A/N:

Sebuah cerita roman sederhana, didedikasikan untuk para pahlawan di garda terdepan wabah COVID-19.

Semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlimpah.

Cerita dibuat di tengah kebosanan menatap pekerjaan menumpuk saat WFH (Work From Home).

Silakan dikritisi.


Disclaimer:

Karakter yang saya gunakan dalam cerita ini diambil dari Naruto karya Masashi Kishimoto.

Kisah pilu yang ada di dalam cerita ini adalah kisah nyata mereka, para pahlawan, yang saya tuangkan dan tambah dengan bumbu romansa.


ForgetMeNot09

mempersembahkan

.

.

.

Romansa di Balik Pandemik Korona

.

.

.

Matanya terlihat sayu. Kepala terasa berat, dan tentu saja seluruh tubuh bagai remuk. Setelah selesai dengan jam kerja yang cukup padat, ia merasa butuh istirahat. Malam ini ia harus pulang untuk kembali lagi besok, bertukar tugas dengan kawannya yang lain. Sebenarnya antara tega tidak tega ia meninggalkan pasien-pasien itu di sini. Rasa kemanusiaan yang tinggi dan tanggung jawab moral sedikit menghantuinya dalam kondisi seperti ini. Namun, ia berpikir lebih baik, jika tidak menjaga kesehatan sendiri, ia tidak akan bisa bermanfaat bagi pasien-pasien itu nanti. Maka ia terpaksa menuruti prosedur.

"Aku pulang dulu Sakura," ujarnya.

Setelah mendapat persetujuan dari kawan sejawatnya, ia menuju ruang ganti di bagian depan. Tak lantas melepas seluruh atribut keselamatannya, ia memilih mengedarkan pandangan sejenak. Tempat ini sejatinya adalah sebuah aula yang dikelilingi barak milik militer Angkatan Darat. Sudah sebulan yang lalu disulap menjadi tempat darurat untuk mengisolasi pasien yang terkena wabah penyakit akibat Novel Corona Virus. Segala peralatan yang sengaja didatangkan dari luar negeri secara masal diangkut ke tempat ini. Kendati demikian, apa yang tersedia masih belum sebanding dengan kebutuhan lantaran masih harus berbagi dengan rumah sakit lain di berbagai penjuru negara.

Ia menitikkan air mata. Sungguh tidak menyangka, jika hidupnya yang sudah dirasa damai akan kedatangan ujian berat semacam ini. Bukan hanya dirinya, tapi semua orang, di seluruh dunia. Ia baru saja lulus sekolah profesi kedokteran dan langsung dihadapkan pada situasi darurat di mana tenaga medis menjadi yang pertama yang bisa diandalkan. Terlepas dari keputusan apa yang nanti diambil pemerintah, dengan lockdown ataupun mengarah pada pembentukan herd immunity, mereka tenaga medis harus selalu siap. Karena dua pilihan itu tidak memberikan efek banyak pada mereka. Mereka tetap berada di depan, bertarung langsung dengan mempertaruhkan nyawa sendiri dan orang lain.

Ia menghela napas, lalu tersenyum. Dilepasnya satu per satu lapisan pakaian yang tak pernah ia kenakan sebelum keadaan ini, dan dibuangnya ke kotak yang sudah tersedia. Lepas itu menuju kamar mandidi ruang bersih dan membersihkan diri. Tak jarang lamunannya kembali ketika menatap pada titik air yang keluar dari shower. Ia tak pernah menyesali keputusannya menjadi seorang dokter, ia hanya merenungi arti dari kehidupan setelah sekian lama ia hidup dalam kenyamanan. Mungkin beberapa orang di luar sana pernah mengalami berat ujian yang sedang dihadapinya saat ini, dan mereka bisa bertahan. Jadi, ia harus bertahan apa pun yang sedang dan akan dihadapinya, bukan?

