"Nama kamu siapa?"

Sebuah suara lembut menyapa pendengarannya. Bocah lelaki itu menoleh. Mendapati gadis kecil seusianya berdiri di depannya, dengan tangan memegang payung bernuansa kuning meski atap halte sudah melindungi dirinya dari air hujan. Mata biru yang serupa dengan miliknya itu mengerjap, menunggu jawabannya.

"... Aku ... Taufan," ujar si bocah laki-laki. Kedua netranya belum terlepas dari sosok gadis itu yang entah muncul dari mana.

"Aku Ying." Senyum manisnya terkembang, seperti senang memperkenalkan dirinya.

Taufan hanya diam memandanginya. Gadis itu meletakkan payung kecilnya di dekat bangku halte, lalu mendudukkan tubuh mungilnya di samping Taufan. Tangan Ying merogoh sesuatu di saku jaket, yang ternyata sebuah tape beserta kabel headset.

"Nih, coba kamu dengerin." kata Ying, sambil menyumpalkan salah satu headseat itu ke telinga Taufan tanpa ragu. Anehnya, Taufan tetap diam seolah mempersilahkan Ying berbuat semaunya. "Biar kamu nggak sedih lagi,"

Musik itu pun mengalun pelan di telinga Taufan. Suara gerimis hujan menjadi tersamar di telinganya, seiring dengan perasaannya yang kian membaik.

Taufan menoleh ke arah Ying. Ternyata ia juga mendengar lagu itu melalui satu headset lainnya.

"Benar, 'kan?" kata Ying sambil tersenyum, sadar kalau Taufan menatapnya.

Taufan setuju. Kepalanya mengangguk kecil, tersenyum tipis sambil memperhatikan rintik hujan di depannya.

Sejak saat itu, Taufan selalu memutar lagu yang dikasih Ying setiap dirinya sedih. Atapun takut.

"Blue Eyes" by Meltavi

Boboiboy © Animonsta Studios

Warn : AU, TauYi, gaje, Friendship/hurt/comfort, OOC, dll.

#dailydrabblechallenge theme song

Now Playing : The Carpenters - Close To You

Happy reading!

.

.

.

"Namanya Ying."

Suara percakapan itu menarik atensi Taufan dari berkas-berkas yang sedang ia kerjakan. Ia menoleh. Menemukan tengah rekan kerjanya mengobrol tak jauh darinya perihal karyawan baru di kantor mereka. Awalnya Taufan tidak peduli tentang karyawan baru yang tengah ramai dibicarakan itu. Namun pada saat nama karyawan itu disebutkan, Taufan berubah penasaran.

Jangan-jangan dia?

"Katanya sih dia agak sedikit pemalu."

Percakapan terus berlanjut. Taufan menajamkan pendengarannya sembari berpura-pura memainkan komputer.

"Benarkah?"

"Hm. Dia juga gampang takutan, jadi jangan heran kalau matanya selalu menunduk ke bawah."

"Heee? Kau tahu darimana informasi itu?"

"Haha, rahasia."

"Dia cantik tidak?"

"Cantik. Lumayan. Anaknya manis sih ..."

Obrolan itu terdengar samar seiring keduanya berjalan menjauh dari tempat Taufan berada. Pemuda itu diam menatap kosong layar di depannya, memikirkan apa yang ia tangkap barusan.

Sepertinya itu bukan Ying yang ia kenal. Berdasarkan obrolan dari rekan kerjanya tadi, semuanya berbanding terbalik dengan sifat Ying. Jadi tidak mungkin dia adalah teman masa kecil Taufan. Pasti ada Ying yang lain.

"Pak Taufan?"

Kepala Taufan menengok cepat ke arah suara yang memanggilnya. "Ya?" tanyanya, mendapati seorang gadis berhijab menghampirinya.

Wanita bertanda nama Yaya Yah itu berkata lagi. "Anda diminta menemui Pak Direktur."

