Chapter 6:

Sedikit Gantung Rupanya


Kenyataan lainnya dimulai dengan menemukan Zenitsu kecil terpaku, pada suara-suara yang berlalu-lalang bertukar kabar.

Iris keemasan Zenitsu kecil menatap lamat-lamat sumpit di genggamannya, dan kotak bekal berisi nasi putih dengan umeboshi di tengah, tanpa lauk lain yang melengkapi. Keriuhan meletup di mana-mana. Jam istirahat yang sepuluh menit lagi berakhir kurang Zenitsu kecil pedulikan, karena seperti bergerak sendiri kepalanya justru celingak-celinguk memperhatikan suasana kelas yang dipenuhi warna-warni rasa.

Hati rapuhnya bergumam ia sendirian di sini, ketika matanya tahu ke mana pun ia memandang, mereka menjauh asalkan bayang-bayang Zenitsu kecil seumpama mimpi buruk yang berlalu saja.

Meskipun mata Zenitsu kecil menemukan kedua lelaki yang sering meminta tolong kepadanya–nama mereka Fuji dan Saiku ternyata–lubang yang ada tidaklah merapat lebih-lebih tertutup, melainkan kian mengisi Zenitsu kecil dengan kekosongan–mereka memang bukan teman yang sewaktu Zenitsu kecil menyadarinya; ia kesakitan sendirian membuat pemikiran Zenitsu yang remaja mengatainya bodoh–jelas sekali padahal, mengapa bertahan coba?

Jiwa tersebut seperti bukan miliknya. Sekilas Zenitsu betul-betul asing akan dirinya sendiri yang , yang di masa-masa SMP serta SMA padahal musim semi seolah-olah selalu merekah–bahagianya benar-benar bahagia, tidak ada kesepian macam sekarang yang–

"Maaf, Zen. Fuji enggak sengaja." Bola sepak menyingkirkan kotak bekal Zenitsu dari atas meja. Pada permukaan kayu jatinya berbagai oretan tertoreh. Mengejek dia gangguan jiwa, autis, disuruh gantung diri, caper dengan self harm, dan masih banyak lagi yang tidak pernah mampu dibacanya hingga tuntas.

Zenitsu kecil yang membenci mejanya buru-buru meletakkan seluruh buku di atas sana, sedangkan pemikiran Zenitsu remaja yang bersemayam di tubuh ringkih ini terlalu syok sampai-sampai kehabisan komentar.


Tidak mungkin berhenti sampai di sana, dan tidak pernah cukup jika sekadar dikucilkan.

Pada jam kosong di pelajaran sejarah, punggung Zenitsu kecil dipukuli oleh berandalan yang semakin melukainya, sewaktu mendapati Fuji serta Saiku juga bergabung ke dalam geng tersebut. Buku-buku di mejanya yang penuh carut-marut hendak dibuang. Kemudian Zenitsu kecil akan dipaksa membacakan ukiran-ukiran tersebut kencang-kencang, dan apabila menolak kepalanya dibenturkan ke permukaan kayu.

"Baca kalimat yang ini."

Dia yang kecil sekaligus lemah itu selalu kalah, dan sebuah telunjuk akan mengaturnya menciptakan komedi tragis. Zenitsu yang remaja pun tidak berdaya. Tangannya terkulai lemas mengetahui jari-jarinya yang hendak meraih bahu salah seorang berandalan tersebut, hanya menembus saja tanpa berarti apa-apa

"Ma-mati aja ... sana ..." Rambut Zenitsu kecil dijambak. Suara serak yang juga lebih kecil dari tubuhnya itu berguncang–berusaha untuk kuat, entah apa yang bisa dilindungi dari dirinya sendiri.

"Jawabanmu?"

"A-aku ... aku enggak bisa mati ... karena gak punya temen." Balasan tersebut dipaksakan kepada Zenitsu kecil yang sebenarnya menginginkan mati sebab seorang diri–tetapi termasuk terbilang enggan–daripada memutuskan pergi akibat memiliki sahabat. Kedua-duanya sama-sama buruk, dan ia juga benci, tetapi tidak pernah bisa melihat pilihan yang baik padanya.

"Kami ini temen-temenmu, kok. Berarti sekarang kau bisa mati, dong?"

Seketika tatapan Zenitsu yang remaja hampa, karena ternyata ia dan mereka–termasuk Fuji begitu pun Saiku–berteman hanya untuk membuat Zenitsu kecil mati di kemudian hari.


