Gumpalan awan putih kini sehitam arang. Mendung. Langit bergemuruh bersama petir yang kadang berkilat liar. Bau anyir darah bercampur pembakaran tercium bersamaan dengan embusan angin. Puluhan hingga ribuan jasad berbaur di antara puing-puing bangunan. Kota yang semula indah, berubah menjadi reruntuhan. Sepanjang mata memandang, hanya kerusakan, kebengisan, dan keputusasaan yang terlihat.

Sekilas bayangan hitam melesat, melewati puing-puing dengan lubang sekitar sepuluh senti. Sebuah mata hitam yang basah akan air mata bergetar pelan. Seorang anak laki-laki berambut coklat menutup mulut, menahan diri untuk tidak menjerit, menahan napas, ketika salah satu monster banteng melewatinya.

Pemilik mata merah dengan rambut hitam legam, mendengus keras melalui hidung. Tatapan buas yang diperlihatkan semakin menciutkan nyali sang anak. Tubuh kecil itu bergetar, menahan rasa takut dan isakan, berharap seseorang akan menyelamatkannya.

Suara langkah terdengar keras tepat di depan. Anak laki-laki berusia dua belas tahun itu sontak memejamkan mata, merapal doa pada dewa agar tempat persembunyiannya tidak diketahui.

'Jii-chan! Hiruzen-jii-chan!'

Hening menyelimuti bersamaan dengan embusan angin pelan. Konohamaru; bocah berambut coklat itu membuka mata hanya untuk beradu pandang dengan sepasang mata merah.

Ia telah ditemukan.

Geraman sang monster setengah banteng setengah manusia itu menggema keras. Bergemuruh membawa rasa takut hingga ke tulang. Konohamaru menggigil, ia sudah tak memiliki tenaga untuk lari dari sang iblis.

Saat akhirnya ia mendapatkan kembali suaranya, Konohamaru berteriak histeris. Bocah malang itu mengeluarkan segalanya—ketakutan, kesakitan— bersama tubuhnya yang tercabik oleh tajamnya taring si pemangsa.

Lolongan dari serigala terdengar panjang, dan saling bersahut-sahutan. Para monster yang telah menyerang kota dengan serempak melihat ke arah bukit tertinggi yang terletak di atas kota.

Di sana, sang Ratu tengah berada dititik klimaks pembalasan dendamnya.

...

Kerajaan Aralle berada tepat di tengah-tengah danau terbesar di dunia. Kastel megah dengan ornamen naga legendaris serta kibaran bendera merah bergaris keemasan di setiap sisi, berdiri kokoh di atas bukit tertinggi. Singgasana raja tepat berada di puncak, seakan mampu melihat seluruh tanah yang berada dalam kekuasaan Raja Hashirama.

Namun kemegahan kastel itu kini telah sirna. Dinding kokoh telah retak, langit-langit berhias lampu kristal gantung chandelier runtuh, membiarkan bulir-bulir air hujan mulai menghunjam Aula Istana dengan bebas.

Di tengah-tengah Aula, tiga sosok tergeletak di beberapa tempat. Seorang pemuda berambut hitam dengan luka parah hasil sayatan pedang di dada, terbujur kaku pada dinding yang sebagian runtuh. Tidak jauh darinya, seorang gadis berambut merah muda bernasib sama. Darah yang telah mengering, mengelilingi tubuhnya yang penuh luka. Sementara itu, di tengah karpet merah menuju kursi kebesaran sang pemimpin, seorang gadis berambut biru gelap mengerang pelan. Ia sekarat.

Mata perak itu separuh terpejam, kepalanya pening akibat benturan keras yang ia alami. Napasnya putus-putus seakan paru-parunya telah remuk ketika tubuh mungilnya dihantam kuat oleh monster tanah.

'Golem keparat!'

Hyuuga Hinata mungkin akan tertawa jika ia tidak dalam keadaan kritis. Dirinya yang tidak pernah mengumpat, kini malah mengutuk monster tanah yang berhasil ia kalahkan tadi. Monster yang terbuat dari bebatuan itu merupakan tipe monster yang kekuatannya tergantung dengan kemampuan si pemanggil.

Sekali lagi Hinata ingin tertawa miris saat ia mengingat kembali, siapa yang telah memanggil monster terkutuk itu.

Suara langkah terdengar di depan, membuat tubuh penuh luka Hinata agak tersentak pelan. Susah payah gadis itu mengangkat dagu, membalas tatapan kosong sepasang mata biru.

