Hatsukoi

.

Disclaimer: Naruto and all the chara are Masashi Kishimoto's, the story is mine

.

.

Hinata duduk di antara hadirin, menunggu pelaminan sepi untuk sekadar menyapa mempelai. Rambut merah Karin tak semencolok biasa, disanggul rapi dan make up membuatnya secantik Kushina. Rumor ia memiliki hubungan dengan Uchiha Sasuke akhirnya terputus, pria itu berlabuh pada Konoha Beauty alias Haruno Sakura. Berbicara mengenai Sakura, pikiran Hinata tentu berlari pada Naruto, bagian tiga serangkai yang disisihkan.

Bertemu dengannya adalah kemungkinan teramat mesti. Hinata sudah memikirkan itu di daftar pertama. Sekarang ini dia bisa dikatakan pria paling eligible sedesa. Tapi Hinata tahu, dia sama randomnya dengan 7 triliun makhluk bumi. Mengecewakan sekali bahwa dia masih jadi yang terbaik di hidup Hinata.

Kemudian tibalah keabadian itu, waktu di mana pandangan mereka bertemu. Jantung Hinata terhenti sesaat lalu ekskalasi gila-gilaan. Uzumaki Freaking Naruto, berjalan pelan ke arahnya, membawakan segelas air yang tumpah-tumpah sedikit.

"Hinata-chan."

Tubuh Hinata langsung dingin. Senyum itu, yang pernah indah lalu menyakitkan, kini hadir sebagai pemanis pertemuan. Ia tenang tapi badai sedang bergulung-gulung di dadanya. Kecewa itu masih ada, namun sedikit ambivalen bercampur rindu. Plus, Hinata sudah coba berdamai dengan diri sendiri—yang selalu gagal—sehingga ia belajar tak ada gunanya menyimpan benci.

Kemudian Naruto mengajaknya ngobrol tentang banyak hal. Begitu santai seolah tak pernah terjadi apapun. Seakan-akan mereka kawan akrab, melompat ke kebersamaan manis, menihilkan kerenggangan.

"You look good, Hinata. Or should I say gorgeous?"

Naruto yang flirty, intelligent seducer dan semesta kerandoman telah kembali. Hinata mencengkeram tas tangan, mempertahankan ekspresi kalem untuk mengelabui lawan bicara. Dan berhasil, Naruto tak lagi merecoki dengan tanya-jawab macam cerdas cermat. Dia balik jadi seksi acara yang mondar-mandir melebihi setrika. Sesekali pria itu masih menengok yang Hinata balas dengan melengos. Permainan curi-pandang-cari-perhatian tersebut memenjara keduanya dalam situasi awkward.

Lelah meyakinkan diri bahwa kehadirannya bukan untuk Naruto, Hinat pulang. Ia melawan, menolak terjerat pada pesona yang sama. Maka ketika semua panitia sibuk, Hinata justru menyelinap keluar.

Kucing-kucingan pengecut itu digagalkan langsung oleh si pemacu minggat-minggat klub. The eligible Uzumaki Naruto himself. Tangan yang kini berotot dan kokoh mencekalnya.

"Hinata, boleh minta nomor ponsel?"

.

.

Uzumaki Naruto. Hanya perlu sosok itu melewatinya dan Hinata seakan mati berdiri. Her heart can bear his presence. Dia bukan yang tertampan di sekolah, tertampan di angkatan pun barangkali tidak. Tubuhnya kurus dengan tinggi menonjonl, ah, segala tentangnya memang menonjol. Dia terlalu bule untuk jadi Japanese namun juga terlalu Japanese untuk jadi bule. Apalagi rambut blonde dan mata biru yang seolah tak ditemukan di mana-mana di seluruh Jepang.

Tapi Naruto di segala tempat, Hinata selalu membawanya di hati. Dan lelaki itu kini di depannya, tersenyum hangat yang hampir membuat pingsan.

"Hai."

Seketika lutut Hinata lemas, tatapan Naruto tajam mengurungnya, dengan cengiran yang membuat pijakan seakan amblas.

"Hello little Einstein, come… come to your mama." Suara di belakanganya merebut panggung.

Letupan di dada Hinata padam. Berganti rasa ingin menangis karena 'hai' itu bukan untuknya. Untuk Shion, si bunga sekolah yang kebetulan teman seperpintaran Naruto. Jantung Hinata rontok melihat Naruto menengok, menatapnya seperti aneh.

Ini kali pertama, namun banyak kali lain untuk insiden pilu Hinata-Naruto. Terutama lantaran ia sekelas dengan Shion, penggiat klub sains di sekolah. Kadang Hinata berpikir untuk ikut klub itu, namun dengan riwayat akademiknya—yang hidup segan mati tak mau— seakan mengundang hujatan khusus.

