"Eh, kalau keadaannya begini berarti pasar Ramadan ditiadakan donk?"
Kepala yang tadinya menunduk melihat buku pelajaran langsung terangkat tegak. Wajahnya seperti baru saja mendapat musibah, horor menatap teman sekamarnya.
"Cepet ke asrama putra!! Kasih tahu Gempa, kita butuh bantuan Taufan!!!!"
"Heeeee????"
.
.
Boboiboy milik Animonsta
Tidak ada keuntungan material apapun untuk penulis
Warning: pesantren AU, human alien, Islamic alien, elemental sibling! myb ficlets, ketidakcocokan pemilihan genre(?), humor receh garing dan terkesan dipaksakan, apa itu diksi?, typo etc, alur maju mundur, penulisan tanda baca yang salah, serta kekurangan penulis dalam kegiatan pesantren kecuali pengalaman dari pesantren kilat sekolah, mohon dimaafkan
Semoga terhibur
semoga
.
.
Asrama putri terkenal dengan anaknya yang cantik, sholehah, kalem, pintar, dan segala perdikat bagus-bagus di mata pengurus pesantren Tapopsantri ataupun guru yang mengajar di sana. Tapi kalau di mata asrama putra, semua itu hanya akal bulus mereka saja. Cuih.
Cantik iya cantik, tapi kalau sudah ganas, rambut, tangan, kaki, apapun yang bisa dijangkau bakal digasak habis. Sai salah satu saksi mata keganasan mereka. Dulu, ada suatu waktu saat rambut Sai panjangnya melebihi tengkuk. Para pengurus pesantren sudah memperingatkan untuk mencukurnya. Sai sebagai santri teladan (terlanjur lancar dandan) mengiyakan peringatan itu dan berkata akan segera merapikan. Tapi malah berakhir di ruangan tertutup dan terikat di mana disana ada adik kembarnya dan beberapa komplotan, lantas menggasak rambut indahnya sampai seperti rumput lapangan sepak bola.
Sai trauma. Bahkan sampai empat bulan selepas kejadian, masih terngiang-ngiang. Menyebabkan Sai kapok berurusan dengan wanita dan rambut panjang.
Selain itu, asrama putri terkenal akan kehororannya yang melebihi film horor the kuyang (kucing kayang) langganan nobar cowok-cowok kurang belaian kalau lagi kurang kerjaan. Bukan... bukan horor seperti yang dilihat Fang saat ngeronda. Melainkan sebuah malapetaka melebihi itu semua.
Contohnya saja, yang saat ini dilihat oleh Sai serta Fang di depan mereka.
"Ayolah... kasih tahu di mana Gempa, atau paling tidak Taufan deh. Kami bener bener bener baaanget butuh bantuan mereka. Urgent ini gak bohong! Emergency!" kata Ying di depan asrama cowok yang palangnya sedang dijaga dua sohib yang tersebut di atas.
Fang dan Sai saling tatap.
"Kan sudah kami bilang. Gempa lagi ada bimbingan sama Ustaz Kasa. Kalau Taufan lagi sama Ice ke Ustaz Papa. Bimbingan semua. Nanti habis Asar baru balik," jelas Fang yang sepertinya tak berpengaruh juga pada Ying. Buktinya dia menggembungkan pipinya yang makin chubby, memandang Fang sebal.
"Terus gimana?!" Ying bertanya kesal.
"Gini deh, kalian titip pesen aja. Nanti kami kasih tahu ke Gempa dan Taufan. Lagian Fang satu kamar sama mereka. Jadi, kalian mau ada apa?" kata Sai memberi jalan tengah. Gerah juga lihat si biang kerok satu ini lama-lama di depan asrama. Bisa-bisa yang kena cowok lagi, cowok lagi.
"Tapi ini tuh harus dibicarain pribadi sama mereka. Dan ini tuh gaaaaawat pake banget!" kata Suzy yang bersama Ying. Mereka berdua tergopoh-gopoh saat ke sini tadi lalu melihat Fang dan Sai yang di depan palang asrama. Reaksi kedua cowok itu langsung masuk ke palang dan menutupnya. Mencegah Suzy dan Ying masuk ke sana.
