Naruto © Masashi K.

Lover

(Friend sequel)

Pair : [SasuIno] [NaruSaku]

Genre : Romance/ Friendship

Warning!

Fic ini akan lebih membahas SasuIno dari pada NaruSaku, tapi Mee usahakan sama rata ok? :D

.

.

.


Enjoy!


.

.

.

Terimakasih telah menggunakan jasa kami dan sampai jumpa lagi.

Begitu suara dari radio pesawat selesai, kapal terbang itu berguncang pelan. Lampu kabin yang tadi dimatikan telah kembali dinyalakan. Beberapa penumpang telah melepas seatbelt mereka dan mengambil barang dari kabin di atas kepala. Ino sendiri hanya menyalakan handphonenya. Dua notifikasi masuk pada aplikasi messanger nya.

Ahaha,

Ino tersenyum kecil. Begitu pintu pesawat terbuka, gadis itu menggandeng tas punggung kecilnya dan mengantre keluar. Ia berhenti untuk mengambil kopernya di bagasi pesawat. Setelah dapat, kaki rampingnya langsung bergegas keluar dari bandara. Jaket hoodie berwarna navy juga syal ungu ia rapihkan diperjalanannya. Dirinya baru saja mendapat notifikasi bahwa Jepang sudah turun salju. Gadis pirang itu kembali mengecek ponselnya.

Harusnya sih, di sekitar sini

"Ah! Ino- chan! Sebelah sini!"

Satu lengan melambai ke arahnya. Sedangkan yang lainnya tersimpan di kantong jaket. Ino menghampiri asal suara.

"Bagaimana perjalananmu ? Apa pesawatnya banyak berguncang ?"

Ino tersenyum dan memeluk sahabatnya. "Tidak, semuanya lancar." Balasnya dalam pelukan. "Kau sendiri ? Ada kendala di perjalanan kemari ?"

Sakura mengerucut masam, "Tuh, biangnya," tunjuknya ke bocah pirang lainnya yang sedang menguap lebar. "Untung Sasuke- kun menjemputku lebih awal. Jadi, kita bisa membangunkan Naruto yang masih saja mengantuk di jam seperti ini."

Naruto membalas, "Ini kan waktunya hibernasi, Sakura- chan."

"Memangnya kau ini beruang kutub, hah ?"

Ino kembali tersenyum melihat sahabat-sahabatnya ramai. Ia mengalihkan atensinya pada lelaki lainnya yang hanya menatap datar mereka sedari tadi. Lelaki onyx itu balas menatapnya. Ia menganggukkan kepalanya kecil. Ino melakukan hal yang sama. Sapaan mereka terkesan canggung dilihat walaupun diri mereka masing-masing merasa biasa saja.

"Ayo! Kita menghangatkan diri dulu. Kurasa, aku tahu café yang enak dekat bandara!"

"Hoaamm~"

.

.

.

.

.

Vanilla latte terasa hangat di tangannya. Sahabatnya yang lain memesan secangkir americano dan dua cangkir cappuchino.

Ino meneguk lagi latte nya.

Ia masih asyik menonton perdebatan antara sahabat pink nya serta Naruto. Beberapa kali ia ikut menimpali perbincangan dan tertawa. Ia melirik, tangan yang memesan americano masih sibuk dengan ponselnya.

Merasa diperhatikan, Sasuke mangangkat pandangannya. Onyx miliknya bersibobrok dengan dua manik aquamarine. Ino mengangkat kedua alisnya menggoda sembari menyeruput minumannya. Sasuke memutar bola mata lalu menggeleng pelan. Ponselnya ia masukkan ke dalam jaketnya. Ino menyeringai kecil.

Sakura memperhatikan.

Ia tahu, walau Ino dan Sasuke tidak banyak bicara, hubungan mereka -entah kenapa- sangat dekat. Ia paham mungkin karena selama ini, mereka bertukar kabar dengan Ino melalui Sasuke. Sejak delapan tahun yang lalu, Ino tidak memberikan alamat surelnya, maupun sosial medianya kepada mereka. Gadis yang baru saja sampai ke Jepang itu hanya memberitahu Sasuke. Meski Sakura tidak pernah mempermasalahkan itu semua, tapi terkadang ia penasaran.

"Ino- chan, bagaimana ujian akhirmu disana ? Susah ?"

Ino mengalihkan atensinya, "Aku sudah menyelesaikannya sebulan yang lalu agar bisa kembali ke Jepang dan berlibur bersama kalian." Ino menggosok tangannya ke cangkirnya, menghangatkan diri sedikit. "Yah, kalau dibilang susah, mungkin sedikit."

"Hee~ Kalau begitu, kau akan kuajak berkeliling, juga mengunjungi festival musim dingin disini sebagai perayaan kelulusan!" Balas Sakura semangat.

Ino membalasnya dengan senyum dan anggukan.

.

.

.

.

.

"Disini kamar para gadis, disini milikku dan disana milik Sasuke," Naruto menguap. "Nah, aku tidur dulu." Ujarnya sambil masuk ke kamarnya.

Sakura dan Ino membawa barang mereka memasuki kamar. Sasuke melewati gadis-gadis itu dan duduk di kursi meja makan. Ia mengeluarkan ponsel pintarnya dan mengetik sesuatu lagi.

