disclaimer © Animonsta Studios
warning AU!Despair, AR, salah genre, OOC, plotless atau ketidakkonsistenan alur, narasi dengan dialog terselubung yang membingungkan, death chara(s), siblings!GempaIce, miss EBI, typo(s), false fact.


Dini hari, pintu kamar terbuka.

Ice terbangun dengan sekali hentakan lembut. Ada apa, Kak Gempa? Manik biru langitnya bertanya. Gempa paham dengan kebingungan adik satu-satunya itu, tapi hanya memberikan gestur untuk mengikutinya.

Terbatuk kecil, Ice mengangguk, sangat patuh dengan apa saja yang dikatakan kakak tercinta. Naiklah ke punggung Kakak, Gempa memberi perintah. Kita pergi dari sini, sekarang.

Setelah yakin bahwa Ice sudah seimbang di atas punggungnya, Gempa keluar dan menuruni tangga bertali. Kakak, kenapa Kakak tidak menggunakan sayap Kakak? Ice berbisik dengan suara sedikit tidak jelas. Ada suara isapan yang mana adalah hidung Ice pelakunya, diselingi dengan batuk setiap dua menit sekali. Aku belum bisa terbang dengan membawa orang lain, Gempa menjawab.

Keluar dari kubah persegi berlapis kayu yang berdiri utuh di atas pohon, Gempa mempercepat larinya. Dari belakang, burung-burung hitam tak terhingga jumlahnya mengejar mereka. Jeritan pilu saling sahut-menyahut saat jiwa makhluk lain ditarik paksa. Pohon-pohon dalam hutan menciptakan suasana yang makin mencekam. Tutup telingamu, takkan kubiarkan kau seperti mereka, janji Gempa.

Kakak, bagaimana dengan Cattus? Dia masih tidur. Ice bertanya dengan nada sedih, mengingat chimera peliharaannya yang masih tertidur pulas di sudut kamar yang mulai dirindukannya. Gempa hanya menggeleng. Kakak, ke mana kita akan pergi? Gempa menggeleng lagi. Kakak, apakah Kakak lelah membawaku? Gempa menggeleng untuk yang kesekian kalinya. Kakak, apakah kita akan selamat? Kali ini Gempa mengangguk.

Ice masih ingin melontarkan pertanyaan, namun dia terbatuk semakin parah. Gempa sekilas melihat Ice yang meremas dada kirinya, dengan tangan kiri yang masih mencengkeram kerah Gempa. Dia ingin berhenti untuk setidaknya membuat adiknya merasa lebih baik, namun jika dia berhenti, sama saja dengan waktu berhenti untuk mereka berdua, selamanya.

Hutan tempat mereka tinggal tak lagi aman. Tidak hanya burung-burung hitam, namun api yang tak tahu sumber asalnya mulai menghanguskan satu per satu pohon-pohon yang ada. Ice meringis menahan pedih, dia paling tak tahan dengan api. Kakak, aku tak tahan lagi, lirihnya di sela rasa sakit yang mendera. Gempa tak menjawab, hanya berlari sekencang yang dia bisa. Ice mencoba untuk mengeluarkan sihir esnya, namun untuk merapal mantra sederhana pun mulutnya tak mampu.

Napas putus-putus terdengar. Tidak, itu bukan dari Gempa yang entah sudah berapa lama berlari. Sumbernya dari Ice yang mulai berkeringat, tak mampu beradaptasi dengan suhu empat puluh derajat. Ice menggeleng, tak mau kakaknya khawatir, jadi dia hanya diam, menahan semua yang dia rasakan.

Bertahanlah. Bertahanlah. Bertahanlah. Bisikan itu menguatkan Ice. Kata pertama terdengar berintonasi sedikit tinggi. Kata kedua terdengar satu oktaf lebih rendah. Kata ketiga terdengar pelan diselingi isakan menahan tangis. Kau bisa, Ice. Kau bisa.

Hingga pada akhirnya, Gempa jatuh. Sebuah panah menancap di lengannya. Tanah membenam wajah Gempa, tapi telinga Gempa mustahil berbohong. Dia tahu Ice terguling ke samping, menabrak sesuatu yang keras, Gempa tidak tahu apa itu. Gempa mencoba bangkit, entah mengapa tubuhnya lemas sekali. Kau tidak boleh begini, Gempa! Ice, adikmu, sekarat! Seluruh sarafnya berteriak. Hanya leher kakunya yang mampu merotasi kepalanya sembilan puluh derajat, mengikuti sumber suara pilu yang didengarnya.

Lima detik sebelum matanya terpejam, Gempa melihat tubuh Ice yang diselimuti burung-burung hitam. Teriakannya tenggelam bersama kesadarannya.

Selamat tidur, Ice. Kau sangat suka itu, bukan? Sepertinya aku mengerti mengapa kau menyukainya.


Tidak ada rumah pohon. Tidak ada sayap. Tidak ada sihir. Tidak ada hutan. Tidak ada burung-burung hitam. Semuanya hanyalah personifikasi dari imajinasi liar seorang anak berusia sembilan tahun.

