Disclaimer: BoBoiBoy (c) Monsta
Warning: Typo(s), feel kurang terasa
Didedikasikan untuk #HBDOurHero
.
.
.
Lembutnya embusan angin malam menerpa wajah dengan sesekali menerbangkan helaian rambut. Bertemankan sepi aku berdiri di balkon seraya meratapi kesepian dan ketidakadilan dalam hidup ini.
Dinginnya udara bahkan masih lebih baik daripada perlakuan keluargaku sendiri yang sudah terlampau dingin dan membeku.
Kuharap semuanya kembali seperti dulu, saat kehangatan masih memeluk keluarga ini.
Semoga hati beku mereka dapat mencair.
.
.
Tiba-tiba suara ketukan pelan pada pintu kamar membuyarkan lamunanku. Biar kutebak, pasti itu Bibi Nilam.
"Tuan Muda, waktunya makan malam," panggil seorang pelayan. Wanita yang sudah kuanggap sebagai seorang ibu. Dia juga yang mengasuhku sejak dulu. Tatapannya begitu lembut, berbanding terbalik dengan mata Bunda yang setajam pedang.
"Bibi tahu saja kalau aku sedang lapar," candaku seraya mengusap perut. Walau pada kenyataannya, napsu makanku berkata lain.
OoO
Hidangan yang tersaji sama sekali tak mengunggah seleraku. Saat menyiduk sup yang masih berkepul, tiba-tiba Api merebut sendok sayur dari tanganku. Sehingga tumpahan sup panas tak terelakan mengenai tangannya, sedikit.
"Aw! Kau ini kenapa, sih?!" sentaknya dengan tatapan garang.
Bunda segera menyambat tangan Api. "Aduh … Mana yang sakit, Sayang?"
Sedangkan tangan Ayah sudah terkepal kuat menahan amarah. Matilah kau, Air. Habis sudah, alamat aku yang disalahkan.
"Cepat minta maaf!" perintah Ayah dengan lantang.
"Tapi bukan aku—"
"Minta maaf!"
Padahal itu bukan salahku, salah Api yang tidak sabaran menunggu giliran.
"Maafkan aku." Terpaksa aku mengalah.
Tak adakah yang sadar? Aku yang juga kena tumpahannya tadi, bahkan lebih banyak dari Api.
Hilang sudah selera makanku karena terlanjur kesal. Dengan cepat aku beranjak kembali ke kamar, menyampingkan perut yang terasa perih serta tumpahan sup panas barusan.
Memang apa yang kuharapkan, sih? Percuma saja aku berharap. Mereka peduli lalu mengasihaniku hanya dalam mimpi semata, mustahil.
.
.
.
Hari baru mulai tersingkap. Tidurku tak begitu nyenyak, mungkin karena memaksakan diri terlelap dalam keadaan perut kosong. Akibatnya aku bangun mendahului sebelum ayam berkokok.
Hawa dingin yang masuk dari sela-sela ventilasi terasa menusuk kulit. Kembali tidur pun rasanya percuma, aku sudah sepenuhnya sadar.
Sudahlah, lebih baik mandi dan bersiap diri. Lagi pula semalam aku lupa tidak mempersiapkan untuk ulangan hari ini. Mumpung ada waktu sebelum berangkat sekolah, setidaknya bisa kugunakan untuk belajar sebentar.
~oOo~
Pagi ini aku tidak berniat untuk sarapan, tapi aku tetap ke dapur untuk menemui Bibi Nilam. Saat kuhampiri, ternyata sedang menyiapkan bekal untukku. Tahu saja kalau aku tidak mau sarapan.
Benar-benar seperti sosok ibu.
"Jangan lupa dimakan, ya, Tuan Muda. Bibi takut Tuan Muda pingsan lagi di sekolah." Tak sungkan dia mengusap kepalaku lembut. Seperti inilah Bi Nilam, selalu mengkhawatirkan diriku melebihi keluargaku sendiri.