Semakin langkahnya mengikuti siang yang berubah menjadi senja kejingga-jinggan, lama-kelamaan pula Zenitsu yang remaja yakin Zenitsu kecil memang bagian dari dirinya–masa lalu yang entah terbenam di mana selama ini.

Jejak kaki mereka sama-sama lunglai, kala menemukan suatu bangunan bernama rumah. Zenitsu yang remaja ingat bagian ini–tangannya akan membuka gerbang, mendorong pintu yang terdengar berderit, melanglang masuk tanpa mengucapkan, "Aku pulang" meskipun ibunya di ruang makan, dan naik ke lantai dua untuk beristirahat dalam kamar terlampau sempit.

Ranjangnya nyaris bersinggungan dengan kursi kayu reot, belum lagi cat yang terkelupas sering kali tahu-tahu menempel di ranjang, atau wajah Zenitsu kecil saat terlelap. Buku-buku pelajaran tidur bersama dia. Ketika malam sudah sempurna, kata-kata palsu dari mulut yang menikmati permainannya terdengar berisik–secara tidak langsung Zenitsu kecil menyaksikan sang ibu berselingkuh.

Kapan ia pernah tidur nyenyak?

Terjaga sepanjang malam sambil membekap mulut, karena Zenitsu kecil–bahkan dirinya yang beranjak remaja pun–ingin menangis setiap dipaksa memahami sesuatu yang sudah hancur, atau yang perlahan-lahan rusak di sekitarnya. Sejak kecil ia lelah. Walaupun Zenitsu yang sekarang memang sedikit tahu masa lalunya sangat gelap, tak sekali pun dia menyangka akan berbentuk seperti ini–terlalu abstrak hingga sulit dimengerti.

"Te-nang, Ze-nit-su sa-yang. Ma-ma di sini~"

Rambut hitam kusut yang terlampau panjang mengenai sampai menutupi depan wajahnya, dan dengan sigap Zenitsu kecil langsung meraih cutter di belakang bantal–menyayat kulit tangannya sendiri, barulah hantu wanita itu pergi seolah-oleh tengah diusir.


Apabila seminggu sebelum liburan musim panas di SMP dan SMA Zenitsu akan sibuk merencanakan kegiatan bersama Tanjiro serta Inosuke, maka tidak dengan dirinya di masa SD yang justru mengurung diri tujuh hari penuh.

Seminggu menemani Zenitsu kecil mendekam di kamarnya yang sempit, untunglah Zenitsu yang remaja sempat tertawa beberapa kali–ternyata menyayat tubuh menggunakan cutter tidak sungguh-sungguh mengusir hantu yang ada–sia-sia belaka ujung-ujungnya, karena balik lagi mengganggu Zenitsu kecil dengan kekuatan lebih hebat, sampai mustahil diusir.

Bagaimana Zenitsu yang remaja tidak tertawa memangnya? Bukankah konyol ketika ia tahu dirinya berteman untuk disuruh mati, namun sendirian pun dia juga segan? Sekarang ditambah dengan kenyataan bahwa self harm Zenitsu kecil sia-sia–hanya menambah penderitaan, atau jika ketahuan ibunya pasti kena pecut rotan–tanpa sadar Zenitsu yang remaja spontan mencengkeram lengan atasnya, walaupun ia sudah ketawa merasa lucu.

"Rasanya aneh ngelihat diriku sendiri masih hidup sekarang. Kok aku bisa bertahan, ya?" tanya Zenitsu yang remaja kepada tangannya yang diangkat–gemetar, gara-gara kebanyakan ketawa pasti. Sekarang ini Zenitsu kecil beranjak berdiri. Tingkah-tingkah idiotnya jadi tidak sabar untuk Zenitsu yang remaja ceritakan, pada Tanjiro sama Inosuke nanti.

Mereka berdua pasti tertawa, dan akhirnya Zenitsu bisa ikut membicarakan masa lalu, daripada sekadar menyimak. Ibu tengah merokok di ruang makan. Mana mungkin memedulikan Zenitsu kecil yang keluar tanpa pamit, karena sekalian berharap anak sampah itu menghilang saja. Ia tak berani pergi jauh-jauh. Taman kota sudah cukup untuk menghabiskan hari pertama liburan musim panasnya.

"Pfttt ... sekarang aku main sendirian di bak pasir, tapi cuma mukul-mukulin pasir pake sekop plastik."