Pening, kepalanya berkata. Sakit, kakinya berkata. Lemas, badannya berkata. Kering, kerongkongannya berkata. Mati, otaknya berkata. Ice sudah mati. Dasar pembohong. Pengingkar janji.

Hanya perlu lima bulan bagi makhluk itu memutarbalikkan kebahagiaan masa kecilnya. Entah virus apa namanya, Gempa sudah tidak mau peduli. Dari pagi hingga malam, televisi selalu membicarakan objek yang bentuknya saja tak bisa dilihat dengan mata biasa, harus dengan alat khusus. Gempa bertanya pada Ice mengenai kejelasan hal yang mereka tonton. Ice sebagai pihak yang ditanya menggeleng, sama sekali tak paham.

Yang jelas, karena itu, Gempa dan Ice tidak bersekolah lagi. Orang-orang dewasa dalam panti melarang mereka berdua keluar. Demi apa pun, jangan keluar, tinggallah di sini untuk sementara waktu, tonton saja televisi atau bermain dengan yang lain, begitu pesan mereka. Televisi telah menghilangkan kartun favorit Ice, melenyapkan acara memasak yang Gempa sukai, bahkan iklan makanan kucing yang selalu menjadi referensi mereka dalam merawat Cattus. Semuanya terlalu sibuk membahas hewan yang Gempa benci—Gempa pun tidak acuh apakah virus termasuk hewan atau bukan.

Semua orang di dalam panti saling menghindar. Takut mati, kata mereka. Hanya Ice yang selalu ada di sisi Gempa, yang kadang meringkuk sedih di pojok kamar mereka berdua. Kenapa mereka menjauhi kita, Kak? Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Kala itu, Gempa hanya memeluk Ice yang kemudian menangis keras.

Pasokan makanan di dalam panti habis. Tak sampai hati mengusir anak-anak, ibu-ibu panti nekat keluar untuk mendapatkan barang-barang kebutuhan. Tiga jam kemudian, mereka kembali bukan dengan barang kasatmata, melainkan sesuatu tak kasatmata yang selama ini mereka jauhi.

Virus itu.

Beberapa ibu panti mengalami demam, sisanya yang baik-baik saja keteteran mengurus puluhan anak. Hal yang sama terjadi pada Ice, dengan tambahan batuk-batuk dan sesak napas. Gempa menjaga adiknya dua puluh empat jam. Ice menggenggam lemah tangan Gempa. Jangan tinggalkan aku, Kak, aku takut, aku tidak mau mati.

Banyak rumah sakit yang didirikan, namun tak mampu untuk menampung semua orang. Sekolahnya dihancurkan, berdiri menjadi rumah sakit dengan tinggi nyaris menembus langit. Taman bermain di dekat pantinya disulap menjadi sarang steril. Gempa tidak begitu paham pada saat seseorang dalam kotak elektronik itu berkata bahwa virus berbeda dengan bakteri meski sama-sama menular. Bakteri bisa dimusnahkan, sementara virus hanya bisa ditidurkan yang dapat bangun lagi dan menjangkiti orang lain. Dengan kata lain, tak pernah ada kata sembuh untuk sakit karena virus. Ada yang mengatakan bahwa semua harus dibakar, karena virus itu tak tahan panas, dan cara itulah yang mereka pakai untuk membasmi wabah penyakit di masa lampau.

Mungkin intinya, mereka harus mati, demi orang-orang sehat yang tersisa.

Tengah malam, pria-pria berseragam mengerikan datang, Gempa melihatnya dari dapur yang berdekatan dengan pintu utama. Tanpa ampun, mereka mendobrak pintu yang ada, menembaki siapa saja. Gempa menyelinap perlahan, berusaha mencapai lantai dua untuk menjemput Ice yang ada di kamar dan berada dalam bahaya.

"Ice, bangun," panggil Gempa.

Gempa melempar tangga tali buatan mereka setahun lalu, di saat mereka berani-beraninya kabur dari panti untuk bermain. Ice masih tertidur, Gempa tak sanggup, namun dia harus membangunkan Ice.

Tepukan lembut mendarat di tulang kering Ice. Adiknya bangun sambil mengucek mata. Wajahnya pucat, napasnya aneh, badannya masih hangat. Tanpa suara, Ice bertanya mengapa.

Gempa menggendong Ice yang berdiri pun tak sanggup. Satu per satu anak tangga dipijak agar bisa turun, namun sayangnya Gempa hanyalah anak berumur belum satu dekade. Kaki mungilnya tak mampu menahan beban dan terpeleset sehingga dia jatuh bersama Ice. Bagian depan badannya mencium tanah, Ice jatuh di atasnya dan berguling ke samping.

Menahan sakit, Gempa membuka mata, hanya untuk melihat kota kecilnya penuh warna merah.

[ Maafkan aku, Ice. Selamat tinggal, biarkan aku memejamkan mataku. ]


tamat


~himmedelweiss 18/03/2020