Alis Taufan terangkat. "Sekarang?"

"Ya, Pak."

Taufan menghela napas dan mengucapkan terima kasih pada Yaya. Pemuda tampan itu bangkit dari kursinya, melangkah keluar ruangan editor untuk menemui sang atasan.

Beberapa teman kerjanya menyapa, yang dibalas dengan ramah oleh Taufan. Kaki panjangnya berbelok kanan, menuju sebuah lift yang akan mengantarnya ke ruang direktur di lantai 9.

Taufan berhenti di depan pintu lift yang tertutup. Di sampingnya ada tiga karyawan yang juga sama-sama menunggu. Ponselnya berdenting, tanda notifikasi baru masuk. Taufan tanpa membuang waktu mengeceknya, siapa tahu itu dari sang atasan.

Namun, dahi Taufan berkerut kala mengetahui bahwa Gopal-lah yang mengirimi pesan itu.

Bruk!

Seseorang tiba-tiba menabraknya. Taufan yang tidak siap tidak sengaja menjatuhkan ponselnya, menimbulkan bunyi hentakan keras. Tiga karyawan di dekatnya menoleh, mencari tahu apa yang sedang terjadi.

"A-ah ... ma-maafkan aku!" Belum sepenuhnya Taufan menyadari situasi, seorang gadis sudah berjongkok di depannya, bermaksud mengambil ponselnya yang terjatuh.

Taufan tersentak dan ingin berjongkok mengikuti si gadis. Namun gadis itu sudah cepat mengambil handphone-nya pada saat tubuh Taufan baru membungkuk 90 derajat, membuat Taufan mau tak mau menegakkan tubuhnya kembali.

"I-ini. Maaf, a-aku tidak sengaja." Ponselnya diserahkan oleh tangan gemetar itu.

Kedua alis Taufan terangkat. Ingin menelisik wajah gadis di depannya, namun kepalanya menunduk dalam, membuat wajahnya tidak terlihat sama sekali.

"Ah ... ya. Tidak apa-apa." balas Taufan, bermaksud agar gadis itu menunjukkan wajahnya. Tapi ternyata, sang gadis hanya mengangguk kecil dan langsung memasuki lift yang sudah datang tanpa sempat membiarkan Taufan berbicara lagi.

Taufan menggaruk tengkuknya dan ikut masuk ke dalam lift. Ia menatap sebentar gadis aneh tersebut, sebelum menghadap ke depan untuk menekan tombol lantai yang ingin dituju. Pintu besi itu tertutup dan bunyi dentingan lembut terdengar. Perlahan, lift membawa mereka ke atas.

Sembari menunggu, Taufan melirik-lirik para karyawan yang ternyata tengah menatap gadis itu. Kernyitan dahi Taufan muncul, sebab tatapan para karyawan itu tampak terkagum pada si gadis. Taufan tidak tahu apa yang harus dikagumi, karena ketika berhadapan langsung dengan gadis itu Taufan hanya bisa menilai rambutnya yang hitam legam.

Apa jangan-jangan gadis itu sudah memperlihatkan wajahnya? Taufan mengusap dagu penasaran, berpikir untuk berbalik badan demi menatap wajah baru itu. Namun Taufan buru-buru menggeleng karena menyadari betapa konyolnya pemikiran itu.

Lift berdenting, pertanda lantai yang dituju Taufan tiba. Ketiga karyawan tadi keluar lift sambil melempar pandangan terakhir pada gadis itu. Ternyata tersisa mereka berdua di sana. Taufan seharusnya melangkah keluar untuk menemui sang atasan, namun kakinya malah mundur sehingga posisi mereka menjadi berdampingan. Jangan tanya apa yang tengah ia lakukan. Taufan sendiri juga tidak mengerti.

