disclaimer © Animonsta Studios
warning ficlets, OOC, AR, Twins!BoBoiBoyElementals, unconsistense-near-plotless, typo(s), diksi amburadul, miss EBI, diksi terutama deskripsi parah.
submitted to #HBDOurHero


halilintar — petir


Pagi itu diawali dengan awan gelap, lenyapnya matahari secara—sebenarnya tidak—misterius, angin berakselerasi kencang, dan gerimis. Singkatnya, hari Jumat yang sebenarnya ingin dimanfaatkan Halilintar untuk berjalan-jalan di luar berhasil dibatalkan oleh cuaca buruk. Atok Aba mengeluh sakit—demam ringan kata Solar—dan berpesan untuk tidak membuka kedai hari ini karena ditakutkan akan terjadi badai, sehingga jadwal Halilintar hari ini benar-benar putih bersih, kosong melompong.

Halilintar baru saja keluar dari kamar mandi. Badannya basah kuyup sehabis membersihkan bak mandi, padahal belum tiga jam pakaian kasualnya melekat di tubuh. Seharusnya pakaiannya tidak akan menjadi korban kalau dia sempat menanggalkannya sebelum membersihkan bak mandi. Sedikit menggigil, Halilintar melepas pakaiannya dan menutupi tubuhnya dengan balutan handuk.

Duar! Halilintar menginjak sesuatu, menghasilkan bunyi ledakan dan cahaya menyilaukan yang tiba-tiba muncul, berakhir dengan Halilintar yang jatuh terduduk ke lantai dengan suara bedebum yang lumayan keras. Usai berhasil menyesuaikan korneanya, sepasang matanya membulat horor saat melihat beberapa potong karet balon yang tak lagi utuh.

"Astagabalonmeletup!" gagapnya terlambat. Sekujur tubuhnya gemetar. "Siapa yang meletakkan balon di sini, hah?!"

"Kakak masih takut dengan balon ternyata." Seseorang muncul dengan senyum mengejek. Tangan kanannya menggenggam mesin kontrol. Halilintar tidak mau acuh. "Kakak tidak menginjak kamera kecil di dalam balon itu, syukurlah. Biar kulihat hasilnya—TAPI AKU LIHAT SENDIRI KOK, MUKA KAK HALI KONYOL SEKALI, MIRIP BEKANTAN! BWAHAHAHAHAHAHA!"

Halilintar kenal betul spesies setan yang satu ini. Kalau sampai orang itu tertawa abnormal, berarti hasil jepretan itu adalah sebuah aib untuknya hingga mati. "SOLAAAAAAAAAAAR!"

Auman Halilintar menyertai kilat petir yang baru saja menampakkan diri.


taufan — angin


Usai menempeleng wajah Solar dengan elusan penuh cinta, Halilintar meniti anak tangga untuk mencapai kamarnya yang masih bergabung dengan Taufan dan Gempa, dua dari enam adik kembarnya. Sebelum benar-benar masuk angin dan harus menderita tidak jelas, dia harus mengenakan pakaiannya sesegera mungkin.

Begitu Halilintar membuka pintu, rahang bawah Halilintar jatuh tak terkendali.

Semua jendela dalam kamar dibuka lebar-lebar hingga beberapa tetes air hujan lolos masuk jalur prestasi. Lima kipas angin dalam kondisi aktif diletakkan mengelilingi sebuah tempat tidur yang didominasi warna biru. Kertas-kertas berhamburan di atas lantai akibat angin kencang, bahkan di antaranya sudah ada yang basah karena air hujan yang tembus seleksi tadi. Meja-meja belajar—yang Halilintar lihat pagi tadi masih rapi—di kamar itu terlihat mengenaskan.

Seonggok mayat hidup tergeletak di atas tempat tidur, memasang wajah tak berdosa saat melihat saudaranya masuk. Sesuai nama adik laknatnya, kamar mereka bertiga kini terlihat seperti baru saja diserang angin topan.

"Halo, Kak."

"Halo Kak jidatmu. Otakmu belum pernah diamplas?" tanya Halilintar dengan nada tak suka. Halilintar berjalan ke arah lemari pakaian, mengambil satu stel pakaian kasual. "Apa-apaan dengan ini semua, Taufan? Jendela dibuka, kipas angin sampai lima biji begini."

"Panas," keluh Taufan singkat, padat, dan jelas. Yang bersangkutan mendelik namun Taufan tak menyadarinya karena sudah terlanjur membalikkan badan. Siapa yang mau melihat kakaknya telanjang coba? "Ini rasanya juga masih kurang. Barusan aku mau menghidupkan pendingin ruangan."

Sehabis mengenakan pakaiannya, Halilintar menggenggam kuat handuk putih itu. "Gila kau. Kembalikan semua kipas itu ke tempat asal mereka!"

"Kenapa—"

"Kautanya kenapa? Ini namanya pemborosan!" sergah Halilintar. "Sekarang kamu memang bisa menikmati semua ini, tapi apa kamu memikirkan hal yang terjadi ke depannya? Awal bulan nanti Atok harus membayar tagihan listrik. Penghasilan Atok hanya dari kedai, apa yang akan kamu lakukan kalau seandainya Atok tidak punya uang cukup untuk menghidupi kita? Kamu tidak hanya bisa memikirkan dirimu sendiri!"

Tersadar akan perilakunya, Taufan menundukkan kepala. "Aku minta maaf, Kak Hali."