"Na-Naruto...-kun."

Sepasang mata biru yang kelam dan dingin itu menatapnya acuh, seakan tidak mengenal Hinata. Sepatu besi yang melekat di kaki jenjang Naruto terangkat, menendang wajah sang gadis hingga terpental ke kiri. Hinata memuntahkan darah segar saat punggungnya membentur keras bebatuan di belakangnya.

Pipi putihnya berubah merah dan membiru akibat tendangan yang pemuda itu berikan. Darah segar sudah mengalir pelan dari kening hingga membentuk sungai merah di pinggiran hidung mancung dan bibir. Hinata masih bernafas, ia masih hidup, dan mencoba menahan rasa sakit melihat keadaan pria di hadapannya.

Baju zirah yang semula berkilau perak kini menghitam, kulit kecoklatan pemuda itu semakin menggelap dengan asap hitam yang tidak berhenti muncul dari kulit dan pakaiannya. Serpihan berupa asap hitam itu adalah tanda, bahwa sosok di depan kini bukan lagi Naruto yang ia kenal.

Pria di hadapan Hinata saat ini, adalah jiwa Naruto yang dibangkitkan kembali untuk menjadi prajurit hitam. Menjadi alat untuk membantai kaum manusia yang berada dalam perlindungan Kerajaan Manusia.

Naruto menarik pedang, mengangkatnya tinggi-tinggi, bersiap untuk membelah tubuh Hinata menjadi dua. Mata perak Hinata bergetar, air mata tak kunjung mengering walau sudah berkali-kali mengalir di wajah ayunya. Jika saja ia lebih kuat, Hinata mungkin bisa melakukan perlawanan. Setidaknya ia bisa membantu melindungi teman-temannya, negeri, dan menyelamatkan jiwa raga pujaannya.

Suara lengkingan tinggi terdengar membelah hening yang terjadi. Hinata menoleh, kedua matanya membulat sempurna ketika sesosok makhluk besar datang dan menghalau Naruto dengan kepalanya.

"Nalu!" Hinata berseru, tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Seekor monster dengan leher panjang yang biasa hidup dan bersembunyi di dasar danau Kaspia muncul dan melindunginya. Monster Noch Less itu memekik, memperlihatkan amarah lewat mata dan rahang yang terbuka lebar. Raungannya seakan menyuruh Naruto untuk mundur.

"A-apa yang kau lakukan di sini?!" Hinata berusaha untuk berdiri tetapi ia kembali terjatuh. Raut wajahnya berubah cemas, Nalu tidak akan mampu mengalahkan Naruto. Hewan mitologi itu pasti akan mati. "Pergi dari sini, Nalu! Pergi!"

Monster itu menggeleng keras, mata hijaunya menyipit tajam ketika Naruto melompat untuk menyerang. Tebasan pedang bertemu dengan ekor tebal Noch Less, dengan kuat monster itu mengayunkan ekor untuk melempar Naruto. Pemuda itu memang terlempar tetapi dengan cepat kembali melompat dan berhasil melukai monster legenda itu.

Raungan kesakitan terdengar, darah mengalir dari luka sayatan. Namun Nalu masih bersikukuh untuk melawan Naruto. Monster itu akan melakukan apa saja demi melindungi Hinata yang tengah menatapnya dengan cemas.

Naruto memberikan pukulan telak di kepala Nalu dan pemuda itu berhasil menjatuhkan sang monster danau Kaspia. Mata hijau Nalu bertemu dengan mata perak Hinata, menatapnya dengan rintihan pelan. Bagai gerakan lambat, ketika Naruto menarik pedang, bersiap menghunus jantung Nalu, monster Noch Less itu merendahkan suaranya hingga terdengar seperti sebuah kalimat.

"Ma...ma...,"

Hinata berteriak sejadinya dengan tangan yang terulur di depan Nalu ketika pedang berlapis api itu menghunjam jantung sang monster. Mata hijau Nalu perlahan menutup dan kepalanya terkulai lemas di atas lantai marmer.

Waktu seakan berhenti berputar dengan Hinata sebagai titiknya. Gadis berusia sembilan belas tahun itu seakan dipaksa untuk kembali mengingat bagaimana ia pertama kali bertemu dengan Nalu. Tiga tahun lalu ketika Hinata masih seorang pelajar, penyendiri, tidak mampu berbaur dengan lingkungan sekolah. Kala itu, ia menghabiskan waktunya di tepi danau Kaspia, menemukan sebuah telur dengan kerak bebatuan yang berpendar indah. Telur yang tak lama kemudian menetas, dan mempertemukannya dengan Monster Noch Less dari danau Kaspia.

