Kampung Rintis : The Series - Prolog
Fanfiction by Drama Queenns
Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta.
Warnings : AU, pair nyelip, humor garing, edisi spesial bulan puasa.
Enjoy your reading!
"Panas banget, sih. Gila."
Taufan mengipaskan lembaran koran lecek di tangannya dengan brutal dan hanya mendapat sedikit terpaan angin yang sama sekali tidak berguna mengusir gerah dan panas yang menyengat.
"Yah, namanya juga lagi summer," sahut Gopal kalem. Ia meneguk es teh yang tinggal separuh sambil mengisi kolom teka-teki silang di koran yang tidak dikuasai Taufan.
"Summer kepalamu," cibir Taufan. "Ini namanya pemanasan global, tau nggak? Bumi kita ini udah sakit gara-gara ulah manusia nggak bertanggung jawab."
"Kamu salah satunya?"
"Jangan sembarangan. Gini-gini aku pecinta lingkungan, tau," Taufan mengedikkan kepala angkuh.
"Heleh." Gopal melempar cibiran tak percaya sebelum kembali melanjutkan teka-teki silangnya.
Taufan mendesah. Ia masih terus mengipasi diri dengan koran yang semakin kusut dalam usahanya mendapat sedikit kesejukan di tengah cuaca terik. Kedua netra safirnya menyusuri jalanan yang sepi. Debu berterbangan di aspal berbatu dengan lubang di sana-sini, membuat pengendara harus berhati-hati jika tidak ingin terperosok.
"Hari ini sepi banget, ya?" keluh Taufan. "Dari pagi belum dapat penumpang sama sekali."
"Cuaca panas terik gini mana ada orang yang mau keluar naik ojek?" balas Gopal. "Paling mereka nyewa taksi, atau mending di rumah aja deh kalau emang nggak ada perlu keluar."
"Naik ojek 'kan juga nggak panas-panas amat. Kalau udah jalan juga bakal kena angin, kok."
"Tapi tetap aja mataharinya bikin gosong. Kalau bukan buat nyari duit juga aku ogah keluar rumah."
Taufan menghela napas berat. Ia menandaskan minuman di gelasnya dan melambai untuk memanggil sang pemilik warung yang berkutat di belakang.
"Ying! Aku pesan satu es teh lagi, dong!"
"Oke!" Suara cempreng seorang gadis menyahut dari belakang kedai.
Taufan menselonjorkan kakinya di atas bangku mumpung warung itu sedang sepi. Biasanya ada banyak orang yang berkumpul di kedai ini. Mayoritas adalah pria-pria paruh baya pengangguran yang tidak punya pekerjaan lain selain nongkrong di warung sambil menggoda gadis-gadis muda yang lewat dan menghabiskan uang dengan berjudi.
"Lagi sepi penumpang, ya?"
Gelas berembun diletakkan di meja dan Taufan mendongak pada gadis mungil yang membawakannya.
"Iya, nih. Sepi banget," desah Taufan. ia meraih gelas es teh yang baru disajikan dan langsung meneguk isinya.
"Sama, sih. Warungku dari pagi juga sepi," kata Ying. Ia mengambil tempat duduk di samping Gopal yang masih fokus dengan korannya. "Yang datang ke sini hari ini baru kalian berdua doang."
"Masa'? bukannya warung kamu biasanya rame?" Taufan mengangkat alis. "Ke mana bapak-bapak genit yang biasanya suka nongkrong di sini?"
"Nggak tau, deh. Di rumah kali," Ying mengangkat bahu. "Aku dengar hari ini ada kerja bakti buat bersih-bersih kampung sekalian menyambut Bulan Puasa."
"Oh, iya. Tadi pagi aku emang disuruh kerja bakti sama Gempa, sih," kata Taufan setelah mengingat-ingat. "Tapi aku langsung cabut karena males."
Ying mencibir sementara pemuda itu terkekeh. Kedua safir Ying mendongak memandang langit biru jernih tanpa awan. Napas dihela pelan sementara ia meletakkan tangan di meja untuk menopang kepalanya.
"Besok udah puasa, ya? Warungku jadi makin sepi, deh," Ying mendesah muram.
"Besok puasa? Bukannya lusa?" Taufan mengernyit heran.
"Dih, yang puasa 'kan kamu. Masa' nggak tau, sih?" komentar Gopal.
"Yah, aku emang nggak ngitung harinya. Kalau udah puasa ya puasa aja," Taufan menggaruk pipi. "Tapi emang beneran besok?"
"Aku dengernya sih gitu," Ying mengangguk.
"Gawat dong kalau gitu." Taufan mengerutkan dahi sambil berpikir. "Di rumah persediaan sembako udah hampir habis. Kami mau makan apa buat puasa nanti?"