"Tutup jendela, lalu sebelum kaupulangkan semua kipas ini, bereskan kertas-kertas yang berhamburan," suruh Halilintar. "Empat kipas itu kauambil dari mana saja?"

"Kamar Blaze dan Ice, kamar Thorn dan Solar, kamar Atok, dan gudang," ujar Taufan sambil menghitungnya dengan jari. Setelah puas menghitung, kedua tangannya beraksi menutup jendela dengan gesit.

Merasa kondisi kamar sudah kembali nyaris seperti semula, Halilintar membawa dua kipas elektronik milik keempat adik kembarnya, sementara dua sisanya dibawa Taufan. Mereka memutuskan untuk mengembalikan kipas-kipas itu ke tempatnya semula. Karena masih di lantai atas, mereka berdua memutuskan untuk mengembalikan kedua kipas yang digenggam Halilintar terlebih dahulu.

"Soal yang tadi, aku benar-benar minta maaf," sesal Taufan begitu mengembalikan kipas angin ke dalam gudang. Sebuah kipas berdomisili kamar kakek tercinta masih dalam keadaan badan yang tercekik lengan Taufan.

"Tidak apa-apa." Halilintar tersenyum penuh arti. Terlihat begitu mencurigakan. "Kalau kupikir-pikir, ginjalmu masih ada dua, 'kan? Untuk apa Tuhan menciptakan dua ginjal kalau tidak dijual satunya?"

Halilintar dicubit Gempa yang tidak sengaja mendengar saat berpapasan dengan kedua kakak kembarnya. Di luar sana, angin masih mendobrak segala akses masuk, menimbulkan suara keras yang berhasil menutupi jeritan tenor menjurus sopran dari Halilintar. Cuaca berganti menjadi badai.


gempa — tanah


"Sembarangan kalau ngomong," tegur Gempa. Taufan cengengesan, Halilintar tertawa kikuk. "Kalau main-main, jangan bawa-bawa Tuhan. Apalagi mau jual ginjal adik sendiri, lama-lama Kak Hali liciknya jadi mirip Solar."

Mendengar nama si adik bungsu disebut-sebut, emosi Halilintar naik satu tingkat, namun Halilintar berhasil menghilangkannya saat berujar, "Aku minta maaf, Gempa."

Gempa sangat tahu kalau saat ini Halilintar sedang menahan amarah, namun dia bukan targetnya. "Tidak masalah, Kak Hali. Mungkin Kakak hanya sedang khilaf. Biasa Kakak tidak pernah begitu."

Ibarat tanah yang dapat meredam suara serta menetralkan petir, Gempa adalah sosok yang dapat menghilangkan emosi negatif seseorang saat orang itu bicara padanya, bak sihir. Halilintar dikenal sebagai kakak sulung yang pemarah, namun saat berbicara dengan Gempa, suaranya melunak. Tidak hanya itu, Gempa adalah orang yang benar-benar bisa diandalkan hampir dalam setiap situasi. Terkadang, Halilintar merasa malu saat melakukan introspeksi diri. Seharusnya sebagai kakak tertua, dialah yang terlihat lebih dewasa.

"Aku mau pergi ke ruang keluarga dulu," tutur Halilintar. "Sekarang waktunya Taufan menjaga Atok, bukan?"

"Ya, Kak Hali. Aku berniat mencari Kak Taufan untuk memintanya menggantikanku tadi," tanggap Gempa. "Keadaan Atok sudah membaik. Atok bilang ingin ditemani olehmu sebelum tidur."

"Syukurlah." Taufan mengembuskan napas penuh kelegaan. Halilintar mengangguk dengan rasa lega yang tersirat, kemudian segera pergi menuju ruang keluarga meninggalkan kedua adiknya. "Baiklah, aku pergi ke kamar Atok dulu, setelah Atok tidur, aku boleh menyusul Kak Hali?"

"Tentu saja." Gempa mengulas senyum. "Jangan lupa Kak Taufan menulis ulang setiap kertas-kertas dari mejaku yang terbang dan sudah basah terkena air, ya. Oh, hampir kelupaan, biaya listrik bulan ini separuhnya dari uang saku Kak Taufan, oke?"

Rambut tengkuk Taufan meremang. Dari mana Gempa tahu?! Uh, memang seperti tanah. Tanah itu memang terlihat biasa saja, tanpa siapa pun tahu ada sesuatu yang terkubur di dalamnya.

"Kak Taufan." Gempa mengangkat tangannya. "Jaga Atok baik-baik."

"Tentu."

Mereka berdua melakukan tos persaudaraan tanda serah-terima tugas.


blaze — api


Gempa bertemu dengan Blaze di dapur. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Taufan, Gempa memutuskan untuk menyiapkan makan siang. Atok Aba telah banyak mengajarkannya resep-resep makanan, sepertinya sudah lama sejak Gempa yang mengambil alih urusan rumah, sehingga Gempa benar-benar dipercaya dalam hal memasak.

"Kenapa murung, Blaze?" tanya Gempa.

"Aku bertengkar dengan Ice," jawab Blaze. Sorot mata yang biasanya menampilkan keceriaan berganti dengan tatapan sendu. Jika irisnya berwarna biru, mungkin Blaze akan terlihat seperti Ice kedua. "Aku mau membuat minuman dingin, tapi di pintu kulkas ada memo."