Ia bergegas memakai pakaian dan berjalan keluar. Tepat saat itu ia melirik dari sudut mata, seorang tentara yang juga baru saja keluar dari ruang bersih khusus laki-laki.

"Selamat bertugas, Kapten!" seru laki-laki itu sembari memberi hormat.

Kemudian mereka bertemu pandang dan saling mengangguk sopan. Sebelumnya mereka sering bertemu karena memang berada di jam tugas yang sama. Namun selama ini hanya menyapa dengan gestur tanpa ungkapan verbal. Entahlah, dirinya yang terlalu malu atau serdadu itu yang terlalu kaku.

"Hari yang berat?" sapa serdadu itu tiba-tiba.

Ia tertawa kecil, "Ya begitulah. Anda mungkin sudah terbiasa, tapi saya belum."

Pria itu menatapnya dari samping.

"Tidak juga, ini pengalaman pertama saya bertarung dengan makhluk halus," candanya.

Gadis itu tertawa. Lumayan juga untuk mengurangi rasa tertekan yang baru saja berkumpul di rongga dada.

Selain petugas medis, di tempat ini juga dipekerjakan para tentara. Mereka bertugas menjaga dan memantau setiap sudut kawasan. Memastikan tidak ada yang keluar masuk tanpa ada keperluan, memastikan tidak ada pasien yang kabur, dan kadang mereka juga diperbantukan untuk keperluan mekanik dan logistik. Semata-mata karena tempat ini merupakan wilayah mereka dan mereka lebih memahami skema dan pengaturannya.

"Besok pagi Anda akan bertugas lagi di sini?" tanya pria itu, yang dijawab dengan anggukan oleh sang gadis.

"Mungkin kita bisa bertemu lagi," lanjut sang serdadu.

Gadis itu tersenyum dan mengangguk.

"Inuzuka Kiba."

"Huh?"

"Namaku, Inuzuka Kiba."

"Ahhh … saya Yamanaka Ino, salam kenal Letnan."

"Salam kenal juga Dokter."

Ino terkikik geli, padahal tanpa menyebutkan nama pun dia sudah tahu nama pria itu dari papan nama di seragamnya.

Ino benar-benar sedih. Ia berjalan gontai di sepanjang jalan keluar dari tempat kontrakannya. Air matanya menitik sepanjang perjalanan itu. Hatinya rasa hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak, jika ia baru saja ditolak masuk kamar kontrakan oleh si pemilik, bahkan seluruh teman-temannya mengusir meski secara halus.

Ino paham, mereka hanya takut. Takut jika dia membawa makhluk kecil itu bersamanya dan menyebabkan penularan kepada yang lain. Ino paham, bahwa mereka hanya ingin melindungi diri dan keluarga mereka. Namun, bukankah ini sama dengan menyakiti hatinya? Padahal Ino sudah menjelaskan perihal prosedur yang telah diikuti selama melakukan perawatan pasien, tetapi mereka tidak mau mendengarkan. Mereka memohon untuk dikasihani tanpa memikirkan harus tidur di mana dirinya, harus beristirahat di mana dirinya. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah terus berjalan, menanti keajaiban diberikan Tuhan.

Ino berhenti di dekat perempatan jalan. Jika dipikir-pikir ia belum menelan apa pun sejak pulang shift. Ia memutuskan untuk berhenti sebentar di warung dekat perhentian lampu lalu lintas. Pemilik warung itu sudah mengenal dirinya, tentu saja karena selama tinggal di rumah kontrakan ia sering membeli makan di sana.

Namun lagi-lagi ia kecewa. Justru karena mengenal Inolah, pemilik warung itu tahu apa yang ia kerjakan. Sebelum masuk, ia sudah dicegah oleh pemilik warung. Wanita tua itu meminta maaf dengan sangat dan memohon pengertiannya.

Ino sudah terlanjur capai dan sakit hati. Ia memutuskan untuk diam saja dan pergi, kendati jemarinya saling meremas kuat. Baiklah, mungkin dia harus berjalan sedikit lagi untuk bisa makan. Setidaknya di mana orang tidak mengenalnya. Sementara masalah tempat tinggal? Bisa ia pikirkan nanti sambil makan.

