MOONCHILD
.
.
.
.
.
TAEKOOK
.
.
.
.
(1/2)
.
.
.
.
.
Sorry for typos, enjoy!
.
.
.
.
.
Kerajaan Hufo memiliki tiga komponen penting dalam kehidupan mereka. Kerajaan yang melingkupi seluruh daratan pulau Giru itu tergolong besar, jika dibandingkan kerajaan tetangga di daratan utama. Saat kerajaan lain paling banyak memiliki populasi beberapa ribu penduduk saja, kerajaan yang satu ini dengan percaya diri menampung seratus ribu penduduk dalam satu pulau besar yang semuanya hidup makmur tanpa kekurangan suatu apapun. Semua berkat pemberian alam yang luar biasa dalam pulau yang telah mereka tempati selama berabad-abad itu.
Pertama, gunung Huloco, yang menjadi simbol tak terelakkan kerajaan Hufo. Gunung api terbesar sekaligus titik tertinggi yang ada dalam wilayah kerajaan membuat posisi gunung ini layak dianggap sebagai lambang negara. Dengan mata airnya yang mengalir deras, abu vulkanik yang rutin keluar dari dapur magmanya tanpa henti, dan tanah suburnya yang menyediakan berbagai kebutuhan mineral untuk berbagai jenis tanaman dan ternak.
Lalu, hutan Faro yang mengelilingi kaki gunung juga tak kalah pentingnya. Dengan variasi vegetasi yang ada didalamnya, dan kokohnya pohon-pohon besar disana, membuat penduduk bisa memiliki rumah yang kuat dan kualitas udara yang baik. Belum lagi fauna yang tersimpan didalamnya, mencukupi kebutuhan hidup seluruh penduduk kerajaan Hufo.
Terakhir, sungai Tyo, sungai terbesar di kerajaan Hufo. Hulunya berada di mata air gunung Huloco, dan mengalir turun melewati kerajaan menuju laut lepas di bagian selatan kerajaan. Anak sungainya tak terhingga banyaknya, memasok air bagi tiap desa dan keluarga, memastikan tak ada satu pun penduduk di pulau yang kekurangan air untuk kebutuhan mereka.
Di lembah gunung vulkanik itu, tak jauh dari sungai Haori, salah satu anak sungai Tyo, tepat bersebelahan dengan pintu masuk kedalam hutan Faro, di sebuah desa kecil berpopulasi tak lebih dari tigaratus orang, seorang tukang kayu tinggal.
Orang-orang memanggilnya Taehyung. Dia tinggal sendirian di pondok kayu di ujung paling barat desa, bersebelahan langsung dengan hutan Faro, demi kemudahan mengambil bahan baku kayu, dalihnya. Tidak ada yang tahu siapa orangtua Taehyung dan berapa usia pastinya, dia pertama kali muncul di pasar pagi dalam keadaan kotor dan menangis. Penduduk yang kasihan lalu membawa balita, yang usianya tak mungkin lebih dari lima tahun, itu ke kepala desa. Mereka memutuskan untuk menamai anak itu Taehyung, dan membiarkannya tinggal didesa.
Ketertarikan Taehyung pada ukiran kayu mulai terlihat saat dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam memperhatikan tuan Jobun, tukang kayu desa, bekerja. Tuan Jobun kemudian berbaik hati mengajari Taehyung semua yang dia ketahui tentang kayu, karena yakin Taehyung akan menjadi seorang tukang kayu yang hebat nantinya.
Banyak yang menduga jika orangtua Taehyung meninggal diserang beruang atau binatang buas, dan hanya Taehyung yang selamat. Ada juga yang menduga jika Taehyung sengaja dibuang didekat hutan Faro yang terkenal berhantu karena tak menginginkannya lagi.
Apapun itu, Taehyung tak mau ambil pusing. Dia senang dengan hidupnya saat ini, dan tak perlu memikirkan masa lalu yang bahkan tak bisa diingatnya lagi.
TAK! TAK!
Dentum palu Taehyung mendominasi udara siang itu. Peluhnya membanjiri wajah, dengan kening yang tertaut tajam.
Sudah hampir sebulan ini dia mengerjakan meja ukir pesanan langsung dari nona Hyunji, putri kedua dari keluarga Kim, bangsawan kelas dua di kota. Sang bangsawan mendengar kebolehannya membuat mebel dan mengukir dari beberapa pembeli bangsawan lain yang puas dengan hasil kerja Taehyung. Tak ada permintaan khusus yang terlalu rumit dari sang bangsawan, hanya saja membuat ukiran awan dan berbagai jenis unggas membutuhkan tingkat konsentrasi dan ketelitian yang lebih dibanding ukiran geometris yang biasa dibuatnya.
"Taetae! Taetae!"
Suara nyaring khas anak-anak menghampiri telinganya. Taehyung menghentikan kegiatannya mengukir, dan menoleh kearah asal suara.
Seorang perempuan berpakaian hijau menghampiri dengan senyum merekah dan keranjang kosong di tangan kanannya.
"Subin-ah, ada apa?" Taehyung tersenyum kearah sang anak.
"Ibu memintaku mencari beri dan jamur dihutan." Subin menjawab,"bisa tolong temani aku? Aku takut sendirian kesana."
Taehyung terkekeh,"Umurmu sudah sebelas, dan kau masih takut dengan hutan Faro, Subin-ah?"
Memang banyak cerita seram yang meliputi hutan Faro. Seperti arwah pemburu yang mati diterkam beruang dan masih berkeliaran di hutan, atau para kurcaci jahat yang suka mencubiti anak-anak yang bermain dihutan sampai petang. Semuanya adalah cerita yang dikatakan oleh pada tetua desa, dan Taehyung tahu tujuan mereka menceritakan hal itu semata-mata hanya untuk menghindari anak-anak untuk tidak bermain terlalu jauh di hutan, karena takut akan celaka.
Yang lebih muda berdecak,"Oh, ayolah. Aku janji akan bilang pada ibu untuk memberikanmu porsi sup buatannya malam ini."
