"Apakah dia sudah ditemukan?"

Disaat dimana bola lampu menjadi penerangan di sebuah rumah tapi rumah ini diterangi oleh lilin. Dari pintu sampai seisi rumah, nuasananya gelap, warna dinding merah gelap, hanya diterangi oleh lilin-lilin yang berjejer rapi.

Ketika orang-orang melihatnya sebagai rumah biasa dari luar, maka mereka akan terkaget-kaget masuk ke dalamnya tapi...

Hampir tidak ada satupun manusia yang bisa keluar melewati pintu itu. Cerita apa yang ada di dalam rumah itu terkunci dengan sangat rapat.

"Maafkan aku tapi sangat sulit menemukannya." Yang di ajak bicara sedikit membungkuk hormat kepada lelaki yang berdiri memunggunginya di depan jendela lebar.

"Aku tahu." Ia tak bisa menyalahkan. Matanya berkedip sebelum kembali memandang kosong bulan purnama melewati jendela persegi.

"Kita sama sekali tak bisa mendapatkan info apapun, tak ada jejak sama sekali tapi jangan berhenti mencari. Apapun yang terjadi, kita harus menemukan dia." Bahkan jika harus mencari untuk seribu tahun, dua ribu tahun sekalipun, ia takkan berhenti.

"Iya, Tuan. Aku akan berusaha sebisaku."

"Kau harus." Surai kuningnya diterpa lembut oleh angin malam sebelum dia berbalik menatap lelaki yang berdiri di belakangnya sedari tadi. Ia takkan berhenti sebelum berhasil memenuhi ambisinya.

Mata birunya melirik, tatapannya begitu dingin dan tajam mengkilau di dalam gelapnya ruangan. "Karena hanya dengan dia, impianku akan terwujud."

.

.

.

.

Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi Sensei, saya hanya pinjam saja.

They call it LOVE

(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)

TCIL by authors03

Uzumaki Naruto x Hyuuga Hinata

Please.. Dont like dont read.. Thanks.

.

.

Chapter 1

.

.

.

"Hinata!"

Prriaangg

"Kyaahh!" cangkir terjatuh, pecah menghantam keramik karena tangan kecil itu tak sengaja menyenggol.

"Ayah?" gadis itu berbalik menatap siapa yang tiba-tiba berteriak padanya.

"Sudah berapa kali ayah bilang jangan pernah membuat apapun!" bukan marah melainkan kekhawatiran terpencar dari raut wajah tegas itu.

"Tapi ayah, aku hanya membuat teh" ia mencoba mengatakan ia tidak berbuat salah apapun tapi hal itu tak bisa menenangkan sang ayah.

"Jangan membantahku, Hinata!" bentakan itu membuat wajah Hinata memanas, air mata mendorong ingin keluar dari kedua matanya. Ia memilih berlalu pergi melewati sang ayah tanpa sepatah katapun.

Dan sang ayah menghampiri cangkir yang berserak di lantai tadi.

Beberapa menit mengamati, helaan nafas lega keluar dari mulutnya. "Maafkan ayah. Semua ayah lakukan demimu, Hinata..."

.

.

.

"Hiks aku tak mengerti." Hinata berjalan sesuai langkah kaki. Ia menatap sejenak telapak tangannya tanpa menghentikan langkah. "Mengapa aku tak boleh membuat sesuatu? Bahkan teh. Aku tak boleh menyentuh tanaman bahkan obat. Mengapa ayah melarangku?" Pertanyaan itu memenuhi pikirannya. Sedari kecil, bahkan ia tak boleh bermain dengan bunga. Ayah dan ibunya melarang tapi tak pernah memberitahukan alasannya kenapa.

.

.

.

.

"Kau berani mencuri dari tempatku?" kaki yang semula menginjak tanah kini berjarak. Ia kesulitan bernafas karena cengkraman kuat di lehernya. Tiga jam yang lalu ia masuk ke dalam rumah ini tanpa tahu apapun dan sekarang ia dalam masalah besar.

