Salmon

Rune Factory 2 : A Fantasy Harvest Moon

Written by Shigure Sora

.

.

"I want to sit together with you, talking about how we used to be.

About our memories, things we have done together.

Side-by-side, just you and me,

and our past."

.

.


[Messhina Valley - Path to Mountain]

Desir angin berhembus kian kemari, menemani sesosok insan yang kini termenung di hadapan kailnya. Terduduk di tepi aliran sungai, sedang isi kepalanya mengapung entah ke mana. Sepasang iris biru memandang kosong pada riak yang menghampiri. Surai kecoklatan yang entah sejak kapan mulai menggapai bahu, menari-nari lembut seiring gerak dedaunan. Helai demi helai daun yang berjatuhan seolah membawa kembali serpihan-serpihan kenangan akan suatu masa, di mana seseorang menemaninya terduduk di sana hingga petang menghampiri.

Ia mendengus perlahan.

Musim gugur memang kesukaannya, dan memancing seolah rutinitasnya. Tetapi hari itu, entah mengapa ia enggan untuk terduduk di sana. Mungkin karena tempat itu membangunkan mimpi pahit yang selalu ia kubur dalam-dalam, atau karena ikan yang ia cari serta kisah yang terkandung di baliknya—mungkin keduanya. Karena keduanya menyusun sebuah figur yang begitu akrab—dulu, sudah lama sekali. Sebelum kemudian waktu memberi jarak di antara mereka.

"Kuharap hari cepat berlalu," pikirnya. Agar ia dapat segera terlelap dan beristirahat sejenak dari segala kepahitan ini.

Sementara ia berkata-kata dalam hati, takdir seolah menentangnya mentah-mentah. Dengan langkah yang ringan seorang yang lain menghampirinya, kemudian mengambil tempat persis di sebelahnya. Tanpa perlu menolehkan kepala, ia hapal betul derap langkah itu. Figur tersebut kemudian seolah menjaga jarak agak jauh, agar sekiranya yang bersurai cokelat tidak terusik. Meski pemuda itu tahu, tidak mungkin sebuah eksistensi yang demikian tidak memberi dampak bagi sosok di sampingnya. Pemuda bersurai kemerahan itu kemudian melempar kail dan menanti dengan tenang. Di sana mereka terduduk, bersebelahan tanpa kata-kata. Hanya diiringi sunyi, serta sebersit rasa sesak di dada.

Menit demi menit berlalu, hingga kail salah satu di antara mereka menggeliat ke sana ke mari.

"Ah!"—kail ditarik, dan sebuah ikan tergeletak di tanah.

"Salmon!" Ujar yang berambut merah dengan nada riang.

Bukan, bukan orang itu yang menangkapnya. Melainkan Barrett yang sedari tadi duduk di sana.

"Sudah lama sekali, bukan?" Ucapnya lagi dengan senyum lebar.

Benar. Entah sejak kapan, Barrett tidak menangkap salmon lagi. Dahulu, seseorang selalu memberikan ikan itu padanya. Terasa aneh, ketika kini ia perlu memancing ikan itu dengan tangannya sendiri. Meski dulu—dulu sekali—pernah menjadi rutinitasnya. Waktu telah berlalu, namun ia masih tidak terbiasa dengan segalanya. Ia tidak terbiasa dengan segala rutinitas baru—juga jarak di antara mereka.

"Hm-m," ia bergumam singkat.

Memang, hari ini Barrett ingin menangkapnya. Ikan yang telah lama tidak ia cicipi karena sebuah alasan. Bukan karena tidak bisa mengolah, tentu saja. Mana mungkin ia tidak sanggup memasak makanan kesukaannya sendiri. Hanya saja, ada rasa yang ia rindukan setiap kali ia memasaknya—setelah waktu itu. Sejak seseorang mulai memasak untuknya. Menciptakan sebuah rasa baru, yang kemudian entah sejak kapan menjadi bagian tak terpisahkan dari salmon itu sendiri. Kala Barrett mengolah ikan itu dengan tangannya lagi—sementara orang itu menghilang dari hadapannya, ia tidak lagi dapat merasakan perasaan itu. Rasanya ada yang berbeda dengan salmon yang selalu ia cicipi, salmon yang dahulu dibuatkan seseorang khusus untuknya.

Hari ini, perasaan rindu itu meluap-luap. Memaksa Barrett untuk mencicipi ikan itu lagi, meski ia tahu rasanya takkan pernah sama. Sebab tangan yang membuatkan salmon untuknya, kini telah berpaling dari sana—atau begitulah pikirnya, sampai pria ini muncul di hadapannya. Sungguh, takdir tahu persis bagaimana cara mempermainkan perasaannya.