"Memang segawat apa?" suara lain mengenterupsi percakapan mereka dari belakang Ying dan Suzy. Sai serta Fang ikut melihat yang di belakang kedua gadis itu.
Di sana ada salah satu kembar Boboiboy, tapi Suzy yang belum terlalu dekat dengan mereka bingung yang di depannya ini siapa. Ying pun butuh waktu beberapa detik untuk mengenali kalau di depannya ini adalah Halilintar.
"Halilintar ya?" Hali berkedip tanpa menjawab.
"Weiii!!! Minggir! Minggiiiirrr!! Kasih jalannn!!!" Ying belum bereaksi cepat dengan sikap Halilintar saat ada gerobak berisi seorang yang mirip dengan Hali dan didorong oleh cowok dengan tampang yang mirip juga. Aih, makin pusing Ying ini mah.
Sai dan Fang langsung sigap membuka palang asrama. Membiarkan gerobak berisi Blaze yang didorong oleh Thorn itu memasuki kawasan asrama. Sepertinya, mereka mendapat tugas (atau kalau tidak hukuman) dari orang untuk mengangkut sampah di sana.
"Jadi, kalian ada urusan apa dengan Gempa dan Taufan?" tanya Halilintar datar. Dasar gak sopan! Ada cewek di depannya pun Hali tetap sedatar tembok kamarnya. Yah, lagipula dia gak seperti Solar yang suka umbar tampang. No way!
"A-anuu, tap-tapi i-ini tu-tuh, prib--pribad--hiihhh!!" Suzy langsung bersembunyi di balik Ying saat melihat mata tajam Halilintar.
"Ya urusan pribadi sih apa? Kalian mau nembak mereka berdua?" tanya Sai blak-blakan.
"Ishhh bukaaann," tepis Ying langsung. Bukan itu tujuan mereka. Mana berani juga kalau memang itu tujuannya.
"Terus apa?" tanya Fang, Sai, Halilintar, dan Taufan yang baru saja datang bersama Ice. Halilintar melotot pada kedua adiknya penggila biru itu saat tiba-tiba saja muncul.
"Ini... soal biskuit Yaya!!" ujar Ying seketika. Sontak membuat diam semua anak laki-laki di sekitarnya. Bahkan Blaze berhenti berteriak, Thorn berhenti mendorong gerobak, jangkrik yang tadi bersenandung ria kini tersedak ludah.
Halilintar, Taufan, Ice perlahan melipir masuk ke dalam palang.
"Kalau itu--"
"--Kami gak bisa--"
"--Bantu."
Kata ketiga kembar menyertai semua pemikiran orang di sana. Ying dan Suzy menganga tidak percaya.
"Tiidaaakkkkkk!!!!"
Padahal Taufan sudah di depan mereka. Sayang sekali.
.
.
Kalau asrama putra punya Ejo Jo sebagai black list pengatur makanan, maka asrama putri punya Yaya sebagai black list plus kode SOS dalam menyentuh peralatan kue di dapur asrama. Jangan ditanya mengapa. Sudah tentu urusan ini menyangkut biskuit legendaris yang bahkan konon katanya bisa mengatur hidup mati seseorang. Hiperbola sekali. Tapi bagi penghuni asrama putri, memang kurang lebih begitulah keadaannya. Hal ini menjadi rahasia umum yang herannya sang biang onar sama sekali tidak merasa.
Biskuit legendaris itu pasti akan Yaya bagikan ke seluruh tempat, ke seluruh orang yang dia temui, ke seluruh mahluk yang dia jumpai, ditambah senyum lima jari yang secerah mentari. Di dunia ini, oh persempit saja, di pesantren ini, hanya beberapa orang ajaib yang mampu bertahan dalam cobaan serangan biskuit Yaya. Sebut saja Probe, (mengejutkannya) Glacier, Ustad Tarung, dan juga Ustad Kaizo. Fang bertanya-tanya seburuk apa selera kakak kandungnya itu dalam hal makanan.
Walaupun demikian sebenarnya Yaya tidak segitu buruknya. Makanan yang dia masak sebenarnya standar rasa dalam sebuah masakan. Untuk yang satu ini asrama putri (plus Blaze dan Fang yang pernah memakan sup wortel Yaya) setuju sekali. Tapi di luar itu rasa biskuitnya luar bi(n)asa!