Ah, Gempa baru ingat sekarang. Tadi pagi mereka terpaksa menyarap roti dan susu dikarenakan memo yang bertuliskan pemberitahuan bahwa kulkas rusak. Dari tulisannya, sudah jelas kakek mereka yang membuat dan menempel memo itu. Sayur-sayuran yang ada di dalam sepertinya sudah kurang segar. Atok Aba pun berpesan untuk tidak membuka pintu kulkas. Kalau begini ceritanya, berarti mereka harus membeli makan siang di luar dengan situasi badai yang tampaknya sedikit mereda, namun belum mau berhenti.

"Dengarkan aku, Blaze." Gempa mengusap rambut Blaze yang sewarna dengannya. "Selama ini kamu selalu bertengkar dengan Ice, dan selama ini juga, kamu selalu memberinya makanan atau minuman agar kalian bisa berbaikan, bukan? Semacam sogokan, dan itu salah."

Blaze mengangguk paham.

"Tapi, apa Blaze pernah meminta maaf pada Ice?"

Blaze langsung merespon, "Tapi aku tidak bersalah!"

"Demi mempertahankan suatu hubungan, terkadang tidak peduli siapa yang salah, kita harus mengalah dengan mengucapkan kata maaf," tutur Gempa lembut. "Ice selama ini yang selalu berakhir meminta maaf padamu, Blaze, supaya bisa tetap berhubungan baik denganmu. Bagaimana kalau coba meminta maaf duluan sekali ini saja?"

"Tapi kali ini aku tidak bersalah sama sekali!" Blaze menyeru kalimat yang sebelumnya sudah dia katakan, namun dengan nada yang lebih pelan. Hanya dengan Blaze, "sihir" Gempa tidak bekerja. "Aku tidak bisa mendengar apa yang Ice katakan karena badai di luar yang sangat mengganggu! Lalu tiba-tiba saja Ice tak mau berbicara denganku dan terus bersembunyi di dalam selimutnya sampai sekarang! Saat kutanya kenapa dia seperti itu, dia malah marah!"

"Aku pun sudah mengatakannya. Cobalah untuk meminta maaf. Apa Blaze mau terus bertengkar dengan Ice?" Gempa mendapat gelengan kepala dari Blaze yang menunduk lesu. "Kami, saudara-saudaramu, juga tidak akan tenang. Kak Hali mungkin akan langsung memaksa kalian untuk segera akur, misalnya. Meminta maaf sesungguhnya bukan prakara siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi meminta maaf adalah persoalan siapa yang lebih rendah hati dan ikhlas serta keinginan kuat untuk mempertahankan sebuah hubungan."

"Aku juga tidak mau terus bertengkar dengan Ice. Melakukan semuanya tanpa Ice tidak lagi menyenangkan," lirih Blaze. "Aku hanya mau bersenang-senang …."

"Aku paham. Di antara kita semua, kamu lebih mudah stres karena suatu hal," tanggap Gempa maklum. "Kepribadian Ice yang tenang memang bisa mengobati tekanan yang kaurasakan."

"Maka dari itu ...," Blaze meremas ujung bajunya, terlihat ingin menangis namun tertahan di konjungtiva, "aku tidak mau Ice membenciku, tapi ... aku yang egois sepertinya justru memperparah situasi, aku …."

Tanpa Gempa sadari, kobaran api keegoisan dalam diri Blaze telah lenyap. "Kalau memang berat bagimu untuk meminta maaf, apa perlu kutemani? Menjadi mediator antara dirimu dan Ice?"

"Tidak usah, Kak. Aku paham." Ekspresi Blaze melunak. "Selama ini aku menganggap kita semua sama karena kita kembar, tapi baru sekarang aku sadar kalau semua orang, sekalipun kembar, bisa berbeda juga. Terima kasih, Kak Gempa."

"Jangan terlalu lama bermusuhan," pesan Gempa. "Aku akan ke ruang tengah menemui Kak Hali dan mungkin juga Kak Taufan. Datanglah kalian berdua saat sudah berbaikan."


ice — air


Ice mendengar semuanya.

Beberapa saat lalu, Ice beranjak dari tempat tidurnya dan pergi ke dapur, berkeinginan untuk meneguk segelas air bening. Ketika ingin memasuki area dapur, Ice melihat kakak ketiga dan kakak keempatnya sedang melakukan konversasi. Memang kurang sopan, namun Ice tetap memutuskan untuk menguping hingga percakapan kedua kakaknya berakhir.

"Ice?"

Tubuh Ice menjengit. Tiba-tiba di sampingnya sudah ada Gempa yang tersenyum tipis.

"Menguping pembicaraan orang lain itu tidak sopan, kautahu?" tanya Gempa sesuai dengan teriakan beberapa saraf pada telinga Ice saat otaknya memberi komando untuk mencuri dengar. "Tidak apa-apa. Kalau kauingin berbaikan dengan Blaze, sekarang adalah waktu yang sangat tepat."

Mengangguk singkat, Gempa pun berlalu, berjalan ke sebuah ruangan yang Ice ketahui sebagai ruang keluarga. Ruangan tempat biasanya mereka semua berkumpul, meski sudah jarang sekali mereka lakukan karena masalah jadwal masing-masing. Ice berpikir untuk ke sana dan berbincang lagi dengan Gempa mengenai masalah ujian akhir sekolah yang akan datang, setelah bertemu dan menyelesaikan masalah dengan Blaze.

"Kak Blaze?"

"I-Ice!" Blaze sedikit melompat kaget. "Apa ... apa kau sudah di sini sejak tadi ...?"