Melampiaskan kemarahan, mungkin? Apa pun tujuannya Zenitsu yang remaja memilih memperhatikan dari ayunan saja, atau jika bosan sesekali menengadahkan kepala pada biru langit yang bersinar–awan-awan berarak pelan tanpa pemandangan camar melintas.

"Sekarang gimana, ya, nasib Inosuke? Aku udah inget dia. Kurasa harus minta maaf juga, karena ngelupain sahabat sendiri."

Ayunan bergoyang pelan. Semilir angin tidak terasa membelai pipi, mengingat sosok Zenitsu yang remaja hanyalah proyeksi dari penonton. Dirinya yang lebih kecil kini membanting sekop sambil menangis. Meskipun tahu, walau ia paham semua ini merupakan pecahan kehidupannya yang hilang, terkadang Zenitsu yang remaja berpikir, "Tidak bolehkah yang patah tetap patah saja, dibanding menjadi utuh dan diingat?".

Seperti ... Zenitsu yang remaja membayangkan, ia tidak membutuhkan dirinya yang nelangsa itu. Memang apa salahnya memulai ingatan pertama dari SMP? Lagi pula cerita semasa SD masih dapat dikenang, meskipun imitasi semua–asalkan sama-sama pahit, entah itu imitasi maupun nyata, harusnya tak masalah, 'kan?

Tentang dia yang sebelum terjebak dalam buku sempat membentak-bentak Tanjiro beserta Uzui, ternyata orang tuanya yang menyuruh Zenitsu kecil terus-menerus belajar hanya bohong belaka–sejak dulu ia memang tak pernah diurus, dan dicari sekadar untuk dipukuli gara-gara bosan.

Tetapi dibandingkan tahu dirinya ditelantarkan, Zenitsu yang remaja lebih menyukai ingatan palsu di mana ia dipaksa belajar.

Apa menjadi salahnya kalau dia lemah? Memilih bergantung pada kebohongan agar sedikit aman, daripada menemukan yang asli yang membahayakan warasnya? Zenitsu tidak apa-apa dianggap melarikan diri. Mengapa selama-lamanya menjelma pengecut harus ia takuti? Karena Zenitsu bukan hero atau manusia super, dan baginya kabur dari semua yang hilang ini adalah caranya berbahagia.

Andaikata ada jalan keluar untuk pergi dari buku ini, maka Zenitsu memilih pulang dibandingkan melanjutkan–

"Apa lo lihat-lihat, hah?!"

"Kaigaku?" Selagi melamun, tahu-tahu Zenitsu kecil berhadapan dengan Kaigaku yang duduk-duduk di atas pohon. Mata hitam jelaganya melotot. Pasti sehabis ini Zenitsu kecil kabur gara-gara ta–

"Y-yang pertama kali liat-liat itu kamu! Aku ... aku tau, kok, tadi kamu bersembunyi di belakang pohon."

Kenapa tidak takut? Mengapa Zenitsu kecil tak lari saja, soalnya jelas-jelas Kaigaku mengerikan? Usai mendengarkan kesaksian tersebut Kaigaku melompat turun–Zenitsu yang remaja baru sadar, tubuh Kaigaku juga menyerupai rata-rata anak SD. Ember dan sekop di bak pasir Kaigaku ambil. Dalam lima menit ia membuat istana satu tingkat berbentuk sederhana, tetapi sangat cukup membuat Zenitsu kecil terkesima.

"Begini cara mainnya, idiot! Bukan pasir lo pukul-pukul." Sekop plastik menghantam kepala Zenitsu kecil yang sejurus kemudian menangis. Kaigaku mendengkus menyaksikannya. Dengan cara agak kasar, ia membawa Zenitsu kecil agar jongkok bersamanya.

"Jangan menangis. Semua orang bisa membuat istana pasir."

Mereka pun bermain sampai sore, dan lagi-lagi Zenitsu yang remaja mematung kehilangan kata-kata, tetapi hatinya menghangat secara penuh.


Lalu tibalah mereka pada ingatan, di mana Zenitsu dipukuli habis-habisan oleh ibunya yang mula-mula ia pikir: hukuman itu terjadi akibat nilai jelek di ulangan matematika.

Entah apa yang Zenitsu kecil pikirkan dengan membawa Kaigaku ke rumah, ditambah lagi suaranya terdengar polos kala mengenalkan sang teman kepada ibu. Tetapi mungkin Zenitsu yang remaja paham, bahwa anak kecil tetaplah anak kecil yang menginginkan perhatian, terutama dari orang tua. Hanya saja tidak berjalan sesuai harapan. Semenjak itulah Zenitsu kecil juga berhenti ingin dianggap berguna–itu harapan dasar semua manusia, bukan?