Gadis itu memutuskan untuk naik ojek daring dan berhenti di sebuah restoran cepat saji. Sambil menunggu pesanan ia mulai menghubungi keluarga dan mengatakan baik-baik saja. Padahal gadis itu tengah menitikkan air mata saat mengetik pesan. Yamanaka Ino baru dua bulan ditugaskan di kota ini, itulah sebabnya dia masih mengontrak kamar alih-alih membeli rumah. Lagi pula, uangnya juga belum cukup untuk membeli rumah yang harganya kian tak terjangkau di kota ini. Setidaknya biarkan ia menabung dulu, agar bisa memiliki rumah tanpa harus meminta bantuan orang tua.

"Dokter?"

Ia terkejut. Kepalanya mendongak dan tak mampu ia tak membelalak. Ya, siapa sangka mereka akan bertemu di sini?

"Letnan?"

Pria berambut cokelat itu tertawa renyah. Ia meletakkan dua nampan berisi makanan ke meja, kemudian duduk di depan Ino.

Ino memperhatikan lamat-lamat, sepertinya makanan ini pesanannya kan?

"Iya, itu pesanan Anda. Kebetulan tadi saya menawarkan diri untuk mengantarnya kepada Anda. Ya, siapa tahu saya bisa berkenalan. Ternyata ini Anda."

Kiba terkekeh, yang seketika dibalas senyuman dengan sedikit rona di pipi Ino.

Mereka mulai menikmati makanan dalam hening. Sesekali Ino melirik, menatap pria itu. Kenapa ya, penampilan pria ini sedikit urakan untuk ukuran tentara sepertinya. Namun, yang ia suka adalah saat pria itu tertawa. Ada seujung taring muncul dan itu membuat Ino membayangkan pria itu adalah manusia serigala.

"Jadi? Anda sengaja keluar malam-malam seperti ini untuk makan? Biar saya tebak, rumah Anda dekat dari sini?"

Ino mematung mendengar pertanyaan Kiba. Ia diam, menimbang-nimbang apakah akan menceritakan masalahnya kepada laki-laki itu, mengingat laki-laki itu adalah orang asing yang baru saja dikenalnya.

Ahh to hell with it.

Ino tak butuh apa pun saat ini kecuali solusi untuk tempat tinggal. Maka gadis itu memutuskan untuk bercerita. Sesekali, diiringi isak tangis di sela-sela ia sedang mengunyah makanan. Ini membuat Kiba bingung, antara kasihan dan ingin tertawa karena ekspresi lucu yang ditimbulkan oleh wajah Ino.

Selesai bercerita, Ino menghela napas dalam, lalu meminum sodanya sampai tandas. Kiba menggelengkan kepala. Bukankah gadis ini dokter? Seharusnya ia paham kan efek buruk soda pada tubuhnya?

"Begitu ya, saya benar-benar kecewa dengan mereka. Seharusnya berterima kasih dengan Anda, bukan malah mengusir meskipun secara halus."

Mereka terdiam sesaat.

"Sebenarnya saya akan dengan senang hati menerima Anda di tempat tinggal saya. Masalahnya adalah kami para tentara muda yang belum menikah, belum diizinkan tinggal di luar barak, dan akan jadi masalah besar kalau saya membawa Anda ke barak untuk tidur bersama saya."

Ino melempar gelas kertas bekas soda, tepat mengenai kepala pria itu. Kiba balas dengan terkekeh kemudian mengambil gelas Ino untuk diletakkan kembali di atas meja. Hei, tidak boleh buang sampah sembarangan!

Sejenak kemudian Kiba berpikir. Pria itu mengeluarkan ponselnya dan meminta Ino menunggu.

"Halo, Hinata."

"…."

"Hahahaha … kau ini benar-benar! Aku mau minta tolong."