Sungguh, gaya bicara Blaze sekarang terdengar seperti kombinasi aksen Thorn yang penuh keluguan dan Gempa yang berhati-hati dalam memilih kata-kata. Ice tak bisa berbohong kalau dia ingin sekali menertawakan perubahan sikap kakaknya, tetapi Ice cukup tahu kalau sekarang bukan waktu yang tepat. "Aku ingin minta maaf, Kak Blaze, karena—"

"Tidak perlu, tidak perlu!" sergah Blaze. "Aku tahu kau selama ini memilih untuk minta maaf bukan hanya merasa bersalah, tapi juga tidak ingin memperpanjang masalah, bukan? Sekarang aku sadar dengan keegoisanku, jadi ... kau tidak perlu melakukannya lagi. Aku minta maaf padamu, Ice, atas semua yang pernah kulakukan padamu."

"Kakak, kau tidak perlu—"

Blaze memeluk Ice. Sedikit terkejut, Ice merasa bahunya sedikit basah karena air. Kakaknya ... menangis?

"Aku tidak bisa bertahan dengan semua ini. SMA merenggut kebebasanku untuk bermain. Aku bahkan tidak bisa mengikuti klub lagi karena harus fokus untuk ujian akhir. Aku berpikir, apa yang akan kulakukan setelah lulus? Kuliah atau kerja? Menjadi dewasa sangat menakutkan untukku ….

"Tapi, kau sangat berbeda. Kau begitu tenang dan santai. Berbeda dengan Kak Halilintar, Kak Gempa, atau Solar yang sangat rajin belajar, Kak Taufan yang memang sangat fleksibel sehingga bisa menyesuaikan diri antara belajar dan bersenang-senang, dan Thorn yang malah tidak tahu-menahu soal masalah dalam kehidupan ... aku tidak tahu, kau itu berbeda saja untukku. Dengan kepribadianmu, aku merasa kau adalah penawar untuk semua masalahku.

"Maka dari itu, aku mungkin membuatmu kesal dengan segala tindakanku yang mengganggumu, bahkan hampir setiap hari kita bertengkar. Bukannya melihatmu stres, malah justru aku yang semakin frustasi karena bertengkar denganmu membuat kita menjauh, meski tak berlangsung lama karena kau terus mengalah padaku. Kurasa, kau begitu mengenalku dengan baik, tapi tidak sebaliknya …."

Mendengar penjelasan yang sangat panjang dari Blaze, Ice tak bisa menahan diri untuk tidak ikut membenamkan wajahnya di bahu kakak keempat, menangis tanpa suara.

"Tidak apa-apa ... tidak apa-apa ...," lirih Ice dalam sela isakannya. "Biar kujelaskan masalah yang sebenarnya terjadi pagi tadi, Kak Blaze."

Blaze tak bersuara, namun Ice bisa merasakan Blaze yang mengangguk kecil. Tak ada dari mereka yang berniat ingin melepaskan pelukan tersebut.

"Tadi pagi, aku ingin menyampaikan sesuatu, tapi karena aku terlalu malu, aku tak bisa mengulanginya saat Kak Blaze meminta. Aku tidak marah, sama sekali tidak."

Barulah Blaze melepas pelukannya. Dengan wajah sembap, Blaze memperlihatkan ekspresi terkejut. "Ja-Jadi ... Ice tidak marah?"

"Tentu saja. Aku ingin menjelaskannya begitu aku melihat Kakak, tapi Kakak sudah duluan mencurahkan isi hati. Maafkan kejahatanku karena seolah mempermainkan perasaan Kak Blaze, ya." Ice terlihat salah tingkah. "Aku memang meminta maaf duluan ... selama ini karena memang kebiasaanku. Seperti kata Kakak, aku tidak mau memperpanjang masalah, jadi aku memilih untuk mengalah, apalagi dengan kakak yang paling kusayangi."

"Ice, sekali lagi, maafkan aku." Blaze membungkuk, benar-benar tidak terduga. "Akan kuperbaiki semua ini, asal ... Ice jangan marah lagi, ya?"

Ice menegakkan punggung Blaze. "Aku tidak marah, Kakak."

"Omong-omong, memangnya apa yang ingin kausampaikan, Ice?"

Ice menggigit kuku telunjuknya. "Mungkin lain kali, Kakak. Sekarang lebih baik kita mencuci muka. Wajah bengkak memerah begini ... pasti yang lain akan bertanya-tanya."


thorn — daun


Ketika Ice sudah membasuh mukanya, Ice memilih untuk duduk di salah satu kursi, memutuskan untuk menanti Blaze yang masih berada di dalam kamar mandi.

"Kak Ice, mata Kakak kenapa merah begitu?"

"Thorn? Kenapa ke sini?" Bukannya menjawab, Ice justru bertanya balik dengan sengaja. Ice agak malu mengaku kalau dia baru saja bertukar air mata dengan Blaze.

Seperti yang telah diduga, Thorn lupa dengan pertanyaannya dan justru menjawab pertanyaan Ice. "Disuruh Solar."

"Hah?"

Tidak butuh waktu lama bagi Ice untuk menyadari kalau sebenarnya Solar si adik terkecil sedang memperalat Thorn untuk tujuan tertentu.

"Ya ... disuruh Solar ke dapur ... untuk apa?"

"Entahlah. Kata Solar, Thorn harus minta elus kepala sama Kak Ice."

"Hah?"