Dan inilah yang ditakuti seluruh penghuni di hari pertama puasa. Benar-benar horornya melebihi mitos horor di malam jumat. Bedug Magrib yang seharusnya paling dinanti kini sangat ditakuti.
"Santai lah, ini kan cuma biskuit," kata Kiki Ta, seorang berkedok santri baru yang belum tahu apa-apa. Tentu saja teman sekamar langsung melotot pada yang bersangkutan.
"Dikau tak pernah tahu Kiki Ta. Bagaimana rasa, pesan, kesan yang kita terima setelah memakan biskuit itu," ujar Ayu Yu menggunakan majas entah apa. Sangat mendrama, cocok dengan julukannya.
"Emang kayak gimana?" alis cetar membahana Kiki Ta menungging elok di jidatnya. Mewakili rasa penasaran serta heran dengan reaksi berlebihan teman sekamar, bahkan, satu asrama. Kiki Ta dengar, hal ini sampai ke asrama putra, bahkan satu pesantren. Sangat fantastis menurutnya.
"Kau akan segera tahu. Tapi kuingatkan," bahu Kiki Ta terdapat sebuah tangan dan gadis berkerudung hijau di sampingnya.
"Jangan terima biskuit yang dia tawarkan. Memang ini buruk, tapi ini demi keselamatanmu sendiri. Buat alasan logis yang bisa dia terima karena dia sangat sensitif tapi di saat yang sama juga tidak peka," kata Shielda dengan raut serius. Kiki Ta makin tidak paham dan penasaran bagaimana rasa dari biskuit adik kelasnya itu.
"Eehhh," baik, Kiki Ta makin tidak memahaminya.
.
.
.
Mari tinggalkan dulu Kiki Ta dengan ketidaktahuannya. Beralih pada sumur di belakang asrama putri. Kurang lebih pukul 15.00 waktu setempat. Beberapa orang santriwati yang bertugas menimba atau mengangkut air tengah bercanda ria di sekitar sumur itu.
Ada yang menimba, sebut saja Ying. Ada yang mencuci bajunya. Ada yang bolak-balik membawa air hasil timbaan Ying, sebut saja Yaya. Miris sekali kalau orang yang barusan disebut menjadi topik panas oleh ketiga kakak kelasnya tadi.
"Yaya, butuh berapa ember lagi?" tanya Ying pada Yaya yang kembali membawa dua ember.
Mengapa mereka harus menimba? Hari ini pemadaman bergilir terjadi lagi. Satu pesantren dan juga satu kampung mati listrik. Dan kabar buruknya, sesudah sahur tadi semua di asrama putri lupa mengecek persediaan air dan berakhir seperti ini. Tadi siang sudah ditimba, tapi bergantian, kini giliran Ying yang melakukannya bersama Yaya.
"Sepertinya satu kali lagi. Ayo cepat Ying, biar aku segera membuat biskuit. Sudah sore ini," kata Yaya yang langsung membuat bulu kuduk berdiri.
Ying dan Nana yang tengah mencuci saling pandang dengan horor.
"A--ah Yaya, sepertinya menu kita hari ini sudah cukup untuk berbuka. Jangan membuat dirimu sendiri repot, nanti anak-anak pasti maklum kok," kata Nana, tentu saja diangguki Ying dengan semangat.
"Ya lo, be--besok sajalah, lagipula kau mau membuat biskuit dengan apa kalau oven nya saja mati tidak ada listrik."
"Nah betul itu!!" seru Nana, dia dan Ying sudah sepakat melalui batin untuk mengagalkan rencana Yaya bagaimanapun caranya.
Yaya terlihat bimbang, "Hmmm, oh! Aku bisa membuat roti kukus saja kalau begitu! Aku punya resep baru kemarin, akan aku praktekkan sekarang," katanya dengan senyum malaikat (maut) miliknya. Ying dan Nana bingung harus bereaksi bagaimana.
"Nah Ying, ayo cepat--"
"KYAAAAAAA!!!"
Ketiga anak perempuan itu terdiam, selanjutnya sepakat berlari meninggalkan pekerjaan mereka menuju sumber teriakan.
.
.
.
Kita mundur beberapa saat sebelumnya.