Senyum Taehyung merekah mendengar tawaran yang Subin ajukan. Semua orang di desa tahu jika sup jamur buatan bibi Hoju, ibu Subin, adalah yang paling lezat di lembah gunung Huloco.
"Antarkan tepat setelah masak, oke?" Taehyung melepas apron kerjanya, kemudian meletakkan palu dan alat ukirnya diatas meja.
"Sekalian saja kau makan dirumah kami. Ibu sering menanyakan kabarmu." Subin membalas.
Keduanya berjalan pelan memasuki hutan Faro, kedua netra mereka sibuk menjelajahi alas hutan, mencari jamur dan semak beri yang dibutuhkan Subin. Terlalu fokus mencari jamur membuat keduanya tak sadar jika telah masuk terlalu jauh ke dalam hutan.
"Huh?" Subin berujar, netranya memicing kearah depan.
Taehyung ikut mengangkat kepala, dan melakukan hal yang sama dengan Subin.
Dia tidak ingat ada padang bunga yang luas di hutan Faro. Sejak kapan padang bunga ini ada disini?
"Taetae?" suara Subin bergetar,"ku-kurasa kita berjalan terlalu jauh. A-ayo kembali." Ia menarik ujung pakaian Taehyung.
"Huh, o-oke." Jawab yang lebih tua dengan sedikit terbata.
Mereka memutar badan, dan kembali berjalan menuju desa. Pikiran Taehyung tak bisa lepas memikirkan bunga-bunga yang tak pernah dilihatnya di tempat tadi.
"Terima kasih sudah mengantarku, Taetae." Subin tersenyum cerah.
"Cepatlah pulang dan bantu ibumu memasak." Taehyung balas tersenyum.
"Kau bisa datang saat makan malam, oke?"
Taehyung mengangguk. Ia melambaikan tangan kearah Subin yang telah berlari menjauh, kemudian kembali masuk ke rumahnya saat sang anak tak lagi terlihat.
Sisa sorenya Taehyung habiskan untuk memoles ukiran pesanan yang telah jadi, milik kepala desa sebelah, tinggal memberi pernis di beberapa tempat, dan besok akan diantarnya ukiran dinding itu sendiri ke desa sebelah.
DOOONG! DOOONG! DOOONG!
Bunyi lonceng malam, menandakan jika patroli malam akan segera dilaksanakan. Sejak terjadinya kasus pencurian ternak dan barang penduduk desa beberapa bulan terakhir, kepala desa memutuskan untuk mengadakan jam malam. Dugaan terbesar saat ini adalah kelompok perampok Kun yang datang dari daratan utama, mencoba menjarah desa-desa terpencil yang tak terjangkau keamanan tentara kota.
Setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci, Taehyung berjalan menuju rumah Subin. Hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya, salah satu tetangga paling dekat, karena pondoknya yang persis berada di batas desa.
TOK! TOK!
CKLEK!
"Taetae! Ayo, masuk. Ibu dan Gongju sudah menunggu dimeja makan." Subin membuka pintu, kemudian menggeser tubuh dan membiarkan Taehyung masuk.
Taehyung tersenyum kearah bibi Hoju, ibu Subin, kemudian membantunya menyusun piring di meja.
Mereka sering makan malam bersama seperti ini, sejak bibi Hoju tahu kebiasaan buruk Taehyung yang suka menunda-nunda makan ketika sedang serius bekerja, dia sering meminta Subin untuk membawa Taehyung makan dirumah. Setidaknya makan malam yang layak akan sedikit banyak membantu gaya hidup Taehyung yang seenaknya.
"Ibu, apa ibu tahu aku dan Taetae menemukan padang bunga yang indah di hutan Faro saat mencari jamur tadi?" Subin membuka percakapan ketika setengah isi mangkuk terlahap.
"Padang bunga?" bibi Hoju mengulang,"aku tak ingat ada padang bunga di hutan Faro."
Ah, Taehyung jadi teringat lagi dengan padang bunga itu. Sempat terlupa dari benaknya saat sibuk bekerja.
"Kami terlalu jauh masuk ke hutan, lebih jauh dari biasanya." Taehyung menambahkan, meski sebenarnya tak yakin dengan jawabannya sendiri.
"Lain kali jangan kalian ulangi." Bibi Hoju menasehati,"hutan itu berbahaya, apalagi saat-saat ini banyak perampok yang mungkin saja bersembunyi disana."
Keduanya mengangguk mengerti.
"Ibu!" kini si kecil Gongju menyeru,"boleh aku tambah?"
Permintaan Gongju dengan suara lucu khas anak kecilnya membuat satu meja tertawa.
.
.
.
Setelah makan malam dan membantu membereskan peralatan makan, Taehyung kembali ke pondoknya. Namun langkahnya terhenti tepat didepan pintu. Pikirannya kembali pada padang bunga aneh itu, yang entah kenapa tak bisa hilang dari benaknya. Seperti ada energi yang menariknya untuk pergi kesana dan menginspeksi lebih detil. Karena sebanyak apapun Taehyung mencoba untuk percaya jika mereka hanya pergi terlalu jauh kedalam hutan, Taehyung tak bisa percaya jika padang bunga itu sudah ada disana sejak lama. Dia sering menjelajahi hutan Faro demi mencari jenis kayu yang cocok untuk ukirannya, dan tak pernah sekalipun ia menemui padang bunga itu.
Dan untuk orang seperti Taehyung, yang tak bisa menahan rasa penasarannya, satu-satunya cara agar dirinya bisa tenang hanyalah dengan menghampiri sumber kegelisahannya itu, yang dalam kasus ini, adalah padang bunga di hutan Faro.
Jadilah dia mengambil lentera dari dalam rumah, kemudian menyalakannya. Ia menunggu sampai petugas patroli melewati pondoknya, kemudian berlari memasuki hutan.
Atmosfer dingin yang menusuk terasa beberapa meter memasuki hutan. Normalnya orang akan merasa takut, memasuki hutan sendirian ditengah malam dengan potensi diserang oleh perampok. Namun tidak bagi Taehyung, dia juga tak mengerti kenapa dirinya tak merasa takut saat ini.