Iris hijau itu membulat lucu. Sama sekali tak ada jejak dosa di sana. Agak dramatis, tapi Ice cukup menyesali hidup yang dijalaninya setiap kali melihat Thorn yang masih seratus persen polos.

"Kak Ice hobi ngomong "hah" ya, sekarang."

"Hah?"

"Tuh kan, Thorn benar."

"Oh eh tidak." Duh, kenapa Ice jadi linglung begini sih? Kenapa pula Blaze tidak keluar-keluar dari kamar mandi? Keadaannya sekarang begitu membingungkan. "Hanya bingung kenapa Thorn minta puk-puk."

"Disuruh Solar. Kata Solar, Kak Ice tidak pernah menepuk kepala Thorn, begitu."

"Thorn sendiri memangnya tidak ingat?"

"Ingat kok. Kak Ice memang tidak pernah melakukannya."

Batin Ice mulai meneriakkan nama Blaze yang tidak memunculkan batang hidungnya. Sebelumnya, Ice masih bisa mendengar suara air karena letak ruang makan, dapur, dan kamar mandi yang sebenarnya masih satu ruangan, namun sekarang tidak terdengar apa pun lagi. Apa sih yang sebenarnya sedang Blaze lakukan saat ini?

Kedua tangan Thorn mengangkat tangan kanan Ice, kemudian meletakkan tangan kakak pecinta hibernasinya itu di atas kepala. "Kok tangan Kak Ice tidak begitu terasa hangat ya? Tidak seperti tangan kakak yang lain?"

"Kamu masih memakai topi, Thorn."

"Oh iya." Thorn melepas genggaman tangannya dengan Ice. Topi hitam dengan motif garis menyerupai sulur hijau itu dilepas, memperlihatkan rambut hitam dengan sebuah surai putih. Sesudah meletakkan topinya di meja makan, Thorn kembali mengangkat tangan Ice, kali ini kedua-duanya. Ice merasa familiar—ini mirip dengan acara pengucapan sumpah bagi profesi-profesi tertentu.

"Kalau ibarat pohon, Kak Ice seperti bunganya."

Ice melongo. "Hah?"

"Sudah empat kali, Kak."

"Maksudnya apa? Tentang yang bunga pohon itu," tanya Ice.

"Thorn tidak tahu, mungkin karena bagian itu yang muncul di urutan kelima seperti Kak Ice? Dari biji pertama kali tumbuh akar dulu, habis itu batang, lalu ada ranting-rantingnya, trus daun, baru bunganya."

"Tapi kalau dihitung dari biji, bukannya bunga jadi ada di urutan keenam?"

"Satu, dua, tiga ... ah iya juga, jadi di urutan keenam ya! Kalau begitu, Kak Ice seperti daun!"

"Bukannya secara nama Thorn yang seharusnya menjadi daun?" Ice tertawa singkat. "Aku lupa, thorn itu artinya duri. Mayoritas pohon tidak ada durinya, sih. Kenapa mendadak bicara soal itu, Thorn?"

"Hmm, biji itu ibarat Kak Hali, awalnya hidup seorang diri. Kak Hali kesepian dan kedinginan di dalam tanah. Setelah dirawat, biji itu mulai menumbuhkan akar seperti Kak Taufan yang suka menjalar ke mana-mana, tapi itu untuk mempertahankan posisi. Mau apa pun yang Kak Taufan lakukan, Kak Taufan tidak pernah melupakan apalagi meninggalkan kita, terutama Kak Hali. Waktu kecil, Kak Taufan selalu bersama Kak Hali yang malu-malu."

Ice termangu selama mendengar analogi dari Thorn. Entah mengapa meski terdengar sangat lucu—bisa bayangkan Halilintar terkubur di dalam tanah sambil menggumam, "Aku kesepian …."?—dan Ice harus mengakui kalau dia ingin tertawa, tapi sepertinya apa yang dikatakan Thorn sedikit masuk akal.

"Lalu, Kak Hali dan Kak Taufan menyadari kalau mereka perlu keluar untuk tetap hidup. Jadilah batang atau Kak Gempa yang bisa bertahan dengan kehidupan luar! Kak Gempa paling jago kalau bicara dengan orang lain," lanjut Thorn. "Batang adalah bagian yang menyangga pohon dan juga menjadi sarana pengangkut makanan. Kak Gempa sangat penting untuk kita karena Kak Gempa yang mempertahankan kita bertujuh dan juga Kak Gempa yang memberi kita makan dengan memasak, tapi bukan seperti fotosintesis di lentisel."

"Tunggu Thorn, bahasamu ...," Ice menggantung kalimatnya. Inginnya menegur Thorn untuk sedikit menggunakan kata-kata yang lebih baik, namun Ice membatal ucapan. Bagaimana pun juga, yang sedang bicara adalah Thorn adiknya yang lugu, "ji-jika masih mau lanjut, lanjutkanlah, Thorn."

"Dari batang, muncul ranting-ranting pohon yang banyak, seperti Kak Blaze."

"Um ... kaitannya dengan Kak Blaze?"

"Di antara kita berempat setelah Kak Gempa, Kak Blaze itu yang paling bersemangat. Itu karena ranting-ranting pohon adalah bagian pertama yang menerima makanan dari batang pohon. Ranting pohon menjadi tempat melekatnya daun, bunga, dan buah. Kak Blaze selalu berbagi apa pun dengan kita. "

Demi apa pun, Ice tak pernah menduga kalau Thorn pintar bermain logika, setidaknya itu opininya.