"Yosh! Selesai. Apa lagi ya ?" Sakura memiringkan kepalanya. Ino mengecek jam tangannya. "Mau memasak ? Ini sudah waktunya makan siang."

Sakura mengangguk setuju. 'Hum,' kecil keluar dari suaranya. Kedua gadis itu membuka kulkas. Mereka mengeluarkan beberapa bahan.

"Eh ? Kurang ya ?" Sakura menimang-nimang beberapa bahan masakan. Ino meletakkan jarinya di dagu. "Kurasa kurang." Ujarnya menyetujui.

Sakura melangkah, "Kalau begitu, aku beli dulu. Ino- chan menyiapkan awalnya ya!" Ino mengangguk setuju.

Sakura menutup pintu depan. Ino menggulung lengannya dan mulai memasak beberapa. Maniknya melirik kebelakang, lelaki itu masih sibuk dengan ponselnya. Mengetik sesuatu yang entah apa.

"Apa ?" Suara bass terdengar dari belakang tubuhnya. Ino mengangkat bahunya.

"Tidak."

Lalu hening.

Sasuke membuka mulutnya, "Hei," Ino menjawab dengan hm kecil.

"Kau… sudah memutuskan jurusan kuliah ?"

Goddamnit.

Sasuke diam-diam menggigit bagian dalam mulutnya.

Ino, "Yah, sesuatu yang berhubungan dengan intel dan kriminalisasi, mungkin ?" Jawabnya seadanya. "Kenapa ?"

Sasuke mematikan ponselnya dan ganti memerhatikan gadis di depannya.

"Tidak." Jawabnya.

Ino mengangkat bahunya, "Kau sendiri ?"

Sasuke membuang napas pelan, "Sesuatu yang berhubungan dengan perusahaan dan bisnis, mungkin ?"

Ino me-wow pelan.

"Kau berniat melanjutkan bisnis keluargamu ?" Tanya Ino sambil memotong bawang. Gendang telinganya menangkap hm datar dari belakangnya. "Kenapa ?" tanyanya lagi.

Sasuke merilekskan badannya pada sandaran kursi, "Aniki ku tidak mau. Lagi pula, aku hanya harus memegang cabang di Jepang, pusat sudah diurus." jawabnya. Ino hanya ber-oh ria. Tangan rampingnya memasukkan minyak pada teflon.

"Kau sendiri mau mengikuti jejak mendiang ayahmu ?" Sasuke mematikan notifikasi ponselnya. Ino melirik kebelakang. Mulutnya mengerucut kecil meski Sasuke tidak dapat melihatnya, "Kurasa begitu."

Sasuke mengangkat alisnya, "Bukannya berbahaya ?"

Ino membalik badannya dan menyeringai, "Kau khawatir padaku ? Oh, baiknyaa~" balasnya menggoda. Sasuke menatap datar gadis yang tertawa mengejek di depannya.

"Ahahah, maaf-maaf." Ino kembali pada acaranya memasak. "Ku rasa, aku hanya akan duduk di belakang meja dan jarang turun ke lapangan. Aku lebih suka menginterogasi dan mencari jejak dari pada berlari dan melawan penjahat." Jawabnya panjang lebar. Ino bisa menangkap suara hm lagi dari belakangnya.

"Aku baru tahu kalian bisa berbincang panjang lebar." Sebuah suara menyeletuk dari samping ruangan. Sakura menenteng dua plastik ukuran besar pada masing-masing tangannya. Sasuke beranjak dari duduknya dan menghampiri Sakura, berinisiatif membantu. Lelaki itu meletakkan dua plastik di samping Ino dan melirik gadis pirang itu sebentar lalu pergi.

Sakura menghampiri Ino, "Apa yang kalian bicarakan ?" Tanyanya sambil mengeluarkan belanjaan.

Ino, "Bukan apa-apa. Hanya tentang masalah pendidikan."

"Heeh~, kau sudah memastikan akan kemana ?" Tanya Sakura penasaran. Beberapa barang ia masukkan ke kulkas.

"Yap. Aku akan melanjutkan kuliahku disini."

"…"

Sakura membatu, "Eh ?"

Ino tersenyum menghadap sahabatnya. "Hore ?"

Gadis pink itu serasa ingin meledak, "Ten-TENTU SAJA HOREEE! ASTAGA INO- CHAAAAN!" Badannya terlonjak-lonjak kecil. Kedua gadis itu berpelukan sambil tertawa.

"Sudah-sudah, kau memasak nasi dan kare, sedangkan aku menggoreng dan membuat sup ya,"

"ROGER!"

.

.

.

.

.

Naruto duduk di meja makan setelah -dipaksa- mandi terlebih dahulu. Ia menatap makanan yang tersaji di depannya. "Kukira kita akan makan rebusan."

Sakura menyodorkan piring, "Kenapa ?"

"Karena musim dingin ?" Balas Naruto kembali bertanya. Sakura menghela, "Makan saja. Aku dan Ino- chan yang buat."

Naruto mengambil sesuap dan memasukkannya ke dalam mulut. Matanya terbelalak, kedua tangannya menggebrak meja secara tiba-tiba. Ino mengangkat kedua alisnya kaget. Naruto menunjuk makanan di piringnya dan menatap Sakura dengan ekspresi terkejut.