Kadang pula Hinata merasa tak perlu melakukan apapun untuk dinotice. Mereka bahkan bernafas di RT yang sama, mana mungkin Naruto tak kenal. Lagi pula—maaf, ada kalanya sombong dan fakta beda tipis—Hyuga adalah keluarga terkaya di desa. Gerbang rumahnya saja bisa membuat orang minder saat lewat. Kekayaan itu memungkinkan Hinata memiliki apapun yang dia mau. Apapun.

Sayangnya Uzumaki Naruto tidak termasuk dalam "apapun" itu. Dia partikel bebas yang tumbuh without care in the world. Selaras dengan persamaan Shroedinger, sebagai partikel bebas, Naruto tidak dipengaruhi gaya dan energi potensial keluarga Hyuga. Dia adalah ketidakpastian bagi Hinata.

Naruto bisa sangat tak terjangkau. Ia bagai matahari, bintang paling terang di tata surya yang jaraknya entah berapa tahun cahaya. Cocok dengan Shion yang bintang jatuh. Namun Hinata musti ingat, ada kemungkinan dalam ketidakpastian. Termasuk kemungkinan yang akhirnya mendekatkan dengan si pusat dunia.

Suatu hari, tak satu manusia pun bisa menjemput Hinata, tapi juga tidak mungkin bawa mobil sendiri karena dia tuan putri. Jadilah ia menunggu di halte yang sialnya penuh, sudah berapa bus lewat dan hanya menatap kepergiannya dengan nestapa. Saat mulai sepi tiba-tiba seseorang menyapa.

"Tumben naik bis."

Hinata tersentak, jantungnya langsung berderap bagai gendering perang. Uzumaki Naruto, dengan segala sifat mataharinya yang silau, menegur. Selama beberapa detik Hinata lupa cara bernafas. Trance dengan keadaan yang mirip fenomena: matahari dan bulan berada di garis lurus.

"Halooo."

Naruto mengibas-ngibaskan tangan di depan muka Hinata. Dan gadis itu sedih karena sadar wajahnya pasti jelek.

"Ap-apa?" Suaranya adalah campuran kaget dan bingung.

Naruto mendengus tertawa, matanya yang biasa tajam menyipit. Hinata tidak tahu lagi, seluruh tubuh dingin, otaknya yang pentium dua setengah tak dapat fokus. Sepertinya perlu belajar mengikhlaskan Naruto. Lelaki itu tak baik bagi sistem respirasinya.

"Baru pernah liat kamu di sini. Seorang Hyuga Hinata naik bis?" Naruto membuat ekspresi sangsi.

Sesungguhnya Hinata tak peduli basa-basi ini. Ia lebih fokus pada: "oh begini Uzumaki Naruto dari dekat. Alisnya lebat. Yes, mereka punya kesamaan.", "Waw suaranya macho,"

"K-kamu kenal aku?" Akhirnya Hinata menyuarakan tanya paling dominan di kepala.

"Hyuga Hinata. Putri Hiashi Hyuga, anak kedua dari tiga bersaudara. Tercantik dan selalu menerima yang terbaik di kampung, siapa tak kenal?"

Cantik? Naruto menyebutnya cantik, kepala Hinata seakan membesar hingga menyentuh plafon.

"Mungkin malah kamu yang nggak kenal aku."

"Mana mungkin!" Seru Hinata. "Terpintar seangkatan, selalu kelas A, pacar Shion, ketua klub sains yang anaknya olahraga banget." Dan juara hatiku. Tapi Hinata tutup mulut karena takut mengumbar semua. "Aku sering melihatmu naik sepeda." Aduh, kenapa malah kedengaran sombong.

Naruto meringis. "Yup. Bersepeda memperbaiki kardiovaskuler, mengurangi polusi dan irit di kantong."

Sepanjang menunggu bus dan perjalanan mereka mengobrol. Ramah, super charming, dan easy to talk, kualitas itusemakin menarik Hinata ke medan magnet bernama Naruto. Ia rasa Naruto juga menguasai seni menatap sehingga lawan bicara seolah diperhatikan penuh. Tak heran meski tidak vokal, Naruto cukup popular.

Remaja berbadan tinggi itu bicara banyak. Hanya saja salah fokus merupakan keahlian Hinata. Ia suka tiap Naruto berkedip, takjub akan biru terang di dalam mata itu. Mata yang dalam dan tajam dibayangi hidung mancung. Hinata ingin tahu bagaimana mata tersebut memandang dunia. Lalu ia tersenyum, mungkin bagi Naruto semua mudah, terlihat dari tiadanya sedih di sana. Tidak seperti Hinata yang pungguk merindu matahari.

