"Euphoria"

A story by Fureene Anderson

AU! Taufan B. X Yaya/Friendship for #DailyDrabbleChallenge

.

Boboiboy is own of Monsta Studios

.

Happy reading~

.


Melempar mie cup ke dalam keranjang, Yaya kembali membaca daftar belanjaan di ponsel, mencocokkan apakah yang dibelinya sudah benar. Karena ibunya pasti akan rotes meski produk yang ia beli hanya berbeda merk.

"Yaya!"

Dalam kerumunan wanita-wanita yang mendorong troli penuh belanjaan, Yaya menoleh. Senyumnya segera terkembang begitu seorang pemuda mendekat dengan cengiran lebar khasnya.

"Kok kamu baru dateng?" tanya Yaya, sedikit protes karena ia telah menunggu Taufan selama lima belas menit.

"Iya, Fang sama Gopalnya rese," adu Taufan. "Ngomong-ngomong kok kamu belanja bulanan lagi sih? Bukannya baru dua minggu sejak kita belanja di supermarket yang baru buka itu, kan?"

"Yah, kamu tau keluarga aku kayak gimana. Apalagi kalau menyangkut biskuit. Karena permintaan semakin banyak, belanjaan yang harusnya jadi satu bulan habis dalam dua minggu."

Taufan sedikit bergidik mendengar kata biskuit. Tangannya menggaruk tengkuk canggung. Ia tak ingin mengeluarkan keringat dingin jadi lebih baik baginya untuk mengganti topik.

"Ok, biar aku yang dorong trolinya." Pegangan troli segera diambil alih, tanpa sadar memunculkan senyum tipis dari si penguasa sebelumnya. Taufan mengamati produk-produk yang tata letaknya tak beraturan. Wajahnya segera bersemu merah menemukan dua kotak pembalut dengan sampul berwarna biru.

Berdecak. "Ya, kenapa kamu harus taruh itu di atas sih?"

Yaya yang sedang membaca komposisi detergen, menoleh. "Apa?"

"Ituu!" Taufan masih tak ingin melihat ke dalam keranjang.

Yaya mengernyit, namun segera memeriksa keranjang. Tawa kecil segera lolos dari bibirnya menyadari apa yang telah membuat Taufan salah tingkah. "Oh, ini. Oke, biar aku pindah ke bawah ya?"

Taufan menunggu beberapa lama, sampai akhirnya gadis itu berkata selesai. Ia kembali menoleh, namun Yaya justru melempar deterjen ke dalam keranjang. Gadis itu kemudian mengisyaratkannya untuk berjalan selagi mereka memilah produk-produk yang ada di estalase.

"Ma, mau es krim yang bentuknya ikan!"

"Kalau Mika mau yang banana, Ma!"

Dua orang anak kecil merengek di tengah keramaian. Taufan dan Yaya terpaksa berhenti di salah satu lorong karena ibu dan sepasang anak itu menghalangi jalan mereka.

"Sebentar sayang, Mama lagi milihin vitamin buat Papa," sang ibu yang membaca khasiat vitamin dari bungkus belakang berusaha menunda untuk peduli pada rok yang ditarik-tarik sang anak. "Coba minta sama Papa, ya? Papa kemana?"

"Papanya lagi asik sendiri tuh ma, kita dicuekin dari tadi."

Lalu terjadi tanya jawab antara sepasang anak dengan sang ibu. Si anak yang terus membujuk sang ibu untuk membawa mereka ke estalse es krim hingga induknya menyerah dan asal melempar vitamin ke dalam troli.

Sebenarnya bukan menghalangi, hanya saja Yaya tahu Taufan suka anak kecil. Terutama interaksi anak-anak dengan orang tuanya. Kata Taufan mereka yang sebenarnya masih gumpalan daging terlihat imut saat merengek. Terbukti begitu Yaya menoleh padanya, cengiran Taufan terlihat jelas meski di mata orang normal kejadian seperti tadi seharusnya bukanlah kejadian yang istimewa.

"Udah perhatiinnya?" Yaya mengangkat sebelah alis, ikut tersenyum karena senyum Taufan tak kunjung hilang.

"Oh, udah," Taufan mengangguk, lanjut mendorong troli. "Lucu banget ya mereka? Kembar cewek lagi. Mama Papanya pasti betah banget di rumah karena punya anak-anak lucu yang cantik-cantik lagi."