"Lalu, soal Kak Ice yang seperti daun, keberadaan Kak Ice sangat penting untuk menyejukkan suasana. Seluruh proses penting nyaris terjadi di daun, jadi … menurut Thorn, Kak Ice meski tidur terus, tapi Kak Ice sangat menyokong persaudaraan kita. Daun dari luar tidak terlihat memberikan manfaat apa-apa, tapi pohon tidak akan lengkap dan cepat mati jika tidak ada daun, bukan? Terutama ranting pohon yang rapuh dan terpapar langsung dengan sinar matahari. Kak Blaze sangat dekat dengan Kak Ice."

Ice tidak tersinggung mendengar penjelasan Thorn. Di saat itulah, Blaze menampakkan diri sambil memberikan cengiran terbaiknya.

"Maaf Ice, panggilan alam." Blaze mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk simbol perdamaian. "Eh, ada Thorn juga di sini. Lagi bahas apa? Oh iya, Kak Gempa bilang padaku untuk datang bersamamu, Ice, ke ruang keluarga. Thorn mau ikut sekalian?"

"Ada apa, Kak Blaze?" tanya Thorn. "Kalau begitu, Kak Blaze dan Kak Ice boleh pergi dulu. Thorn akan mengajak Solar."

"Kami menunggu saja," tanggap Ice.

"Tapi Solar meminta Thorn untuk melapor setelah Kak Ice menepuk-nepuk kepala Thorn. Thorn pergi dulu!"


solar — cahaya


Di kamar, Solar tersenyum puas dengan enam buah foto hasil jepretannya. Solar semakin merasa puas saat mengetahui foto-foto yang diambilnya tidak memiliki kecacatan berupa blur yang merusak kualitas. Tersenyum bangga bercampur sombong, Solar berpendapat bahwa semua hasil-hasil kerjanya pasti selalu sempurna.

Foto wajah Halilintar yang sempat dia katai mirip bekantan sukses membuat Solar tertawa untuk yang kesekian kalinya. Beralih pada foto-foto berikutnya, Solar berhasil mendapatkan gambar pada saat Halilintar dan Taufan memungut kertas bersama-sama, Taufan dan Gempa yang saling tos, Gempa yang mengusap setengah mengacak rambut Blaze, Blaze dan Ice yang berpelukan, dan Thorn yang memegang dan meletakkan kedua tangan Ice di atas kepalanya.

Setelah Solar berhasil mengambil foto Thorn bersama Ice, Solar segera melarikan diri ke kamar. Solar memutuskan untuk menguping pembicaraan Ice melalui penyadap yang terdapat di balik jaket Thorn. Pembicaraan mengenai teori pohon itu terhenti saat ada suara Blaze. Sepertinya mereka memutuskan untuk pergi ke ruang keluarga dengan mengajak Thorn, namun Thorn lebih memilih mencarinya. Secepat mungkin, Solar harus menghilangkan barang-barang yang mencurigakan.

"Solar!" Thorn memasuki kamar tanpa mengetuk pintu. "Ayo kita ke ruang keluarga!"

"Untuk apa?" tanya Solar. Isi kepalanya mulai memprediksi hal-hal apa yang ingin dibahas.

"Semuanya berkumpul di sana. Sudah lama kita tidak berkumpul, bercerita-cerita, melihat Kak Hali mengamuk, mendengar candaan Kak Taufan, menyimak kata-kata indah Kak Gempa, menyaksikan pertunjukkan komedi Kak Blaze, atau membuat taruhan siapa yang bisa membuat Kak Ice bangun. Thorn rindu," terang Thorn yang sukses membuat Solar tersenyum.

"Hmm, oke. Ada juga yang ingin kuperlihatkan," tanggap Solar.

"Solar, sejak kapan Solar tidak pakai kacamata?"

"Apa?"

Solar meraba area sekitar hidung dan bagian bawah matanya. Masih tidak yakin dengan kejujuran Thorn dan hasil rabaannya, cermin mengonfirmasi bahwa kacamata oranye yang selalu dipakainya tidak lagi melindungi matanya. Dia sama sekali tidak sadar karena sebenarnya kedua matanya tidak bermasalah dan pandangannya tidak mengabur.

"Kacamata Solar ke mana?" tanya Thorn. "Loh? Solar kok wajahnya pucat?"

"Biar kuingat-ingat dulu." Rol film dalam otaknya memutar ulang kejadian yang dia lakukan sepanjang hari. Bangun pagi, mandi, mengecek kondisi Atok yang ternyata terserang demam, mengusili Halilintar dengan memasang jebakan berupa kamera dalam balon ciptaannya, yang berakhir ditampar oleh yang bersangkutan—

"Solar ...?"

"Sepertinya ... jatuh di depan kamar mandi," ujar Solar sangsi. "Aku harus segera menemukannya."

"Tapi Kak Blaze baru dari kamar mandi, pasti Kak Blaze melihat kacamata Solar kalau memang terjatuh di sana," lapor Thorn. "Solar jangan sedih. Ayo kita cari sama-sama."

"Kak Thorn bicara apa sih? Mana mungkin aku sedih."

"Kalau Solar tidak sedih, kenapa ada air mata?"

"Astaga Kak Thorn, tidak semua air mata keluar karena menangis. Kadang air mata dengan sendirinya keluar untuk mencegah mata kering sesuai dengan apa yang sudah diterangkan di mata pelajaran Biologi—"

"Bohong itu tidak baik lho, Solar. Dosa." Thorn menarik tangan Solar. "Ayo, kita cari dulu. Atau bagaimana kalau kita tanya kelima kakak kita?"