Memasuki desa Konoha, Hinata turun di gang pertama. Rumahnya di pinggir jalan, mewah dan merampas perhatian. Namun sebelum turun Naruto menahan lengannya. Mengantar dengan senyum simpul serta tatapan lembut.

"See you, Hinata. Turunnya hati-hati, dan… oh ya, aku bukan pacar Shion."

.

.

Semesta seolah mendukung doa-doa Hinata. Segalanya mudah dan ringan, seperti debu di bawah telapak kaki. Naruto mendekat padanya bagai tertarik magnet. Lalu mereka lekat, erat, ada untuk satu sama lain. Keduanya saling berusaha, mendekat dan menyambut.

Saking dekatnya, mereka jadi seperti bertukar kepribadian. Ia ketularan suka baca buku, sementara cowok itu jadi agak santai. Hinata juga sering kena marah Hiashi karena bandel, berangkat dan pulang sekolah naik sepeda. Naruto secara suka rela menjadi tutor gadis yang orangtuanya mampu membeli beli termahal. Tapi karena nilai Hinata naik, Hiashi membiarkan saja.

Kadang mereka belajar di teras belakang. Lalu setelahnya berbaring memandang bintang.

"Rambut kamu lembut banget ya, Hinata."

Tangan Naruto mengelus lembut. Hinata tersenyum tipis, membiarkan lelaki itu membaringkan kepalanya di lengan.

"Aku selalu pengin punya rambut gelap kayak kebanyakan Asian. It's would be easier to meddle with people."

Suara Naruto lembut bagai bisikan. Mereka sangat dekat, hingga Hinata bisa merasakan hangat nafas menerpa lehernya. Naruto terus memandangi, lembut seolah ia demikian berharga. Mereka begitu intens tanpa berbuat nakal, mungkin juga karena ini di rumah Hyuga.

Hinata tertawa geli ketika Naruto mengusakkan hidung di leher. Hatinya berdebar tapi takut tapi senang. Akhirnya ia menjitak kepala Naruto keras.

"Aw! Tuhkan kamu suka merusak suasana."

Tanpa keduanya tahu, tawa malam itu jadi mutual memori terakhir. Naruto yang memperlakukannya bagai ratu, menghilang di setiap rutinitas bersama. Ada terlalu banyak alasan disampaikan, mulai dari yang sepele sampai mengada-ada. Tiap papasan di sekolah Naruto menyapa tapi tak mendekat.

Sayangnya Hinata terlalu pemikir untuk sekadar bertanya ada apa. Keduanya merenggang tanpa penjelasan, kembali ke titik orang asing bahkan lebih parah. Dan yang paling menyakitkan adalah pertanyaan yang tumbuh di dalam diri Hinata. Apa yang salah padanya hingga Naruto tak menginginkan lagi? Setiap saat pertanyaan itu mengusik bagai hantu. Melukai setiap sudut hati yang dibuang begitu saja. Kemarin Hinata masih special lalu Naruto membuatnya merasa sampah. Ia menangisi kesadaran bahwa kebersamaan mereka adalah free trial.

Segala tentang Naruto menjadi himpunan tanya menyakitkan. Hinata pikir hubungan menyedihkan itu sudah mencapai kulminasi keretakan. Hingga Ino datang mengantarkan bom yang meluluh-lantakkan seluruh pertahanan.

"Hinata… Hinata!"

Suara teriakan Ino memekakkan telinga. Hinata digeret keluar kelas lalu dibisiki sesuatu yang membuat jantung seakan mau lepas. Ino menunjukan foto Naruto berdampingan dengan seseorang, keduanya menghadap kamera tertawa lepas. Ada yang berdenyut sakit di dada Hinata.

Ino terus berbicara, tapi Hinata tak mendengar apapun. Foto itu sudah merangkum segala penjelasan, membunuh perasaannya dengan brutal. Naruto melukainya sangat parah, diabaikan seolah tak terjadi apapun, dan sekarang dihabisi oleh kebersamaan dengan perempuan lain. Apakah Hinata cuma semacam trial? Karena merasa tak cocok Naruto pergi begitu saja, meninggalkan hati yang bertanya-tanya dan tenggelam dalam perasaan rendah diri.

Lutut Hinata lemas, tak kuat berdiri dalam keadaan menahan segunung kesedihan. Tiba-tiba ia merasa tak berarti, di lalu-lalang orang, bahkan Naruto yang amat dicintainya sekadar coba-coba. Hinata tak lolos fit and proper test dan Naruto adalah analis paling brengsek.