"Kok… rasanya… enak…?"

Perempatan terlihat di dahi Sakura, "SHANNAROO!"

PLAK

Ino dan Sasuke melanjutkan makan dengan tenang.

'Aku kira kau keracunan,' batin mereka berdua.

Sakura kembali duduk di tempatnya sambil menghela napas kasar. Ia mengambil beberapa katsu dan meletakkannya di piringnya. Ia membuka percakapan, "Kalian tahu ? Ino- chan akan kuliah di Jepang! Dan apartemennya dekat dengan rumah Sasuke- kun!"

Naruto mengunyah, "Benar Ino- chan ?" Ino mengangguk.

"Mulai sekarang, mohon kerjasamanya lagi ya." Gadis pirang itu membungkuk kecil di kursinya.

Naruto menangguk dan Sakura menampakkan raut penasaran. "Omong-omong, kau sudah memilih universitasnya ?" Tanya Sakura.

Ino mengeluarkan brosur, "Disini."

Sakura melotot, "Bohong! Aku juga masuk disini!"

Ino, "Entah ya, jurusan pilihanmu dan pilihanku memang paling bagus di universitas ini sih,"

Sakura terharu, "Ino- chan, mou, aku tahu kau sengaja. Kita berempat satu sekolah (universitas) lagi, hehe." Ucapnya senang. Semua di ruangan ikut tersenyum.

"Ah, festival musim dingin katanya diadakan besok sore. Perkiraan cuaca, malam ini hingga besok pagi ada hujan salju lebat. Sebaiknya, kita tidak kemana-mana dulu." Jelas Naruto setelah berhasil menelan. Tiga orang dalam ruangan mengangguk paham.

"Baiklah kalau begitu. Malam ini kita main bareng saja di ruang keluarga. Vila Naruto kan luas sekali."

"Aku ikut saja."

"Hm."

"Ah~ aku akan buat ramen instan saja nanti malam."

Ino mengunyah pelan. Seperti teringat sesuatu, ia merogoh sesuatu di kantong celananya. "Sakura- chan," Sakura menatapnya.

"Sedikit terlambat, tapi, selamat sudah diterima di jurusan yang kau minati." Ino mengeluarkan kalung dari rantai dengan cincin sebagai bandulnya.

"Ada untuk kalian juga. Di lingkar dalamnya ada nama kita, bisa dibilang ini semacam benda persahabatan ? Pokoknya, sekali lagi selamat ya." Ino menyerahkan satu untuk masing-masing orang di dalam ruangan.

"Ino- chan, terimakasih." Sakura memeluk sahabat tersayangnya itu. Ino balas memeluknya.

Sakura memasangnya di leher. "Bagaimana ?" Ino mengangkat kedua jempolnya. "Cantik."

Sakura, "Milikmu ?"

Ino mengangkat tangannya. Sebuah cincin melingkar di jari telunjuk kanannya. Sasuke melepas rantainya. Cincin perak itu mengalir dengan mulusnya ke telapak tangan Sasuke. Ia ikut memakainya di jari telunjuk kanan. Ia rasa rantainya dapat merusak baju, bahkan mungkin bisa tersangkut nanti. Pandangannya lurus ke arah jari di tangan kanannya.

"Cocok kok." Ino memberikan satu ibu jarinya ke Sasuke.

"Terimakasih."

Ino mengangguk saja, tidak membalas.

"Ne, Sakura- chan, pasangkan dong." Naruto mengeluh. Sakura beranjak ke arah Naruto, mengunci rantai di belakang leher lelaki pirang.

Ino mengangkat kedua bahunya bersamaan dengan helaan napas dari Sasuke.

.

.

.

.

.

Gadis merah muda itu meletakkan tangannya di jendela. Emerald nya memandang ke luar, salju turun dengan deras. Ia lalu menarik tangannya dan menutup selambu. Kakinya berjalan menuju tiga orang lainnya yang asyik bermain kartu.

"Heh, aku yang menang dobe."

Naruto meremat rambutnya, "Ahhh, permainan ini sulit sekali!"

"Kau saja yang payah."

Ino terkekeh saat melihat Naruto yang kesakitan setelah mendapat hukuman jentikan maut dari Sasuke.

"Sakit! Kau sengaja ya teme ?!"

Sasuke menyeringai, "Lemah,"

"HAAHH ?!"

Sakura mendekat, "Naruto, awasi ramenmu! Nanti jatuh." Gadis itu menepuk pundak Naruto. Wajahnya tidak jauh dari lengan lelaki pirang.

Naruto tergagap, "A-ah, terimakasih."

Ino mengerjap. Sasuke bersiul. Keduanya serempak menoleh lalu menyeringai.

Woah,

Telepatinya kuat sekali.

"Kepada agen satu, aku melihat pasangan mesra disini, ganti."

"Agen dua, pesan diterima, ganti."

"Apa yang harus ku lakukan, ganti."

"Kita doakan saja sampai pernikahan nanti, ganti."

Sakura tersedak.

"MOU! KAMI BUKAN PASANGAN!" Wajahnya memerah. Ia menatap jengkel dua orang berbeda gender yang menatapnya jahil.