"Ma-ma-maafk"

Krrrgh

Cengkraman itu menguat hingga berhasil mematahkan leher lelaki tadi. Hanya tiga detik dan badan itu kini tak bernyawa.

Braaacckkk!

Tanpa sedikitpun rasa kasihan ataupun bersalah, badan tak bernyawa itu dilempar begitu saja hingga menabrak meja dan tergeletak tak berdaya di lantai.

"Cari yang lain." Perhatiannya kini berpindah ke lelaki yang sentiasa berdiri di samping ruangan tak jauh darinya. Nagato, dia adalah kaki tangannya.

"Maaf, Tuan tapi"

"Aku tak perduli siapapun. Rumah ini harus bersih sebelum aku pulang atau kubunuh kalian semua." Dia pergi begitu saja dengan jas hitamnya, meninggalkan ruangan. Sudah dua minggu semenjak pembantunya mati, ia mulai muak dengan debu di dalam rumah.

Uzumaki Naruto namanya. Meski tampak seperti pemuda berusia 20an tapi usianya sudah jauh melebihi itu. Mata biru, warna kulit eksotis dengan tiga garis di kedua pipi. Dia tampak seperti manusia tapi dia jauh lebih istimewa daripada itu.

Dia makhluk dengan kekuatan dan ambisi. Kejahatan tanpa belas kasihan. Mata dinginnya menghunus layaknya pedang dan tangannya takkan segan-segan mengambil nyawa siapapun. Darah dan tangisan takkan berhasil menggetarkan hatinya. Tak akan pernah.

"Ketika aku menemukannya, aku akan membunuh mereka semua yang berani merendahkanku. Mereka yang berani mengkhianati kita." Gumannya penuh amarah. Bendera perang akan dikibar dan ketika waktunya tiba, ia akan menang dengan menghabisi semua musuhnya.

.

.

.

"Malaikat akan turun ke bumi, mari kita bersama-sama berdoa padanya." Senyum bahagia menghiasi bibir seorang gadis yang dengan semangat membagikan brosur di keramaian di taman pada siang hari yang tampak sedikit mendung.

"Terima kasih." Hinata menerima selembar brosur yang disodorkan ke arahnya dan kemudian membungkuk hormat.

"Aduh di mana gelangku?" pikir Hinata khawatir setelah gadis tadi menjauh darinya. Ia kembali melanjutkan acara mencari yang terjeda. Ia bahkan tak sadar entah sejak kapan gelangnya hilang. Yang bisa ia lakukan hanyalah terus mencari di jalur yang telah ia lewati tadi.

.

.

"Tuan, apakah anda tahu setahun sekali malaikat akan turun ke bumi?" yang diajak bicara lewat begitu saja tapi gadis tadi mengikutinya, mencoba menyodorkan lembaran brosur di tangannya.

"Kita bisa memohon pad"

Mata biru itu menatap lantang ketika tangannya mencengkeram seragam putih gadis tadi. "Kau mau mati?" gadis itu tersungkur ke tanah dengan sekali dorongan.

"Iittai..." dan lelaki tadi pergi begitu saja mengabaikan beberapa mata yang memperhatikan.

"Malaikat? Cih!" ia berguman sinis. Sama sekali tak berniat berdoa kepada makhluk itu.

.

.

.

"Oh gelangku!" pekik Hinata terkejut ketika ia mendapati gelangnya mengantung di jas seorang lelaki yang berjalan menjauh.

"Gelang ibu. Hei! Hei tunggu!" dengan cepat Hinata mengejar lelaki yang tampak tak mendengarnya.

"Lelaki dengan jas hitam!"

Tap

.

.

Deg!

Rasa terkejut menyetrum sekujur badan ketika ia merasakan sesuatu yang hangat menyentuh pundaknya.

"Kyaaahh!" dengan cepat badannya berbalik dan berakhir dengan cengkraman di leher gadis yang menyentuhnya sedangkan satu tangannya lagi menahan lengan gadis itu agar tetap pada posisinya.