"Hinata kamu nangis?" Tanya Ino.

Hinata mengusap bukti luka yang Naruto torehkan. Pertanyaan Ino memperparah itu semua. Ia ingin terisak seperti orang gila, membiarkan orang-orang tahu si brengsek Uzumaki memperlakukan hatinya bagai mainan.

Betapapun kerennya seseorang, tak berhak dia bersikap sampah begini. Yang punya perasaan bukan cuma Naruto. Seenaknya mendekati Hinata, karena merasa tak cocok lalu membuang.

Ketika Ino mengajak ke kelas, sejatinya pikiran Hinata sudah melalang buana. Dalam dunia alternatif di kepala, ia sudah sesenggukan di kamarnya yang mirip hotel. Tapi tebak plot twist apa yang terjadi? The satan himself was sitting comfortably in her class. Naruto sedang tertawa-tawa tanpa belas kasih dengan Shion. Saat keduanya bertatapan, tawa lelaki itu berhenti, Hinata kecewa pada diri sendiri karena berpikir bahwa Naruto mungkin peduli. Ia lalu memutuskan pandang, berhenti menatap prince charming itu. Selamanya.

.

.

Naruto duduk di hadapannya, membolak-balik buku menu sambil mengetukkan jari di meja. Mungkin inilah pemandangan manusia bingung paling mempesona. Bayangkan betapa sulit jadi Hinata, berpura tenang padahal di hadapannya terpampang segala yang diinginkan dalam hidup. What's the point of her life is she can't be with him?

Tapi apakah Naruto bahkan sadar apa yang sudah dilakukannya pada Hinata?

Entahlah. Hinata di sini bukan untuk mempertanyakan cinta. Itu sudah sangat kemarin, dan karena Naruto tak pernah memberi closure, maka ia yang akan menutup pintu. Hinata menutup kemungkinan-kemungkinan yang tak bisa dicetak biru realita. Dalam artian, tak ada pengandaian atas aku dan kamu menjadi kita. Bah, Hinata bukan bocah indie kopi-senja-kamu. Ia wanita dewasa yang menganut prinsip: Never Beg For Love!

"Ada yang belum selesai antara kita, Hinata."

Yang ditanya menyesap wiski santai, bergeming mendengar tanya yang merontokkan hatinya di waktu lampau. Apakah tadi Hinata bilang hendak menutup pintu? Nah, ia punya kecenderungan inkonsisten. Hari ini, sekali saja, Hinata ingin memiliki Naruto.

"Bisakah kita selesaikan hari ini?" Melihat reaksi Naruto yang melongo, Hinata melanjutkan. "Jujur ya, kemarin aku stalk kamu dan menemukan foto perempuan, sepertinya kalian dalam relationship. Jadi bolehkah kita membayar yang belum selesai itu dengan kencan sehari?"

Naruto tertawa—mungkin oleh kepolosannya—dan Hinata tahu move on yang sudah dibanggunnya bertahun-tahun kandas.

Tanpa diduga Naruto mengangguk atas ide bodoh itu. Dia langsung praktek memandang Hinata secara nyaris tak senonoh, seperti menginginkan. Mereka sepakat untuk menutup segala ketidakjelasan dengan kencan. Mungkin keduanya lelah mendiamkan dan berpura satu sama lain tak eksis. Lelah karena mereka seharusnya lebih baik dari itu.

Jantung Hinata kebat-kebit kala Naruto menawarkan tangan sehabis makan. "Ayo." Dia menggandeng, melingkupi tangan kecil Hinata dengan hangat yang mengayomi.

Hinata berjanji untuk meninggalkan hatinya selepas hari ini. Membiarkan Naruto sebagai "hampir" terindah dalam hidup. Hampir pacar, hampir ciuman pertama, hampir motivasi terbaik. Ia tidak takut terhadap kepura-puraan ini, bahkan meski hanya menyisakan kosong.

"Hanya hari ini." Hinata melingkarkan kedua tangan ke pinggang Naruto. Hatinya terbang ketika disambut senyum.

"Nonton film?"

"Yes please."

Mereka bergandengan menyebrang gedung bioskop. Sesuatu di antara Hinata dan Naruto tak pernah sungguhan dimulai, juga tak diakhiri. Tapi ikatan itu ada dan sekarang merealita. Hinata akan memerekam memori sebanyak mungkin, untuk digunakan kala hopeless melihat Naruto dengan yang lain. Itu penting, siapa tahu Hinata takkan lagi mencintai siapapun. Ikatan akan jadi kompromi di kemudian hari.