"Bukankah itu monster legenda Noch Less? Kau yang merawatnya?! Itu sangat keren!"

"Hei, boleh aku ikut merawatnya? Oh perkenalkan, namaku Naruto!"

"Rasanya kita seperti keluarga, kau, Nalu, dan aku. "

"Ka-kau tahu..., aku tidak keberatan jika lulus nantipun tetap di sampingmu."

"...Aku mencintaimu Hinata."

Hinata merasa ada sesuatu dalam dirinya yang retak, hancur berkeping-keping. Membawa air mata kembali mengalir dengan isakan yang perlahan berubah menjadi tangisan. Hinata menangis sejadinya, meluapkan kemarahan dan kesedihannya.

Suara ketukan sepatu terdengar menghalau tangisan Hinata. Berjarak tiga langkah, seorang wanita muda berambut putih keabu-abuan terlihat menatapnya dalam diam. Gaun abu-abu yang dikenakan wanita itu terlihat kumal dengan beberapa bercak darah, tetapi tidak mengurangi kecantikan wanita itu. Sebuah Mahkota dengan batu merah menghiasi kepalanya, memberitahu bahwa dialah sang Ratu.

"Kau! Biarkan neraka mengutukmu!"

Hinata berdesis pelan, menatap nyalang wanita di depan. Perempuan itu adalah sumber dari kehancuran ini, dia adalah Ratu dari daratan malam. Seandainya saja dia tiada, maka semua ini pasti tidak akan terjadi. Hinata tidak akan kehilangan keluarga, teman-temannya, Nalu bahkan Naruto.

Bibir merah wanita itu menarik sebuah senyum sinis, lalu ia tertawa. Bagai wanita gila, tawanya menggema di reruntuhan kastil Aralle. Membelah malam dingin dengan kengerian yang kian menjadi.

"Haa..., sangat lucu." Wanita itu memutar bola matanya jengah. "Neraka bahkan sudah mengutuk bangsa kami sejak dunia terbentuk, karena kami kaum Iblis."

Perempuan dari kaum Iblis itu membalas tatapan Hinata. Seakan menikmati setiap rasa benci, dengki, dan amarah yang menguar dari tatapan sang gadis. Wanita itu kemudian berbalik, gaunnya yang berkibar pelan seakan mengeluarkan aura keanggunan. Langkah perempuan itu berhenti di depan singgasana raja, ia duduk di sana dengan tatapan puas.

"Kali ini biarkan aku mengutuk kalian wahai kaum manusia. Rasakanlah bagaimana Neraka yang sesungguhnya, agar kalian mengerti perlakuan bejat kalian terhadap kaum Iblis."

Mata perak yang serupa dengan Hinata itu berubah kosong dan dingin. Menampilkan raut datar dengan aura kebencian yang menusuk hingga ke tulang. Hinata tahu, ajalnya telah tiba ketika perempuan itu membuka mulut.

"Habisi dia!"

Naruto bergerak mendekat dengan genggaman pedang yang mengerat. Pria itu setengah berlutut di hadapan Hinata. Menatap sepasang mata perak dengan rupa lautan dalam, gelap, dan tak tersentuh.

Tangan putih penuh luka itu terangkat, membelai pelan pipi kecokelatan di depannya. Hinata tersenyum miris, jika saja waktu dapat diputar kembali. Jika saja dewa mau memberinya kesempatan kedua, Hinata akan mempertaruhkan segalanya agar takdir kejam ini tak terjadi.

Dalam sekali hentakan, hunusan pedang menembus kulit dan menarik nyawa pemilik raga. Hinata memuntahkan darah segar tanpa melepaskan tatapan pada Naruto. Untuk terakhir kali, biarkan dirinya mengatakan perasaannya. Bukan sebuah salam perpisahan, melainkan harapan agar kelak mereka bertemu kembali.

"...Sampai jumpa lagi, Naruto-kun."

Hembusan napas terakhir pergi bersama angin malam. Tangan yang semula memberi rasa hangat di pipi kini jatuh terkulai, tanpa sempat menyeka air mata yang jatuh tiba-tiba dari sepasang mata biru laut itu.

