"Tapi, aku sudah memutuskan…"
"... Aku akan mempertahankannya."
Kata itu keluar begitu saja, Riko yang mendengarnya hanya bisa terdiam. Antara terkejut dan lega. Ia membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu. "Ku-"
Jduak
Bola berwarna orange menggelinding pelan di samping Kuroko. Manik birunya menatap miris pelatihnya yang tengah menundukkan kepala. Kepala dengan surai cokelat pendek itu baru saja di hantam bola basket dengan cukup kuat.
Suasana gym basket Seirin mendadak hening. Tak ada yang berani bersuara ataupun bernapas. Semuanya terdiam. Di bawah ring, Kagami terpaku. Wajahnya berubah putih, seakan seluruh darahnya menghilang. Ia menelan ludah gugup. "Ka- kantoku…?" Cicitnya.
Aura di sekitar Riko mulai tidak menyenangkan. Gadis manis itu mengangkat kepalanya perlahan, "Kagami-kun…" desisnya. Senyum manis terpatri di bibirnya. "Lari. Keliling. Lapangan. 20. Kali." Riko berujar lembut, sangat lembut. Satu-satunya Alpha di tim-nya itu benar-benar selalu membuatnya sakit kepala.
Sementara Kagami si pelaku pelempar bola, masih bergeming di tempatnya. Tubuh tingginya gemetar hebat, meski Riko sedang tersenyum begitu manis, namun auranya mengatakan sebaliknya. Ia ketakutan, sungguh. Baginya, dia lebih baik dihadapkan dengan beruang atau serigala liar, daripada menghadapi kemarahan seorang wanita bernama Aida Riko.
"Ta- tapi, kantoku. Aku tidak sengaja." Suara Kagami bergetar.
"25."
"Eh, tapi…"
"30."
"Aaarrrggh! Baik! Baik!"
Kagami mulai berlari, mulutnya tidak berhenti menggerutu. Mengutuki pelatih yang dengan seenaknya menyuruhnya berlari keliling lapangan, 30 kali! Yang benar saja, dia tidak sengaja. Bukan salahnya jika bolanya terpeleset dari tangannya dan kebetulan mengenai kepala Riko. Siapa suruh dia disana?
"Berhenti menggerutu, Kagami. Gerakan kakiku lebih cepat!" Teriak Riko.
Kuroko tersenyum simpul. Di masa depan, ia pasti akan merindukan saat-saat seperti ini. Tapi, dia tidak akan pernah menyesalinya. Karena dirinya sudah memutuskan, dan Kuroko tidak akan menyesalinya.
Fated Pair
.
Disclaimer
Kuroko no Basket Tadatoshi Fujimaki
.
Pair
Akashi Seijuurou x Kuroko Tetsuya
.
Genre : Yaoi, Omegaverse
Rated : T
Chapter 3
"Hah, aku tidak percaya kantoku akan semarah itu hanya karena kepalanya terkena bola." Gerutu Kagami. Saat ini ia sedang di Maji Burger, membeli makan malam berupa puluh burger.
Alpha bersurai gradasi merah hitam itu mendudukkan dirinya di bangku dengan kasar. Hari ini benar-benar melelahkan sekaligus menyebalkan. Tangannya meraih bungkusan burger di tumpukan paling atas dan membukanya cepat.
"Kagami-kun."
"Gah! Kuroko teme, berhenti mengagetkanku!!" Kagami berjengit kaget. Jika tidak mengingat keadaan pemuda di hadapannya, sudah ia pukul kepala bersurai baby blue itu. Terlebih wajah yang senantiasa memasang ekspresi datar tersebut, kadang sungguh membuatnya kesal.
Menghela napas panjang, Kagami coba mengabaikan keberadaan Kuroko yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Satu bulan mengenalnya, sudah cukup membuat Kagami hampir terbiasa dengan hawa keberadaannya yang setipis angin sepoi-sepoi. Hampir. Meski jantungnya lebih sering terasa lepas dan pindah ke perut saking terkejutnya.