"Yaiyalah, mau cantik atau nggak, yang namanya orang tua selalu senang di rumah karena anak-anak mereka," sahut Yaya

"Tapi nggak semua, Ya. Ada juga orang tua yang justru cari alasan buat nggak ada di rumah karena mereka beranggapan kalau ngurus anak itu ngerepotin. Padahal moodbooster banget, iya nggak?"

"Kalau gitu berarti orang tuanya nggak bener," sahut Yaya. "Kecuali kalau memang ada tuntutan buat nggak di rumah karena harus cari nafkah."

"Nah itu maksud aku!" Taufan mengangguk antusias. "Tau nggak kenapa sekarang ini justru banyak orang tua yang sengaja nitip anaknya ke Day care?"

Dan Taufan kembali kepada penjelasan panjang lebarnya soal anak-anak. Dari mulai orang tua yang tak ingin bertanggung jawab sampai ke kasus penculikan atau perundungan anak. Peran pemerintah hingga pihak-pihak yang tak bertanggung jawab lalu kembali pada perjuangan para pahlawan yang mengerahkan pemuda untuk ikut andil dalam perang.

Jika di kelas, penjelasan panjang tentang sejarah hanya akan jadi satu hal yang membosankan. Hanya saja lain jika Taufan yang menjabarkannya. Laki-laki itu punya skill public speaking yang bagus. Kata-kata yang keluar dari mulutnya akan terdengar begitu lancar dan meyakinkan.

Satu dari hal yang Yaya suka dari Taufan. Pemudia itu tak pernah kehabisan topik pembicaraan saat bersamanya. Selalu ada hal―walau kecil―yang bisa Yaya dengarkan dan ia jadikan sebagai penambah wawasan.

.

.

.

"Kamu udah hampir lima belas menit ngeliatin telur itu, tau nggak?"

Yaya tidak menoleh meski sudah ditegur, "Sebentar. Aku mau mastiin telurnya punya kualitas yang baik."

Terdengar hela napas dari Taufan. Yaya berusaha untuk tidak tersenyum meski dalam hati sebenarnya ia tertawa.

"Ya, menurut kamu duluan ayam atau telur?"

Pertanyaan tidak penting namun sebenarnya filosofis. Adalah ciri khas seorang Taufan untuk menarik perhatian seseorang agar mau bercengkrama dengannya.

"Telur," sahut Yaya singkat. "Karena ayam nggak akan lahir kalau nggak dari telur."

"Salaaah!" Taufan langsung berseru kelewat antusias sampai-sampai membuat seorang nenek yang lewat menoleh.

Yaya segera meminta maaf dan mendelik.

"Biasa aja kali, nggak usah sampai ribut gitu."

Taufan malah nyengir. "Ya habis nggak biasanya kamu salah, sih. Yaya kan selalu benar karena kamu perempuan."

"Emang bener, kok." Yaya meletakkan satu lusin telur yang sudah dikemas di bawah kereta. "Nggak mungkin ayam lahir kalau bukan dari telur duluan."

"Terus yang bikin telur ayam biar ayam bisa lahir siapa? Dinosaurus?"

Kening Yaya mengermyit dan Taufan tertawa. "Kamu kalau mau jawab pertanyaan itu pakai logika, Ya. Bukan pakai teori. Semua makhluk atau benda yang ada di bumi ini selalu diciptakan dari induk, bukan anak. Mau pohon, atau gunung pasti yang bakal muncul duluan adalah induknya. Termasuk manusia dan ayam. Coba bayangin kalau seandainya manusia pertama diciptain dari sejak bayi, siapa yang bakal ngurus dia sampai besar? Bisa-bisa dia mati duluan sebelum punya anak. "

Yaya tidak butuh waktu untuk mencerna ucapan Taufan karena penjelasan pemuda itu masuk akal. "Oh gitu."

"Iya, gitu Ya. Aku dapet ilmu itu dari Pak Tarung. Meski galak dan nyebelin gitu, tapi pemikirannya bagus," sahut Taufan. "Makannya aku sekarang lagi banyak ikut acara-acara organisasi biar bisa rasional kayak dia."

Yaya mengangguk dan mereka berhenti di estalase buah. "Ya bagus dong kalau kayak gitu. Tapi akademik juga harus kamu perhatiin. Jangan cuma keren di lapangan tapi malah cupu di dalam rumah."