"Masakan Bibi kan enak, mana mungkin tidak aku habiskan, hehehe…"
Setelah itu aku pamit berangkat sekolah. Berbeda dengan Api yang diantar oleh sopir atau kadang kali oleh Ayah, aku terbiasa berangkat sekolah dengan naik bus.
Meski kita kembar, tapi kita berbeda sekolah. Api sengaja Ayah daftarkan di sekolah favorit, sedangkan aku hanya bersekolah di SMA biasa.
Selalu saja diperlakukan berbeda.
oOo
Jadwal ulangan hari ini adalah Matematika dan Bahasa Inggris. Untuk hitungan, aku merasa agak kesulitan dan jujur saja tak begitu kusukai pelajaran yang berhubungan dengan angka. Membuat pusing saja.
Lain cerita kalau Bahasa Inggris, dalam beberapa menit kertas jawaban sudah terisi penuh. Karena memang dari kecil aku sudah menyukai bahasa Inggris dan sedikit-sedikit mulai mempelajarinya. Memang sih aku tidak langsung bisa, tapi karena ada tetangga baik hati yang mengajariku. Sayangnya mereka kini sudah pindah ke London dengan membawa anaknya sekali, Yaya.
Meski sulit, selama ulangan berlangsung, aku berusaha untuk menjawabnya sebaik mungkin. Siapa tahu dengan aku dapat juara kelas, akan ada kalimat pujian yang terdengar di telingaku.
.
.
Dalam keluarga itu seharusnya saling mendukung, bukan? Saking lamanya waktu berlalu, aku tak ingat kapan terakhir kali mendapatkannya. Mau itu sedang drop ataukah sedang dalam kesenangan.
"Bunda untuk kali iniii saja, bisakah Bunda datang ke sekolahku untuk pengambilan raport?" pintaku penuh pengharapan.
"Kau lupa, Air? Bunda harus ke sekolah Api, kalian kan beda sekolah," tutur Bunda datar.
"Kalau Ayah?"
Ayah yang tengah membaca koran pun tak memalingkan fokusnya padaku. "Tidak bisa, aku ada rapat penting di kantor. Biasanya juga sama Bibi Nilam. Jangan jadi manja!"
~oOo~
Teman-teman sekolah tak ada yang menahu tentang Ayah dan Bunda. Mereka juga tak mempertanyakan siapa yang mewakiliku— Bi Nilam untuk pengambilan raport.
Kendati begitu, aku berhasil meraih rangking 1.
Sayangnya sampai rumah tak ada sambutan, mereka tertawa lepas tanpa mengindahkanku. "Aku dapat rangking1, loh."
"Oh …"
Hanya begitu?
Aku hapal kok kalau Ayah juga datang ke sekolah Api, tidak ada namanya rapat penting. Semua demi dia, saudara kembar dengan satu ginjal. Benar, semua kemanjaan milik Api karena dia sering sakit-sakitan.
"Juara paralel di sekolahmu sama saja dengan rangking terendah di seluruh angkatan sekolahku," ejek Api kemudian tergelak keras, layaknya ucapanku sebuah lelucon.
Ia kemudian berdiri dengan gaya menantang. "Ingat, ya! Aku tidak mungkin kalah dari pecundang sepertimu."
"Lebih pecundang mana dengan orang yang rutin ke rumah sakit?" balasku tak kalah berani.
"Air, jaga ucapanmu!"
Aku kecewa, benar-benar kecewa karena semua prestasi yang ku raih tak pernah dihargai sama sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidakadilan ini. Aku tidak keluar kamar. Selama dua hari pun tak ada yang peduli. Semua orang di rumah hanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tak terkecuali Bi Nilam yang hampir setiap jam membujukku untuk keluar.
.
.
