris dwiwarna sebelum kau tersenyum tipis, "Tidak–harusnya, tidak. Lagipula aku setuju. Narkotika itu … paling kubenci. Jadi, aku bersedia membantu."
Abbachio mendelik tajam sebelum ia berujar, "Terserah. Kau akan tetap dipasangi transmitter dan alat komunikasi untuk berjaga-jaga. Pasti dia juga akan mengatakan hal yang sama. Nah, tuh. Dia bangun."
.
"Kalau kau sudah selesai menjadi kera, kemarilah dan kita berkelahi." Suara itu tampak bosan.
Mista sendiri masih berusaha menaruh peluru dalam kepala musuh, namun ia hanya meraba-raba posisi lawannya. Ia menjerit dalam hati beberapa kali, Giorno apa kepalamu baik-baik saja?–sebab, ia juga tak paham mengapa atasannya bertingkah serupa kera dan terus berarak ke sana dan ke mari.
Setelah memastikan bahwa setiap jemarinya menyentuh seluruh benda-benda, Giorno menarik napas panjang, lalu mengempasnya kasar. Ia menarik sebelah sudut bibir, sepasang bola mata hijau samudra berkilat senang, menampung kemenangan dalam setiap detik yang berjalan.
"Aku sudah tahu kekuatan stand-mu," Giorno berujar. Ia mengangkat sebelah tangannya, tinggi-tinggi menuju udara. "Gold Experience Requiem!"
Satu sekon berikutnya, sulur-sulur bunga bertumbuhan. Akar dan ranting yang sengkarut melilit pilar, menjadi alas di atas keramik.
"He–hei! Apa-apaan ini!"
Tumbuhan itu terus menjadi besar, semak dan sekar memenuhi seluruh tempat. Mista dan Narancia harus menghindar agar tak terisolasi dalam lilitan anggrek mau pun seruni yang mendadak berlipat ganda—terasa menggelitik betis.
"Kau butuh karbon dioksida untuk mengubah struktur tubuhmu menjadi oksigen. Dalam satu sudut pandang, cara kerjanya sama dengan tumbuhan," Giorno menjelaskan. Senyum masih tak lesap dari wajah bergaris rahang tegas. Perlahan, irisnya dapat melihat sosok manusia yang secara ironis kehilangan transparansi-nya. "Dengan kata lain, kalau karbon dioksida habis karena diserap oleh tumbuhan, kau akan jadi terlihat."
Sang musuh menatap pada tubuhnya sendiri. Ia menengadah, mendapati teman-temannya pun terlihat fisiknya.
Lawannya mulai dirisak rasa takut. Ia menelan ludah. Senyumnya begitu terpaksa dan ia sadar bahwa bahaya mengancam seluruh inti kehidupannya. "Tu–tunggu, Don Giovanna, mungkin kita bisa bicarakan ini? Kau tahu, seperti seorang lelaki dengan yang lainnya–"
Giorno melebarkan cengiran hingga gigi gingsulnya nampak. Mista tidak tahu Giorno memiliki gigi taring yang cukup tajam.
"MUDA!"
Tinju itu berlangsung lama hingga lawannya berakhir dalam genangan darah. Mista dan Narancia, sama halnya dengan Giorno–hanya butuh sekian detik untuk membocorkan kepala musuh dengan peluru. Tak lama setelah itu, Buccellati, Abbacchio, dan Fugo masuk ke dalam gedung, sedikit terkesiap oleh seluruh tumbuhan yang membungkus–persis serupa bioma hutan hujan tropis.
Saat memastikan situasi sudah lebih tenang, Giorno memutar haluan, berlari ke arah lift pada bagian ruang paling sudut.
"Giorno!" Buccellati memanggil, mengikuti boss-nya.
Saat si surai pirang dan tangan kanannya masuk ke dalam lift, terdengar bunyi seperti kaset rusak pada earphone mereka. Giorno meringis, melepaskan earphone miliknya.
Ia menoleh pada Buccellati, tengah melakukan hal yang sama. "Setidaknya kini kita tahu kenapa sinyalnya menghilang."
.
"Apa ini?! Rekaman–berengsek, berengsek kau bersama Passione, ya!"