"Puasa bukannya emang nggak makan?" celetuk Gopal.
"Ya tapi 'kan harus sahur sama buka, bego," Taufan memukul kepala sahabatnya itu dengan gulungan koran.
"Biasa aja dong ngomongnya, nggak usah ngegas," cibir Gopal, mengusap kepalanya. "Eh, bantuin dong. Ini apaan, deh, tujuh baris mendatar; bahan pokok dalam rumah tangga."
"Sembako," cetus Taufan dan Ying bersamaan.
"Oh, iya. Bener juga. Kenapa nggak kepikiran, ya?" Gopal menggaruk kepalanya dan terkekeh.
"Emang otak kamu aja yang pas-pasan, sok mau ngisi TTS segala," Taufan memutar mata. Ia menoleh pada jam dinding di atas warung Ying dan berdecak. "Nggak bisa, nih. Kalau nggak dapat penumpang hari ini aku beneran nggak bisa makan buat sahur besok."
Taufan bangkit dan memakai jaket yang disampirkannya di bangku. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kunci motornya.
"Ying, masukin ke bon utang aja, ya. Nanti kalau udah dapat penumpang aku bayar," kata Taufan sambil memakai helm.
"Iya, iya," Ying memutar mata malas. "Jangan kelamaan bayarnya, lho. Aku juga butuh duit buat makan."
"Siap, bos!"
Taufan membuat gerakan hormat sebelum berjalan menghampiri motornya yang terparkir di bawah naungan pohon. Ia mengumpat keras merasakan bokongnya terbakar oleh jok yang panas setelah sepagian terjemur. Taufan menyalakan starter dan melajukan motornya pergi meninggalkan kumpulan debu.
.
.
.
Ying baru selesai menyisir rambutnya ketika seseorang berteriak di depan kedai. Ia buru-buru berlari keluar dan menemukan seorang pelanggan baru saja menghempaskan dirinya di kursi yang ada di depan.
"Kamu baru pulang?"
Halilintar hanya menyahut pendek. Ia membuka kancing atas kemeja putih setelah melempar tas ke bangku dan melakukan perenggangan dengan lehernya.
"Aku mau es jeruk dong, yang dingin," titahnya dengan suara lelah.
"Sebentar!"
Gadis itu dengan cekatan memeras jeruk lalu menyajikannya pada Halilintar satu menit kemudian. Halilintar terlihat kehausan saat menegak minumannya sampai tandas.
"Gimana job fair-nya?"
Peluh Halilintar masih menetes saat Ying memandangnya dari samping.
"Kacau. Banyak banget yang ikut. Gedung sampai sumpek saking kepenuhan massanya."
Ying tersenyum. "Wajar. Cari kerja emang seberjuangitu. Kalau nggak kuat mental, bakal nyerah dan nggak bakal kerja-kerja."
"Tapi benerandeh, kayaknya aku nggak lagi-lagi mau ikut job fair." Halilintar mengendus kemeja putihnya. "Belum wawancara aja aku udah bau karena keringetan."
"Cemen, baru juga ikut begituan sekali. Lagian harusnya kamu nggak boleh ngeluh. Justru semangat. Besok kan udah puasa, siapa tau kalau kamu keterima bisa buka pakai makanan yang enak-enak, kan?"
"Mustahil kalau massanya sebanyak itu," dengkus Halilintar seraya menuang air putih dari teko. "Lagian aku itu sarjana—"
Suara seruan membuat Ying dan Halilintar menoleh. Fang melangkah beringas seraya menenteng dua sembako di tangan kanan-kirinya.
"Nih pesenan kamu," katanya jutek seraya menaruh satu kantung plastik meja kedai Ying. "Lain kali kalau belanja mampir sendiri kenapa sih? Warung nggak ada sepuluh meter juga. Males banget jalan."
Ying berdecak. "Kalau aku jalan yang jaga warungku siapa? Kamu mau tanggung jawab kalau aku sampai kehilangan dan rugi?"
Fang mencibir, matanya menangkap sosok Halilintar yang sedang menggigit pisang goreng buatan Ying.
"Oh iya, Taufan juga tadi nitip ini." Sekantung plastik sembako diletakkan di bawah kaki Halilintar. "Katanya kalian nggak punya persediaan buat puasa, jadi dia ngebon lagi. Tenang aja, udah aku gabungin sama belanjaan kemarin. Jangan lupa dibayar, ya?"
"Aku bakal bayar kalau udah dapet kerja." Halilintar melirik Fang sejenak dan menyuap pisangnya dengan santai.