Mata Hinata melebar karena terkejut. Tangannya menahan di lengan dan jas lelaki tadi agar badannya tak terjatuh ke tanah.

"..."

Kedua mata itu terkunci untuk beberapa saat.

Mata biru dengan mata bulan. Tatapan terkejut tapi dengan artian yang berbeda.

Keramaian seolah menghilang tanpa jejak. Apa yang bisa ia rasakan hanyalah warna putih dan ketenangan. Seolah tak ada siapapun selain gadis ini.

Wajah putih dan lembut, bulu mata lentik. Ia masih melihat kelembutan terpencar dari tatapan terkejut itu. Seolah melihat bulan purnama.

Indah dan damai.

"Siapa kau?" perlu sedikit lebih lama hingga lelaki itu sadar apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Dengan cepat ia membuat jarak.

"Aduh" badan Hinata tersungkur karena refleknya yang lamban.

"Aduh sakit. He" kepalanya terangkat tapi lelaki tadi sudah tak nampak.

"Hei? Hei? Dimana dia?" Hinata melirik ke sekitar tapi ia tak melihat lelaki dengan jas tadi lagi. "Oh tidak gelangku pasti masih padanya." Ujarnya panik. "Tapi bagaimana bisa tersangkut di sana?" tanyanya bingung.

.

.

.

.

"Kyaaahh"

"Hah!" badan yang semula baring, duduk dengan cepat. Matanya terbelak karena kaget. "Mengapa aku memimpikannya?" satu telapak tangannya menutup setengah wajah. Berusaha melupakan apa yang ia lihat di dalam mimpi.

Mata bulan dengan poni rata. Mengapa memimpikannya membuat jantung ini berdebar aneh?

Bahkan sekarang wajah gadis itu tak bisa hilang dari dalam kepalanya.

"Apa ini?" hendak berdiri meninggalkan kasur king size tapi matanya malah mendapati sebuah gelang di atas kasur tepat di bawah punggungnya berbaring tadi.

"Gelang...?"

"Lelaki dengan jas hitam!" sekilas kejadian tadi siang melewati pikirannya.

"Apa ini yang dia cari?" Naruto mengangkat gelang itu dan mengamatinya.

Gelang rantai putih kecil dengan tulisan Hyuuga berwarna emas.

Gelang ini indah dan tampak mahal.

"Hyuuga..."

.

.

.

"Kau ingin kemana, Hinata? Ini sudah malam." Raut kekhawatiran hadir di wajah wanita yang baru saja menyusul putrinya ke depan pintu.

"Aku hanya ingin pergi membeli sesuatu. Aku takkan lama, ibu." Hinata tersenyum manis mencoba menghilangkan rasa khawatir sang ibu.

"Tapi"

.

.

.

.

20.24

"Yahhh sudah tutup." Setelah lama membujuk sang ibu akhirnya Hinata diizinkan keluar tapi makanan yang ingin ia beli malah sudah habis. Mengecewakan. Wajar saja jika sang ibu khawatir apalagi di saat Hinata adalah anak tunggal tapi Hinata merasa kekhawatirannya berlebihan. Bagaimanapun Hinata bukan anak kecil lagi, ia bisa jaga diri.

Tapi mau bagaimana? Mau tak mau Hinata melangkah meninggalkan tempatnya.

.

.

.

"..."

"..."

"Apa ini perasaanku saja atau jalan ini sedikit lebih gelap dari biasanya?" meski sepi tapi jalanan di kawasan ini tak pernah terasa gelap dan mengerikan. Apalagi ini belum jam 9 malam.

Matanya melirik singkat ke langit dan kemudian jalanan.

Deg!

Langkah Hinata berhenti ketika ia merasakan seseorang berlari melewati punggungnya.

Deg

Deg

Deg

"Apa itu?" gumannya takut. Ia menelan ludah berharap ketakutannya ikut tertelan tapi tak berhasil.

Mengumpulkan keberanian, ia mencoba berbalik.

Badannya bergetar karena takut tapi ia ingin tahu ada apa di belakangnya.