Sialan, sialan–
Kau berusaha melepaskan tangan yang meremat lehermu. Kuku menancap pada jemari penuh rambut itu–namun percuma, sebab bagaimana pun, Darius adalah lelaki dan ini menjadi sulit. Kau sempat melirik pada rekaman yang diempas hingga terkena dinding lalu terbagi menjadi dua.
Aku takut.
"Harusnya aku curiga sejak awal kau bertanya macam-macam," Darius menggeram benci. Memusatkan tenaga untuk memberi tekanan berat pada lehermu.
Kristal bening mulai meruak di sudut mata. Saat sadar akan gelas kaca di meja nakas, kau berusaha meraihnya. Jemarimu berhasil memegang pegangan gelas dan kau menghantamkannya sekuat tenaga pada kepala lelaki itu. Kau terbatuk ketika Darius melepaskan cengkraman, kepalanya limbung dan mengeluarkan darah. Kau buru-buru turun dari kasur, mengarah ke pintu dan meraih gagangnya. Namun, pintu tak terbuka–dan kau tak melihat kuncinya di mana pun.
"Oh–astaga, ayolah, ayolah," kau merapal, bulir air mulai melintang pada wajah. Sadar bahwa sepasang tanganmu timbulkan vibra. Belum selesai kau menarik gagang dengan sekuat tenaga, sesuatu meremat suraimu, lalu mengempasmu ke belakang—dan kau jatuh terlentang. Kau mengaduh, ketika kepala kebentok lantai.
BANG!
Kau terdiam.
Suara senjata api. Siapa menarik pelatuk? Siapa yang kena?
Namun–pertanyaan itu terjawab kala kau merasa perih pada sisi kanan perut. Darah merembes dari sana, membaluti fabrik yang kaukenakan. Kau melihat Darius mengancungkan moncong pistol pada kepalamu, siap menembak.
Namun, lelaki itu, alih-alih membiarkan sukma milikmu jadi debu begitu saja, ia menindihmu, menaruh mulut senjata tepat pada dahimu.
Tolong.
Tolong–
Setelah sekian kali hatimu memekik–kau tersenyum tipis.
"Untuk apa kau tertawa, hah! Dasar jalang–"
Dia mengoceh, memaki, menaruh sumpah serapah pada gendang telingamu–namun rasanya, kau sudah terlalu lelah untuk mendengar. Kau dapat merasakan darah mengalir dari sela jemarimu yang kautempatkan di atas perut.
Akhir hidupku sangat … biasa. Terbunuh oleh pria tua pengedar narkoba–sepertinya memang begini saja, ya? Kau menurunkan sepasang pelupuk. Tidur terdengar baik. Istirahat dari segalanya terasa baik. Kau hanya berharap alat rekamnya tak rusak sehingga data yang tersisa masih dapat diambil.
.
.
.
"Jadi, kau menyerah?"
Kalau aku tidak menyerah … apa yang menungguku?
"Entahlah. Tapi kalau kau tidak menyerah–kau masih punya hari esok. Kau masih bisa bertemu kawan-kawan barumu. Giorno–pemuda unik itu."
Haha. Giorno, ya … ? Lagipula, aku sudah kalah. Emosi "suka" yang sedari tadi kita tanamkan kalah oleh murkanya dan ketakutannya pada Quirino Paulina.
"Kau benar. Tapi, kau tidak harus selalu menggunakan cinta untuk membuat orang tunduk padamu."
…. Kau ada benarnya.
"Tentu saja. Sekarang bukalah matamu, sebelum isi kepalamu benar-benar berhamburan."
.
.
.
Dengan cepat, kau mengangkat pelupuk. Wajah Darius digurati amarah yang tak tanggung-tanggung. Kau takut–sangat. Namun, kau paham bahwa ini bukan waktunya berserah diri dan terima dihabisi. Kau bisa mengalahkannya, bahkan meski kau tak mempunyai kekuatan tarung sama sekali.
Kau mengangkat sebelah sudut bibir, "Snow Patrol," kau mendesis. "Tanamkan rasa takut padanya."
Aku tidak boleh mati di sini.
Jantung Darius serupa dihantam oleh beban tak pegari. Ia mengangkat kedua tangannya, menjauh darimu.
"Rasa takut hanya karena melihat mataku."