Tap!
Langkahnya terhenti tepat di batas pohon terluar hutan Faro dengan padang bunga itu, lebih indah dari siang tadi. Bunga-bunga yang terhampar disini tampak berkilauan diterpa cahaya bulan.
Bulan.
Astaga, Taehyung tak menyangka bulan purnama bisa terlihat seindah ini.
Terlalu lama menatap bulan membuat lehernya berdenyut nyeri, Taehyung melihat sekitar dan memutuskan untuk berbaring di hamparan bunga itu, agar lebih leluasa menatap bulan purnama, yang untuk beberapa alasan yang tak bisa Taehyung jelaskan, terlihat lebih indah dari biasanya.
"Halo, bulan."
Oke, Taehyung positif terkena ilmu sihir.
"Aku tak sadar ternyata bulan secantik ini." Ia mulai meracau sendirian.
Kalimat-kalimat monolog mengalir lancar dari mulutnya. Berbicara apapun yang ada di benaknya dengan leluasa.
Taehyung memang tak memiliki teman yang sangat dekat sampai dia bisa menceritakan masalah hidupnya. Dan ternyata bicara dengan bulan menenangkan juga, begitu isi benaknya.
Terlalu lama dia bercerita hingga tak sadar tertidur dalam posisi yang tak berubah, berbaring menatap bulan.
Satu desa lantas heboh saat pasukan patroli menemukan Taehyung tak sadarkan diri disana, mereka pikir Taehyung mati. Ternyata hanya tertidur.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Mengunjungi padang bunga di hutan Faro seolah menjadi rutinitas malam barunya. Taehyung sebenarnya juga tak mengerti apa yang begitu spesial dari padang bunga itu sampai-sampai bisa membuat perasaannya nyaman tiap kali berada disana. Berbicara dengan bulan, seaneh apapun kedengarannya, lebih terasa melegakan dibanding berbicara dengan manusia. Atau setidaknya begitu menurut Taehyung.
Terhitung, sudah hampir satu bulan ini ia berkunjung diam-diam ke padang bunga itu. Ya, diam diam. Karena jika warga desa sampai tahu, besar kemungkinan mereka akan mengurung Taehyung karena dianggap dirasuki oleh arwah penunggu hutan.
"Taehyung-ah."
Taehyung sedang mengukur potongan besar kayu mahoni untuk meja makan pesanan bangsawan di kota saat sebuah suara berat yang familiar terdengar dari depan garasi kerjanya.
"Tuan Jobun, ada apa?" Taehyung menatap bergantian sang guru dan seorang laki-laki asing berpakaian bagus yang tak dikenalnya.
"Ini tuan Chanho, dari kerajaan. Dia mencarimu." Tuan Jobun memberitahu.
Kerajaan? Apa yang telah Taehyung lakukan sampai utusan dari kerajaan menemuinya di pelosok desa seperti ini?
"Apa benar anda Taehyung yang membuat meja ukir untuk nona Hyunji?" sang utusan kerajaan bertanya.
Taehyung mengangguk,"Benar, itu aku. Ada apa?"
Sang utusan membuka tas di bahunya, kemudian memberikan gulungan kertas yang tampak resmi.
"Ini adalah permintaan seperangkat meja minum teh untuk putri Haneul." Ia mengumumkan.
Taehyung dan tuan Jobun membolakan mata tak percaya. Dia serius? Hasil karyanya dilirik oleh anggota keluarga kerajaan sekelas putri Haneul? Ini terlalu indah untuk dianggap sebuah kenyataan. Taehyung bahkan tak pernah bermimpi akan hal ini.
"Y-ya?" Taehyung mengulang, masih tak percaya.
Sang utusan meletakkan gulungan itu diatas meja terdekat darinya,"Semua instruksi mengenai model dan ukiran meja yang putri Haneul inginkan ada di gulungan itu. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk membuatnya?"
Taehyung berdeham, dengan tangan gemetar ia mengambil gulungan itu dan membaca isinya. Setelah memperkirakan kerumitan dan bahan kayu yang dia butuhkan untuk membuat pesanan sang putri, juga banyaknya pesanan ukiran yang harus dia selesaikan, Taehyung memberanikan diri menatap sang utusan.
"Dua bulan." Jawabnya pelan.
"Terlalu lama. Buat dalam satu bulan." Sang utusan menolak.
Taehyung menggeleng,"Ini permintaan khusus seorang putri. Hasilnya akan jelek jika dikerjakan terburu-buru. Jika putri Haneul kecewa, bukan hanya aku yang akan di eksekusi, tapi kau juga."
Sang utusan menghela napas,"Dua bulan lagi aku kembali kesini." Ia mengeluarkan satu kantung berukuran sedang dan meletakkannya diatas meja,"ini uang mukanya, sisa pembayaran akan diberikan setelah kau menyelesaikan pesanan putri Haneul."
Taehyung mengangguk kaku.
Tuan Jobun mengantar sang utusan sampai ke pintu masuk desa, dan kembali menghampiri Taehyung yang belum bergerak dari tempatnya.
"T-tuan Jobun," Pupil mata Taehyung bergetar saat menatap sang guru,"a-aku tidak bisa melakukannya."
Tuan Jobun menghela napas, ia menghampiri sang murid dan menepuk pundaknya,"Kau bisa, Taehyung-ah. Kau murid terbaik yang aku miliki."
Taehyung berdecih,"Muridmu memang hanya aku." Ujarnya kesal.
Tuan Jobun tertawa pelan,"Percaya saja dengan kemampuanmu. Aku tahu kau bisa melakukannya."
Taehyung menghela napas, kemudian tersenyum tipis.
"Nah, karena kulihat kau butuh dukungan moral, bagaimana jika kita makan bersama dirumahku? Istriku membuat ayam rebus ginseng."
"Baiklah."