Di hari ketiga aksi diamku di kamar, tiba-tiba rumahku terdengar suara yang sangat kukenal. Ternyata hari ini, keluarga Yaya sudah tiba di Kuala Lumpur untuk berlibur bersama keluarga kami.
"Yaya? Aku merindukanmu," ucapku dengan tertunduk lesu di kamar.
Aku keluar kamar untuk menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku sia-sia, semua orang telah membenci dan menjauhiku. Aku sendirian di rumah, Bi Nilam pulang ke kampung karena anaknya sakit. Sedangkan yang lain sedang makan malam di hotel.
Dan aku? Tertinggal di sini.
.
.
.
Sarapan pagi kali ini ada tambahan anggota, tidak lain bersama keluarga Yaya. Dua pasang orang tua kini sangat asyik berbincang dengan topik 'Api dan Yaya'. Mereka terus membanggakan anaknya. Dan aku menulikan diri dan melahap terus roti berselai cokelat.
Persetan dengan mereka, aku terlanjur sakit hati. Sikap tak acuh Yaya kemarin membuatku terluka. Padahal dulu kita betiga— dengan Api —begitu dekat dan sering bermain bersama, tidak ada namanya mengasingkan di antara kami. Oh iya, itu 'kan dulu.
Kunyahanku terhenti mendengar rencana perjodohan Api dan Yaya. Padahal aku juga ada rasa pada gadis itu. Orang yang kusayangi pun kau rebut juga, Api. Kenapa tidak kau sekalian rebut nyawaku kalau begitu? Biar semuanya jadi milikmu.
~oOo~
Hari yang ditunggu akhirnya tiba, perlombaan renang tingkat nasional. Aku terpilih menjadi perwakilan dari sekolah.
Berharap ada yang hadir melihatku, tapi hasilnya nihil. Lagi-lagi Ayah dan Bunda lebih memilih datang ke pertandingan sepak bola Api. Tak apa, akan kubuktikan bahwa aku juga bisa berprestasi meski tak ada dukungan.
Walau sainganku berat, aku tak mau menyerah begitu saja. Setidaknya jangan sampai mengecewakan diriku sendiri.
.
.
Riuh tepukan tangan terdengar saat aku naik ke podium paling atas, juara satu. Wajah para penonton berhiaskan senyuman sumringah. Benar, aku berhasil menjuarai perlombaan renang gaya bebas. Di sini aku merasa begitu dihargai.
Namun, sampai di rumah suasananya jadi berubah. Saat kuletakkan foto keberhasilanku di lemari kaca ruang tamu, Api langsung mendorongku disertai tatapan penuh benci dan berlalu pergi ke kamarnya. Aku hanya mengernyit heran. Memang apa salahku?
Ayah dan Bunda yang datang bersama Api langsung memarahiku tanpa tahu apa sebenarnya kesalahanku. Karena biasanya mereka tidak menghiraukanku.
"Kau sengaja meledek Api, 'kan?" tanya Ayah sinis.
"Bukan begitu, Yah! Maksud Ayah apa, sih?" tanyaku tak mengerti.
"Api kalah, sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu di ruang ini. Kamu tahu kan bahwa di ruang ini hanya foto-foto keberhasilan Api yang boleh menempatinya?!" jawab Ayah yang membuatku sangat kecewa.
"Lepas fotomu!" ucap Bunda ketus padaku.
Kulepas foto yang sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yang sejak dulu selalu ku inginkan. Karena aku selalu iri di setiap Api dipuji dan disanjung oleh Ayah dan Bunda, serta semua tamu yang pernah berkunjung ke rumah. Sekarang pertanyaan terbesarku adalah,
'Apakah aku anak kalian? Ayah? Bunda?'
Pertanyaan yang tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidakadilan.
.
.
.
Hari demi hari terus berganti dan semenjak itu pula Api menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah di pertandingan sepak bolanya. Yang kutahu, saudara kembarku ini terlihat lemah dari biasanya. Diam tanpa terdengar lagi tawa sarkasnya.