Pistolnya terlepas dari tangan. Bunyi logam menghantam keramik terdengar nyaring.
"Rasa takut yang membuatnya tak sudi satu ruangan denganku–"
Darius buru-buru mengangkat tubuhnya yang besar, hendak mundur ke belakang dan menuju pintu. Kau berusaha bangkit jadi posisi duduk, masih menekan perutmu yang kini nyaris mati rasa. Pandanganmu berkunang dan melebur jadi satu.
"–tapi membuat seluruh tubuhnya kaku dan tak berani bergerak."
Darius terduduk, mendongak ke arahmu. Kali ini betul-betul dipenuhi ngeri. Bulu romannya berdiri dan pupilnya melebar. Bulir keringat sebesar biji jagung memenuhi dahi dan rahangnya terjatuh, bibir bawahnya bergetar.
"Rasa takut yang membuatnya paham, bahwa dia–adalah makhluk terendah di hadapanku. Dan tak ada yang bisa dia lakukan untuk melawanku; karena kesempatan itu tak ada—bahkan meski secuil."
Kau tersenyum tipis. Tak butuh waktu lama hingga Darius mengencingi dirinya sendiri, matanya jadi putih, dan ia kehilangan kesadaran.
DRAKK!
Pada waktu itu, pintu dihancurkan. Sosok lelaki beriris turquoise bertemu milikmu, mengunci visualmu rapat-rapat.
Ah. Baiklah. Sudah cukup, aku lelah.
Giorno menyerukan namamu. Segera berlari ke arahmu, meloncati Darius, dan menopang tubuh yang hampir jatuh ke belakang. Ia berjongkok, menopang kepalamu dengan sebelah tangan dan menaruhnya di pahanya. "HEI!"
Samar, kau dapat mendengar suara yang lain. Oh. Mista, Narancia … kalian semua baik-baik saja, ya.
"Hei, buka matamu!" Giorno masih berseru. Ia menyelipkan tangannya di atas milikmu yang berusaha menutup luka. Cahaya emas yang lembut muncul dari sana; organ yang bolong kini tertutup.
Tetap saja–itu tak menghilangkan rasa sakit dan kurang darah. Kau tertawa tipis. Menatap gurat ekspresi yang tak terdefinisi. Sepasang alisnya bertaut dan bola mata jernih memantulkan kecemasan yang amat pasti. Wajahnya kalap sekali.
"Kalau kau masih punya tenaga untuk tertawa, buka matamu! Aku serius!" Giorno menggertak gigi. Hatinya mencelos untuk suatu alasan. Sesak memenuhi dada, ini sama seperti ketika ia melihat Abbacchio, atau Narancia, atau bahkan Buccellati–berada dalam garis maut dan nyaris menyebranginya, empat tahun lalu.
Kau perlahan mengangkat tanganmu. Jemarimu begitu lusuh dan menjijikan, dibalut likuid merah kental–tapi, apa pedulimu, dan kauusap sisi wajah Giorno. Ah. Kulit seputih susu jadi mendapat gores warna merah gelap.
"Irismu itu indah sekali, Giorno." Kau tersenyum. Oh. Ini kali pertama kau menyebut namanya. Rasanya begitu asing dan menyenangkan di lidah. Seharusnya sejak awal, kau memanggilnya seperti itu.
"Hei!"
Tanganmu terjatuh lemas di sisi tubuh, lalu kau menutup pelupuk. Gelap membungkus.
"Hei, kau harus tetap sadar! Kau–"
"Giorno."
Giorno terkesiap ketika Mista menepuk pundaknya. Ia menoleh ke belakang. Mista memberikan senyum tipis pada bibirnya, berusaha menenangkan.
"Tenanglah–lihat, dia tertidur."
Giorno mengalihkan wajah, lalu memerhatikanmu. Benar. Suara napas yang teratur dan dada yang naik dan turun dengan lembut–kau terlelap.
"Kita tetap harus membawanya ke rumah sakit," sahut Buccellati. "Ia tetap kehilangan banyak darah meski lukanya sudah tertutup. Apa kaupikir kau bisa mengangkutnya ke mobil, Giorno?"
Giorno terdiam sesaat sebelum mengangguk. Melingkarkan lengannya pada pundakmu dan satu lagi di bawah lututmu.