Punya teman adalah hal berguna. Bahkan setelah terperangkap pada lingkaran persahabatan yang memaksa, dan kehidupan keluarganya kacau balau, Zenitsu kecil juga gagal mewujudkannya dengan cara seorang bocah–bagaimana besar nanti jika di hal sepele saja gagal?

Kaigaku tak terlihat di mata ibu yang buru-buru mengambil rotan. Menghantamkannya ke arah punggung Zenitsu kecil, sembari meneriaki dia gangguan jiwa–bahwa ibu lelah merawatnya, menyesal sudah melahirkan Agatsuma Zenitsu yang lebih-lebih; masih memakai marga dari pria yang diselingkuhinya.

"Bahkan meskipun ibu jadi menikah dengannya, kau akan kutinggalkan mati membusuk di jalanan agar Agatsuma Zenitsi menghilang. Dasar anak gak berguna!"

"Hiks ... hiks ... EMANGNYA SAPA JUGA YANG MAU JADI AGATSUMA ZENITSU?! APA AKU SALAH KARENA YANG LAHIR ITU AKU?!" Di sampingnya Kaigaku bersandar pada penyangga ayunan. Bergeming saja dengan posisi menyilangkan tangan, membiarkan Zenitsu kecil tersedu-sedu.

Pikiran-pikiran Zenitsu kecil mengalir membasahi aliran nadinya, dan mengetuk hati Zenitsu yang remaja. Padahal sosok di ayunan ini hanyalah bocah sepuluh tahun–lika-liku sejenis hidup harusnya dipikirkan oleh dia–Zenitsu yang remaja–sedangkan anak bawang ini mengotak-atik bagaimana cara Zenitsu kecil dapat bermain, mengerjakan PR, berteman, lantas membantu sekaligus membanggakan orang tua.

Bentuk-bentuk kebahagiaan itu lebih cocok dengannya. Zenitsu kecil pasti bisa, meskipun ia buta dalam membayangkan. Jikalau tersentuh Zenitsu yang remaja ingin membawanya pulang ke dalam pelukan–mengambil pertanyaan tersebut, membebaskan sesaknya, membisikkan jawabannya ada pada dirinya yang berumur tujuh belas, sehingga ia akan baik-baik saja.

Bahwa ia memiliki kesempatan berhenti, tidak seorang diri karena ada yang menantinya, dan dia adalah Zenitsu di usia sebelas–seterusnya sampai mata itu dikecup kematian, dan dia memang tak sendirian.

"Wah! Ada taman kota!"

Seorang bocah perempuan memasuki taman kota dengan riangn Ingin menaiki ayunan yang kata orang-orang dapat mengantarnya terbang, andaikata ia tidak lebih dulu menemukan Zenitsu kecil. Sosok tersebut jelas-jelas Nezuko. Netra pink pucatnya berpendar-pendar khawatir, sementara Nezuko yang mengenakan seragam musim panas menghampiri Zenitsu yang remaja–cara menatapnya dipenuhi berbagai kerinduan.

"Kamu ... menangis?"

"APA AKU KELIATAN KAYAK LAGI TERTAWA?! ENGGAK, KAN?" Berteriak pada perempuan seperti itu, ingin sekali Zenitsu yang remaja menjitaknya. Sayup-sayup Nezuko kecil agak kaget–kalau suaranya masih keras, berarti dia bisa cepat kembali sehat.

"Tapi abis itu kamu bisa tertawa lagi. Puasin aja nangisnya, biar kamu puas tertawa nanti." Tiba-tiba disodorkan sapu tangan, bagaimana mungkin Zenitsu kecil tidak kaget? Nezuko tersipu menyaksikannya. Zenitsu yang remaja malu-malu, sekaligus dalam hati merutuk agar Zenitsu kecil segera menerimanya.

Namun, adegan selanjutnya sangat mengagetkan di mana Nezuko kecil bergerak hendak menghapus air mata Zenitsu kecil. Sapu tangannya buru-buru diambil. Teriakan seorang wanita dewasa menginterupsi mereka, dan pertemuan singkat itu langsung diakhiri oleh lambaian tangan Nezuko kecil.

"Besok jam sebelas siang kita ketemu lagi, ya, di sini! Bye-bye."

Layaknya orang bego, fokus Zenitsu kecil terus saja terarah pada gerbang, kemudian Kaigaku menjitak dia akibat gerah sendiri.