Sakura cemberut. Ia meminta bantuan lelaki disebelahnya, "Iyakan ? Naru—"

Sakura terdiam.

Di sebelahnya, Naruto memalingkan wajah dengan telinga memerah. Sakura mengalihkan tatapannya, merasa panas. Suhu ruangan pasti mempengaruhinya. Tapi saat sekali lagi ia menatap, lelaki pirang itu juga melakukan hal yang sama. Sesaat, mereka merasa dapat mendengar detak jantung yang dipacu cepat.

Sekarang, Sakura tak yakin itu pengaruh suhu ruangan.

Gadis pink itu berdiri, "A-aku mau ke kamar."

Manik Sasuke mengikuti Sakura yang berjalan cepat ke kamar. Ia menoleh ke arah sobat lelakinya.

"Kau payah sekali."

Ino menimpali, "Sangat payah sekali."

Naruto mengerang. Ia berguling dan mengacak rambutnya. "Terus aku harus bagaimana ? Kalian juga bantu aku, dong!"

"Usahamu nol."

"Sangat nol sekali."

"Kau juga sudah tahu bahwa Sakura menyukaimu."

Ino mengangguk, "Sangat tahu sekali."

Sasuke melirik, "Apa salahnya tinggal bilang ?"

"Lalu kalian menikah, yey!" Ino bertepuk tangan. Sasuke mengangguk setuju. Naruto terbatuk.

Sahabatnya ini baik atau jahat, sih ?

Naruto jadi frustasi.

Ia menatap sobat lelakinya, lalu ganti ke gadis pirang di sebelahnya, "Ah, sudahlah! Aku mau ke kamar saja!" Naruto beranjak. Tangannya masih belum berhenti mengacak rambutnya. Ia menutup pintu kamarnya dengan perasaan sedikit kesal.

Namun tak lama kemudian, ia keluar lagi dan mengambil sisa ramen instan yang tinggal setengah. "Kalian saja yang segera menikah!" Bocah pirang itu menjulurkan lidah lalu masuk lagi ke dalam kamar.

Ino merengut, pipinya menggembung. "Sensi sekali,"

Sasuke menoleh ke gadis di sebelahnya. Tangan ramping dengan cincin di telunjuk kanannya itu sedang merapihkan kartu yang berserakan. Lelaki itu hanya melihat tanpa ingin membantu.

Ino meletakkan kartu di atas meja. Gadis pirang itu ikut bersandar di sebelah lelaki onyx yang sedari tadi memerhatikannya. Kakinya ia luruskan dan badannya ia rapatkan ke lelaki sebelahnya. Sasuke menggerakkan kepalanya penasaran.

"Kau dapat salam dari Chi- niisan." Celetuk gadis itu tiba-tiba.

Sasuke mengangkat satu alisnya. "Siapa ?"

Gadis itu menaik turunkan kedua alisnya. Tidak menjawab. "Ada salam untukku ?"

Sasuke menatap aneh gadis itu sebentar lalu mengambil air hangat di dekatnya, tidak ingin ambil pusing. "Orang tuaku titip salam. Kaa- san menanyakan kapan kau mampir lagi ke rumah," jawabnya setelah meneguk air. "Ia heboh sendiri setiap mendengar berita tentangmu dariku."

Ino tersenyum. "Terakhir kali aku berkunjung setengah tahun yang lalu sih." Ino mengambil gelas di tangan Sasuke dan meminum sisanya. Sasuke memutar matanya. Lelaki itu masih memerhatikan gadis yang tengah menghabiskan gelasnya.

"Sampaikan balasan salamku ke Fuga- jiisan dan Miko- baasan ya." Ino berdiri. Rambut pirang yang dikepang rendah itu melambai.

"Sampaikan juga ke calon tunangan yang sibuk kau bincangkan dengan orang tuamu itu, Sa-su-ke- kun~" Ino mengakhiri kalimatnya dengan kedipan mata. Gadis itu berlari menuju kamar dan menjulurkan lidahnya sebelum menutup pintu.

Sasuke cengo. "Hei—"

Lelaki itu membuka ponsel. Satu notifikasi dari gadis yang baru saja meninggalkannya sendiri.

'Dari Chi- niisan dan Miko- baasan.'

Sasuke mengangkat sudut bibirnya. Ia menghela napas dan beranjak pergi.

"Hmm,"

.

.

.

Sasuke berhenti.

"Chi- niisan itu siapa sih ?"

.

.

.

.

.

Gadis itu merapihkan lagi kimono musim dinginnya. Ia merapatkan syal dan penghangat telinganya. Kepalanya menengok ke gadis lain di dekatnya.

"Kalau tahu kau tidak punya kimono musim dingin, kau pasti ku belikan, Ino- chan." Ujarnya sedih.

Ino melambaikan satu tangannya. "Santai saja. Lagi pula, aku tidak terbiasa pakai itu." Jawabnya.

Sakura menoleh lagi, "Sasuke- kun juga tidak pakai ?"

Sasuke menggeleng. Alasan yang didengar Sakura seperti terlalu ribet dan tidak suka. Sakura mengangkat bahunya. Naruto keluar dengan kimono dan syal merah miliknya.

Eh ? Kenapa terlihat seperti couple ya ?