"Tahun depan kan masih bisa dicoba lagi, Api. Mungkin kali ini bukan waktunya," hiburku di sela lamunan panjang itu.
Namun, Api berbalik menatapku nyalang. "Kau senang, 'kan, aku kalah begini?!"
"Sama sekali aku tidak bermaksud seperti itu," elakku berusaha tetap tenang, jangan sampai ikut terbawa emosi.
"Sudahlah, lebih baik kau per—"
Ucapan Api terpotong karena ia jatuh pingsan tepat di hadapanku.
"Api, hei Api! Bangun!" Kutepuk pipinya pelan, namun ia tak kunjung sadar. "Ayah! Bunda! Api pingsan!"
Mendengar teriakanku, mereka berdua langsung memboyong Api ke rumah sakit, aku pun ikut.
Kumohon bertahanlah, Kakak.
~oOo~
Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahun kami berdua. Aku takut kehilangannya, saudara kembar yang sangat aku sayangi sekaligus kubenci. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Ginjalnya hanya tinggal satu setelah setahun yang lalu sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.
"Hanya saudara kembarnya yang ginjalnya cocok dengan Api jadi usahakan dengan secepat mungkin diadakan pencangkokan ginjal, Pak," beritahu dokter pada Ayah.
Setelah itu, aku menjadi sasaran semua orang yang menyayangi Api. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu ginjal padanya. Niatku sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua ginjalku padanya, tapi aku tak ingin mereka tahu semuanya. Karena aku tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yang telah memberikan satu ginjal pada saudaraku. Aku hanya ingin kasih sayang yang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku mendapatkannya.
"Ah, sudahlah Air, kamu memang saudara yang kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yang berbaik hati yang mau menyumbangkannya pada Api," ucap Ayah.
"Aku kecewa sama kamu, Air. Tega, ya, kamu sama kakak kamu sendiri," ucap Yaya dengan kecewa padaku. Dia dan keluarganya langsung ke rumah sakit mendengar kabar bahwa Api pingsan.
"Siapa yang mendonorkan ginjalnya, Yah?" tanya Bunda.
Senyuman lemah menghiasi wajah Ayah. "Entahlah, pendonor itu tidak mau diberitahu namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan gratis pada Api. Dia benar-benar berhati malaikat," jawab Ayah.
'Andaikan kalian tahu bahwa itu aku? Apakah aku akan diberikan penghargaan oleh Ayah?'
~oOo~
Beberapa jam sebelum operasi pencangkokan dilakukan, aku menulis sebuah surat untuk semua orang yang aku sayangi di kamar. Entahlah, aku merasa akan meninggalkan mereka semua. Rasanya aku sangat lelah dengan hidupku sendiri. Setelah selesai, surat itu aku titipkan pada Bi Nilam. Aku pun berangkat menuju rumah sakit untuk segera menjalani operasi.
Ruang itu terasa begitu menakutkan. Semua benda yang kulihat hanyalah jarum suntik dan gunting. Alat-alat yang terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu ke ruang ini, agar tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Posisiku dan Api dipisahkan oleh dinding pembatas. Hingga akhirnya aku dibius, dan kurasakan semuanya gelap.
.
.
Beberapa hari kemudian...
"Akhirnya kamu sembuh juga, Sayang. Bunda khawatir sekali sama kamu semenjak kamu di operasi. Untung ada pendonor itu," ucap Bunda dengan penuh kasih sayang.
"And Happy Bithday Api ! !"ucap semua orang serentak.
"Makasih, ya, semuanya, aku senang sekali. Oh ya, Air mana, Bun? Entah kenapa Api kepikiran dia terus. Hari ini 'kan ulang tahun kami," sahut Api.
"Iya, ya? Mana dia, Bi?" tanya Bunda pada Bibi Nilam.
"Sebentar, Nyonya," jawab Bi Nilam dengan berlalu menuju kamar Air.