.
.
.
Suara detak jam yang lembut masuk dalam telinga. Kau perlahan mengangkat pelupuk yang terasa berat. Saat memfokuskan visual, kau melihat sebuah lampu pada langit-langit ruangan. Meski begitu, penerangan tak dinyalakan. Satu-satunya sumber cahaya ialah sinar rembulan yang menembus jendela pada sisi kananmu.
"Sudah bangun?"
Suara familiar mengetuk kesadaran. Kau sedikit menoleh ke kiri, mendapati Giorno terduduk pada kursi. Kemejanya lusuh, bekas darah tampak menodai, dan surai pirangnya tak serapi waktu ia berangkat. Kau membuka belah bibir, ingin bicara–namun serasa kering.
Giorno meraih gelas dengan sedotan, perlahan memosisikan sedotan pada bibirmu. Kau meneguk air sebelum akhirnya si iris hijau laut menaruh gelas dan kau tersenyum tipis.
"Tidakkah harusnya kaupulang dan tidur, Boss?" kau bertanya. Sadar bahwa suaramu sengau.
Giorno mendengus singkat. "Nanti."
Kau menautkan kedua alis. Apa maunya, sih ….
Sunyi menjadi perantara bagi kalian untuk sementara waktu. Kau menikmati ini. Oh–ketika diingat, sepertinya sejak bertemu dengannya … setiap momen terasa nyaman.
Ini klise, kau menyahut pada dirimu sendiri. Wajahmu serasa memanas. Memangnya aku anak SMP yang baru jatuh cinta?
"Abbacchio mendapatkan rekamannya," Giorno berujar pelan. Suaranya begitu lembut, menyaingi malam. "Meski alatnya rusak, tapi data di dalamnya selamat. Kami juga sudah menghubungi Quirino Paulina dan mereka meminta maaf, menarik kembali anak buahnya, dan berkata bahwa mereka akan selalu mengingat ini sebagai hutang. Jika aku butuh, mereka akan membayar dengan senang hati."
Kau terkekeh tipis. Ah. Lukanya masih perih, meski tak terlihat ada bekas sama sekali. "Baguslah kalau aku berguna."
Giorno tidak membalas. Kau menggerakkan kepalamu pada bantal, memanggil halus, "Giorno?"
Kau melihatnya tersenyum tipis. "Balas budimu sudah selesai."
Dan kini—kau yang merasakan sesuatu hilang dari rongga dada. Kosong mendadak, kehangatan meniti jurang ngarai, jatuh di tengah jalannya. Kau mengukir senyum yang sama—entah mengapa.
Sampai sini saja, ya.
"Benar."
"…. Biaya rumah sakit sudah dilunasi. Kau hanya perlu istirahat."
"Tentu. Grazie."
"…."
"Hei, Giorno?" kau memanggil. Giorno tidak menjawab—namun isir aquamarine miliknya terarah padamu. Warna yang entah sejak kapan menjadi candu, begitu adiktif—dan betah berdiam dalam kotak ingatanmu. "Sukses, ya."
"…. Ya."
"Giorno?"
"Hm-mnn?"
"Boleh aku menggenggam tanganmu?"
Giorno mengerjap. Berikutnya, ia meraih tanganmu dari balik selimut. Menyelipkan jemarinya di antara milikmu. Hangat membungkus. Kau tersenyum tipis, kembali menurunkan pelupuk.
Tertidur rasanya baik. Namun—tetap tidak bisa. Karena kala memorimu memutar lagi ingatan bahwa kau nyaris diseret pada kegelapan nirbatas; beserta fakta bahwa kau paham apa arti meregang nyawa, kali ini, air mata tumpah ruah.
Kau sesegukan halus dalam ruangan yang sunyi. Giorno tidak mengucapkan apa-apa—namun dari genggamannya yang mengerat, kau tahu ia peduli. Tangisan itu berlangsung entah berapa lama; kau tak menghitung—terserah lah.
Kau hanya tahu bahwa hingga kau terpulas, tangan itu masih merengkuh jemarimu—erat.
Dan rasa-rasanya itu cukup.
.
.
.
Saat pagi hari datang dan matahari perlahan merangkak dari sisi Timur, pemuda bersurai pirang itu sudah tidak ada lagi di sana. Ah—tentu saja. Tidak heran.