"Sejak kapan kau disini? Tidak pulang?" Kagami bertanya basa basi. Tangannya sibuk mengupas bungkus burger.
Hening.
"Kemana dia?" Kagami menggigit burgernya bingung.
oOo
"Aomine-kun, kau harus bertanggungjawab atas apa yang kau lakukan padaku…"
Aomine tidak pernah percaya pada sebuah kebetulan. Seperti halnya dia tidak percaya dengan pengkategorian manusia menjadi tiga jenis? Atau tiga second gender? Baginya semua itu hanyalah omong kosong belaka. Aomine hanya mempercayai dirinya sendiri. Selayaknya dia percaya, tidak yang bisa mengalahkannya selain dirinya sendiri.
Tapi, pagi ini ketika tiba-tiba Momoi meminta agar di temani membeli milkshake Maji Burger sepulang klub, Aomine secara kebetulan bertemu dengan… mantan bayangannya? Padahal selama ini, meski mereka tinggal di satu kota yang sama -bahkan sebelumnya sekolah di tempat yang sama juga, tidak pernah bertemu sekalipun sejak saat itu. Mungkinkah Aomine harus sedikit melonggarkan keyakinannya?
Lucu sekali.
Aomine mendengus ketika pemikiran konyol itu melintas di otaknya. Lalu, saat mendengar kalimat yang dilontarkan Kuroko padanya, sebelah alis Aomine terangkat. 'Bertanggungjawab?'
Dua manik biru mengerjap polos. "Aomine-kun, kau harus bertanggung jawab." Masih dengan suara sedatar lantai, Kuroko coba bicara dengan mantan cahayanya? Atau mantan temannya?
Momoi tiba-tiba merangkul lengan Kuroko, "Tetsu-kun?" Kepalanya menunduk sedikit, manik sewarna sakuranya menyorot sendu. "Kau tidak menyapaku?"
Kuroko melirik sekilas pada gadis yang tengah merangkul lengannya. Tangannya yang lain terangkat menepuk lembut puncak kepala Momoi. "Lama tidak bertemu, Momoi-san." Ujarnya singkat. Ia kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada Aomine. "Aomi-"
Manik navy blue Aomine menyipit. "Apa maksudmu, Tetsu? Bertanggungjawab? Memangnya apa yang kulakukan padamu?" Tanyanya sinis.
"Kau-"
"Aah, Tetsu-kun! Karena hari ini kita kebetulan bertemu, bagaimana kalau kita pulang bersama? Ya? Ya?" Momoi berseru semangat, memotong ucapan Kuroko. Melihat kedua manik sakura Momoi bersinar penuh harap, Kuroko jadi tidak tega untuk menolak. Seulas senyum terbentuk, lalu mengangguk, "Baiklah, Momoi-san."
"Yatta!"
Momoi segera menarik lengan Kuroko keluar dari Maji Burger, melupakan niat awalnya untuk membeli milkshake. Sepanjang perjalanan gadis cantik itu terus berceloteh tentang SMA yang dimasukinya bersama Aomine. Tentang gedung sekolahnya yang besar, fasilitas olahraga yang lengkap, klub basket dan segala kegiatannya sebagai manajer klub.
Kuroko sendiri hanya diam dan mendengarkan semua celoteh Momoi padanya. Pemuda bersurai baby blue itu terkadang menanggapi setiap cerita Momoi dengan 'Oh' atau 'Ya' saja. Tetapi, hal itu sama sekali tidak mengganggu Momoi. Gadis itu sangat mengenal Kuroko, dan sudah sangat terbiasa dengan balasannya yang singkat.
Di belakang mereka, Aomine mengukuti keduanya dengan tampang malas. Alpha berkulit tan itu sesekali menguap. Tidak, Aomine tidak sedang mengikuti pemuda baby blue dan gadis merah muda di depannya, niat awalnya memang segera pulang. Karena rumahnya di arah yang sama, jadilah dia berakhir di belakang mereka.