Beberapa saat kemudian sudah tiba dengan membawa sepucuk surat.
"Ini surat dari Tuan Muda Air sebelum pergi." Bi Nilam menyerahkannya dengan bergetar serta mata penuh kesedihan.
Walau agak heran, Bunda membacanya dengan agak keras.
~Let Me Go~
Untuk semua orang yang sangat Air sayangi
Mungkin saat kalian baca surat ini Air gak ada lagi di sini. Air udah pergi ke tempat yang sangat jauh. Oh ya, gimana kabar Api? Tidak sakit lagi, 'kan? Semoga ginjalku dapat membantumu untuk meraih semua mimpi-mimpi yang belum terwujud.
Teruntuk AYAH yang SANGAT KU RINDUKAN
Bagaimana, Yah? Rumah kita sudah tenang belum? Tak ada yang tidak sopan lagi, 'kan? Oh, pasti tidak ada dong, ya? Ya iyalah, Air si pembuat onar kan sudah pergi.
Teruntuk BUNDA yang SANGAT-SANGAT KU RINDUKAN
Bun, Air pasti akan sangat rindu dengan Ochobot, boneka robot pemberian Bunda lima tahun yang lalu. Bun, Air rindu sekali pelukan Bunda. Air selalu iri saat Bunda hanya mencium Api saat ia tidur. Air iri melihat Bunda yang selalu menyemangati Api di saat ia sedang sedih. Air iri dengan semua. Perhatian yang Bunda berikan pada Api. Air sangat iri.
Teruntuk saudara kembarku, API.
Gimana, Kak? Gak ada lagi 'kan yang ganggu belajar? Tak ada lagi yang nyetel musik keras-keras di kamar? Pasti rumah kita tenang ya, pastinya gak ada lagi yang akan membuat kamu malu karena punya saudara yang bodoh kan? Oh, pastinya. Oh ya, SELAMATA ULANG TAHUN YA, KAK API. SELAMAT MENJALANI UMURMU KE-16 TAHUN.Yang mungkin tak kan pernah aku rasakan.
Kalian semua harus tahu, betapa AKU SANGAT MENYAYANGI KALIAN. Mungkin dengan kepergianku, semuanya akan tenang dan rumah kita menjadi tenteram. Air harap tak ada lagi yang terkucilkan seperti Air. Yang selalu menangis setiap malam. Yang selalu merindukan hangatnya kekeluargaan. Mungkin dengan kepergian ini, aku akan tahu bagaimana kalian mengenangku. Seperti aku mengenang kalian dengan tangisan... SEMOGA KALIAN BAHAGIA TANPA AIR, AAMIIN
Salam rindu penuh tangis bahagia.
- BoBoiBoy Air.
.
.
Semua yang mendengar menangis. Mereka bertanya-tanya pada Bi Nilam di mana Air. Namun, tiba-tiba telepon rumah berbunyi...
"Iya, dengan saya sendiri. Ada apa, ya?" tanya Ayah dengan penasaran.
Dan sesaat kemudian air mata Ayah mengucur deras dan segera mengajak anggota keluarganya ke rumah sakit. Dan mereka terlambat. Air telah pergi untuk selama-lamanya. Dan meninggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yang jatuh. Kini ia telah tenang dan jauh dari ketidakadilan selama hidupnya. Walau air mata tengah menangisinya yang telah pergi untuk selama-lamanya ...
The End
.
.
.
Sudah tamat, oke. Beneran TAMAT ini. Gak percaya gitu? Siapa yang gak percaya? Yok gelut lah! /ga
Memang sudah sampai sini akhir ceritanya. Sedih, 'kan? Apalagi hasil dari re-make ff dulu, sedih, 'kan? /ditendang
Makasih udah baca sampai sini, padahal masih nunggu ada next part-nya ya? /ngarep!
Tapi boong 'w'
Publish: 30 Maret 2020