Namun suster yang hendak memeriksamu menyadari ada sebuah sekar yang menyelip keluar dari dalam laci meja sebelah kasur. Kau menautkan sebelah alis—tak paham. Ketika kaubuka laci itu, himpunan baby breath meruak. Harumnya menyerbak dan suster rumah sakit hanya terkekeh manis.
"Kekasihmu sangat romantis."
Setelah memastikan bahwa kau baik-baik saja, ia keluar ruangan, berkata bahwa kau bisa pulang siang ini. Kau sadar bahwa ada secarik kertas dalam tumpukan sekar mungil berwarna seputih salju itu. Kauraih kertas itu dan membuka lipatannya. Membaca satu kalimat dengan tulisan tangan yang tak pernah kaukenali.
Simpan uangnya, jangan disumbangkan. Makan yang benar. Cari kerja yang benar.
Arrivederci.
G. G.
Kau semakin mengerutkan dahi dan bingung menjalari hati. Uang apa? Tetapi, sebelum benakmu sempat mencari jawaban, baby breath di dalam laci menjelma menjadi uang kertas. Kau hampir melonjak kaget, lalu tertawa. Jumlahnya 300 euro.
"Kalau begini, hutangku bertambah, dong," sahutmu, masih terkikik-kikik. Berikutnya senyum lahir pada bibirmu. Tulus. Mencapai hingga telinga. Begitu bebas rasanya.
Dan saat kau menoleh pada bingkai jendela, sinar sang surya begitu hangat.
.
.
.
.
.
"Kau tahu kenapa aku menjadikanmu seorang don, Giorno?"
Buccellati bertanya di tengah hari. Itu siang dan mentari bersinar keterlaluan terik—hingga rasanya membakar. Barangkali memang itu hobi bintang pijar itu akhir-akhir ini; menyulut bumi dalam api. Rasanya hiperbolis sekali, tapi—Giorno juga keterlaluan gerah hari ini.
Tanpa kehilangan fokus, serta dengan sepasang aquamarine yang masih menguliti setiap aksara pada dokumen, Giorno membalas santai, "Karena aku yang mengalahkan boss sebelumnya."
Buccellati tertawa kecil. "Ya, itu juga. Tapi, selain itu, aku memilihmu karena kau punya kualitas seorang pemimpin."
Giorno mengerjap, menandatangani sebuah dokumen, lalu membalas, "Yang mana … ?"
"Paham apa yang harus dilakukan, berkepala dingin tapi penuh determinasi, dan tahu mana bidak yang tepat."
Kali ini, jemari tangan kanannya berhenti menggores di atas kertas. Ia mengangkat wajah, menemui iris biru Buccellati.
"Kalau ini soal gadis itu, Buccellati—apa kau tahu dia menangis ketika di rumah sakit?"
Buccellati menggeleng. Namun senyum tipis masih tersisa di sana.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi di ruangan itu, hari itu," Giorno menyahut. Meremat pulpen yang berdiam diri pada jarinya. "Dia tidak bercerita, maka aku tidak bertanya. Tapi, dia menangis sesegukan. Apakah menurutmu aku akan merekrut orang dengan—mental yang lembut seperti itu?"
"Dia menangis," Buccellati mengulang. "Tapi apakah dia mengatakan bahwa dia jera? Atau tak lagi ingin mencoba?"
Tidak. Giorno melepas pulpen dari tangannya, mengusap tengkuknya. Tidak. Tapi, ketika aku melihat ia terluka dan dibalut darah, aku … tidak yakin dia harus terlibat lebih jauh.
"Apa kau merasa bersalah karena meminta bantuannya sejak awal? Tapi, dia baik-baik saja, dan lukanya sembuh."
"Ya—telat satu menit, maka ia akan benar-benar mati, Buccellati."
Buccellati menarik napas, lalu menghelanya pelan. Ia tahu Giorno keras kapala dan apa yang telah ditetapkan akan selalu dijalankan—memang begitulah ia. Namun, sekali lagi, Buccellati memilih untuk bertanya, "Kalau begitu, jika ia bilang padamu kalau ia tidak jera, apakah pada waktu itu kau akan merekrutnya?"