"Kuroko-cchi!!!"
Sedetik setelah suara cempreng dan keras itu terdengar, Kuroko merasakan tubuhnya tiba-tiba melayang dan dunia di sekitarnya berputar. Kepalanya terasa berputar dan perutnya mulai terasa mual. Kuroko coba memberontak.
Pletak
"Berhentilah memeluknya seperti itu! Kau ingin dia mati? Ta- tapi, bukannya karena aku peduli -nanodayo. Aku hanya merasa terganggu." Midorima berujar datar setelah menggeplak kepala kuning Kise dengan boneka keropi yang di bawanya. Jemari berbalut perban miliknya mendorong lensa kacamatanya ke pangkal hidung.
Kuroko terhuyung selepas dari pelukan Kise, ia hampir saja terjatuh. Jika bukan karena sepasang tangan kuat yang menahan tubuhnya dari belakang, Kuroko pasti sudah jatuh tersungkur. Melihat siapa yang menolongnya, kedua pipi putih Kuroko bersemu. Ia berbisik pelan,
"Te- terimakasih. Aomine-kun."
oOo
"Aku pulang."
Kuroko membuka pintu depan rumahnya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya saat memasuki rumah adalah sosok tinggi Ayahnya yang tengah berdiri tepat di belakang pintu. Kuroko berkedip beberapa kali melihat Ayahnya yang sudah tidak ditemuinya sejak tiga bulan lalu, memastikan orang di depannya benar-benar sang Ayah atau bukan. Seingatnya, Ibunya bilang bahwa mereka baru akan pulang minggu depan.
"Tou-san?" Kuroko memanggil sang Ayah dengan raut bingung. Tidak biasanya kepala keluarga Kuroko tersebut terlihat begitu pasif. Terutama saat menyambut kepulangannya.
"Tou-"
"Ikut aku, Tetsuya. Ada yang ingin ku bicarakan denganmu." Potong sang Ayah dengan nada dingin, lalu berlalu begitu saja menuju ruang keluarga.
Untuk sesaat Kuroko terdiam. Ayahnya benar-benar bersikap aneh. Ia menimbang sebentar, sejujurnya Kuroko ingin cepat pergi ke kamarnya, mandi lalu tidur. Hari ini dia lelah sekali. Tidak ingin membuat Ayahnya menunggu, Kuroko segera melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga.
Di ruang keluarga, terlihat Ibunya sedang meminum teh di sofa. Ketika melihat Kuroko memasuki ruang keluarga, Ibunya segera meletakkan cangkir tehnya dan segera menghampiri Kuroko.
"Kamu akhirnya pulang juga, sayang. Mama rindu sekali padamu." Setelah berkata demikian, Ibunya langsung memeluk Kuroko erat. Menyalurkan rasa rindu pada sang putra yang sudah tidak ditemuinya selama beberapa bulan selain melalui sambungan telepon dan video call.
Kuroko balas memeluknya. Rasanya lama sekali Kuroko tidak merasakan pelukan hangat ini. Matanya tiba-tiba terasa panas dan berdenyut sakit, air mata menggenang di kedua matanya, mencoba untuk keluar. Namun ia tahan. "Aku juga merindukanmu." Ujarnya seraya membalas pelukan sang Ibu. Kedua matanya terpejam menikmati kehangatan yang tidak pernah gagal membuatnya merasa tenang.