Sekembalinya dari makan malam dirumah tuan Jobun, Taehyung tak membuang waktu dan bergegas mengambil lenteranya. Ia harus meneriakkan berita baik, sekaligus mengerikan, ini di padang bunga pada bulan. Pendengar terbaiknya.
Berlari menyusuri setapak yang sudah dihafalnya diluar kepala, Taehyung nyaris terjatuh saking cepatnya ia melaju. Dengan senyum merekah, ia menghempaskan diri diatas tumpukan bunga warna-warni, yang sampai saat ini masih berkilauan.
"Putri Haneul mengetahui karya ukirku!"
Taehyung tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ditatapnya bulan sabit malam itu dengan wajah berseri bahagia dan binar mata yang tak kalah indah dengan bintang-bintang dilangit, pendamping setia sang bulan.
"Putri kedua di kerajaan Huloco ini, mengetahui karya ukirku." Ia mengulang, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Hahh..." Taehyung menghela napas berat, ia menyeka kedua matanya dengan sebelah tangan.
Sinar bulan diatas, untuk beberapa saat, terlihat lebih bersinar, binarnya berdenyut lembut seperti sedang ikut bergembira atas berita baik yang Taehyung dapat.
"Aku tidak akan kemari untuk dua bulan kedepan." Taehyung melanjutkan,"banyak pekerjaan yang harus kulakukan, dan aku ingin melakukan yang terbaik. Tolong dukung aku, ya."
Napasnya bergerak teratur ketika kedua netranya perlahan menutup. Untuk kedua kalinya, Taehyung tertidur di padang bunga hutan Faro.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hari ini genap dua bulan sejak utusan dari kerajaan datang dan memberikan pesanan paling penting dalam sejarah karir seorang Taehyung. Jika boleh jujur, pekerjaannya telah selesai. Hanya saja, Taehyung tidak percaya diri dengan apa yang telah dikerjakannya selama dua bulan terakhir, ia sampai mengabaikan pesanan ukir yang lain karena tak ingin fokusnya terdistraksi.
Kini yang perlu Taehyung lakukan hanya melapisi seperangkat meja dan kursi itu dengan larutan khusus agar kayu buatannya tidak dimakan rayap, meski Taehyung agak ragu akan ada rayap yang hinggap di kayu sekeras mahoni. Semua peralatan telah lengkap tertata diatas meja, Taehyung bahkan sampai harus rela pergi ke kota lain demi mendapat cairan pelapis kayu terbaik.
Namun sang tukang kayu justru terdiam dibalik meja, menatap kosong kebawah. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
Tuk!
Sebuah batu kerikil mengenai ujung sepatu kirinya, spontan menarik Taehyung kembali pada alam kenyataan. Ia menaikkan kepala, menatap Subin yang kini berdiri tak jauh darinya, dengan satu keranjang anyaman rotan di lengan kiri.
"Oh, Subin? Sejak kapan kau disana?" Taehyung bertanya.
"Sepuluh menit aku berdiri disini." Subin mulai mengomel, kedua alisnya tertaut tajam,"sebenarnya apa yang kau pikirkan sampai harus kupukul batu dulu baru menyadari aku ada disini?"
Taehyung tersenyum canggung,"Maaf." ujarnya singkat.
"Sudahlah," Subin membalas cepat, dengan nada masih merajuk,"pagi ini kami membuat roti bersama. Ibu memintaku memberikan sebagian padamu."
Sang anak meletakkan keranjang rotan yang ternyata berisi beberapa potong roti diatas meja, tepat disebelah tangan Taehyung. Aroma harum roti yang baru keluar dari pemanggang lantas membuat saliva Taehyung mengalir tanpa ia sadari.
"Apakah ini pesanan tuan putri itu?" Subin mengalihkan topik, kini menatap penuh minat kearah sebuah meja dengan empat kursi berukiran rumit ditengah ruangan.
"Ah, ya." Taehyung menjawab singkat.
"Sudah selesai?"
"Belum. Tinggal melapisi kayunya."
"Lalu apa lagi yang kau tunggu? Kudengar utusan dari kerajaan akan datang besok."
Taehyung tak menjawab. Karena memang ia tak tahu jawabannya.
"Kau tidak percaya diri, kan?"
Cuitan Subin membuat Taehyung tersentak, ia menatap Subin dengan tatapan mata terkejut.
Subin menghela napas,"Kau selalu seperti ini. Bahkan saat membuat pesanan nona Hyunji pun, kau merasa rendah diri."
Skakmat.
"Taetae," Subin kembali melanjutkan,"menurutmu seseorang dengan kelas sosial seperti putri Haneul akan asal memilih orang untuk membuat barang-barangnya?"
Taehyung menggeleng, tentu saja tidak. Keluarga kerajaan pasti menginginkan barang-barang kualitas premium untuk mereka gunakan.
"Lalu menurutmu jika kau serendah yang kau pikirkan, putri Haneul akan mau memilihmu?"
Taehyung menggeleng kaku, kali ini ragu dengan jawabannya. Hell, dia saja masih tidak percaya seorang putri Haneul akan mau menggunakan barang buatannya.
"Lihat, kau sendiri yang menjawab keraguan dirimu." Subin berdecak,"karena kau hebat, makanya putri Haneul memilihmu, Taehyung-ah."
Untuk beberapa saat, Taehyung tertegun.
"Subin-ah, umurmu benar masih sebelas?"
Pertanyaan Taehyung kembali membuat Subin berdecak, ia meraih sepotong roti dari keranjang dan meletakkannya dalam genggaman Taehyung.
"Sekarang makan roti itu, lalu lanjutkan pekerjaan hebatmu. Aku tahu kau bisa melakukannya."
Taehyung tersenyum lebar,"Terima kasih, Subin-ah."
Subin ikut tersenyum melihat kepercayaan diri Taehyung akhirnya kembali,
"Sama sama, Taetae."
.
.
.
Malam ini, Taehyung akan piknik di padang bunga hutan Faro. Dan itu adalah mutlak. Tak ada apapun, bahkan seorang rampok pun, yang akan menghalangi niatnya malam ini.