Sakura menggelengkan kepalanya. Ia mengibaskan tangan ke mukanya yang entah kenapa terasa panas.

Di belakangnya, Ino menyenggol Naruto. Sasuke ikut-ikutan.

"Iya-iya, aku tahu." Ucap Naruto pelan. Bocah pirang berkulit tan itu tahu, bahwa pasti sahabat-sahabatnya sengaja tidak memakai kimono agar ia dan Sakura terlihat seperti couple.

Baiklah! Aku harus bisa menyatakan perasaanku malam ini!

Naruto menyemangati dirinya sendiri.

Keempat remaja itu berangkat. Mereka berjalan dengan beriringan. Stan-stan makanan dan permainan berjejer di kanan dan kiri mereka. Mereka berjalan ke kuil terlebih dahulu, berdoa dan sebagainya. Setelah itu, mereka mulai menjelajahi kios-kios disana.

Sasuke dan Ino berjalan di belakang. Mereka membiarkan Naruto bergerak lebih leluasa. Sasuke melirik, gadis di sampingnya sedang menunggu gurita miliknya selesai dibakar.

Rambut pirangnya di gerai dengan bagian samping yang dikepang kecil, dijadikan satu ikatan di bagian tengah. Poni panjangnya ikut dikepang ke belakang, sehingga beberapa anak rambut yang tidak sampai, terjatuh di bagian samping wajahnya. One pice musim dingin berwana caramel lembut selutut dengan lengan panjang dipakainya. Sedikit kebesaran, Sasuke rasa. Bawahnya hanya mengenakan celana hitam yang sedikit ketat dan boots cokelat dengan hak kecil.

Pakaian yang dikenakan gadis ini sangat mengikuti tren fashion di luar negeri. Ia paham Ino sangat menyukai fashion. Bisa dibilang, sedikit maniak. Dengan rambut pirang dan kelereng aquamarine, dipadu dengan tubuh semampai bak model, kata paling tepat untuk mendeskripsikannya itu

Cantik.

Sasuke merengut. Hm ?

Indah ?

Kurasa bukan juga.

Sasuke mengalihkan pandangannya. Naruto dan Sakura masih asyik bermain beberapa kios di depan mereka. Saat akan kembali menoleh, coat cokelat Sasuke tertarik ke belakang. Kepalanya berputar, sebuah tangan ramping sedang menariknya. Telunjuk kanan gadis itu berada di depan bibir senada peach.

'Jangan berisik. Ikut saja.'

Sasuke mengangguk paham.

Ia melihat kondisi lagi. Sepertinya Naruto dan Sakura tidak memperhatikan. Lelaki itu menarik pergelangan gadis itu untuk melepaskan acara tarik-menarik. Ia ganti menggenggam telapak tangan sang gadis. Mereka pergi mengendap-endap -berlari, sebenarnya- bergandengan. Menjauhi hiruk pikuk kios permainan. Menuju tempat yang entah, Sasuke hanya ingin menjauh dan berbincang dengan gadis pirang itu sedikit lebih lama.

.

.

Dan sedikit lebih dekat.

.

.

.

.

Sakura yang tersadar duluan. Tangan berbalut kimono itu menepuk pundak seorang lelaki yang sedang asyik bermain sendiri. Maniknya mencari-cari selagi tangannya terus menggenggam tangan—

Eh ?

Menggenggam ?

Surai pink itu bergerak. Matanya menangkap bahwa tangannya kini benar menggenggam tangan seorang lelaki bersurai nyentrik.

Ah, wajahnya memanas. Tapi rasanya, walau malu seperti ini, Sakura tak ingin melepasnya.

"Sakura- chan ?"

Sakura salah tingkah.

"I-Ino- chan dan Sasuke- kun menghilang!" Jawabnya sedikit terbata.

Kenapa aku malah senang sih ?

Naruto ikut mencari dengan matanya. Pandangannya sampai di kios gurita bakar yang tadi disinggahi duo mereka yang lain. Dan benar saja, sapphire itu tidak dapat menemukan surai pirang yang sama seperti miliknya. Ia kembali ke gadis bersurai sakura yang masih menggenggam tangannya.

"Mungkin mereka sedang di toilet." Ujarnya menenangkan. Ia merasakan telapak gadis itu sedikit berkeringat. Naruto mengartikannya sebagai rasa khawatir saat kau terpisah.

Oke, sumpah ini author greget sendiri.

Wajah ramah dengan tiga tanda lahir di masing-masing pipinya itu tersenyum lebar, "Mau dicari saja ?" tawarnya. Ia balas menggenggam tangan sang gadis.

Sakura rasa, ia hanya bisa menganggukkan kepalanya.

Mereka berdua mulai berjalan. Menyusuri setapak demi setapak di jalan yang tertutup salju. Sakura tidak bisa berkonsentrasi, jantungnya terus berdebum cepat. Bisa kau pikirkan sendirilah rasanya ketika orang yang kau suka sejak bangku SMA, menggenggam tanganmu pada momen dimana kalian hanya berdua dengannya. Jantung Sakura bisa lompat keluar sepertinya.

Gadis bersurai persik itu mencuri lihat, lelaki di sampingnya bersikap biasa saja tanpa ada reaksi seperti yang Sakura harapkan. Bibir tipis itu mendesah kecewa. Apa benar tiga tahun ini ia hanya bertepuk sebelah tangan ? Apa ini karma karena ia sering menganggap gombalan Naruto itu mengganggu ? Atau karena ia sering menjahili Naruto dulu ?