"Kalau dia bilang tidak jera, ya …," Giorno memutus kata-katanya, memasukkannya dalam keheningan. "… mungkin akan aku pertimbangkan."
Buccellati mengangguk paham. Tak lama, langkah kaki yang berderap terdengar. Mista masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk—sudah biasa. Maka dari itu Giorno hanya kirimkan kalimat dengan tanda tanya, "Ada update terbaru?"
"Si," jawab Mista. Menutup pintu dengan dorongan dari kakinya. "Abbacchio dan Narancia menjaga daerahnya masing-masing, seperti biasa. Barusan aku dapat e-mail dari Abbacchio; laporan rutinnya. Aku belum membaca semua tapi kurasa itu tentang kasus pembunuh yang ia selidiki dua hari ini."
Giorno mengangguk. Ah—pembunuhan dan observasi memang poin kuatnya. Lebih mudah melacak kriminal dengan hidung sendiri daripada menyerahkannya pada polisi. Meski pada akhirnya, yang bersalah tetap akan dilempar ke pihak berwenang.
"Narancia menerima soldato baru. Sepertinya bisa dipercaya. Aku akan mengirimkan detail-nya padamu nanti. Lalu, Fugo juga menerima seseorang yang ingin menjadi anggota Passione."
Giorno kali ini menunjukkan ketertarikan. Sebelah alisnya terangkat dan ia penasaran dengan penjelasan yang akan dipaparkan, "Oh? Tumben sekali. Bukankah selama ini tidak ada yang bisa melewati ujian dari Fugo?"
Buccellati mengangguk. "Dia keterlaluan juga, sih, kalau memberi ujian."
Mista tergelak, merasa sangat setuju. "Aku sudah pernah bilang agar dia menggantinya!"
Giorno menggeleng-geleng. Ia pernah ingat—saat Fugo mengajukan proposal tentang bagaimana ia akan menguji orang, Mista yang tertawa hingga mampus. Ujiannya sederhana; ia akan mengambil kapsul dari Purple Haze, memasukkannya pada kantung plastik kecil, dan menyuruh orang itu untuk pergi dari titiknya berdiri sekarang hingga ke ujung bumi yang paling, amat sangat—jauh.
Tentu—kebanyakan pelamar gagal karena berbagai hal. Kapsul Purple Haze akan pecah, atau mereka menyerah. Meski racunnya tak melukai mereka sebab terisolasi dalam plastik khusus yang disiapkan—tetap saja, mereka kalah. Sebagian besar berpikir apa yang dimaksud dengan ujung bumi adalah Antartika atau Segitiga Bermuda. Kalau pun mereka sudah sampai di sana, Fugo akan mengatakan bahwa jawaban mereka salah; dan mereka akan tidak lulus.
Namun sesungguhnya, jawabannya sederhana. Bumi adalah sebuah planet; berbentuk bulat. Jika kita mengitari benda bulat, yang tidak bersisi dan bersudut—maka kita akan sampai pada titik awal kita berdiri, pada akhirnya.
Kalau begitu, sesungguhnya titik terjauh dari tempat kita berdiri adalah satu langkah di belakang kita. Sebuah serba-serbi sederhana, sungguh. Kau hanya perlu berpikir di luar kotak dan logika; serta mengalahkan ego dan keangkuhan untuk tunjukkan kekuatan.
"Lalu, kau harus lihat wajah Fugo ketika orang itu memecahkan teka-tekinya!"
"Kau ada di sana, Mista?"
"Yup. Kebetulan aku perlu membahas sesuatu dengan Fugo, lalu pelamar kerja datang, dan ujian dimulai. Dan ketika diberikan plastik berisi kapsul beracun, apa yang dia lakukan hanya diam sebentar, lalu mundur satu langkah, dan tersenyum puas. Ahh—itu keren. Fugo sampai melamun sesaat."
Giorno tersenyum timpang. "Aku jadi penasaran soal signore ini," ujarnya.
Guido Mista menyengir puas. Ini kalimat yang telah ia tunggu-tunggu sejak awal menapakkan kaki di ruangan ini. "Aku sudah menduga, maka, aku menyuruh Fugo membawanya ke sini. Sebentar lagi mereka harusnya sampai."