Minggu lalu, utusan dari kerajaan datang untuk mengambil pesanan tuan putri seperti jadwal. Dari raut wajahnya, Taehyung tak bisa menerka apakah dia menyukai hasil karyanya atau tidak. Selama satu minggu Taehyung tak nyenyak tidur, memikirkan seperti apa respon tuan putri Haneul ketika melihat hasil karyanya. Apakah dia akan senang? Atau justru mengirim algojo untuk memenggal kepalanya?
Sampai siang tadi, pengantar surat dari kota memberikan paket kotak kayu yang cukup berat untuk Taehyung. Dan begitu dibuka, netranya membulat sempurna melihat tumpukan koin emas didalamnya, beserta sebuah surat dari putri Haneul yang ditulis tangan olehnya sendiri.
Taehyung baru saja mendapat respon atas hasil kerja kerasnya selama dua bulan!
Putri Haneul sangat puas dengan meja teh buatan Taehyung, dan bahkan memutuskan untuk memberi bonus bayaran atas kerja kerasnya. Juga predikat pengukir resmi kerajaan kini melekat dalam titel dirinya. Jelas sekali hari ini harus dirayakan.
Ia menghabiskan sisa sorenya berbelanja kebutuhan piknik dan memasak menu sederhana yang bisa dibuatnya. Juga sebotol anggur merah, yang hanya Taehyung minum di acara khusus, karena normalnya dia tak menyukai alkohol.
Setelah memastikan semua bekalnya telah masuk kedalam keranjang piknik, Taehyung meraih lenteranya dan beranjak keluar.
Hm, malam ini aneh.
Bulan bersinar dengan pendar kemerahan. Pasti Blood Moon, pikirnya.
Taehyung tak banyak memikirkan hal itu, semata mata karena dia tahu Blood Moon adalah fase normal bulan setiap beberapa tahun.
Srrk!
Taehyung menggelar kain selimut cadangannya diantara hamparan bunga, kemudian menyusun makanan yang dibawanya diatas selimut. Ia menuang segelas anggur kedalam gelas sebelum menyesapnya pelan dan menengadah menatap bulan merah diatas dengan senyuman.
"Putri Haneul menyukai ukiranku." Ia memulai,"sebelumnya aku berniat untuk menghancurkan saja hasil kerja kerasku selama dua bulan itu dan menerima nasib dieksekusi karena tidak menyelesaikan titah putri dengan baik."
Satu sesapan kembali ia teguk sebelum kembali bicara,
"Tapi Subin berhasil menarik rasa percaya diriku kembali. Anak itu jauh lebih bijak dari usianya, dia benar-benar jenius. Bibi Hoju harus menyekolahkannya di sekolah terbaik di pusat kota, Subin memiliki potensi yang benar-benar cemerlang."
"Dan tahu apa yang lebih menggembirakan lagi?" Taehyung mengambil sepotong roti, lalu melahapnya."Putri Haneul juga memberiku predikat tukang ukir kayu resmi kerajaan. Aku diakui oleh seorang anggota kerajaan!"
Semakin malam, racauan Taehyung semakin tak tentu arah. Belum ada setengah botol habis, dirinya sudah mulai merasa mabuk.
Taehyung semakin yakin jika dirinya benar-benar mabuk saat melihat siluet putih seseorang tiba-tiba muncul didepannya. Dengan tatapan sedikit kabur, dia mencoba melihat siapa yang berdiri disana.
Mustahil.
Fokus Taehyung telah terbang entah kemana.
Satu hal yang diingatnya sebelum jatuh tak sadarkan diri adalah kilas senyuman diwajah orang itu.
.
.
.
Taehyung bangun dengan sakit kepala luar biasa. Sepayah itu kemampuan minumnya sampai tak sadarkan diri hanya dengan setengah botol anggur.
Ia mencoba meraih fokusnya, dan melihat sekitar.
Hm, aneh.
Kenapa dia ada dirumah? Seingatnya dia pingsan di padang bunga malam tadi. Atau dirinya berjalan pulang dalam keadaan mabuk? Itu tak pernah bisa mengingat apapun saat mabuk.
"Selamat pagi."
"Sel-"
Kedua matanya membelalak sempurna.
Demi dewa Jotun! Siapa laki-laki cantik yang ada dirumahnya ini?
Oke, jelas sekali Taehyung salah fokus disini.
"Si-siapa kau?" Gagapnya.
Sang laki-laki asing menggaruk belakang kepalanya,"Ah, ya. Kau pasti kaget melihatku yang tak kau kenal ada didalam rumahmu."
Taehyung tetap diam, masih menunggu jawaban atas pertanyaannya.
"Namaku Kook." si laki-laki asing kembali bicara."Aku berasal dari bulan."
Taehyung berkedip dua kali. Orang ini gila, pikirnya.
"Aku tidak gila, Taehyung." laki-laki bernama Kook itu mengerucutkan bibir.
Oh, dia gila dan bisa membaca pikiranku. Taehyung kembali membatin.
"Ya, aku bisa membaca pikiranmu. Tapi aku tidak gila. Semua anak bulan memiliki kemampuan telepati, karena tak ada udara di bulan yang bisa menghantarkan suara." Kook kembali bicara, seolah memang benar bisa mendengar semua yang Taehyung pikirkan.
"J-jadi kau yang,"Taehyung tiba-tiba saja teringat sosok bersiluet putih yang kabur dilihatnya kemarin.
"Aku yang kemarin malam muncul di depanmu sebelum kau pingsan." Kook menyelesaikan kalimat Taehyung.
Taehyung menghela napas, ia mulai bisa berpikir jernih.
"Oke, anggaplah apa yang kau katakan itu benar." Taehyung memulai,"bagaimana aku bisa percaya? Maaf, tapi bisa saja ini cara baru rampok untuk menjarah barang-barangku."
Kook menghela napas,"Masuk akal. Jelas kau tidak bisa percaya denganku begitu saja."