Sakura jadi frustasi.

Ia berteriak sekuat tenaga di hatinya bahwa ia ingin perasaannya dibalas!

.

.

Teriak kok di hati Sak, plis lah.

.

.

.

.

.

.

.

"Bagus juga instingmu dapat menemukan tempat seperti ini." Ino menggigit guritanya. Kelerengnya berpindah ke lelaki yang membersihkan salju dari tumpukan batu. Tangan yang baru saja ditepukkan satu sama lain itu kini dialihkan padanya.

Ino menyambutnya dengan senang hati. "Terimakasih."

Setelah memastikan gadis itu duduk, Sasuke ikut meletakkan dirinya di samping tubuh ramping itu. Mereka baru saja berlari ke arah belakang kuil dan berhenti di dekat gapura merah. Terdapat sebuah lagi di seberang tangga yang mereka duduki sekarang. Hiruk pikuk festival tidak terlalu berisik dari sana. Sedikit gelap. Ino rasa suasana ini seperti ketika menjelang subuh. Gadis itu menggigit lagi guritanya. Mengunyah dengan pelan.

"Siapa dia ?"

Ino memiringkan kepalanya, "Siapa ?"

"Chi- niisan. Siapa dia ?"

Ino ber-oh ria dulu sebelum menjawab, "Calon kakak iparku."

Sasuke reflek menoleh, "Apa—"

Ino nyengir dan membuat tanda peace dengan kedua jarinya. "Hehe,"

"Jelaskan." Sasuke memaksa.

Ino mengerucutkan bibirnya. "Iya-iya." Gadis itu menggigit lagi potongan terakhir guritanya lalu mulai berbicara. "Aku bertunangan, katanya sih, janji mendiang ayahku dulu. Mana bisa aku menolak, apalagi setelah ia tiada."

"Jadi bukan kau satu-satunya yang sudah bertunangan! Yey! Kita kompak sekali!" Ino meninju kecil bahu Sasuke. Lelaki itu tetap tenang mendengarkan. Ino melanjutkan monolognya.

"Aku baru tahu setelah kembali ke New York setengah tahun yang lalu. Seorang lelaki tampan datang padaku dan memperkenalkan dirinya sebagai calon kakak iparku. Itu Chi- niisan, setidaknya aku memanggilnya begitu."

"Setelah pengacara ayahku dipanggil, ternyata ayah benar-benar meninggalkan surat dengan permohonan agar aku mau menikah dengan anak temannya."

"Kau tahu ?" Ino melirik sebelahnya, Sasuke ikut melirik. "Temannya adalah pengusaha sukses dengan saham dimana mana! Aku akan menjadi istri dari calon penerus pengusaha kaya! Hidupku nanti pasti mewah sekali, ahahahah!"

Ino menyudahi tawanya. Jari rampingnya mengusap air mata di pelupuk matanya. "Dan nama marga keluarganya adalah Uchiha."

Sasuke terbelalak.

Jangan-jangan—

Ino tersenyum, "Shisui,"

"Namanya Uchiha Shisui."

.

.

.

.

.

"Sebenarnya aku ingin mengatakan ini dari lama."

"Bukan karena apa-apa! Hanya saja… ini hanya bisa dikatakan saat kita hanya berdua."

"Sebenarnya… selama ini aku… menyukaimu, Naruto."

"Tolong jadi kekasihku!"

"Aku menyukaimu sejak lama."

"Aku benar-benar menyukaimu, tidak, mencintaimu!"

"Tolong terima perasaanku!"

Wajah Sakura meledak. Ia terus menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikiran yang membuat seluruh wajahnya panas. Ia tidak bisa berfokus mencari kedua sahabatnya yang menghilang kalau begini. Sakura menghela napas dalam yang entah sudah keberapa ia lakukan sedari tadi. Meskipun cara ini tidak efektif, ia tahu.

Naruto memperhatikan raut muka di sebelahnya. Alisnya menyatu melihat gadis di sampingnya terus menerus menghela napas dalam. Rasa khawatir pada si pinky itu sekarang lebih besar dari pada rasa ingin mencari sahabatnya yang lain.

"Kau tidak apa-apa Sakura- chan ?" Naruto mendekatkan matanya, berniat memastikan.

Sakura reflek memundurkan kepalanya.

Terlalu dekat!

"Aku baik! Baik!"

Naruto mengembalikan posisinya. Ia dapat merasakan tangan di genggamannya bergetar kecil. Naruto jadi tidak percaya kan kalau begini. Ia harus bertanya lagi.

"NARUTO!"

"YA!"

Jantung Naruto seperti akan keluar dari tempatnya. Kaget tentu. Siapa yang tidak kaget apabila sedang melamun, tiba-tiba saja mendengar suara yang keras ? Shappire itu melihat, gadis bersurai persik itu sedang menunduk. Tangannya bahkan bergetar lebih kencang dari pada yang tadi.

Akan aku katakan!

"Se-sebenarnya…!"

Sakura menarik napas lagi, menguatkan diri. Tangannya menggenggam tangan Naruto semakin erat sedangkan yang lainnya mengepal.