Benar saja. Tidak butuh makan waktu lama hingga dua langkah yang lain, terdengar bersisian, menyusuri lorong. Namun apa yang menggelitik indera pendengaran sang Don adalah suara yang familiar. Terasa begitu dekat dengan hatinya.
Giorno menoleh pada Buccellati. Lelaki itu tak merespon.
Pintu diketuk. Fugo meminta izin dengan suara sejernih kristal, "Don Giovanna, Pannacota Fugo ingin melapor."
"…. Masuk."
Saat daun pintu terbuka, dua sosok muncul dari sana.
Mista melebarkan cengiran, berujar, "Aku tidak pernah bilang dia itu lelaki, sih."
Butuh 5 sekon penuh bagi Giorno untuk memahami situasi—beserta senyum konyol yang terpatri pada bibirmu.
Kau menggerakkan tungkai. Melangkah masuk.
"Buongiorno," kau menyapa. Menyebutkan namamu, lalu melanjutkan, "Tersanjung bisa bertemu Anda, Don Giovanna."
Giorno berdiri dari kursinya. Ia menggerakkan tungkai, mengeliminasi jarak. Saat hadap-hadapan denganmu, ia membungkus pergelangan tanganmu dengan genggamannya, menarikmu hingga limbung—dan menjatuhkanmu dalam satu dekapan.
Kau membeku—tak tahu harus berbuat apa. Cukup yakin darah mengalir hingga ruas pipi dan jantung memompa mereka keterlaluan cepat.
Mista dan Buccellati tidak mengatakan apa-apa—namun mereka paham. Fugo menyerah untuk berkomentar pada titik ini—sebab sejak awal pun, ia tak sangka akan sikap nekad seorang gadis yang dengan sengaja menyerahkan dirinya pada organisasi berbahaya.
"Giorno?" kau mencicit. Meski begitu, rasanya amat hangat—hingga sayang untuk dilepaskan.
Berikutnya Giorno melepaskan rengkuhan. Senyum masih tersisa di bibirnya.
"Mana bisa kau jadi anggota Passione," katanya, memotong kalimat dengan dramatis, "kalau masih lengah seperti ini?" Selanjutnya ia mengangkat sebuah dompet kulit yang kausimpan di kantung belakang celana sebelumnya.
Tawa Mista pecah.
Kau menjatuhkan rahang, tidak percaya. "Giorno! Sialan, hei—kembalikan!"
Giorno terkekeh. Lembut. Kali ini—merasa begitu ringan.
"Bentornata a casa, Tesoro*."
"Ja—jangan memanggilku begitu!"
"Eh, kenapa? Kau tidak ada masalah kalau aku yang menggunakan pet names?"
"Urgh, Mista—menyebalkan!"
Dan—yah, tentu.
Ini berakhir baik.
.
.
.
END
A/N:
*Quirino Paulina: plesetan dari Quirino Paulino. Drugs cartel dari Dominican.
*Don Castillo: Ini boss-nya Quirino Paulino, saya nggak plesetin, wkkwkw.
*Saludo! Te importa si te mato: Hello! Mind if I kill you? (Spanyol)
*Bentornata a casa, Tesoro : Welcome back (home), sweetheart.
Yaaah! Hi semuaa. Balik lagi ke series, "I didn't think I would fall in love with this series, but here I am." Jadi kalo kalian pada ngikutin saya *cough, mungkin ada followers setia*, saya biasanya selalu bilang soal anime/seri yang saya gak sangka bakal suka sampai sebegitunya tapi ternyata, yah—bisa dilihat.
Jadii fanfiksi ini kurang lebih 13.000 kata, dikelarin dalam waktu 3-4 hari, dan ini cuman 1 event. That's a record, actually. Biasanya, saya nggak lihai bikin satu event panjang sampai begini. 13k words mungkin bisa bercerita tentang si tokoh utama dalam 2 minggu, you get what I meant?
Yah intinya. Saya dipaksa mulai nonton Jojo's Bizarre Adventure sama adik saya karena katanya bagus banget. Terlalu banyak bullshit. And yea, it turns out I love it so much. Part 3-6 the best bagi saya. Dah ya intinya semoga kalian enjoy baca fanfiksi ini sampai habis, kalo bisa bikin kalian seneng that's great.
See you guys!