"Aku mendengar semua ceritamu, Taehyung." Kook melanjutkan,"dari hari pertama kau tiba di padang bunga itu, sampai kemarin malam. Aku mendengar semuanya dari atas."
"Kau mau aku menceritakan semua yang kau katakan di padang bunga agar kau percaya?" Kook menawarkan.
Taehyung menggeleng cepat, seketika teringat beberapa cerita memalukan yang ia ceritakan.
Kook tertawa pelan,"Tak sengaja pipis karena kaget mendengar guntur bukan hal memalukan, Taehyung. Itu hal yang normal."
Taehyung lagi-lagi membelalak,"K-kau benar-benar bisa membaca pikiranku?"
"Sudah kubilang, semua anak bulan bisa melakukannya."
Taehyung berdeham, sedikit banyak mulai merasa yakin jika apa yang dikatakan Kook memang benar adanya.
"Jadi,"Taehyung memberanikan diri menatap langsung kedua netra safir Kook,"kenapa kau turun ke bumi?"
Pertanyaan itu spontan membuat kedua pipi Kook bersemu merah.
"Aku turun karena ingin menemuimu." Kook berujar pelan, terlalu pelan sampai nyaris tak bisa Taehyung dengar.
"Kenapa?"
"Karena aku menyukaimu."
Taehyung membuka mulut, hendak merespon, sebelum menyadari apa yang baru saja Kook katakan.
"Uh, ya? Ap-hah?" Kalimat yang terlontar tak jelas.
Kini keduanya sama-sama bersemu merah. Seperti dua orang yang baru saja menyatakan cinta disaat yang bersamaan.
Benarkah?
"Jadi," Taehyung menjadi yang pertama bicara mengisi kekosongan."Kau datang kesini karena menyukaiku dan ingin menemuiku."
Kook mengangguk pelan.
"Bagaimana caranya?"
"Eh," Kook tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu.
"Bagaimana caranya kau turun ke bumi? Menggunakan lubang cacing?"
"Uh, tidak juga." Kook menjawab,"di bulan kami terbiasa berteleportasi. Sudah lama aku ingin melakukannya, tapi terlalu banyak yang melihat. Tapi karena Blood Moon kemarin semua anak bulan sibuk mengecat wajah bulan kembali ke warna putih abu, aku bisa berteleportasi tanpa ada yang melihat."
Hm, Taehyung pikir peristiwa Blood Moon terjadi karena ada pengaruh rotasi bumi dan cahaya matahari terhadap bulan. Ternyata versi klenik seperti ini ada juga.
TOK! TOK!
Pintu rumahnya mendadak diketuk.
Taehyung turun dari ranjangnya dan berjalan ke depan. Kook mengikuti tak jauh dibelakangnya.
Cklek!
"Taetae selamat!"
Suara bernada tinggi khas Subin memasuki pendengarannya.
"Ya?" Taehyung mengulang, tak paham dengan maksud sang anak.
"Selamat karena kau resmi diakui oleh kerajaan. Astaga, kenapa setiap pagi kau selalu lambat berpikir, sih?"
"Oh, itu." Taehyung mengangguk, mengabaikan sarkasme Subin.
Subin tiba-tiba mengerutkan dahi,"Kau kedatangan tamu?" matanya menatap lurus kearah Kook.
"Oh," Taehyung mendadak panik, dia belum menyiapkan jawaban untuk situasi seperti ini.
"Y-ya. Dia sepupuku!" Taehyung spontan menjawab.
Subin makin mengerutkan dahi,"Taehyung, kau itu yatim piatu."
Sial!
"Aku baru-baru ini menghubunginya." Kook mencoba mengambil alih situasi, melihat kondisi Taehyung yang terlalu panik untuk bisa berpikir waras.
"Benarkah?"
Kook mengangguk, lengkap dengan senyum hangatnya.
"Setelah pengumuman putri Haneul di kota, aku tahu jika orang yang dimaksud itu adalah anak dari kakak ibuku." Kook menjelaskan,"fotonya mirip dengan lukisan lama yang disimpan bibiku. Jadi aku mencoba mengiriminya surat kilat, dan sepertinya terlalu terburu-buru datang kesini."
"Oh, begitu."
Terima kasih, Taehyung membatin, tahu jika Kook akan mengetahui apa yang dia pikirkan.
"Siapa namamu?" Subin kembali bertanya, ia mengulurkan tangan."Namaku Subin."
"Kook." Ia menjabat tangan sang anak.
"Hanya Kook?" Subin mengulang, tak terbiasa mendengar seseorang dengan satu suku kata sebagai nama.
"Hm, Jung...kook?" ulangnya, tak yakin.
"Jungkook?" Subin sama tak yakinnya.
Kook mengangguk,"Jungkook. Namaku Jungkook."
Subin mengangguk mengerti, ia lalu melepas jabatan tangannya. Kini kembali menatap Taehyung.
"Siap-siap. Kepala desa mengadakan acara makan siang bersama untuk merayakan keberhasilanmu." Subin mengutarakan maksud utamanya mengunjungi Taehyung pagi hari ini.
"Ya?" Taehyung berujar, tak percaya,"kenapa?"
Subin menghela napas,"Kau satu-satunya orang didesa ini yang mendapat pengakuan dari kerajaan. Apa yang kau harapkan?"
Ah, benar juga.
"Sekaligus kau bisa mengenalkan Jungkook nanti disana."
Sial, itu juga.
"Ya, terima kasih, Subin."
Cklek!
Pintu tertutup.
Taehyung menatap Kook, yang saat ini namanya berubah menjadi Jungkook, dengan tatapan gugup.
Hari ini tidak akan berjalan dengan mudah.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hampir satu minggu berlalu sejak kedatangan Jungkook, dan penduduk desa dengan cukup menakjubkan menerima kedatangannya dengan hangat. Jungkook menjelaskan jika itu berhubungan dengan sesuatu bernama 'aura anak bulan' yang membuatnya bisa diterima dengan mudah diantara manusia. Taehyung tak mengerti, yang jelas dia bersyukur tak ada gosip aneh yang berkeliaran tentang tamu tak terduganya ini.