"Ye, nggak semua orang harus jago dua-duanya kayak kamu lagi," cibir Taufan.

"Emang nggak semuanya, tapi lebih bagus kalau emang menguasai dua-duanya, kan?"

Terlihat jelas sekali bahwa pemuda itu tak setuju dengan pendapat Yaya. Taufan baru hendak membuka mulut namun Yaya membungkam kembali kalimatnya dengan menunjukkan dua jenis buah-buahan.

"Apel atau jeruk?" tanya Yaya.

"Buat bikin biskuit? Biasanya kamu pakai apel hijau."

Yaya menggeleng. "Bukan, tapi buat Ying. Dia lagi sakit, kan? Gimana kalau kita jenguk dia sebelum pulang ke rumah."

"Oh boleh." Taufan mengerti. "Kalau buat Ying jeruk aja. Dia kan sukanya jeruk."

"Ok." Mengangguk, Yaya memasukkan beberapa buah jeruk ke dalam plastik sebelum menimbangnya. Gadis itu kembali menata isi keranjang di bawah tatapan Taufan, memastikan agar semua belanjaannya tidak ada yang nyaris jatuh karena kelebihan muatan.

"Nah, udah selesai belanjanya," Yaya tersenyum setelah memasukkan kantung jeruk, ia menoleh pada Taufan. "Makasih karena udah mau nemenin aku hari ini, ya?"

"Apapun buat kamu, Ya." Taufan balas tersenyum. "Tapi aku nggak mau kalau terimakasih-nya cuma ucapan."

"Terus kamu mau apa?"

"Nonton dulu gimana? Abis itu baru kita ke rumah Ying, terus pulang."

"Nonton apa?"

"Ya apa aja, yang penting jangan langsung pulang."

Yaya mengernyitkan kening, berpikir sejenak. Ia mengulas senyum dan mengangguk.

"Asik." Taufan balas tersenyum. "Gitu dong."

.

.

.

Yaya tak bisa menahan senyumnya saat kakinya menyentuh karpet bioskop yang lembut. Taufan tengah mengantre untuk membeli tiket setelah mereka berdiskusi tentang film apa yang sebaiknya mereka tonton. Pilihan mereka jatuh pada film action kesukaan Yaya yang kebtulan baru tayang hari ini. Jadi Taufan terpaksa mengorbankan diri untuk berbaris sementara Yaya memilih untuk duduk seraya memainkan ponselnya.

Satu pesan dari Ying membuat sudut bibirnya semakin tertarik.

"Kamu emang paling bisa, Ya. Segala pakai alasan belanja bulanan padahal sebenarnya kamu cuma mau jalan sama Taufan, kan? Pakai nonton berdua lagi. Hari ini pasti aku bakal tidur malem karena harus dengerin cerita kamu, deh."

Yaya nyaris tertawa namun sadar sedang berada di tempat umum yang banyak orang. Jadi, ia hanya mengernyitkan hidung saat membalas pesan dari Ying.

"Sok tau. Tapi untuk jaga-jaga kamu siap-siap aja."

Ponselnya kembali dimasukkan dalam tas setelah memastikan jaringan datanya mati. Bibirnya terapit. Kebahagiaan itu tergambar jelas di mata dan jantung Yaya yang berdegup cepat.

Padahal ia hanya iseng meminta Taufan untuk menemaninya belanja. Namun siapa sangka mereka justru akan menghabiskan waktu seharian berdua. Walau masih belum ada ikatan, namun Yaya sama sekali tak mempermasalahkannya.

Karena hanya dengan menciptakan kesan-kesan penting dan mengesankan bersama Taufan, hari-hari Yaya akan berjalan lebih menyenangkan.

.

.

Every step i go is a step to you. Take my hands now. You are the cause of my euphoria

_Euphoria by Jungkook BTS_


A/N : Teruntuk Taufan-ku, semoga kamu baik-baik aja. Sedikit dari cerita ini terinspirasi dari kejadi RL.

Akhirnya, drabble di hari ketiga selesai. Kali ini prompt-nya dari Himeedelweis 'Alibi.' Maafkan aku yang menulis hal receh begini padahal sebenarnya ekpetasi kamu tinggi.

Semoga suka, ya?

Kenapa judulnya harus Euphoria? Karena pas bikin fic ini lagi dengerin lagu itu. Case closed.

Fureene.