"Dapet kerjanya itu kapan?" Fang menggeram. "Aku udah kena omelan Abang mulu karena sering ngutangin kalian, tau."
"Bukannya Abang kamu dermawan, nggak masalah dong kalau—"
Lagi-lagi mereka bertiga menoleh karena suara lantang seseorang. Yaya tersenyum, berlari menghampiri dan langsung membagikan brosur.
"Apaan nih?" Fang mengernyit, membaca brosur di tangannya.
"Acara takjil gratis mulai besok," sahut Yaya antusias. "Kami kumpulan remaja masjid buat program tebar takjil selama bulan puasa. Tapi, ini khusus pengendara atau orang-orang kerja dan dhuafa gitu sih. Kalau kalian ada waktu, bisa banget kok buat bantu."
"Kamu nggak liat aku punya jadwal padat di warung?"
Ying menyikut Fang, lalu menoleh pada Yaya. "Ini bagus banget programnya," komentar Ying. "Kayaknya nanti aku bakal ikut nyumbang, deh. Boleh, kan?"
"Ah iya. Boleh banget! Nanti kamu tinggal kordinasi aja sama aku. Bang Kaizo juga udah jadi donatur tetap, kok." Yaya mengerling pada Fang sebelum kepada Halilintar. "Kamu juga Hali, kalau ada waktu bisa bantu kita. Gempa juga bakal di sana karena dia koodinator lapangannya."
"Oh iya, nanti ke sana."
"Ok. Kalau gituaku duluan ya!" Yaya tersenyum dan melambai meninggalkan mereka bertiga. Ia kembali berpapasan dengan Suzy sebelum melanjutkan perjalanan menyebar brosur.
"Aku juga deh, udah mau malem," gumam Fang.
"Loh kamu nggak ngopi dulu?" seru Ying begitu Fang mulai berlalu meninggalkan kedainya yang hanya disahut dengan kibasan tangan dari belakang.
Ying menarik napas sebelum kembali duduk di samping Halilintar.
"Kamu nggak—"
"Pokoknya aku harus dapet kerjaan," Halilintar meremas brosur di tangannya penuh tekad. "Nggak mau tau, puasa ini aku harus dapet duit buat beli daging lebaran nanti."
Ying tertawa. "Bagus! Itu baru semangat!"
Pemuda itu mendongak ke langit. Semburat merah langit perlahan mulai memudar digantikan horizon berwarna biru tua. Hari ini boleh ia gagal. Namun esok hari harus lebih baik dari hari ini.
Suara bedug berkumandang, disusul suara Gempa yang melantunkan adzan Maghrib.
Halilintar kembali melahap satu pisang goreng dan menegak air putih, ia menoleh pada Ying yang tengah memasukkan dagangannya ke dalam. "Mau aku bantuin tutup kedainya?"
"Boleh. Tapi kamu harus tetep bayar makanannya ya?"
Halilintar berdecak. "Takut banget nggak dibayar sih."
Ying tertawa. Halilintar dengan sigap membantu Ying mengemas barang-barangnya ke dalam dan menutup kedai. Sebagai upah ia menerima seplastik gorengan sisa jualan Ying.
Lumayan. Bisa diangetin buat sahur besok.
.
.
.
Kampung Rintis, sebuah kampung di pinggiran kota yang penduduknya kurang bisa dihitung jari, lumayan banyak soalnya. Tapi jangan khawatir, mereka tidak akan diceritakan semua di sini. Hanya beberapa orang pilihan yang hidupnya cukup absurd untuk dijadikan kisah yang bisa dibaca.
Tiga bersaudara yang berjuang di jalannya masing-masing untuk menyambung hidup. Kakak-beradik pemilik warung kelontong—juga laundry, usaha ternak lele, toko emas—alias orang terkaya sekampung, mahasiswi cantik aktivis mesjid, pemilik warung pinggir jalan yang harus menahan sabar disemprot ibu-ibu karena dianggap gadis penggoda suami orang alias pelakor, tukang ojek sekaligus pengantar barang suruhan sang ayah.
Orang-orang ini akan mengisi setiap bab dalam cerita ini. Mungkin ada tambahan, mungkin tidak. siapa yang tahu? Kamu akan menjadi saksi dari kisah rumit dalam hidup mereka.
Penasaran?
.
.
.
to be continued
A/N :
Mumpung lagi bulan puasa, sesekali bikin yang spesial nggak apa-apa, 'kan? Ini mungkin bakal jadi kumpulan cerita pendek tentang berbagai kisah hidup orang-orang ajaib di Kampung Rintis. Kalau penasaran, silakan pencet follow biar nggak ketinggalan update!
Makasih buat yang udah baca! Jangan lupa tinggalkan review, ya~