Disclaimer: semua karakter yang terlibat hanya milik Masashi-sensei
Warning: Mature content alert
Romance/slice of life/family
.
.
Kedua kelopak mata itu mengerjap, samar-samar terlihat manik berwarna biru laut yang terlihat seperti mengintip pada dunia. Satu lengan yang terlihat keras dan berwarna tan itu meraba; mencari seseorang yang senantiasa telah menemaninya di atas ranjang selama tiga tahun terakhir. Namun, indera peraba yang dimiliki oleh pria bersurai pirang cepak itu tidak merasakan kehadiran sang wanita, hanya permukaan kasur lembut yang bisa dirasakannya –membuat satu geraman rendah terdengar; disusul dengan suara serak yang mungkin hanya dia sendiri yang bisa mendengarnya.
"Hinata ..."
Dengan gerakan malas, pria bernama Uzumaki Naruto itu menyibakkan selimut. Menguap kemudian berjalan dengan kedua matanya yang masih setengah terbuka, berjalan dengan satu tangannya yang menggaruk-garuk dada dan tangannya yang lain menggaruk belakang kepala.
"Hinata ..."
Naruto berjalan keluar kamar, menggerakkan tubuh besarnya melewati lorong yang cukup panjang, sambil terus menguap dengan kedua tangannya yang masih sibuk menggaruk-garuk bagian tubuhnya. Langkah gontainya terhenti saat hidung mancungnya mencium aroma enak; membuat suara gemuruh yang berasal dari perutnya terdengar cukup nyaring.
Naruto menyenderkan bagian samping tubuhnya di dinding saat pria Uzumaki itu sampai di tempat -dimana aroma enak itu berasal, mengucek kedua matanya agar penglihatannya yang sedikit mengabur kembali seperti semula. Satu ulas senyum terpatri, membuat wajah yang dihiasi dengan tiga gurat halus di kedua pipinya itu terlihat tampan –sangat tampan; catat itu.
Hyuuga Hinata, yang kini menyandang nama Uzumaki setelah pinangannya tiga tahun lalu berdiri dengan celemek berwarna ungu tua menutupi tubuh bagian depan wanita itu, rambut panjangnya yang diikat pony tail terlihat sedikit acak-acakan karena wanita itu mengikat rambutnya secara asal-asalan.
"ekhm ..."
Naruto berdehem; mencoba untuk mencuri perhatian sang pujaan hati yang sedang memfokuskan perhatiannya pada panci yang mengeluarkan kepulan uap dengan aromanya yang semakin membuat penghuni dalam perut Naruto bergemuruh. Namun Hinata mengabaikannya; nyonya Uzumaki itu menghiraukan kehadiran suaminya yang kini mengerutkan kedua alisnya dengan bibir yang mengerucut; lucu sekali.
Dalam sekejap, tubuh besar Naruto sudah berada di belakang Hinata. Kedua lengan kerasnya mengurung tubuh Hinata dalam dekapannya.
"Hinata ..."
"Morning, Naruto."
Hinata mengelus lengan Naruto, namun elusan itu tidak bertahan lama karena tangan-tangan cantik milik Hinata sedang sibuk dengan sup yang ada dalam panci. Naruto hanya tersenyum tipis, mendaratkan kedua belah bibirnya pada perpotongan leher Hinata yang terbuka, mengendus sekaligus mengecupi permukaan kulit Hinata yang sedikit berkeringat. Satu tangannya merayap; menelusup ke dalam kaos polos longgar yang dikenakan Hinata.
Sejauh ini, Hinata tidak memperlihatkan reaksi atas sentuhan-sentuhan kecil yang diberikan Naruto padanya, tubuh wanita itu bergerak kesana kemari; mengambil kecap asin, vinnegar, dan juga bumbu-bumbu lainnya –tanpa merasa terganggu dengan tubuh besar Naruto yang menempel karena lengan suaminya itu masih melilit tubuhnya.
"Naruto."