Solar menggeleng. "Kak Thorn tidak perlu ikut mencari. Biar aku saja. Ini salahku yang teledor."

"Solar selalu begitu, padahal Thorn hanya ingin membantu …."

Tahu kalau Thorn tidak selicik Taufan atau Blaze yang suka bersikap dramatis, Solar buru-buru mengatakan sesuatu untuk menenangkan Thorn yang bahunya mulai gemetar. "Jika Kak Thorn mau, baiklah."

"Kenapa Solar memakai kacamata? Bukannya Solar tidak punya gangguan mata?" tanya Thorn.

Pertanyaan Thorn terdengar logis. Faktor genetik menjadi alasan di balik mata mereka yang sehat, sehingga sampai saat ini, belum ada kasus kesehatan di antara kembar tujuh BoBoiBoy yang berhubungan dengan penglihatan. Terlebih lagi, kacamata oranye itu begitu berharga sampai Solar merasa panik saat tahu dia menghilangkannya.

"Seperti Fang dan Ying, untuk bergaya," kilah Solar.

"Bagaimana kalau membeli kacamata baru? Harganya sepertinya tidak mahal," saran Thorn.

"Kak Thorn, kita harus hidup hemat. Lagi pula, kacamataku hilang, bukannya rusak. Pasti masih ada di rumah, karena aku sama sekali tidak keluar rumah."

"Solar sangat sayang dengan kacamata itu, ya."

"Itu karena ... Kak Hali yang memberikannya …."

Hening sesaat. Solar baru sadar dia telah menguak sebuah insiden di masa lalu. "Kak Hali memberi hadiah? Thorn juga mau! Kok bisa?"

"Itu sudah lama sekali, sejak sekolah dasar. Aku sudah sedikit memodifikasi kacamata itu supaya tetap nyaman dengan ukuran lingkar kepalaku yang membesar karena perjalanan umur." Telunjuk di dagu, Solar mencoba mengingat-ingat sejarah awal hidupnya bersama kacamata itu. "Kak Hali adalah cahaya untukku. Aku tidak bisa bertahan sampai saat ini jika tidak ada Kak Hali."

"Solar ...?"

"Ingat kalau dulu aku itu parah sekali? Kemampuan sosialisasiku lebih buruk dari Kak Hali. Soal seni pun aku tidak sehebat Kak Taufan. Aku juga tidak pandai bermulut manis seperti Kak Gempa. Soal olahraga aku saja tidak bisa menyamai kemampuan Kak Ice, apalagi Kak Blaze. Lalu, Kak Thorn sendiri sangat disukai banyak orang karena Kakak begitu apa adanya."

"Sekarang Solar tidak seperti itu, kok! Meski ... yang dulu itu ... benar sih ...," cicit Thorn.

"Kak Hali adalah orang yang pertama kali sadar dan langsung bertindak. Kak Hali memberiku kacamata itu untuk membuatku lebih berani menatap orang lain. Dari situ, aku bisa menjadi lebih baik lagi," lanjut Solar dengan suara lirih. "Aku baru sadar betapa baik dan spesialnya Kak Hali untukku, tapi aku malah terus membuatnya kesal."

"Solar seperti buah, ya." Sebelum Solar bertanya, Thorn sudah menerangkan maksudnya, "Buah itu kebanyakan harum, manis, rasanya enak, dan menyimpan semua manfaat, tapi di dalam buah terdapat pula biji. Jika tidak ada biji, pohon tidak akan pernah ada. Jika Kak Hali tidak ada, kita semua tidak akan tumbuh sampai sekarang."

Seperti Ice, Solar tercengang luar biasa. "Biji di dalam buah itu hanya jenis Angiospermae, ada Gymnospermae yang letak bijinya tidak dalam buah," koreksinya.

"Hehe, aku lupa." Thorn tersenyum menjurus cengar-cengir. "Kak Hali memang pemarah, tapi Kak Hali selalu melindungi dan membantu kita."

"Aku setuju, maka dari itu, aku sungguh tidak mau kehilangan kacamata pemberian Kak Hali." Kini Solar yang berbalik menggenggam tangan Thorn. "Kak Thorn, bisa kuminta bantuan Kakak?"

"Tadi tidak mau minta tolong, sekarang mau." Terkekeh pelan, Thorn melanjutkan, "Mana mungkin Thorn tidak menolong saudara yang kesusahan?"

"Ngomong-ngomong, kalau aku buah, Kak Thorn apa?"

"Bunga, soalnya sebelum buah kan harus ada bunga dulu."

"Filosofinya?"

"Umm ... filosofi itu apa, Solar?"

Solar terdiam seribu bahasa, tapi Solar menyadari adanya hubungan antara kakak penggemar berat tumbuhannya itu dengan bunga. Mereka berdua sama-sama bisa menarik perhatian dengan tingkah laku yang tak mereka sadari.


boboiboy — finale


Memutuskan untuk bertanya pada saudara kembar yang lain, Thorn dan Solar berjalan bersama menuju ruang keluarga. Di dalam sana, dua kembar terkecil itu bisa melihat kelima saudara mereka yang sedang membahas sesuatu. Entah apa pastinya, baik Thorn maupun Solar tidak bisa menebak.