"Tidak tidak." Sebaiknya lari saja dan langsung kaki yang terbalut flat cream itu melaju. "Jangan-jangan hantu!" pikirnya panik.

"Kyaaah!" badannya terpental mundur tiga langkah karena menabrak di belokan.

"Kau?!" untung saja badannya tak terjatuh ke tanah tapi ia dikagetkan oleh siapa yang ia tabrak tadi..

Lelaki itu menatap datar membuat Hinata mulai menerka-nerka apa yang ada di dalam pikirannya.

Mengapa dia menatap begitu? Tapi itu tak penting.

"Maaf, aku menabrakmu." Hinata ingat lelaki ini. Dia adalah lelaki yang ia temui di taman tiga hari lalu tapi mengabaikan itu. Yang ingin Hinata lakukan adalah lari dari sini. Bertemu dengan orang asing di jalanan yang sepi dan menakutkan sungguh bukan sesuatu yang bagus.

Deg!

"Aku mencarimu." Apa yang terjadi? Hinata tersentak. Bagaimana tidak? Hinata berlari melewatinya tapi ketika matanya berkedip lelaki tadi berada di depannya dengan jarak satu meter.

"Maaf tapi aku sedang buru-buru." Hinata melewati lelaki itu lagi tapi entah sejak kapan badannya terpojok di dinding dengan tangan lelaki itu menahan lengan kanannya di samping wajah.

"..."

Aura lelaki ini membuat Hinata takut tapi ia berusaha menyembunyikannya.

Mereka terdiam cukup lama dengan tatapan terkunci. Hinata mencoba memalingkan mata tapi entah mengapa tubuhnya kaku, ia sama sekali tak bisa bergerak.

Hingga akhirnya lelaki itu mengatakan. "Aku Uzumaki Naruto. Aku akan datang lagi untuk menjemputmu."

Hinata tak ingat apakah ia bernafas tadi? Ia mengambil nafas panjang di saat lelaki yang mengaku bernama Naruto hilang begitu saja dari hadapannya.

"A-a-apa yang terjadi?!" Hinata mengelus lengannya yang digenggam tadi. Ia merasakan bekas sentuhan lelaki itu yang artinya apa yang terjadi tadi adalah nyata.

Matanya melirik ke arah lengan turun hingga pergelangan tangan.

Deg!

Mata itu terbelak ketika ia mendapati gelang yang semulanya tak ada. "Gelang ibu?!"

Bibirnya membulat dan ia menutupnya dengan satu telapak tangan. "Ta-tapi gelang ini tadi tak ada." Gelang ini tersangkut di jas lelaki itu sebelumnya. Apakah ini bukti kalau dia memang nyata?!

.

.

.

.

"Sabaku Gaara. Ini adalah apa yang kau dapatkan karena berani menyerangku." Sabaku Gaara, dia pasti mengira-gira kekuatan Naruto tapi sayangnya dia salah besar. Seseorang yang sudah pernah menikam malaikat pencabut nyawa. "Beraninya kau unjuk gigi membanggakan keluarga kecilmu?" Uzumaki memang kehilangan banyak keluarga tapi itu bukan berarti dirinya akan menjadi lemah.

"Ugh!" cengkraman di leher membuat Gaara kesulitan bernafas. Ia tak pernah mengira kekuatan makhluk rubah ini jauh melebihi keluarganya.

"Aku berencana ingin menyiksamu perlahan tapi suasana hatiku sedang bagus saat ini." Senyum di bibir Naruto menjadi bukti ucapannya.

Senyum itu ada bahkan di saat ia membantai keluarga Sabaku karena saat ini hanya ada satu hal di dalam kepalanya.

Seseorang yang menarik.

Seseorang dengan poni rata, mata bulan dan tatapan menggemaskan.

Srekk

Cakar Gaara meninggalkan dua goresan di pipi kanan Naruto.

"..." Tangan Naruto terangkat dan menyentuh pipinya yang tergores.