Suara interupsi itu terdengar saat Hinata merasakan satu telapak tangan suaminya yang kini meremas gundukan kenyal yang berada dibalik kaos yang dikenakannya. Naruto mengabaikan protesan kecil sang istri; pria yang tahun ini genap berusia 31 tahun itu terus melancarkan godaan-godaan kecil pada Hinata.
Naruto menarik dagu sang istri kemudia mencuri satu kecupan, dengan segera; bibir Naruto kembali mendarat di permukaan kulit leher Hinata –tidak ingin mengganggu kegiatan memasak sang istri; meski sebenarnya dia memang sudah mengganggu kegiatan istrinya dari beberapa menit yang lalu.
Hinata bahkan bisa merasakan tubuh suaminya yang mengeras, tubuh bagian itu terasa panas dan menekan pinggangnya; seolah memberitahukan jika sang suami sudah siap untuk menyantap apa yang ingin pria itu santap.
"Mommy ..."
Dengan gerakan cepat, Hinata melepaskan diri dari kungkungan suaminya begitu suara serak khas balita bangun tidur itu sayup-sayup terdengar. Naruto menggaruk belakang kepalanya ketika Hinata pergi begitu saja saat puteranya yang baru berusia dua puluh bulan itu memanggil istrinya. Naruto tidak heran mengapa Hinata langsung bergegas menghampiri putera mereka saat suara panggilan itu terdengar; Bolt, panggilan untuk jagoan kecilnya itu baru bisa mulai berjalan beberapa hari yang lalu. Tentu saja Hinata menghampiri Bolt karena istrinya takut jagoan kecilnya itu terjatuh saat menuruni tangga.
Dengan pasrah, Naruto bergegas memasuki kamar mandi yang berada dalam satu area dengan ruang dapur. Melihat dirinya yang sudah mengeras; Naruto kemudian memutuskan untuk mandi air dingin setelah dirinya mengecilkan api kompor.
.
.
Sepuluh menit merupakan waktu yang cukup lama bagi seorang pria untuk mandi. Naruto mendapati Hinata yang sedang memeluk putera mereka di salah satu pundaknya –saat dirinya sudah selesai dengan kegiatan mandi dan juga pelepasan darurat yang terpaksa dilakukannya. Hidangan lezat untuk sarapan sudah tertata rapi di atas meja. Hinata sudah melepaskan celemeknya, mengisyaratkan kepada Naruto agar segera duduk dan menyantap makanan.
"Pakailah."
Naruto menaikan satu alisnya saat Hinata menyodorkan kaos polos berwarna abu-abu tua, bahkan Naruto sedikit terkejut saat melihat rona merah yang terlihat samar di kedua pipi putih milik istrinya tersebut. Hinata langsung membalikkan badan, berjalan ke arah meja makan kemudian menyiapkan nasi hangat untuk suaminya –dengan Bolt yang kini sudah kembali tertidur pulas dalam pelukannya.
"Makanlah, aku akan kembali setelah menidurkan Bolt."
Naruto tersenyum kemudian duduk di kursi yang biasa ia gunakan, namun rasa penasarannya menggelitik dirinya –kemudian menahan satu lengan Hinata saat wanita itu hendak melalui dirinya di kursi.
"Hinata, kau cantik."
Awalnya, Naruto hanya ingin menggoda sekaligus memastikan sesuatu pada istrinya yang kaku itu. Namun, satu bisikan yang diberikan Hinata ternyata membuatnya seperti melayang seketika. Satu bisikan yang baru pertama kali ia dengar selama tiga tahun usia pernikahan mereka, satu bisikan yang mungkin akan membuat dirinya lebih bertenaga untuk berangkat bekerja hari ini. Bisikan yang tidak akan pernah Naruto lupakan seumur hidupnya, satu bisikan yang diakhiri dengan kecupan serta jilatan kecil di daun telinga Naruto itu menjadikan Naruto bagai pria paling bahagia di seluruh dunia.
"lekaslah pulang, daddy. Tanda merahnya sudah selesai."
.
.
.
F I N