"A-aku…!"

Naruto setia mendengarkan.

"Ingin ke toilet!"

Oke.

Selain Naruto, author juga kicep ini. (ganggu mulu author *duagh*)

"Ayo, kita cari kamar kecil." Ajak Naruto lembut. Tangannya menyeret Sakura pelan. Sakura sendiri menunduk dan menyembunyikan wajahnya. Saat Naruto sadar, Sakura sudah menangis terlebih dahulu. Naruto menarik lagi tangan Sakura. Kali ini, untuk lebih mendekat ke arahnya. Lengan besarnya melingkupi badan kecil itu. Tangannya mengusap-usap ujung kepala yang lain, berharap memberikan sedikit ketenangan.

Apa ia kebelet sekali ?

Naruto menggeleng. Pasti bukan itu. Ia rasa Sakura tidak akan menangis hanya karena itu. Tangis Sakura tidak berhenti. Meskipun tidak kencang, namun tangisannya terdengar sedih. Naruto tidak tahan untuk bertanya.

"Ada apa ?" Suaranya rendah tapi lembut. Tangannya masih sibuk mengusap surai pink di peluknya.

Tidak ada jawaban. Sakura masih menangis, tangannya mencengkram erat bagian belakang pakaian Naruto.

"Semuanya tidak apa-apa, Sakura- chan. Teme dan Ino- chan pasti ketemu kok!"

Sakura menggeleng dalam pelukan Naruto. Bukan itu yang ingin ia dengar. Naruto kehabisan akal. Ia tidak tahu apa yang membuat Sakura menangis.

"Kau tahu ? Setiap kali aku menangis, aku selalu ingat Sakura- chan loh! Karena Sakura- chan itu kuat. Dari dulu saat kita masih sekolah dasar, hingga sekarang saat lulus SMA, Sakura- chan bisa menghadapi semua itu. Meskipun berat, meskipun menangis juga, tapi Sakura- chan bisa menghadapi semua yang ada."

Naruto menarik napas, "Makanya aku menyukai Sakura- chan!"

Astaga!

Badan Sakura berhenti bergetar. Kini tubuh yang lebih kecil itu perlahan menjauhkan badannya dari pelukan Naruto.

Aku salah timing!

"Kau tadi bilang apa Naruto ?"

Hiii! Mati aku!

"A-anu, Sakura- chan, aku minta maaf! Ta-tadi itu—"

Sakura mengangkat kepalanya, "Kau menyukaiku ?"

Naruto gelagapan, "Ti-tidak! Maksudku—iya! Aku sangat suka Sakura- chan—maksudku—"

"Artinya kau mau jadi kekasihku ?"

"Te-tentu saja—eh ?"

Karena pada dasarnya lemot, biarin Naruto mikir sebentar.

"Aku juga suka Naruto, Naruto mau jadi kekasihku ?"

Nah, kali ini Naruto bisa paham kenapa wajah Sakura terlihat merah dan malu-malu. Ia juga paham sekarang kenapa wajahnya terasa panas dan jantungnya seperti drum di pentas sekolah.

"Ma-mau…"

"Berarti, kita udah jadian ya ?"

"Eh i-iya…"

Naruto disconnect. Tadi nangisnya pura-pura saja atau gimana ? Terus perasaan, tadi di awal cerita ia dulu yang mau menyatakan perasaan ? Eh, memang ia dulu ya.

Eh tapi—

Naruto masih gagal paham.

"Pokoknya, kita cari Ino- chan dan Sasuke- kun dulu! Aku mau cerita pada mereka kalau kita sudah jadian! Hehe!"

Naruto mah ngikut aja diseret. Kan udah author bilang dia disconnect.

Ino- chan, arigatou!

Sakura bergumam gembira.

.

.

Bagian itu jadi extra chap, oke ?

Author butuh konsumsi.

.

.

.

.

.

.

Ino masih terbahak entah dari kapan. Kedua tangannya memeluk perutnya, menahan rasa kram yang menyerangnya sejak beberapa detik yang lalu.

"Duh, Sasuke- kun," Ino menyeka air matanya, "Wajahmu gak nahan."

Sasuke memutar bola mata. Bisa-bisanya ia ditipu di tengah cerita. Gadis itu dengan lancarnya menyebut nama kakak keduanya sebagai calon suami. Hei, kedua kakaknya itu sudah punya calon masing-masing dan Sasuke sudah kenal semuanya. Tentu ia kaget mendengar Ino akan dijodohkan dengan kakaknya yang satu itu.

Sasuke tidak bisa membayangkan kalau kakaknya senang mendua.

"—oh."

Entah kesambet atau apa, Sasuke tiba-tiba connect.

Author jadi menduga kalau Naruto dan Sasuke punya telepati berbasis WLAN system.

Ino mengangguk-angguk saja.

"Kau setuju ?" Ino bertanya. Tatapannya lurus ke arah langit.

"Kau sendiri ?"

"Aku sudah bilang aku tidak bisa menolak ayahku."

"Hm."

"Jadi ?"

"Tidak masalah bagiku, sih."

"Kenapa ?"

"Kau sendiri kenapa ?"

Ino merengut, "Sudah kubilang—"

"Jujur, Ino."