Pukul sebelas siang lewat satu menit, ayunan terdengar berayun pelan tanpa pengunjung lain menyisakan Zenitsu kecil seorang–atau tiga apabila Zenitsu yang remaja dihitung, dan Kaigaku dimasukkan.

Kemarin sore cukup mengejutkan Kaigaku, karena bukannya mengusir dia Zenitsu kecil justru mengajak Kaigaku ke rumah–mereka berbagi ranjang, juga ia mendapati pemandangan wajah nyenyak Zenitsu kecil yang baru pernah seperti itu. Kedatangan hantu manusia membuat hantu-hantu lain balik kanan–katakanlah derajat Kaigaku ini lebih tinggi, berimbas membawa keuntungan pada Zenitsu kecil yang berhenti diganggu.

"Kayaknya lo ditipu, deh." Melayangkan komentar sejahat itu secara mendadak, Zenitsu kecil yakin bisa mendengar hatinya tebelah dua.

"Jangan kejam napa?! Dia pasti da–", "Siang! Maaf aku telat." Atau dia beruntung saja, dan firasat Kaigaku meyakininya. Nezuko kecil langsung duduk di ayunan sebelah. Cukup lama mereka membiarkan hening mendominasi. Kaigaku yang gemas sudah terus-menerus berbisik supaya sapu tangannya dipulangkan.

"Kita dulu secanggung ini, ya." Ah. Akhirnya suara Nezuko yang remaja kembali terdengar. Mungkin karena ketularan ia malah menggaruk tengkuk, daripada membalasnya dengan kekehan ringan.

Dengan wajah yang berpaling menghadap langit, sapu tangan Nezuko kecil dikembalikan oleh Zenitsu kecil. Walaupun mereka diam, sunyi ini lebih merdu dari sebelumnya. Sebongkah ragu perlahan-lahan mencair. Senyuman Nezuko kecil mengembang, seperti kue ulang tahun yang dihias stroberi raksasa.

"Artinya kamu udah baikan, ya?"

"Kenapa ... kamu berkesimpulan kayak gitu?" Sebenarnya memang iya, hanya saja Zenitsu kecil sengaja pura-pura bodoh. Lawan bicaranya itu tampak berpikir. Berpikir yang entah mengapa tidak terlihat membosankan.

"Pertama-tama kamu udah gak nangis. Terus yang kedua ... ingusmu udah gak meler."

"Gak nangis bukan berarti baik-baik aja."

"Benarkah?! Sayang banget abis ini aku mau pergi. Tapi besok ..." Kelingking mungilnya diperlihatkan. Tidak mengerti apa yang Nezuko kecil maksud, maka Zenitsu kecil mengikuti saja.

"Besok di jam sebelas kita janjian lagi, ya, ketemuan di sini! Ayo sepedaan biar kenal lebih deket."

"Se-sepedaan?! Mendadak banget!"

"Kita, kan, jadi temennya juga dadakan. Omong-omong namaku Kamado Nezuko. Kalo kamu?"

"Agatsuma ... Zenitsu. Boleh kupanggil Nezuko-chan?" Jadi dia adik Tanjiro? Atau mungkin kakak tertua? Tampaknya selama mereka terpisah Nezuko sudah menemukan ingatan manusianya. Karena ia bagian dari kelarga Kamado, syukurlah perkataan Zenitsu yang remaja mengenai hidupnya yang diisi orang-orang baik bukan kesalahan.

"Boleh! Sampai jumpa besok, Agatsuma-san."

"Pa-panggil aja Zenitsu! Terus Nezuko-chan, kenalin ini temenku juga, namanya Kaigaku." Merasa Zenitsu kecil sangat bodoh Kaigaku pun menepuk kening. Ditilik dari ekspresinya Nezuko kecil jelas kebingungan. Namun, rupa-rupanya dia juga bego, karena tetap mengulurkan tangan.

"Siapa juga yang mau sepedaan sama anak cewek."

PLAK!

Samar-samar walaupun kurang pasti, ada tepukan yang tangannya tangkap membuat bola mata Nezuko kecil membulat. Wanita dewasa yang kemarin memanggilnya datang menjemput. Lagi-lagi Nezuko kecil melambaikan tangan, yang kali ini dapat Zenitsu kecil balas–agak patah-patah, sebab ia merasai sengatan listrik kecil yang menggetarkan sekujur tubuh.

"Kagak bisa naik sepeda saja banyak lagak."