Solar tengah berjalan di lorong untuk menuju kamar, di mana dia melihat Fang dan Blaze yang tengah berdebat. Entah apa yang mereka bicarakan.
"...ayolah, bantu dulu. Aku ada janji dengan Adu Du untuk ambil es di luar. Kalau begini nanti tidak selesai," kata Blaze.
"Masalahnya Blaze, bukannya aku tidak mau membantu, aku yang keren ini --uhuk, ada giliran bimbingan sama Ustad Kasa. Beliau mau telepon Ustad Reta'ka karena katanya Ustad Reta'ka sudah punya handphone baru-- oh itu tidak penting, intinya adalah, aku belum bisa membantumu," kata Fang yang sedikit melenceng dari pembicaraan.
"Tapi..."
"Ini ada apa?" Solar langsung nimbrung saja. Sepertinya mereka mengalami masalah yang cukup rumit. Blaze dan Fang langsung melihatnya.
"Oh Solar, tepat sekali kau di sini," kata Blaze penuh suka cita. Solar menaikkan salah satu alisnya. Wah keren, dia bisa melakukannya.
"Tunggu, aku tidak paham apa yang harus aku lakukan saat ini," Solar membawa sebuah tangga. Fang ada di belakangnya membawa ujung yang lain. Mereka berdua kini berada di samping sebuah dinding yang terdapat dua pohon mangga berjajar di sana.
"Apa yang tidak dipahami lagi? Kau hanya harus naik ke dinding itu atau memanjat pohonnya dan petik mangganya," kata Fang dari belakang.
"Ya maksudku kan,"
"Hoo, atau kau takut? Atau gak bisa manjat?" tanya Fang dengan dibumbui nada mengejek di sana. Solar tentu saja, tersulut. Kalau sudah begini dia tak beda dengan Halilintar dan Blaze. Fang diberitahu cara menaklukkan mereka oleh sohibnya, tentu saja Taufan.
"Lalu kau mau kemana?" tanya Solar mendelik tak suka pada anak di belakangnya ini. Fang menghendikkan bahu.
"Aku akan menjaga tangganya-- eh tunggu, kita lupa bawa karungnya!!"
"Apah?!" Solar hampir saja membanting tangganya, tapi tidak jadi karena beresiko kaki bengkak. Fang segera mendorong Solar untuk menegakkan tangga. Bersama keduanya menyandarkan tangga itu pada dinding di sana.
"Aku akan segera kembali dan membawa karungnya! Tunggu sebentar! Aduh, kenapa harus kelupaan..." Fang berlari setelah meninggalkan Solar yang terbengong-bengong penuh ketidakpercayaan.
"JANGAN COBA-COBA KABUR KAU ABABIL!!"
"MANA MUNGKIN-- DAN NAMAKU BUKAN ABABIL!"
Solar mendengus. Dia menunggu Fang sambil berjongkok di samping tangga. Pikirannya mulai melayang, terlintas di kepala saat melihat semut berjalan rapi di depannya, korban semut di Hiroshima dulu berapa ya?
Tak berapa lama Fang datang agak tergopoh membawa karung yang akan digunakan mewadahi mangga. Solar segera berdiri dari jongkoknya. Tidak lagi memperhatikan semut berjalan dan pikiran absurd nya tadi.
"Oke, aku akan menjaga tangga dan mengumpulkan mangganya, kau ke sana. Nah pemotongnya," kata Fang memberikan pemotong pada Solar. Yang bersangkutan hanya menatap datar, tapi dia tidak akan mundur. Dia akan membuktikan kalau dirinya sekuat macaan, bahkan lebih kuat dari Halilintar.
"Ya, ya, terserah," Solar mulai meniti tangga. Fang memeganginya dari bawah agar tidak goyah.
Solar memilih untuk duduk di dinding, supaya enak memotong mangganya. Dia meraih atas dinding dan mencoba langsung duduk setelah memutar tubuhnya. Seharusnya dalam satu sentakan dia sudah duduk dan memulai pekerjaannya. Tapi dirinya malah terpaku dengan penampakan di balik dinding itu.
Oh, penghuni di balik dinding juga terpaku sebelum--
"KYAAAAAAA!!!"
"TIDAK-- TUNGGU--!!"