Ino hanya mendengarkan percakapan Kiba dengan seseorang di seberang sana. Oh mungkin itu pacar Kiba. Entah kenapa hatinya sedikit nyeri menebak seperti itu.

Kiba menutup teleponnya setelah beberapa saat. Lantas memandang Ino dengan senyum yang bagi gadis itu lebih mirip seringai.

"Ada apartemen di dekat sini, Anda bisa tinggal di sana."

Ino mengernyitkan dahi. Baiklah, dia memang cerdas, kalau tidak mana bisa masuk ke sekolah kedokteran bukan? Namun tetap saja, yang dikatakan Kiba itu sungguh tidak jelas. Sepertinya Kiba paham dengan kebingungannya, dan ia mulai bercerita.

"Teman saya yang tadi saya hubungi, keluarganya punya beberapa hotel dan apartemen. Saya menceritakan keadaan Anda dan dia menawarkan salah satu unit apartemennya untuk Anda tinggali."

Ino bingung, mulutnya membuka lantas menutup lagi. Apartemen kedengarannya terlalu mewah untuk dirinya saat ini.

"Anda tenang saja, ia menawarkan secara cuma-cuma," jelas Kiba seakan mengerti arah pikiran Ino.

"Ba-bagaimana mungkin?"

"Dia dan keluarganya memang orang baik. Mungkin Anda pernah mendengar Hyuga?"

Seketika Ino mengangguk, siapa tidak kenal pemilik komplek apartemen dan hotel di beberapa kota besar negara ini?

"Benarkah?"

Kiba tertawa kecil, "Ya, lagi pula, calon suami Hinata itu tentara juga, sedang mendapat penugasan yang sama seperti saya. Makanya dia jadi ikut merasa sedih mendengar cerita Anda tadi."

"Anda?" tanya Ino penasaran.

"Apa?"

"Anda calon suaminya?"

Kiba tergelak sampai memukul meja.

"Anda ini terlalu stres atau bagaimana? Tidak memperhatikan kalimat saya tadi?"

Ino menggembungkan pipi untuk menutupi rona merah karena malu. Namun, lebih malu lagi saat Kiba melanjutkan kalimatnya.

"Atau Anda memilih tinggal bersama saya?"

Oh rasanya ia ingin memukul pria itu dengan nampan.

"Terima kasih tumpangannya, dan … semuanya."

Ino tidak percaya Tuhan benar-benar menolongnya lewat tangan orang-orang baik. Ia mematri senyuman tulus pada wajah yang sembap, untuk Kiba. Pria itu hanya membalas dengan cengiran.

"Tidak masalah, mungkin Anda bisa membalasnya suatu saat nanti," jawab Kiba.

Ino melirik malas, "Pamrih sekali."

"Hei, tidak ada apa pun yang gratis jika berurusan dengan saya Nona," ujar Kiba dengan tawanya yang khas, yang mampu membuat Ino kembali merona.

"Baiklah, besok saya traktir Anda makan malam sepulang shift," kata Ino.

Tiba-tiba gadis itu merinding, ketika mata Kiba menajam dengan seringai di bibirnya.

"Saya tidak butuh itu."

Kiba mendekatkan wajahnya, "Mungkin sekali dua kali kencan? Atau berkali-kali? Ya, siapa tahu kita berjodoh, jadi saya tidak perlu jauh-jauh mencari wanita yang mau dijadikan istri."

Ino mematung. Hanya perasaannya atau pipi sang serdadu sedikit memerah saat mengatakan itu? Lagaknya saja gagah, ternyata bisa blushing juga.

"Baiklah, Tuan Pemaksa," balas Ino.

Gadis itu berbalik dan meninggalkan Kiba yang terdiam, menuju gedung apartemen tempat tinggalnya sementara.

Ino berterima kasih pada Tuhan.

Kiba pun sama.

Semoga badai cepat berlalu, sehingga mereka bisa memulai kebahagiaan baru.

.

.

.

TAMAT