Selama tinggal di desa, Jungkook tak hanya diam seperti orang bodoh. Dia bercerita jika sudah lama ingin melakukan kegiatan yang manusia lakukan, di bulan tak ada satupun dari hal itu yang bisa dilakukannya, bahkan bernapas menghirup udara pun mustahil dilakukannya disana.
Dari menanam bibit padi, hingga membantu membenarkan jalan desa, semua Jungkook lakukan. Dan untuk seorang anak bulan yang tak pernah melakukan apapun yang mendekati kegiatannya didesa, Taehyung akui Jungkook melakukannya dengan sangat baik.
"Jungkook-ah, kau serius belum pernah melakukan ini sebelumnya?" Taehyung menatap hasil ukiran kayu Jungkook dengan tatapan takjub.
"Huh? Benar. Di bulan tidak ada kayu yang bisa diukir, Taehyung-ah." Jungkook menjawab polos.
Taehyung tak percaya ini. Bagaimana bisa seorang anak bulan yang belum pernah menyentuh alat ukir bisa membuat ukiran seindah ini? Yang bahkan membutuhkan waktu bertahun-tahun bagi Taehyung untuk menguasainya. Kekuatan anak bulan memang luar biasa.
"Uh, Taehyung-ah." Jungkook kembali memanggil.
"Hm?" Taehyung balas menatap Jungkook.
Huh? Apa Jungkook demam? Kenapa wajahnya tiba-tiba memerah?
"A-aku, uh..." Jungkook mulai terbata, kemampuannya membaca pikiran kadang menjadi bumerang baginya yang bisa dengan jelas mengetahui apa yang Taehyung pikirkan tentang dirinya.
"A-ada satu hal yang ingin kulakukan." Ia akhirnya bisa berbicara dengan normal, meski dengan nada yang pelan.
"Oh, ya? Apa itu?"
"Aku pernah diceritakan oleh Min, jika manusia yang saling menyukai di bumi biasanya pergi kencan. Apa kau mau pergi kencan denganku, Taehyung-ah?"
Wajah Taehyung ikut memerah mendengar ajakan Jungkook. Bisa-bisanya Jungkook mengatakan hal itu dengan begitu lancar. Tapi mengingat jika dirinya bukan berasal dari sekitar sini, Taehyung harus bisa mencoba mengerti.
"Ah, benar juga." Jungkook kembali bicara, Taehyung bahkan belum sempat menjawab ajakannya."hanya aku yang menyukaimu, ya."
Taehyung mendadak panik. Bukan begitu!
"Aku mau." Taehyung menjawab cepat, dan spontan.
Tolong dicatat, SPONTAN.
"K-kau juga suka aku?" Jungkook bertanya dengan mata membelalak.
"Hah?" Taehyung mendadak kehilangan kemampuan berpikir. Selalu begitu tiap kali dirinya panik.
Jungkook menundukkan kepala, ia tak bisa menahan senyumannya dan tersipu malu ketika Taehyung tanpa sengaja menyatakan keinginannya untuk pergi kencan.
Taehyung menghela napas, persetan dengan semua ini.
"Jadi, kau ingin kemana?" Taehyung bertanya, ia menelan begitu saja rasa malunya.
"Ah, benar juga." Jungkook kembali mengangkat kepalanya, kemudian berpikir."sebenarnya aku tidak tahu. Apa yang manusia biasanya lakukan saat berkencan?" ia balas bertanya.
Serius Jungkook? Menanyakan apa yang manusia biasanya lakukan saat berkencan kepada seorang Taehyung yang seumur hidupnya tidak pernah keluar dan bersosialisasi dengan spesiesnya? Jangankan kencan, menyukai seseorang pun Taehyung tidak pernah.
"Aku juga tidak pernah kencan, Jungkook-ah." Taehyung menjawab jujur.
Jungkook menghela napas,"Kalau begitu coret saja kencan tadi, kita sama-sama tidak tahu harus melakukan apa."
Oke, Taehyung mendadak merasa bersalah.
"Tapi aku rasa aku bisa menebak apa yang biasanya dilakukan saat kencan." Taehyung berujar cepat.
"Benarkah?" kedua netra safir Jungkook berbinar.
Taehyung mengangguk,"Kita bisa jalan-jalan, atau makan malam bersama."
"Eh," Jungkook mengerutkan dahi,"tapi kita melakukannya setiap hari."
Benar juga.
Taehyung kembali memeras otak, kegiatan apa lagi yang belum Jungkook lakukan selama berada di bumi bersamanya.
TING!
"Kau ingin pergi ke pusat kota?" Taehyung menawarkan.
"Kota kerajaan?" Jungkook balas bertanya.
Taehyung mengangguk."Aku juga belum pernah kesana, tapi kudengar pusat kota lebih besar dan menarik daripada desa ini."
"Menarik." Jungkook berujar,"baiklah! Ayo kita ke kota pusat!"
"Kalau begitu, kita perlu kereta kuda." Taehyung berujar,"aku bisa meminjam kereta kuda tuan Jo-"
"Kuda?" Jungkook memotong,"kalau kuda aku bisa meminta tolong temanku."
"Kau punya teman disini?" Taehyung mengerutkan dahi.
Jungkook mengangguk,"Aku mengenal beberapa kuda di hutan. Mereka baik, pasti bisa menolong kita."
"Kau...bisa bicara dengan kuda?" Taehyung terkesiap.
Jungkook tertawa,"Sudah kubilang, aku bisa membaca pikiran. Kemampuanku tidak dibatasi oleh bahasa, Taehyung-ah."
"A-ah, begitu." Taehyung mencoba mengerti.
"Kalau begitu, kita pergi besok." Jungkook melompat kegirangan, sebelum keluar dari ruang kerja Taehyung dan berlari penuh semangat memasuki hutan.
.
.
.