Setelah sesi pelukan, sang ibu membimbing Kuroko untuk duduk di sofa bersamanya. Dirinya baru menyadari, rumahnya terasa begitu sunyi. Ayahnya yang biasanya begitu heboh menyambutnya pulang, terlebih setelah tidak bertemu begitu lama, anehnya malah terdiam. Bahkan sekarang, pria itu terlihat dingin dan memilih duduk di sofa tunggal dengan ekspresi tidak terbaca di wajahnya. Sementara sang Ibu, biasanya beliau akan menghujani Kuroko dengan berbagai pertanyaan, tentang bagaimana keadaannya selama ditinggal, sekolahnya, kegiatan klub atau yang lainnya. Namun sekarang, sosok yang paling berjasa atas hadirnya Kuroko di dunia justru terlihat sedih dan… kecewa?
Entahlah, Kuroko benar-benar tidak bisa membaca sorot mata sang Ibu yang sejak tadi selalu menatapnya. Berbagai kemungkinan berputar dalam otaknya, tapi Kuroko enggan mengambil kesimpulan.
"Tetsuya." Ayahnya menghela napas berat lalu mengeluarkan sesuatu dari balik tubuhnya dan meletakkannya di meja. "Bisa kau jelaskan, apa ini?"
Kedua manik biru Kuroko melebar melihat sesuatu yang diletakkan ayahnya di meja. Tubuhnya mengejang. Test pack. Dan sialnya, itu adalah test pack yang Kuroko gunakan tempo hari, di sana bahkan masih tercetak dua garis merah yang menandakan positif. Jantung Kuroko berdegup nyeri, ia lupa membuang benda itu dari tempat sampah di kamar mandinya karena terlalu banyak berpikir.
Bibirnya gemetar, lidahnya kelu. Kuroko tidak mampu berkata apapun. Ia hanya bisa menundukkan kepalanya. Kuroko tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semuanya pada kedua orangtuanya. Ia belum siap. Meski Kuroko sudah meyakinkan dirinya untuk mempertahankan bayi dalam perutnya, tapi apakah kedua orangtuanya dapat menerima keputusan itu? Kuroko bimbang. Ia takut dan bingung. Rasanya ingin sekali ia berlari sejauh mungkin.
Bagaimana jika kedua orangtuanya menginginkan bayi dalam perutnya untuk di gugurkan? Bagaimana jika mereka menolak keinginannya untuk membesarkan bayi dalam perutnya meski seorang diri? Bagaimana jika Kuroko keluar dari rumah dan hidup mandiri? Tetapi, bagaimana caranya dia menghidupi calon bayinya nanti? Terlebih jika perutnya semakin membesar kelak. Siapkah Kuroko menghadapi semuanya sendiri?
Bagaimana, bagaimana dan bagaimana lainnya terus berkecamuk di kepala Kuroko. Ia takut, sangat takut. Dia hanyalah Omega lemah, dunia tidak pernah berpihak pada Omega seperti dirinya. Tangannya terkepal di atas lututnya.
Tiba-tiba Kuroko merasakan sebuah tangan lembut menyentuh sisi wajahnya, mengangkatnya lembut, memaksa Kuroko menatap sang Ibu. Ibunya menatap Kuroko dengan penuh kelembutan, Kuroko bahkan bisa melihat pantulan wajahnya sendiri di kedua manik indah sang Ibu. Mereka begitu mirip, rambut, mata, warna kulit, bahkan perawakan mereka pun hampir serupa. Kuroko benar-benar duplikat sosok yang telah melahirkannya ke dunia ini.
Ibunya tersenyum, "Tetsuya, Papa bertanya padamu, sayang. Katakan, apakah test pack itu milikmu? Yamato-san bilang, semua benda itu beliau temukan di tempat sampah kamar mandi di kamarmu." Nada suaranya begitu halus dan menenangkan.
Kuroko menggigit bibir bawahnya gusar. Ingin sekali ia menundukkan kepalanya, jika saja tangan sang Ibu tidak menahannya. Sebagai gantinya, Kuroko mengalihkan pandangannya, kemana saja, asal tidak ke dua manik biru yang menatapnya dengan sorot sedih dan kecewa itu. Dadanya sakit, jantungnya seakan diremas-remas tangan tak kasat mata. Kuroko benar-benar tidak mampu berkata apapun.