Gempa adalah orang pertama yang menyadari kehadiran adik-adiknya saat melihat ke belakang. Seulas senyum dilontarkan. "Halo, silakan bergabung. Sudah lama sekali kita tidak berkumpul bersama, ya?"

Thorn dan Solar mendekati kelima kakak kembar yang duduk di satu sofa yang sama. Detik itu pula, Solar tahu apa yang sedang mereka kerjakan.

"Itu ... kacamataku?"

"Ah, ya. Ada sedikit retak," jawab Taufan. "Kami berlima berusaha mencari cara untuk menyamarkan retakan itu di internet. Kami berempat sudah menyerah, hanya Kak Hali yang masih ngotot mau berusaha."

"Kalau sudah menyerah, kenapa masih membantu?" dengkus Halilintar, merasa disalahkan. Kacamata Solar ada dalam genggamannya. Kalau Solar perhatikan baik-baik, jejak retakan itu tidak terlihat jelas, malah lebih terlihat seperti bekas tergores.

"Habisnya kita tidak tega kalau Kak Hali pasang wajah anak ayam kehilangan induk begitu," jawab Blaze yang disertai anggukan kepala dari Ice.

"Apa kaubilang?!" gertak Halilintar.

"Benar-benar biji, ya," kekeh Ice dan Solar bersamaan. Ikatan batin kembar identik, mungkin.

"Sepertinya badai mulai reda. Aku akan membeli makanan di luar," ujar Taufan. "Gempa bilang dia tidak bisa masak karena semua bahan untuk memasak ada dalam kulkas rusak. Atok pun sudah berpesan untuk tidak membuka kulkas, jadi memang tidak bisa berbuat apa-apa."

"Hahaha, tak perlu."

Kembar tujuh serempak menoleh. Pintu terbuka lebar, memperlihatkan Atok Aba yang berdiri di sana. Tangan kanannya membawa sesuatu yang mereka ketahui namanya—sebuah kue ulang tahun.

"Atok?" Gempa adalah orang pertama yang bereaksi. "Atok masih sakit, seharusnya Atok beristirahat."

"Mana mungkin Atok mau melewatkan waktu saat kalian bertujuh berkumpul tepat di hari ulang tahun? Lagi pula demam itu kecil." Atok Aba spontan tertawa. "Maka dari itulah Atok memasang memo kulkas rusak, untuk menyembunyikan kue ulang tahun kalian semua, tapi kelihatannya kalian semua malah lupa hari apa ini, heh heh."

Tujuh pasang mata saling bertukar pandang. Meski mereka memiliki kepribadian yang berbeda satu sama lain, ada satu kesamaan yang mereka miliki, yang tak lain dan tak bukan adalah ingatan jangka pendek.

"Tunggu apa lagi?" Atok Aba memasang tujuh buah lilin yang berbeda warna di atas kue yang sebelumnya sudah diletakkan di atas meja kaca, kemudian menyalakannya satu per satu. "Tiup lilin dan buat permintaan kalian."

"Kami sudah tua, Atok. Perayaan seperti ini hanya untuk anak kecil," komentar Halilintar.

"Astaga, Kak Hali! Bersenang-senanglah sedikit!" sorak Taufan. "Lilin yang merah punya Kak Hali, oranye untuk Blaze, kuning untuk Solar, hijau untuk Thorn, biru muda untuk Ice, biru tua untukku, dan ungu untuk Gempa—aih? Kenapa pula warna Gempa ungu?"

"Tidak masalah, aku suka warna ungu," tanggap Gempa kalem.

"Kak Gempa selalu begitu, semua Kak Gempa bilang suka," celetuk Blaze.

"Kak Gempa lebih cocok dengan warna cokelat dibanding ungu," timpal Ice.

"Tapi bukannya barang-barang Kak Gempa dulu warnanya ungu semua ya?" tanya Thorn. "Terus Kak Taufan bilang itu warna ibu-ibu janda. Makanya Kak Gempa beralih warna, 'kan?"

Yang disebut namanya tertawa gugup ala tersangka kriminal. "A-Atur posisi berdiri supaya kita semua bisa meniup lilin tanpa terganggu!"

Usai berdiri di depan lilin milik masing-masing—berdasarkan ucapan Taufan—dan menyiapkan permintaan dalam hati, ketujuh BoBoiBoy mengangguk kompak. Tanpa aba-aba, semuanya meniup lilin yang berakhir padam dalam waktu nyaris bersamaan. Setelahnya, Taufan, Thorn, Ice, dan Blaze langsung menutup mata dan meneriakkan permohonan mereka tanpa suara. Gempa tertawa singkat sebelum melakukan hal yang sama. Solar baru saja ingin mengabadikan pemandangan ini dengan kamera ketika Atok Aba mengambil kameranya. Halilintar berjalan dari belakang, memasangkan kacamata oranye yang masih terlihat retak pada Solar.

"Biar Atok yang mengambil gambar. Ikutlah membuat harapan juga," bisik Atok Aba sambil mengacungkan jempolnya.

"Aku minta maaf soal tadi pagi, terbawa emosi," sesal Halilintar. "Kacamata ini selalu kaupakai padahal ada banyak kacamata yang lebih keren dan lagi pula matamu tidak rabun. Mengapa?"

Bibir Solar melengkung ke atas. Pertanyaan yang sama dengan Thorn, namun Solar memutuskan untuk memberi jawaban yang berbeda. "Sebuah pengingat dan tanda bahwa aku sangat bahagia hanya dengan bersama kalian semua."


tamat


~himmedelweiss 13/03/2020