Berdarah tapi ia malah tersenyum. Harusnya ia marah dan menyiksa orang yang berani melukainya tapi ia tersenyum lucu.

"Ugh kau gila." Senyuman itu tampak mengerikan. Dia tampak seperti orang gila.

"Aku bertanya-tanya kapan terakhir kali aku tertarik pada seseorang." Cengkeramannya menguat di leher Gaara.

"Ughhh" Gaara memberontak. Tipisnya pasokan udara membuat badannya tak bertenanga.

"G-a-a-r-a, Lima huruf. Lima hari." Ia kembali tersenyum. "Aku tak sabar ingin bertemu dengannya lagi."

Craaaakkk

Darah memuncrat ke mana-mana di saat Kepala Gaara terputus dari badannya.

"Jangan menyalahkanku." Api keluar dari telapak tangan Naruto ketika tangannya terangkat.

"Kau sendiri yang datang padaku." Bibir itu tersenyum puas di kala api yang ia lempar mulai mengamuk di mansion Sabaku.

.

.

.

.

"Bagaimana kalau dia muncul lagi?" empat hari bersembunyi di dalam rumah sungguh membuat Hinata bosan tapi di satu sisi ia benar-benar takut bertemu lelaki aneh yang mengaku bernama Naruto . "Tidak tidak. Sebaiknya aku di rumah saja." Selimut kembali menutup badan dan wajahnya ketika ia merubuhkan badan ke belakang.

"Aku bahkan tak berani pakai gelang pemberian ibu karena takut." Gumannya pelan. Menurutmu siapa yang tak takut? Seorang lelaki tiba-tiba muncul dengan anehnya dan kemudian mengatakan akan menjemputmu? Dan hilang begitu saja? Dalam sejarah hidup Hinata selama 22tahun, kejadian itu adalah kejadian teraneh dan menakutkan dalam hidupnya. Ia sungguh berharap takkan pernah mengalaminya lagi.

.

.

.

.

"Aku menolak. Katakan pada mereka aku tak berniat bekerja sama dengan siapapun dan aku akan bunuh mereka semua tanpa terkecuali."

"Tapi Tuan, Otsutsuki dan Uchiha bisa berbahaya bagi kita sekarang. Mereka berada dipuncak, sedangkan kita"

"Nagato, aku akan membunuhmu jika kau membantahku sekali lagi." Tatapan mematikannya menghapus semua kata yang akan keluar dari bibir Nagato. "Apa kau pikir kita bisa percaya pada mereka? Setelah berhasil dengan rencana mereka, pada akhirnya merekapun akan menyerang kita." Bukankah seharusnya begitu? Yang terkuat akan berada di atas. Menjadi budak atau mati, hanya itu pilihanmu.

Mungkin Nagato lupa tapi hancurnya keluarga Uzumaki diawali dengan bersekutu.

"Maafkan aku."

Teng

Teng

Mata Naruto melirik ke arah jam berbentuk burung hantu di atas pintu.

23.00

"Aku akan pergi. Bersihkan kamar tamu."

"Apakah akan ada tamu, Tuan?"

Naruto melirik, entah apa maksud yang terpencar dari matanya.

"Pembantu baru."

.

.

.

Tok

Tok

Tok

Ketukan begitu kuat hingga menggangu tidur Hinata. Ia mencoba mengabaikan tapi ketukan itu terus saja terdengar membuatnya bertanya-tanya mengapa tak ada yang membuka pintu.

Tok

Tok

Tok

"Siapa yang datang malam-malam?" ia berjalan dengan keadaan setengah sadar. Rambut acak-acakan dan mata setengah terbuka. Selimut tipis membalut badannya yang dilapisi piyama cokelat.

Tok

Tok

"Seben" Niatnya ingin membuka pintu tapi pintu itu malah terbelah terlebih dulu sebelum ia sempat menyentuhnya.

Menampilkan lelaki berpakaian kemeja merah lengkap dengan jas hitam.

Detik itu juga mata Hinata terbuka sempurna bahkan lebih lebar.