Selanjutnya yaitu Kaigaku dan Zenitsu kecil berdebat, mengundang tawa dari Nezuko sedangkan Zenitsu yang remaja ikut-ikutan dongkol–tinggal turut berbahagia mengapa Kaigaku repot banget, deh, sampai mengejek Zenitsu kecil?


Di hari yang terlampau biru dan cerah ini, sekarang Nezuko kecil tidak terlambat berapa menit pun itu kala menghampiri Zenitsu kecil yang memerah.

Sepedanya dihias memakai pita merah, serta memiliki keranjang rotan yang diisi bekal makan siang. Seketika Kaigaku mendecih–sebal sendiri dengan penampilan kendaraan roda dua itu. Tatapan Nezuko kecil bertanya-tanya di manakah sepeda Zenitsu kecil berada. Usai menolak saran Kaigaku untuk menyewa, suka atau benci Zenitsu kecil pun mengaku.

"Sebenernya aku gak punya sepeda. Gak pernah naik juga." Gara-gara pernyataan itu Zenitsu yang remaja jadi ingat, dia pun di-bully karena hal tersebut. Hari ini ekspresi Kaigaku mengesalkan, semua-muanya seperti berkata, "Mampus. Rencana lo bakalan gagal".

"Yaudah aku ajarin. Kita latihan di deket sungai, yuk. Tempatnya sepi dan luas."

Tetapi berkat dirinya yang di sini, Zenitsu yang remaja menjadi tahu ia tak serta-merta bisa mengendarai sepeda. Sungai yang Nezuko kecil maksud dekat dengan taman kota Nagoya. Di atasnya ada jembatan tempat mobil berlalu-lalang, atau sesekali seseorang lewat membawa keranjang belanjaan. Nezuko kecil mempersilakan Zenitsu kecil mencoba–mereka jalan kaki bersama-sama yang kembali Kaigaku ejek–sepedanya dituntun kayak pajangan doang.

"Ini gak bahaya, kan?" Baru duduk di atas jok Zenitsu kecil gemetar. Orang-orang yang bisa mengendarai sepeda roda dua itu barbar–tentu saja Nezuko kecil tak termasuk, soalnya dia imut kuadrat.

"Tenang aja. Mula-mula masih aku pegangin, kok, sampai Zenitsu-san bisa jaga keseimbangan."

"Kalo gitu aku percaya, deh, sama Nezuko-chan."

Pelan-pelan kaki Zenitsu mengayuh sepeda berwarna pastel magenta ini. Melihat pita-pitanya berkibar ditiup angin, dan Zenitsu menjadi subjek yang menjalankan kendaraan tersebut, tawa Kaigaku meledak-ledak tak habis pikir–urat malunya hilang ditelan bumi yang mana, deh? Konsentrasi Zenitsu kecil jadi terpecah. Alhasil bocah malang itu terjatuh mencium rumput.

"Aku ... aku enggak mau belajar naik sepeda lagi, Kaigaku, Nezuko-chan." Tangisan berisik Zenitsu kecil mengudara. Untungnya dia tidak luka atau menghantam batu membuat Nezuko kecil lega, sementara Kaigaku menyindir Zenitsu kecil lemah.

"Pasti Zenitsu-san bisa, kok. Kaigaku-san juga menyemangati."

"BORO-BORO MENYEMANGATI. DIA MALAH NGEJEK, 'lemah lu jadi cowok, dasar banci'."

"Eh? Gak boleh gitu, Kaigaku-san. Harusnya kamu kasih motivasi buat Zenitsu-san biar semangat."

Lucu juga dicereweti oleh manusia yang tidak bisa melihatnya. Setelah itu Nezuko kecil sibuk membantu Zenitsu kecil berdiri, sekalian menjelaskan betapa menyenangkannya dapat menaiki sepeda. Bahkan dia kepikiran ingin berkeliling Nagoya pakai sepeda–ditertawakan pun sebenarnya sia-sia soalnya Nezuko kecil tak punya "pengelihatan", cuma tetap saja Kaigaku terbahak-bahak lagi–imajinasi bocah dasar.

"Belajar sana, Zenitsu. Larimu payah. Makanya harus bisa naik sepeda."

"MASA LARIKU DIKATAIN PAYAH?! TAPI BENER, SIH." Zenitsu yang remaja juga mengakuinya, meski ogah-ogahan. Namun, di luar seluruh kebersamaan mereka bertiga yang ternyata akrab, masih sulit disangka bahwa sosok yang pernah menjambak Nezuko adalah Kaigaku–kelakuannya memang kasar, tetapi ingatan ini tidak menunjukkan Kaigaku suka menyakiti.