--sebuah gayung masih berisi air terhempas menuju wajah tampan nan mulus Solar. Tentu saja menyebabkan yang bersangkutan ikut terdorong mundur sebelum jatuh bersama tangganya dan menimpa Fang di bawah.
"DASAR MESOOMMM!!!"
Solar dan Fang pusing bukan kepayang.
.
.
.
Ustad Kaizo jarang masuk ke asrama putri. Dia sangat taat akan sebuah peraturan agama dan juga sopan santun. Dia akan sangat enggan berurusan dengan perempuan kecuali ibunya atau muridnya di kelas. Ustad Kaizo yang tampan, sholeh dan berbakat. Ustad Kaizo yang menjadi idaman hampir seluruh penghuni asrama putri yang masih bisa melihat garis tampan seorang pria. Ustad Kaizo yang juga saudara sedarah Fang. Ustad Kaizo, yang harus menahan malu dengan terciduknya sang adik dalam upayanya bersama Boboiboy kembar terakhir mengintip santri perempuan mandi.
"Tunggu Abang kami bisa jelaskan--"
"Panggil aku ustad, santri Fang."
Fang meneguk ludah, tenang, itu tidak membatalkan puasa, kecuali kalau Fang sebelumnya minum sesuatu, oh beda kasus. Solar di belakang Fang menghela napas, antara sesak diikat dengan kuat-kuat bersama Fang dan saling berpunggungan bak maling kotak amal, atau sesak karena menahan malunya. Cerita ini akan makin gawat kalau salah satu kakaknya, apalagi kalau itu Hali atau Gempa, datang ke sini juga.
"Ustad Kaizo kami bisa jelaskan ini--"
"Jelaskan apa?! Dasar kalian mesum gila!" Amy, satriwati yang statusnya kini naik menjadi korban dalam sidang ini. Dirinya diketahui akan melakukan ritual sore hari di kamar mandi santri putri. Tempat itu berada di belakang, dekat dinding yang membatasi kebun nanas pesantren, dekat dua pohon mangga yang sebenarnya ingin dipetik buahnya oleh dua orang tadi. Naasnya, Amy melupakan sabunnya di kamar, dia ingin meminta tolong pada santriwati lain tapi tak ada, walhasil dia nekat memakai baju panjang saja dan keluar dengan rambut basah dan gayung untuk membasuh kakinya, sebelum Solar muncul di dinding itu, mengagetkan Amy yang langsung mengira Solar mengintip, refleks melemparinya dengan apapun yang dibawa. Ngomong-ngomong yang menyeret dua santriwan tadi adalah Ying dan Yaya serta Nana yang menenangkan Amy.
"Santri Amy, jangan bicara kasar," tegur Ustad Kaizo, sukses membuat Amy bungkam dan bersembunyi di balik Yaya.
"Jadi apa pembelaan kalian berdua? Bulan Ramadan bukannya melakukan hal baik seperti membaca kitab malah melakukan hal tidak senonoh seperti tadi," kata Ustad Kaizo dingin.
"Ka-- Kami tidak mengintip!! Ini kesalahan!!" kata Fang langsung gas. Solar tentu saja mengangguk penuh semangat.
"Kesalahaan bagaimana?" tanya Ustad Kaizo dengan nada yang ditekankan. Membuat Fang maupun Solar merasa ciut di hadapan pria muda ini. Sudah pasti mereka akan mendapat hukuman yang sangat, ugh, entah bagaimana nasib mereka nanti.
"Lepaskan kami! Kami akan jelaskan semuanya!" giliran Solar yang bicara. Ustad Kaizo meliriknya tajam. Solar otomatis dibuat kaku.
"Kami tadi diminta Blaze memetik mangga di sana, sungguh ini hanya kesalahan! Kami tidak mengi--"
"Alasan, pasti kalian hanya mencari alasan saja," kata Nana tidak terima sahabatnya diperlakukan seperti tadi. Solar mendelik tak suka padanya.
"Aku tidak mengintip! Lepaskan kami! Sudah kami bilang ini hanya kesalahan! Ustad Kaizo, mana mungkin kami mengintip!" ujar Solar penuh tenaga, dia tidak terima kalau dibeginikan juga.