Sepanjang film diputar, Naruto menggenggam tangan Hinata. Sesekali membawa ke bibir, mengecupnya lembut. Dan kamu tahu? Hinata tak paham sedikit pun apa yang berlangsung layar. Hatinya ambyar dalam suka cita. Diamatinya fitur wajah Naruto menajam oleh kedewasaan, ia menyukai rahang tegas dan hidung yang kelihatan lebih tinggi, lemak pipi yang dulu menggemaskan hilang total.

Setelah film selesai, Naruto menawari Hinata es krim Turki yang terkenal itu. Hinata memandangi punggung di depan sana, hmm… bahunya kokoh, terbentuk dan bidang, benar-benar pria dewasa. Apa rasanya memeluk punggung tersebut ketika tidur? Lalu kesadaran lain menabraknya keras. Naruto hingga ke punggung-punggungnya akan dimiliki perempuan yang bukan Hinata. Mereka akan berbagi tubuh, lalu ia kembali bukan siapa-siapa. Hanyalah orang asing dengan seberkas memori bersama.

Sesak menggulung dari dalam, menelan Hinata dalam kepayahan. Ia balik badan menatap taman kotak, menepikan overthinking yang melumat bulat-bulat. Apakah ia sedang jadi selingkuhan? Tapi melepas Naruto untuk dijamahi tangan lain, badan lain dan akhirnya dikuasai hati lain, adalah menusukkan sembilu ke diri sendiri, membunuh tiap jengkal kewarasan yang Hinata punya. Ada sesuatu yang menyengat hidung, mata jadi panas, tanda akan menangis. Namun ia segera mengusap rebakan air mata, berpura-pura seperti seharusnya, seperti selalu.

"Hinata." Seru Naruto.

Ekspresi riang Naruto membantu recovery lebih cepat, didukung oleh es krim yang diangsurkan. Kalau dipikir-pikir es krim itu sangat Naruto, dingin tapi sweet.

Lantas mereka melanjutkan perjalanan pulang. Hari indah ini akan ditutup dan segera jadi kenangan. Kadang sesuatu lebih berat dijalani daripada dipikirkan. Apalagi menjalani hidup tanpa kemungkinan memiliki satu-satunya cinta. Dan apakah mereka akan kembali seperti dulu, tertawa bersama – saling mengirim pesan – kagum satu sama lain lalu berjarak seolah tak kenal? Itu terlalu sakit.

Tiba di kediaman Hyuuga, Hinata menantang diri untuk sesuatu yang membunuhnya selama ini. Sesuatu yang ia begitu ingin tahu tapi takut mendengar jawabnya.

"Naruto, pertanyaan terakhir, ini sangat sederhana." Naruto masih dengan pandangan lembut itu. Hinata menutup mata takzim, menyimpan seraut wajah tersebut. Hatinya perih lagi, mereka bukan apa-apa setelah ini.

"Apakah aku bagimu?"

Mata biru itu memandangnya sayang, dan Hinata semakin tak kuat. Suatu saat akan ada yang Naruto pandang dengan seluruh cinta. Anaknya dari perempuan lain.

Naruto menggenggam tangan Hinata tanpa melepas tatapan. Hinata berharap pria itu bilang tak pernah menyukainya, tak sedikit pun. Kesakitan total akan mudah diterima penderitaannya selama ini. Tapi Naruto memang sempurna dalam menyakiti.

"I loved you, Hinata. I have." Hinata seolah bisa mendengar hatinya berderak pecah, Naruto mengatakan ketakutan terbesarnya. "Tapi sekarang aku punya hati yang harus dijaga."

Hinata melewatkan ekspresi terpukul Naruto ketika genggamannya dilepas. Ia terlalu sibuk berpikir dan mulai merasa bahwa hari ini justru gerbang menuju patah hati terbesar. Ia membantu Naruto menghancurkan hatinya dengan meminta kesempatan.

Sebenarnya ada satu pertanyaan lain. Kenapa Naruto dulu menjauhinya? Namun itu sudah tak penting, akhir telah tiba. Naruto menyerah terlalu mudah untuknya, sejak dulu. Maka disinilah Hyuuga Hinata, tersenyum di atas kepedihan dan menatap penyebab itu semua. Dan untuk pertama kali Hinata memandang dengan berbeda. Bahwa Naruto pengecut terbesar yang membangunkan cinta tanpa pernah memastikannya dalam hubungan.

"Aku paham. Kalau begitu….Selamat tinggal, Naruto." Hinata berlari masuk rumah.

Selamat tinggal cinta pertama. Selamat untuk hidup baru yang aku takkan lagi masuk ke dalamnya. Tidak akan pernah.