"Tet-"
"Ma- maaf… hiks… maafkan aku…" hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya yang bergetar, Kuroko terisak, air matanya berderai seperti hujan. "Hiks… maaf…"
Ibu Kuroko kelimpungan, tidak menyangka bahwa sang putra akan menangis seperti ini. Tak kuasa terus mendengar isakan Kuroko, Ibu menariknya ke dalam pelukannya, menenggelamkan wajah putranya yang banjir air mata ke dadanya. Sementara tangannya memeluk bahu sang putra yang bergetar hebat dan mengusapnya lembut. Kuroko masih terus meracau kata maaf seraya terisak pilu.
Ayah yang sejak tadi terdiam kembali menghela napas panjang. Kini semua terjawab, meski Kuroko tidak mengatakannya dengan jelas, tapi reaksinya sudah menjelaskan segalanya. Kepala keluarga Kuroko tersebut memijit kepalanya yang terasa begitu sakit. Dirinya gagal sebagai seorang Ayah. Bagaimana bisa dirinya membiarkan putra semata wayangnya di nodai seperti ini. Ya, Tuhan.
Ruang keluarga di kediaman Kuroko berubah hening, tak ada yang berani bicara, hanya isak tangis Kuroko yang terdengar. Begitu pilu dan menyedihkan.
oOo
Setengah jam kemudian, Kuroko mulai lebih tenang. Tapi, pemuda bersurai baby blue itu masih enggan melepaskan pelukannya pada sang ibu, dan lebih memilih untuk menyenderkan kepalanya di bahunya. Mencari ketenangan.
Lalu Ayahnya? Beberapa menit setelah tangis Kuroko pecah, pria itu akhirnya beranjak dan mendudukan dirinya disamping sang putra yang menangis. Tidak bicara, tangannya terus mengusap kepalanya, berusaha menyalurkan ketenangan.
Dalam dekapan sang Ibu, Kuroko mencoba mencari perlindungan. Sesekali ia masih terisak, namun ia sudah jadi lebih tenang.
"Jadi, berapa… usia kandunganmu?" Ibu mencoba bertanya dengan hati-hati -walau hatinya sakit seperti di tusuk ketika pertanyaan itu terlontar dari bibirnya, setelah menghentikan sang suami yang hendak bertanya. Tatapan matanya seakan mengatakan, biar-aku-saja-kau-diam. Membuat pria itu terdiam dan menelan kembali kalimatnya. Sebagai gantinya ia meraih tangan kanan sang putra, menggenggamnya dan meremasnya lembut.
"A-" Kuroko membuka mulut. Rasanya sulit sekali, lidahnya benar-benar kelu, ia tidak ingin mengingat kembali hari itu. Hari dimana dirinya kehilangan segalanya. Kepalan tangan Kuroko yang bebas semakin mengerat, ia sungguh belum siap.
Kuroko menarik napas dalam-dalam, "U- usianya… u-... Sudah- sudah li- lima minggu." Katanya serak dan terbata-bata.
Tangan Ayah Kuroko mengepal kuat, terlalu kuat hingga kuku-kukunya -walau pendek- menembus kulitnya, meneteskan darah pada sofa yang didudukinya. Ibu tidak tahu harus bicara apa, dirinya terlalu terkejut. Ia hanya bisa menutup mulutnya dengan tangan, menahan segala emosi yang coba membeludak keluar.
"Siapa? Siapa Ayahnya?" Geram sang Ayah. Sekuat tenaga dirinya menahan segala amarahnya, hingga tubuhnya bergetar. Ada dua Omega yang begitu dicintainya di ruangan ini, sembarangan mengeluarkan aura kemarahan bisa berakibat fatal untuk keduanya.
Kuroko membisu. Bibirnya di gigit kuat-kuat.
"Dia…"
To be Continued
Gilaaaaaa…. Males banget nulisnya!