"Kalian bisa membuktikan kalau itu benar? Apa buktinya?" tanya Kaizo datar.
"SOLAR!!! FANGG!!!" percakapan mereka terputus dengan teriakan membahana yang berasal dari Blaze. Dalam hati, Solar dan Fang bersyukur luar biasa pada Blaze untuk pertama kali.
"Blaze?"
"Blaze!!"
Anak tengah Boboiboy bersaudara itu kini terhenti dan terengah di depan mereka. Semuanya masih menunggu Blaze mengatur napas karena barusan lari tergopoh ke sini.
"Santri Blaze, benar kau meminta mereka memetik mangga?" tanya Ustad Kaizo dan diangguki oleh Blaze. Namun dirinya malah menatap heran pada kedua anak yang duduk di tanah dengan saling terikat tambang.
"Hah... apa yang kalian lakukan di sini? Hah... bukannya... bukannya kuberi arah ke tempat lain?" tanya Blaze membuat Solar dan Fang tidak paham sama sekali.
"Ha? Tempat lain? Arahanmu ke sini, kami membacanya berulang kali dan melihatnya, ya di sana tadi," kata Fang tidak terima. Solar menatap kakaknya itu penuh perasaan nista.
"Haduuh, gimana sih? Bukan di sini! Mana petamu!?" Blaze langsung menggelegah saku celana Fang dan mengambil sebuah kertas dari sana.
"Iya itu, kau berarti yang salah! Ngasih arahan gak jelas!" hardik Fang dan Solar. Blaze menghela napas.
"Dengar anak tampan, aku akan membela kalian kalau memang aku yang salah. Tapi di sini karena ketidakpahaman kalian saja penyebabnya. Lihat, ini menunjukkan bagian kanan, jangan-jangan kalian membacanya terbalik," kata Blaze menunjukkan hal yang benar. Fang dan Solar otomatis memucat, hilang semua hampir semua warna di wajah mereka.
"Hoooo," Ustad Kaizo, Yaya, Ying, dan Nana berangguk kompak. Sejenak membuat kedua terduga merasa dunia sudah mendekati akhirnya. Amy makin kesal. Sementara Blaze menggeleng kepala.
"TUNG--TUNGGU, INI SALAAAHH!!!"
Kawan-kawan, mari berdoa untuk keselamatan mereka berdua.
.
.
.
"Masih kesal saja," celetuk Ying pada Amy di tempat wudhu santri putri. Beberapa orang sibuk wara-wiri membasuhkan air wudhu karena sudah waktunya sholat Ashar. Amy yang disapa oleh Ying cemberut. Sudah tahu dia masih sensi, pakai diingatkan lagi.
"Ya iyalah! Huh!" jawaban Amy membuat Yaya terkekeh. Yaya masih miris dengan kejadian tadi sekaligus geli sendiri. Dua santriwan yang juga temannya itu kini mendapat hukuman menulis ulang sebuah kitab --yang Yaya tidak tahu apa-- dari Ustad Kaizo. Sementara Blaze yang juga bersangkutan disuruh membersihkan mushola serta giliran adzan Magrib nanti sore.
Di sela-sela menertawakan dalam diam Amy, sayup Yaya mendengar percakapan di sampingnya. Itu Melody dan Mellisa. Mereka sepertinya akan wudhu juga.
"...skin care ku donk, cuma air wudhu," kata Mellisa dengan PD-nya. Yaya tertawa kecil mendengar itu. Tapi beda dengan suara selanjutnya.
"Hei, tolong ya, setahuku air wudhu itu penghapus dosa, bukan penghapus daki," cetus Amy tanpa tendeng aling-aling.
"Pfft-- AHAHAHAHA," sukses membuat kakak kelas Ayu Yu tertawa nista mendengar hal tersebut. Ying di samping Amy juga menyemburkan tawanya spontan. Yaya dan Melody menganga lalu ikut tertawa. Hanya Amy yang merengut masa bodoh serta Mellisa yang merengut kesal di sana.
"Sabar Melli, puasa~" hibur Melody yang mungkin juga menggodanya. Suasana hari ini begitu berbeda. Entah karena apa.
.
.
.