Onyx itu ternyata indah sekali kalau dilihat sedekat ini.

"Oke, tadi sudah jujur sih—aku tahu maksudmu lebih jujur kan," Ino mencegat Sasuke yang terlihat ingin membuka mulut. Kepala bersurai raven itu mengangguk. "Ya, karena aku—kau tahu lah—itu."

Wajah Ino jadi panas kan. Sasuke mengeratkan rahangnya, ingin menggigit pipi yang semakin terlihat pink itu.

Tahan, Sas, tahan.

Ino menggeleng cepat, "Nah, kau sendiri kenapa ?"

Sasuke ganti menatap langit, "Karena kau."

Ino cengo sebentar dan terkikik setelahnya. "Kau tidak jelas."

Sasuke tidak membalas. Ia hanya mendekatkan badan ramping itu ke arahnya dan mengangkat tangan kanan sehalus sayap kupu-kupu. Kedua jarinya menyematkan benda di jari manis kanan milik lawannya. Cincin dari emas putih itu terasa hangat saat terpasang di jari manis sang gadis yang sedang bersemu.

"Terima kasih."

"Hm."

"Sejak kapan kau menyukaiku ?"

Sasuke menatap gadis itu lagi, gadis yang juga sedang melakukan hal yang sama itu tersenyum meremehkan. Sasuke merasa tertantang.

"Entahlah." Lelaki itu ikut mengangkat salah satu ujung bibirnya, "Sejak kapan kau menyukaiku ?"

Ino mengerucutkan bibirnya, "Akhir kita bersama di sekolah dasar, kurasa ? Hei, ini tidak adil!" Ino cemberut.

Sasuke tersenyum.

"Kalau begitu aku yang menang."

Ino menelengkan kepalanya, "Kenapa ?"

"Karena aku yang lebih dulu."

Ino tidak tahu Sasuke pandai menggombal.

Sasuke juga tidak tahu makhluk imut macam apa yang sedang tersipu di depannya ini.

Peluk, ah.

"Pantas saja kaa- san histeris mendengar kabarmu."

"Mmm," gumam Ino mengeratkan pelukan. "Kau tidak tahu ? Kukira Miko- baasan memberitahumu, atau setidaknya Chi- niisan."

Sasuke jadi merasa orang tua nya tidak adil. Kenapa hanya ia yang baru diberi kabar tentang ini kemarin ? Sasuke bahkan tidak diberi tahu nama dari tunangannya.

Tapi Sasuke jadi paham. Kakak pertamanya yang menemui Ino di New York. Yah, Itachi memang memegang posisi penting di markas besar Interpool. Tidak heran Itachi bisa dengan mudah menemukan Ino. Mendiang ayahnya kan, ketua pusat intelejen strategis mereka. Yang Sasuke belum tahu, ternyata ayah mereka itu berteman.

Sasuke harap menginterogasi orang tua itu tidak akan menambah dosa.

"Kau yakin bersamaku ?"

Sasuke mengangkat satu alisnya, "Kenapa kau yang terdengar tidak yakin ?"

Ino mengangkat kepalanya menghadap Sasuke, dagunya menempel pada dada lelaki yang tengah memeluknya, "Pertama, aku ini merepotkan. Kedua, kita tidak pacaran sama sekali, loh."

"Kita kan sudah bertunangan. Kenapa harus pacaran ?"

"Belum terlalu mengenal ? Ah, delapan tahun hanya mengontak satu sama lain sudah cukup ya." Ino memutar otak. "Engg… ah, sudahlah." Ino menyerah.

Sasuke, "Aku sedang memikirkan kapan kita akan menikah."

Ino, "Kalau Miko- baasan pasti menjawab 'besok' atau 'lusa saja'."

"Aku setuju."

"HAH ?"

"Kalau bisa hari ini. Aku sudah sangat menyukaimu sampai rasanya ingin meledak."

"Hanya menyukaiku ? Padahal aku mencintaimu sampai rasanya ingin meledak."

Uh-oh

Critical hit!

"Aku akan menelpon kaa- san untuk segera menyiapkan resepsi dan undangan."

"Tu-tunggu, Sasuke—"

"Aku mencintaimu sampai rasanya tidak bisa untuk dijelaskan."

"…"

"…"

"…aku juga mencintaimu sampai rasanya juga tidak bisa untuk dijelaskan."

"…hm, kaa- san sudah selesai menyiapkan undangannya."

"EH ?!"

Kali ini aku berterimakasih, dobe.

Sasuke rasa ia akan menraktir sobat durennya ramen nanti.

.

.

Ini juga extra chapter kok, tenang.

Silahkan simpan ke kepo an masing-masing, author bener butuh konsumsi sekarang.

Author lapar akan adegan romen.

.

.

.

.

.

End.

WUUUUHHUUUUU! KELARRRRR!

Iya, Mee tahu belom ada extra chapternya, tapi jangan khawatir! Tahun depan mungkin ap! *digetok*

Untuk teman-teman dan reader-tachi yang baik, yang udah review ataupun membaca ff Mee yang sebelumnya, Mee ucapkan terimaksih banyak! Mee senang bisa menghibur kalian disini!

Mee tetep minta RnR si, hehe *dilindes*

Salam,

Meenyaaw