"Lariku juga payah, kok. Kaigaku-san juga belum tentu lebih cepet dari kita."

"Kalau cewek larinya payah, sih, enggak apa-apa. Lagian lo yang nanti bakal mengejar si Nezuko. Minimal bisa naik sepeda biar terkejar."

"KOK LU MENGELAK?! LAGIAN NGEJAR NEZUKO-CHAN GAK PERLU PAKE SEPEDA." Sesuram apa pun Zenitsu kecil, ternyata mengerti juga artinya jatuh cinta. Membanggakan jelas. Terkesan sepele juga itu termasuk sebuah prestasi yang maju, lho.

"Aku gak perlu dikejar, kok. Tar aku tunggu. Kita janjian aja dulu mau di mana."

"Nezuko-chan pas masih kecil polos banget. Gemes, deh." Bunga-bunga imajiner kuning melatari punggung Zenitsu yang remaja. Ketiga bocah itu sudah kembali menekuni proses bersepeda. Pada kesempatan dalam kesempitan pula, tangan Nezuko diraih oleh Zenitsu yang remaja–rasa-rasanya ia baru tersenyum sekarang, berkat kehadiran Nezuko.

"Tanganku bisa disentuh?"

"Ya. Bisa. Sayang sekali ini tidak akan–"

Lama. Pemuda Agatsuma itu hendak mengatakannya, apabila Nezuko tidak tahu-tahu menghilang digantikan ruang tamu tanpa terang lampu. Kaigaku dan Zenitsu kecil duduk di sofa. Semangkuk popcorn yang dilengkapi sebotol soda berada di atas meja panjang. Televisi menyala menampilkan film yang sepertinya horor, kah? Ketika Zenitsu yang remaja berpikir yang pernah menonton bersamanya adalah Kaigaku, ternyata tidak salah total juga.

"Masa sering lihat hantu beneran lo takut nonton film horor? Cemen ada batasnya tahu." Bisa dilihat dari Zenitsu kecil yang menutupi kepala menggunakan selimut. Terkadang Kaigaku heran mengapa temannya begini–kenapa orang yang bisa melihat dia haruslah Agatsuma Zenitsu?

"Bodo amat! Takut, ya, takut. Begini-begini gue manusia tau."

"Bapak lo lebih berani gue rasa, karena meninggalkan kalian gitu aja."

"Mau itu ibu atau ayah gue gak peduli lagi. Ejekan lo gak mempan jadinya."

Ibu Zenitsu berkencan seharian penuh di rumah kekasihnya, sehingga entah atas dasar apa Kaigaku menyarankan menonton film. Popcorn-nya minta dari Kuwajima–perihal beliau yang membuka toko bento di Nagoya untunglah bukan kepalsuan, walau sayang jaraknya cukup jauh. Ia bahkan mengajak Nezuko kecil–mereka diantar oleh ayahnya, dan menaiki bus di mana Zenitsu kecil nyaris muntah–dijadikan bahan olokan lagi, jelas.

"Tapi tumben banget lo punya ide kayak gini. Pas di bus tadi kagak ngebentur apa-apa, kan?"

"Malahan gue khawatir kepala lo yang begitu." Tidakkah bocah pirang yang menganggapnya teman pertama ini merasa, bahwa Kaigaku super menyebalkan? Padahal dia sengaja tak mengatakan dirinya makhluk gaib. Mengolok-olok Zenitsu kecil pun Kaigaku lakukan dengan senang hati, kok.

"Kepala gue barusan dipake buat ngerjain PR matematika, lho. Oh, iya, omong-omong soal PR gue jadi pengen bantu Nezuko-chan. Pas kita keliling kastil Nagoya gue tawarin aja kali, ya?"

"Pikir aja sendiri. Jangan apa-apa bertanya melulu."

"Meminta pendapat temen itu wajar, lho. Di kelas juga banyak yang begini."

"Oh, gitu. Lagian kenapa lo menganggap gue temen? Bukannya lo benci banget, ya, sama hantu?"

"Benci, lah! Mereka gangguin gue terus, termasuk lo juga. Cuma gue ngerasa gak apa-apa. Soalnya dibandingkan mereka, bahkan orang-orang di kelas gue, lo lebih seperti manusia yang beneran manusia."

"Terserah mau komentar apa. Buat gue lo adalah temen pertama, Nezuko-chan yang kedua, tapi kalian sama-sama ada di peringkat satu buatku," sambung Zenitsu kecil yang sesekali menguap.