Jarum jam menunjukkan pukul 17.35 waktu setempat ketika suara panjang adzan menggema di berbagai tempat termasuk pesantren sendiri. Saling bersahutan, terdengar menenangkan dan sedikit suasana rindu akan kampung halaman.
Di pesantren, suara adzan terdengar cukup merdu. Agak serak tapi terdengar tegas dan mengalunkan melodi unik.
"Siapa yang adzan?" tanya Suzy di serambi depan kamarnya. Membawa teh hangat yang sudah tandas setengah. Ying di sampingnya bersama Yaya menoleh pada Suzy kompak. Ketiganya memilih bersantai sambil berbuka dahulu sebelum melakukan kegiatan lainnya.
"Oh, Blaze," jawab Ying singkat, kini menghabiskan buah kurma keduanya. Yaya mengangguk mengiyakan. Suzy membulatkan mulut membentuk vokal 'o' tanpa suara.
"Masya Allah, idaman," celetuk seseorang tanpa disangka-sangka. Suzy, Ying, dan Yaya menoleh ke sumber suara. Terdapat Amy berada di ambang pintu dengan wajah berbunga.
"...AMY, KAMU--?!"
Amy yang seakan tersadar dengan yang barusan dia katakan, tersentak.
"EH, ENGGAK!" Sayangnya terlambat, teman-temannya tahu rahasia Amy sekarang.
.
.
.
Kiki Ta memang baru beberapa bulan di sini. Anak-anak asrama dan juga pesantren memang punya sedikit 'gangguan' tapi Kiki Ta yakin 100 plus-plus persen kalau mereka baik. Iya, baik.
"Kak Kiki Ta! Kakak mau? Aku baru buat resep baru," kata Yaya dengan senyum tanpa dosa di depan Kiki Ta yang baru saja pulang dari menemui Ustazah Zila.
Suliiit untuk menolak hal ini. Semua temannya menyuruhnya untuk menghindari makhluk manis menggemaskan di depan mata ini tapi sangat suliiit untuk dijauhi. Yaya adalah salah satu juniornya yang menjadi kesukaan Kiki Ta. Dia baik, sopan, dan sangat membantu Kiki Ta tanpa sungkan kalau dia kesusahan. Tapi kabar buruk dan kabar burung terus dia dengar kalau biskuit buatan si junior rasanya membuat maling auto tobat. Yah, Kiki Ta belum merasakannya juga sih.
"Errr... itu..."
"Oh, ini roti kukus Kak! Rasanya pasti enak, Kakak harus coba," kata Yaya menyodorkan wadah bekal kotak yang berisi benda hitam yang Kiki Ta definisikan secara paksa bahwa itu adalah roti kukus. Kata 'pasti' terdengar tidak pasti di telinga Kiki Ta. Manapula satu temannya saja tidak ada di sini sekarang. Sulit untuk Kiki Ta menolaknya.
"Emmm, maaf Yaya, tapi aku sudah kenyang," kata Kiki Ta setelah berdebat dengan diri sendiri. Dia mendengarkan perkataan teman-temannya.
Kiki Ta merasa tidak enak dan makin ragu saat melihat wajah murung Yaya.
"Ya--yah... ka--kalau begitu Kakak bawa saja, mana tahu nanti Kakak pengen coba dan bagikan juga sama teman sekamar," Yaya masih membujuk. Kiki Ta merasa baru saja mendapat guyuran holy water kiriman Sang Pencipta ketika melihat wajah bling-bling adik kelasnya.
Aaghh bodolah! Ini kan roti! Bukan biskuit! Jadi ada harapan lah!
Kiki Ta akhirnya menerima pemberian adik kelasnya yang unyu, manis, dan baik hati itu. Dia kemudian pergi ke kamarnya, ketika berhadapan dengan pintu dia langsung menjeblaknya dan mengagetkan Ayu Yu serta Mira di dalam.
"Mana Shielda?" tanya Kiki Ta tidak melihat si kembar fraternal di dalam sana.
"Oh, lagi keluar. Kenapa? Dan kamu bawa apa?" tanya Ayu Yu.
Kiki Ta menghempaskan dirinya ke kasur miliknya yang ada di bawah kasur Mira, tapi pemiliknya lagi mengikis physical distancing dengan teman sekamar mereka. Nonton Korea.