Pintu di depan mereka menutup kembali. Lift bergerak naik, membawa mereka dalam atmosfer canggung. Taufan menggunakan ujung matanya untuk memperhatikan gadis itu. Dia sedang menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, sehingga Taufan bisa melihat wajahnya walau hanya sebagian.

Sekarang Taufan tidak lagi bertanya-tanya kenapa para karyawan tadi menatap gadis ini kagum. Dia manis.

"Ekhem," Taufan berdeham. Bermaksud agar mencairkan suasana dan menarik gadis itu untuk menoleh. Tapi dia hanya diam menatap ke depan, membuat Taufan sepenuhnya menatap gadis itu.

Merasa diperhatikan, sang gadis lagi-lagi menunduk. Taufan tersentak.

"Um ... maaf," Taufan membuka suara. Bahu gadis itu bergerak sedikit, tanda bahwa ia terkejut. " ... Aku hanya ingin bilang. Kau tidak perlu malu seperti itu," ucap Taufan pelan. Reaksi gadis itu diam membeku, namun dengan gerakan patah-patah kepalanya menoleh. Kedua iris mereka bertemu.

Pada saat itulah, Taufan merasa tidak asing dengan mata itu. Mata beriris safir yang hampir serupa dengannya.

"... mereka tidak memandangmu aneh ... kau menarik," lanjut Taufan, seberusaha mungkin untuk mengesampingkan rasa familiarnya.

Hening. Taufan melipat bibirnya, sementara hatinya terus berteriak bahwa ia mengenal gadis ini. Diam-diam matanya membaca tanda nama yang terkalung di leher gadis itu. Ying. Jadi dia benar-benar Ying?

Taufan berusaha menenangkan diri. Dilihatnya lagi Ying yang masih terdiam membeku. Berpikir, Taufan memutar otak agar gadis itu percaya ucapannya. Dan tiga detik setelahnya, Taufan menemukan cara.

Diambilnya airpods di saku kemeja, menyambungkannya dengan ponsel yang sudah ia setel sebuah lagu favoritnya. Taufan perlahan menyelipkan sebelah airpods itu ke telinga Ying, membuat gadis itu lagi-lagi tersentak.

"Dengarkanlah," ujar Taufan. "Seseorang pernah memberitahuku lagu ini. Dan setiap aku takut, aku selalu mendengarkannya."

Ying kembali diam, kali ini karena mendengarkan lagu di telinganya. Ia menoleh pada Taufan, mendapati pemuda itu sudah tersenyum padanya dengan airpods tersumpal di telinga.

"On the day that you were born, the angels got together, and decided ... to create a dream come true," Taufan bersenandung pelan. "So they sprinkled moon dust, in your hair of gold, and starlight in your eyes of blue,"

Taufan tersenyum kecut menemukan fakta bahwa Ying tidak bereaksi berarti. Lagu terus berputar, namun Taufan merasakan sesak di hatinya. Ying masih menatapnya, tapi tatapan itu sama sekali bukan yang Taufan inginkan.

"Just like me ... They long to be, close to you ..." Sambil menggumamkan penggalan lirik lagu tersebut, Taufan kembali mengingat isi pesan Gopal. Pesan yang membuat Taufan dilingkupi rasa sedih.

Dia Ying, Ying yang kau kenal. Tapi dia mengalami hilang ingatan akibat kecelakaan saat di Amerika lima tahun yang lalu. Dan, kemungkinan besarnya, Ying tidak akan mengenal siapa dirimu.

.

.

.

.

Finizh

a/n :

gatau mau ngomong apa, ini gaje banget heuheu.

oiya, ini aku terinspirasi dari scene Drama Korea She Was Pretty, cuma sama latar tempatnya tapi situasinya beda /yasamaaja

tadinya mao bikin tentang ibu dan anak, tapi aq teringat skill family-ku yang rendah apalagi kalo genre-nya hurt/comfort. jadinya ini deh hehe /ditabock

semoga kak Fur suka ya! maaf kalo diluar ekspetasi ;_;

bubaai