Hinata tahu ini aneh tapi ia tak bohong di saat ia bilang aura rumahnya terasa seperti rumah berhantu

Rasanya senyap bahkan ia tak bisa merasakan nafasnya.

Apa yang bisa ia dengar hanyalah langkah sepatu hitam dan nafas lelaki itu mendekat seolah menghipnotis.

Hinata berjalan mundur, selimutnya terjatuh di lantai tanpa Hinata sadari. "Ma-mamau apa kau?!" nafasnya tercegat. Rasanya seperti lupa bagaimana caranya bernafas. Lelaki ini sungguh muncul lagi sesuai katanya waktu itu. Tapi untuk menjemputnya...?

"Ikut aku." Dia, Naruto menyodorkan satu tangannya. "Aku ingin kau tinggal denganku." Siapa yang akan mengira Hinata mau meraih tangan itu?

Tentu saja tak ada! Hinata berbalik mengambil langkah seribu menelusuri tangga di belakangnya. Ia merasakan takut di seluruh jengkal tubuh hingga tak bisa berteriak. Bahkan badannya bergetar.

Braaackk!

Dadanya kempas-kampes ketika ia masuk ke dalam kamar dan menutup kasar pintu kamar. "Hah! Hah!" nafasnya kasar. Berharap semoga apa yang ia lihat tak nyata tapi ia malah melihat lelaki itu di depannya. Iya, di dalam kamarnya.

Menatapnya.

"To-toolong pergi." Lelaki itu berjalan menghampiri. Hinata memutar knop pintu tapi tak bisa. Pintu kamarnya terkunci hingga membuatnya semakin takut dan panik. Apa yang harus ia lakukan agar bisa lari?

"To-tolong" tak ada tenaga di teriakannya. Air mata mengalir untuk menunjukkan rasa takut. Ia bernafas kasar. Lelaki di depannya benar-benar nyata.

.

.

Langkahnya berhenti dengan jarak satu meter setengah dari Hinata. "Jika kau lari lagi, aku akan menghancurkan rumahmu." Tak masuk akal sama sekali ucapannya. Mana mungkin manusia bisa menghancurkan sebuah rumah dalam sekejap mata, itulah yang Hinata pikirkan.

"Tol-Kyaaaaahh!" badan Hinata terjatuh ke lantai, lengannya menutup wajah hingga kepala ketika ia merasakan lantai bergetar hebat.

Prriaanggg

Kriaaangg

"Kyaaaah tolong!"

Braaacckkk

Braaacckkkk

"Hikss hikss kyaaaahh" Hinata tak berani membuka mata untuk melihat apa yang sedang terjadi. Tapi ia merasakan angin dan barang berjatuhan.

"..."

Ketika tak ada lagi kericuhan, kepala Hinata perlahan terangkat, matanya perlahan terbuka.

Betapa kaget ia melihat kamarnya hancur berantakan. Berdebu dan hancur hingga tak bisa ia kenali.

"Hah! Hah~" nafasnya terputus-putus. Kepalanya berputar, ia merasa pusing.

Matanya berkedip ketika ia menatap mata biru lelaki tadi mengkilau. Pandangannya kabur, ia tak bisa melihat dengan jelas. Badannya lemah layaknya tak bertulang. Matanya perlahan terpejam.

"Patuhi aku atau kau akan melihat sesuatu lebih dari ini." Ucapannya ditutup oleh badan Hinata terjatuh tak sadarkan diri.

.

.

.

.

TO BE CONTINUE

.

.

Sebenarnya pen ganti nama tapi udh biasa pakai nama ini.

Btw udh banyak kali ngomong ini tapi udh lama rasanya ga kembali ke dunia Ffn dengan benar.

Anggap aja ini comebackk hmm author coba buat sesuatu yang lain dari biasanya. Ya semoga bagus

Idenya agak terbalik aja sih dari biasanya author buat ga tahu bakal berjalan sesuai ide atau enggak tapi semoga bisa dinikmati~

Tinggalkan review dan sampai jumpa

: )