Rembulan yang semula tertutup awan hitam, kini muncul dan menyinari punggung Naruto. Menampilkan rasa sepi dan kesedihan ketika jiwa anak adam itu memeluk erat tubuh tanpa nyawa dalam pelukannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kegelapan menelannya dengan rasa dingin pada sekujur tubuh. Berat, tubuhnya bagai tertimpa monster Golem hingga ia bahkan tak mampu merasakan ujung jari. Satu hal yang ia ketahui, saat ini dirinya tengah tenggelam dalam ruang hampa tanpa dasar. Sampai hentakan terasa mengguncang tubuhnya, memaksa untuk membuka kedua mata.

"Uhuk! Haa... haa..."

Langit-langit kamar berwarna kelabu dengan lampu gantung kristal yang tidak asing. Telapak tangan yang bertemu dengan kain selembut sutra. Aroma bunga lavendel yang selalu membuatnya rileks. Hyuuga Hinata mencoba duduk dan memerhatikan sekitar. Kepalanya terasa pening, seakan ia baru saja bangun dari tidur panjang.

Suara pintu kamar yang diketuk sebelum terbuka mengalihkan perhatiannya. Seorang pria muda memasuki kamar dengan pakaian serba hitam khas butler. Ia membawa nampan berisi roti serta seteko teh beraroma melati.

"Selamat pagi, Nona Hinata."

"..., Kou...-san?" jujur saja, Hinata tidak tahu harus terkejut atau terharu di saat yang bersamaan. Pengasuh sekaligus pelayan pribadinya kini berdiri di depan, tanpa luka menganga di dada seperti terakhir kali Hinata ingat.

"Ada apa Nona? Mengapa tiba-tiba Anda menangis?" Kou segera menaruh nampan, menghampiri ranjang tempat sang tuan yang kini menatapnya sambil menangis. "Apakah ada yang sakit?"

Hinata menggeleng pelan, ia segera menyeka air matanya dan tersenyum manis. "Aku hanya bahagia melihatmu baik-baik saja."

Mimpi atau bukan, kenyataan atau tidak, Hinata tetap bersyukur dapat melihat pria itu dalam keadaan baik. Walau ia tidak mengerti mengapa mimpi ini terasa nyata, terutama ketika seluruh panca indranya dapat merasakan segalanya dengan jelas.

"Apakah Nona bermimpi buruk, karena rasa gugup menjelang hari penerimaan murid baru Akademi Beauxbaton?"

"Eh?"

"Nona tidak perlu cemas. Nona adalah putri dari Duke Hyuuga Hiashi. Bahkan dikabarkan jika saja Raja Hasirama memiliki putra, maka sudah dipastikan Nona akan menjadi kandidat permaisuri. Menghadiri upacara penerimaan murid baru bukanlah hal besar untuk Nona Hinata." Kou berujar dengan penuh semangat dan memasang raut bangga.

Sementara itu Hinata berulang kali mengerjapkan mata. Mencoba memroses apa yang baru saja ia dengar dari celotehan butler pribadinya.

"Kau bilang apa barusan?"

"Nona Hinata pasti menjadi kandidat permaisuri?"

"Tidak, yang sebelumnya!"

"Gugup karena penerimaan murid baru Akademi Beauxbaton?"

Hinata menarik napas, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Dirinya sudah lulus dari akademi tiga tahun yang lalu. Omong kosong macam apa ini?! Hinata segera menyibak selimut berwarna coklat muda itu dan berlari menuju cermin berdiri yang terletak disudut ruangan.

Hinata menatap pantulan dirinya di cermin, gadis itu kembali terkejut ketika mendapati wajahnya yang tirus kini berganti dengan pipi gembil kemerahan. Rambut biru gelapnya yang panjang, kini hanya di atas pinggang. Serta aura kedewasaan seorang wanita muda kini berganti dengan sosok gadis remaja. Bahkan tubuhnya juga seakan menyusut kembali. Badannya terlihat lebih kecil dalam balutan baju tidur terusan berwarna putih.

Hinata mencubit pipinya keras-keras. Sakit, bahkan berdenyut. Itu berarti ini bukanlah mimpi, melainkan kenyataan. Hinata kembali berlari, kali ini membuka jendela besar. Mata peraknya bertemu dengan langit cerah serta perkebunan mansion Hyuuga yang asri.

"De-dewa pasti bercanda..." Hinata bergumam pelan.

.

.

.

Continue...