Disimpannya salmon itu ke dalam wadah, kemudian ia bersiap untuk pergi. Namun, pemuda di sampingnya tak kunjung beranjak dari tempat ia berada.

"Sampai kapan kau mau tinggal di sini?"

"Sampai aku mendapatkan salmon," jawab pemuda itu.

Barrett menautkan alis. Bukan, mungkin bukan seperti apa yang ia pikirkan. Bisa saja pemuda dengan bandana itu ingin memasak untuk dirinya sendiri—atau mungkin untuk putranya. Ya, mungkin lebih baik jika ia mulai mempedulikan sang buah hati yang selama ini ia abaikan karena masalah tempo hari. Anak malang itu telah lama tidak merasakan kehangatan dari seorang ayah, tak peduli betapa gigih Barrett berupaya menggantikan posisi itu. Tentu, karena bukan ia sosok ayah yang sesungguhnya. Kini, anak itu kembali memiliki keluarga yang lengkap. Figur yang telah lama menghilang kini telah pulang ke rumah. Barrett berupaya ikut bahagia untuk bocah itu, meski itu berarti seseorang kini benar-benar pergi dari sisinya. Ia hadir di sana, tetapi tidak sekalipun menoleh. Ia tertawa, tetapi bukan bersamanya. Barrett tidak tahu mana yang lebih baik, tetapi barangkali menatap dari kejauhan seperti itu saja mampu mengobati rindunya barang sedikit.

Pemuda itu kembali meletakkan peralatannya, kemudian berbaring dengan kedua tangan menopang kepala. Merenungi cerahnya langit yang seolah mengolok-olok badai dalam hati. Sesekali dari ujung mata ia melirik surai merah yang dihempas desir angin, tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya. Hanya sorot penuh kerinduan, tanpa sanggup mengulik kembali lembaran masa lalu.

"Sudah lama sekali,"

Pemuda yang bersurai merah membuka suara memecah hening, dengan seulas senyum simpul pada wajahnya. Bukan sebatas basa-basi seperti yang ia ungkapkan sebelumnya, tetapi sungguh dari lubuk hati.

"Kau tahu, aku selalu ingin seperti ini lagi." Sebuah senyum getir terukir pada wajahnya, tetapi tak juga ia lepaskan pandangan dari riak air.

Ya, Barrett pun menginginkannya. Selalu. Ia merindukan gelak tawa itu, senyuman bodoh di balik setiap sapaannya, waktu hening di antara mereka, rasa canggung akan kalimat ketus yang terlontar dari mulutnya, keingintahuan yang selalu mengganggu hari-harinya, dan rasa yang ia kecap dalam setiap gigitan daging salmon buatan tangannya. Namun semuanya tak lebih dari sebatas angan, yang selalu luput ditelan kenyataan setiap kali ia terbangun dari lelapnya mimpi.

"Ingat saat aku memancing tuna yang amat besar itu?"

Sekelibat ingatan memaksa Barrett untuk kembali, pada masa-masa ketika dua insan itu begitu akrab. Hari-hari berlalu dengan hangat yang ia bawa dalam setiap tingkah lakunya. Kebersamaan yang selalu asing namun terasa bagai candu, senantiasa membuat Barrett menjadi haus dan ingin terus merasakannya. Namun roda berputar, waktu berganti. Masa yang indah kemudian tersimpan begitu dalam di relung hatinya, menjadi lara yang menyeruak menyesakkan kerap kali ia mengingatnya.

"Saat itu tenagaku tidak sanggup mengalahkan hentakan ikannya," lanjut si rambut merah.

"Ya, dan kau tersungkur ke dalam sungai dengan bodohnya."

Dan Barrett tenggelam dalam lukanya sekali lagi. Ke dalam masa-masa yang begitu ia rindukan, hari-hari yang tertinggal jauh di sana menjadi bunga tidur. Entah bagaimana menghabiskan waktu bersama seorang yang begitu ceroboh dan selalu merepotkan menjadi hal yang begitu berharga dalam memori, ketimbang hari yang damai sebelum sosok itu mengusik hidupnya. Padahal sosok yang datang entah dari mana itu senantiasa mengganggu dengan kelalaiannya, tindak tanduknya yang membahayakan nyawa—serta kepedulian pada orang lain yang mengabaikan diri sendiri. Kepedulian yang sama telah membangun jarak di antara mereka. Membuat dinding pembatas antara keduanya, dengan seekor naga tua yang siap mengamuk kapan saja.

"Jika kau tidak menggapai tanganku, mungkin aku tidak akan mendapatkannya." Ia terkikik geli mengingat bagaimana mereka menarik bilah kayu itu bersama-sama, mengalahkan keinginan mangsa di balik kail itu untuk membebaskan diri.