Gak tahu kenapa saya dilanda rasa malas mengetik belakangan ini. Sampe ngetik satu paragraf aja sampe dua tiga hari baru kelar. Padahal ceritanya udah memenuhi otak saya.
Astaga….
Review?
Siapa tahu saya semangat lagi. Hehe (ㆁωㆁ)
Masih ada ekstra story di bawah. Tapi, sebelum itu...
Balas review dulu 〜()〜
xserqueen
Sama! Saya juga gemes banget ama mereka.
Diantara semua anime yang saya tonton, hanya Momoi saja yang tidak bisa saya benci. Dia tidak mengganggu dan bersikap sangat menyebalkan, meski suka nempel sama Tetsuya-chan. Dibandingkan chara cewek anime lainnya. Haha
Makasih udah review :-*
EmperorVer
Emang siapa yang hamilin??
Makasih review-nya…
Emphiii
Terimakasih #bow
Terimakasih juga karena sudah baca dan review…
.
.
.
Ekstra
"Hooooeeekk!"
Tidak ada apapun lagi yang keluar selain cairan berwarna kuning pucat. Sejak kemarin siang Akashi belum makan apapun hingga tidak ada lagi yang bisa ia muntahkan. Akan tetapi, rasa mual hebat tetap menjalari mulutnya, membuatnya harus tetap berada di depan wastafel sejak lebih dari setengah jam lalu.
Napas Akashi terengah-engah, kepalanya pusing, perutnya sangat mual dan sakitnya tidak terkira. Seperti ada sedang meremas-remas perutnya. Tangan gemetarnya mencoba membuka tab air, menyiram sisa muntahannya sampai bersih. Kemudian dia membasuh mulutnya, Akashi juga membasuh wajahnya agar merasa lebih segar. Setelah ini dia harus pulang, mandi, minum obat dan pergi tidur.
Akashi selesai membersihkan wajahnya, manik heterochrome miliknya mengarah pada cermin yang memantulkan wajahnya. Pemuda bersurai merah itu mendapati pantulan dirinya di sana terlihat sangat pucat dan berantakan. Sudah seminggu ini dirinya mengalami mual hebat di sertai muntah-muntah. Ia bahkan menjadi lebih sensitif pada bau-bauan yang menyengat, -apalagi bermacam bau tubuh laki-laki di ruang loker. Akashi tidak merasa tubuhnya sakit, karena selain di pagi hari dan setelah latihan (terutama setelah dari ruang loker) saja dirinya merasakan mual hebat seperti ini.
Sebenarnya apa yang terjadi dengannya?
Cklek
Pintu toilet terbuka, menampilkan sesosok tubuh tinggi dengan surau hitam panjang, Mibuchi Reo. Wajahnya menampilkan raut khawatir yang tidak dapat disembunyikan.
"Sei-chan, kau tidak apa-apa?" Tanyanya khawatir.
"Reo…" Akashi mendesah pelan. Ia terlalu lelah meski untuk sekedar bersuara.
Mibuchi melangkah mendekat, dengan sapu tangan ia coba membersihkan mulut Akashi yang basah. Di belakangnya terlihat Hayama ikut masuk dengan wajah khawatir juga. "Akashi, kau tidak apa-apa?"
Akashi diam. Ini memang kali pertama dirinya terlihat dalam kondisi seperti ini, biasanya dia biasa menahan semua rasa mualnya hingga sampai di rumah. Tapi hari ini, rasa mual itu datang dua -tidak tiga atau empat kali lebih hebat, sampai dirinya tidak bisa menahan diri lagi untuk menguras seluruh isi perutnya.
Membiarkan Mibuchi mengusap wajahnya, Akashi menyenderkan tubuhnya di pinggir wastafel. Merenung. Suara-suara pertanyaan Mibuchi dan Hayama tidak terdengar lagi, pikirannya tiba-tiba melayang.
.
.
Hoho… setan merah kenapa tuh? Hamil?