"Ehhmm, roti, dikasih Yaya," pernyataannya berhasil membuat Ayu Yu dan Mira menoleh dengan gerakan patah-patah plus tatapan horor mengarah pada kotak bekal.
"Rororororoti...?"
"Ha'ah, apa sih? Kan cuma roti. Bukan biskuit, kali aja gak kayak bayangan kalian kan. Kasihan tahu kalau dia dijauhi gitu padahal udah masak lama, capek," kata Kiki Ta membela Yaya.
"Tap--tapi Ki--"
"Coba kalian kalau habis masak terus gak ada yang makan. Udah susah-susah buat, buang-buang tenaga dan bahan tapi gak ada yang makan cuma karena kabar gak jelas--"
"--Itu bukan kabar gak jelas Ki--"
"--Ya tapi setidaknya kalau dikasih terimalah, nolak rejeki itu gak baik--"
"--Kiki--"
"--Nih ya, kumakan ya, kalau enak gak kubagi ke kalian--"
"--Tapi Kiki Ta--"
"Ngap!"
Hening menyelimuti ketiganya lama. Lama sekali. Hanya suara drama Korea yang lupa dimatikan oleh Ayu Yu dan Mira hanya untuk melihat reaksi Kiki Ta. Saking lamanya hening itu, bahkan saat Shielda masuk ke kamar masih disuguhi keheningan menegangkan karena Kiki Ta masih sama sekali belum mengeluarkan reaksi.
"Errrrr... ada apa ini?" tanya Shielda yang terjebak keheningan ketiga teman sekamarnya. Ayu Yu menatap Shielda lalu pandangan mengarah pada Kiki Ta yang membisu, bahkan tidak mengunyah sama sekali. Shielda bingung sendiri.
"Kiki Ta-- LOH KIKI TA?! KENAPA KAMU?! WEI SADAR ASTAGFIRULLAH INI ADA APA?!!"
Setelah itu, Kiki Ta mengalami trauma roti sampai menjelang hari raya. Teman-temannya sangat maklum ketika Kiki Ta berlari menjauh kalau ada yang membawa roti, lebih-lebih kalau rotinya rasa cokelat.
Sementara itu Yaya bersenandung ria di dapur asrama dalam membuat biskuit ronde kedua. Listriknya sudah menyala, dan dia sangat bahagia. Berbeda dengan satu asrama yang lagi berdoa agar listrik kembali padam saja.
.
.
.
"Huhuhuhuhu, kami tidak bersalah..."
Di sisi lain, tepatnya ruang mengajar Ustad Kaizo, Solar dan Fang menangis seperti anak kecil karena dihukum menulis ulang kitab. Sebenarnya kitabnya lumayan tipis, tapi isi dan juga tumpukan buku-buku kitab itu mengisi hampir seluruh meja yang mereka tempati.
"Ustad Kaizo kedjamm..." kata Solar sambil menangis.
"Huaaa, Mama..." rengek Fang yang juga menangis. Kaki dan tangannya keram tapi Paman Lahab ada untuk mengawasi mereka berdua sambil membaca buku Teka-Teki Silang di pojok ruangan dan juga tertawa nista.
Oh iya, jangan lupakan Blaze yang kini disidak oleh tiga ustad di mushola pesantren. Di saksikan oleh Halilintar, Taufan, dan Gempa. Jangan tanya bagaimana Taufan sekuat tenaga menahan tawa di sana.
.
.
.
Selesai
Jadi ini apaaaa?? Sampe 4k tolong ;-;) Kalau kalian baca sampe titik terakhir, saya hanya bisa mengucapkan TERIMAKASIHHH. Niat banget heran.
Maaf kalau garing ya.
Oh ya, nih sekuelnya, tapi kugabung aja karena masih agak bersangkutan. Dibilang versi ceweknya juga gak terlalu fokus ke asrama putri, maaf ya. Malah salfok ke biskuit Yaya, oh! Sekarang ada varian baru... roti kukus Yaya. Ada yang mau? Minta ke Yaya ya, ngahahaha /laugh evily.
Saya menerima saran, kritik, dan pesan kesan kalau ada ahaha, di review. Btw makasih yang review kemarinn!! /hug online.
Akhir kata, salam, society-kun.