Dan barangkali, jika Barrett meraih tangannya malam itu, mungkin ia tidak akan meninggalkannya. Mungkin ia dapat mencegah pemuda di hadapannya pergi—atau setidaknya mencegah ia pergi sendirian, tanpa dirinya. Jika saja Barrett tahu, ke mana dan mengapa pemuda itu harus pergi.

Keduanya termenung kembali, larut dalam kenangan yang tersingkap di tengah angin musim gugur. Hingga kail yang dilempar kembali bergerak, seolah menyadarkan mereka akan waktu yang telah berlalu.

"Ah…"

Sebuah nada terlontar menyuarakan kecewa, kala ikan yang melompat dari permukaan bukanlah salmon yang dinanti. Namun di lain pihak seseorang mendengus lega, karena sekali lagi alam telah mengulur waktu bagi mereka—untuk perbincangan kecil yang amat dirindukan.

"Kalau kau menginginkannya, mengapa tidak kau pelihara saja di kolam?" Tanya Barrett pada si rambut merah.

"Tidak bisa," yang ditanya menjawab tanpa menoleh, sembari kembali melempar kail ke sungai.

"Mengapa? Padahal dulu kau mati-matian menaklukkan monster-monster itu hanya untuk memanen hasilnya."

Ya, dulu mereka pernah melakukannya. Pergi ke pelosok hutan dan berjuang menarik hati domba setengah monster, demi mendapat bulunya setiap hari. Tak hanya itu, tapi juga sapi setengah kerbau, lebah-lebah seukuran elang, serigala kutub, bahkan mungkin sejenis orc. "Padahal kita bisa memburu mereka setiap hari," katanya. Dan aku bisa menemanimu kapan saja—yang tak pernah terucap.

"Jika ada jalan untuk melakukannya tanpa menyakiti mereka, mengapa harus menempuh cara yang kasar?"

Itulah alasan yang ia kemukakan, hingga sang brunette tak punya pilihan selain mengiyakan. Lantas terpikir olehnya, mengapa pemuda itu tidak memelihara salmon, lalu di kemudian hari mengambilnya dari kolam? Bukankah jauh lebih mudah memberi makan ketimbang menunggu berjam-jam untuk seekor ikan? Meski itu berarti tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk duduk berdampingan dan bercakap seperti saat ini.

"Tidak ada yang menjual makanan ikan di sini," namun Barrett tahu itu tak lebih dari sekedar bualan. Sebab bukan perkara sulit mencari pakan ikan ke kota sebelah. Ia yakin—atau mungkin lebih tepatnya berharap—ada hal lain yang mendasari keras kepala itu.

"Lagipula kalau begitu aku tidak bisa memakai alat pancing yang kudapat dari seseorang, kan?" jawab pemuda itu lagi, dengan mengumbar senyum. Seakan tahu pasti apa yang ada dalam benak lawan bicaranya.

Bahkan Barrett sudah lupa, kalau ia pernah memberi pancingan tua itu padanya. Sebilah kayu yang sudah usang, sama sekali bukan hal yang spesial. Tapi kalimat yang baru saja ia dengar mengubah hal itu menjadi sesuatu yang lain. Seharusnya manis di telinga, namun entah mengapa waktu membuat kalimat itu terdengar pahit.

"hm-m…" Barrett tak mampu berkata-kata. Hanya bergumam kecil, kemudian sunyi kembali mengisi ruang di antara mereka.

Perlahan, rintik air mulai mengisi ruang di antara mereka. Tetes demi tetes yang segera beranjak menjadi deras, memaksa kedua insan itu mengakhiri perjumpaan mereka. Namun sebelum Barrett beranjak untuk mengakhiri mimpi indahnya, Kyle meminta sesuatu padanya.

"Ah, sayang sekali. Kalau begini, aku tidak bisa mendapat salmon. Barrett, apa aku boleh mengambil punyamu?"

Barrett menautkan alis, tetapi kemudian ia memilih untuk mengangguk dan menyerahkan salmon tangkapannya ketimbang menanyakan tujuan di balik permintaan itu. Yang meminta pun menyeringai, lantas menyampaikan terima kasih.

"Ayo ke sekolah," ujarnya.

"Untuk apa?"

"Apa? Tentu saja kita akan membuat sashimi kesukaanmu, kan?"

Setelah itu mereka berlari tanpa bercakap, dengan yang satu menarik lengan yang lainnya.

Sungguh aneh, bukan? Ketika langit menghujani mereka dengan air mata, hatinya justru tersenyum. Hari itu, untuk pertama kali—setelah sekian lama, akhirnya Barrett merasakannya lagi. Sensasi yang selalu ia rindukan kala ia mengecapnya. Hidangan yang selalu dibawakan seseorang untuknya. Salmon.

.

.

.

END