Sebagai seseorang yang baru pertama kali mengunjungi kota pusat, Taehyung melakukan pekerjaan yang cukup baik sebagai tour guide Jungkook. Ia bisa menjelaskan, dengan kemampuan yang terbatas, beberapa aspek dalam kota pusat yang tidak dimiliki desanya. Seperti patung-patung raja terdahulu di alun-alun kota, penginapan, juga istana besar tempat keluarga kerajaan tinggal.
Jungkook terlihat seperti seorang anak yang sedang pergi bertamasya bersama orangtuanya. Dengan senyum yang tak juga lepas dari wajah, ia berkeliling kota dengan gembira. Mencoba berbagai jajanan yang tak dijual didesa, melihat pertunjukkan seni jalanan, hingga masuk ke tenda seorang peramal yang diklaim bisa membaca masa depannya.
"Kau tidak berasal dari sini, makhluk apa dirimu?" sang peramal bertanya, tak sampai sedetik setelah Jungkook dan Taehyung masuk kedalam tendanya.
Tatapan tajam sang peramal membuat Taehyung dan Jungkook merinding. Mereka tak pernah ditatap seperti itu sebelumnya.
"Kembalilah ke tempat asalmu. Kau hanya akan membawa kekacauan di kerajaan ini." Sang peramal kembali melanjutkan.
"Jungkook-ah, ayo pergi." Taehyung menarik Jungkook keluar dari tenda sang peramal, dirinya tak suka dengan sikap sengit sang peramal.
"Menurutmu apa yang dia katakan benar, Taehyung-ah?" Jungkook tiba-tiba bertanya,"aku akan membawa kekacauan?"
Melihat raut wajah sedih Jungkook membuat Taehyung semakin kesal. Ia mencoba melihat sekitar, mencari hal lain yang dapat mengalihkan Jungkook dari kesedihannya. Lama ia mencari, hingga netranya jatuh pada sebuah poster yang tertempel di sudut dinding, mengumumkan tentang pertunjukkan kembang api yang kebetulan akan diadakan malam ini.
"Jungkook-ah, kau mau melihat pertunjukkan kembang api?" Taehyung menawarkan.
"Kembang api?" Jungkook menatap Taehyung."Apa itu?"
"Rahasia, kau akan tahu nanti." Taehyung tersenyum.
Keduanya berjalan menuju pinggir kota, di hamparan padang rumput tempat akan diadakannya pertunjukkan kembang api. Beberapa orang telah berkumpul, menunggu pertunjukkan dimulai bersama orang-orang terkasih mereka.
"Mereka sedang melihat kita." Jungkook tiba-tiba berkata.
"Hm?" Taehyung yang sedang menggelar selimut untuk alas mereka duduk menoleh kearah Jungkook.
"Disana." Jungkook menunjuk kearah bulan."Min dan Hobi pasti sedang melihat kita." Ujarnya,"mereka berdua adalah anak bulan yang paling sering mengintip ke bumi, setelah aku tentunya."
Taehyung ikut menatap kearah bulan, rasanya berbeda. Biasanya dirinya akan merasakan ketenangan yang nyaman ketika melihat bulan, namun kali ini tak ada perasaan nyaman yang muncul. Mungkin karena alasannya merasa nyaman kini tak lagi berada di bulan, namun berada di sebelahnya.
DARR! DARR!
Letusan kembang api di langit malam membuat keduanya terkejut. Taehyung menoleh kearah Jungkook, dan tersenyum melihat sang anak bulan menatap pertunjukkan kembang api dihadapannya dengan binar mata takjub.
Keduanya duduk beralaskan selimut, sambil menikmati pertunjukkan kembang api yang sedang berlangsung.
Yah, setidaknya Jungkook memperhatikan dengan semangat. Taehyung telah kehilangan selera melihat pertunjukkan itu sejak beberapa menit lalu, dan lebih suka memandangi wajah bahagia Jungkook yang tampak bersinar diantara cahaya bulan dan kembang api.
Srett!
"Huh?" Jungkook spontan mengalihkan pandangannya dari langit, menuju telapak tangannya yang tiba-tiba saja menghangat karena digenggam oleh Taehyung.
"Taehy-"
DEG!
Napasnya terhenti saat telapak tangan Taehyung yang lain menyentuh pipinya dengan lembut. Kedua netra mereka saling bersitatap, Jungkook dengan tatapan bingungnya, dan Taehyung dengan tatapan hangatnya.
"Kau cantik, Jungkook-ah."
Ucapan Taehyung barusan sukses membuat pipi Jungkook bersemu malu. Ia menundukkan kepala, hanya untuk diangkat kembali oleh jemari Taehyung.
Napas Jungkook terhenti ketika bibir merah Taehyung menyapu lembut miliknya. Ketika Taehyung memejamkan kedua kelopak matanya dan tampak menikmati momen yang sedang mereka bagi berdua, Jungkook memperhatikan segalanya. Bagaimana bibir Taehyung menggamit sisi bawah bibirnya, memberi gigitan-gigitan kecil, sebelum kembali menyapu keseluruhan bibir penuh Jungkook.
"Hah..." Taehyung membuang napas pelan, menormalkan detak jantungnya setelah serangan dopamin dan keberanian itu mendadak muncul entah darimana. Ia mencoba menatap Jungkook, yang setelah di ingat kembali, tidak memberikan reaksi apapun terhadap ciuman mereka barusan.
Sang anak bulan taampak terpagu ditempat, persis seperti sebelum kejadian, minus wajah semerah tomatnya.
"Jung-"
SRETT!
"Jungkook-ah!" Taehyung menyeru ketika Jungkook tiba-tiba saja berdiri dan berlari menjauh.
.
.
.
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
.
.
.
Hey, folks! I honestly have no excuse for not writing in months, both idea and will-power just randomly went missing. But after several attempts and bribery Min gave to me, I finally start to write again.
Sebenernya cerita ini udah mau selesai, cuma dengan pertimbangan words yang terlalu banyak untuk jadi oneshoot, I decided to split it in to two parts. Dan untuk part terakhir, mungkin akan makan waktu sedikit lebih lama karena endingnya masih belum pas.
So, enjoy your cliffhanger until next time
Love,
Qie