Hubungan mereka juga berharga, dan Kaigaku merinding akan ketulusan Zenitsu kecil yang lebih mengerikan, daripada menangis tiga hari tiga malam. Saking terkejutnya pula Kaigaku membisu, lantas sembarangan mematikan televisi. Sehabis mengujarkan itu Zenitsu kecil malah tertidur. Selimut di kepalanya Kaigaku pindahkan agar menutupi tubuh, dilanjut memperhatikan telapak tangannya yang kemudian mengepal erat.

"Masih bisa ternyata. Tapi ini memang enggak cukup."

Dimulai dari Kaigaku yang meninggalkan teka-teki tak beraturan, sejak itulah ia berhenti mengekori Zenitsu kecil–menonton film mungkin adalah salam perpisahan tersirat, dan Zenitsu yang remaja seperti memahaminya ketika menyaksikan alur ingatannya.

Pemandangan di seputarnya berubah menjadi kastil Nagoya yang megah. Keramaian ada di mana-mana, dan tampak berpencar mengerumuni destinasi tertentu. Pundak Zenitsu yang remaja ditepuk Nezuko. Telunjuk gadis itu mengarah pada Zenitsu kecil berwajah muram, walaupun sudah dihibur bergiliran oleh adik-adik Tanjiro, Nezuko kecil, juga Tanjiro sendiri bahkan orang tuanya ikut cemas.

"Maaf, Nezuko-chan. Aku ngerusak karyawisata kalian, ya, ternyata." Malahan pula dirinya itu berkali-kali lipat lebih menyebalkan dibandingkan Kaigaku. Keluarga Kamado berbaik hati mengajak Zenitsu kecil yang selalu terkurung di rumah. Namun, kelihatan betul ia justru egois yang pasti menjengkelkan mereka.

"Bukan itu, Zenitsu-san. Kamu bener-bener gak tau Kaigaku-san ke mana?"

"Tadi sekilas pas aku ngelihat ingatanku, dia berkata, 'masih bisa ternyata. Tapi ini memang enggak cukup'. Entah apa artinya. Yang jelas Kaigaku menyembunyikan sesuatu."

"Dirinya yang sekarang enggak di sini, ya. Kalo ada kita bisa bertanya."

"Apa Nezuko-chan udah gak marah karena dia pernah menjambakmu? Kamu juga gak bisa liat Kaigaku, kan? Kurasa aneh aja kalo kamu ... khawatir."

"Meski gak bisa, Kaigaku adalah temen yang berharga bagimu ternyata. Bersama-sama mengkhawatirkan dia bakal lebih ringan, bukan? Lagi pula sebenernya aku juga sering bersama Kaigaku. Temen itu gak selalu harus bisa dilihat, kan? Yang penting adalah perasaannya."

Karena Nezuko terlalu baik, jadilah Zenitsu yang remaja menggenggam tangannya sekali lagi. Bagaikan disulap tongkat bintang, pemandangan yang mengelilingi mereka kembali mengubah bentuk menjadi laju kereta. Di seberang mereka Zenitsu dan Nezuko kecil tertidur, sedangkan Tanjiro menyanyikan lagu "Nina Bobo" yang fals. Untuk menghibur Zenitsu kecil ketiganya berkereta–singgah di stasiun mana pun asalkan pulang sebelum malam.

Sepasang anak kelas empat SD membawa Nezuko kecil yang setahun lebih muda dari mereka–konsep tersebut gila, akan tetapi Zenitsu yang remaja menyukainya terutama sewaktu mengingat Tanjiro beralasan, ingin melatih kemandirian.

Perjalanan tersebut betul-betul tidak jelas. Mereka sekadar menikmati kereta berlari mengejar musim panas, lalu mengacak-acak topik entah mengenai sekolah, keluarga Kamado, atau terkadang menyasar ke Zenitsu kecil–dia bercerita soal ayah dan ibu, mengejutkannya, namun tak lengkap karena Nezuko serta Tanjiro kompak menghentikan.

"Artinya Nezuko-chan bakal ngelihat kematianmu, dong?" Mereka duduk di seberang bocah-bocah itu. Cahaya senja mencetak bayangan di lantai kereta. Menghilang tertutup pohon-pohon. Muncul lagi saat sudah melewatinya–siklus tersebut juga menyenangkan untuk dinikmati.

"Kematianku adalah akhir dari semuanya. Tentu harus kulihat, dan Zenitsu-san juga."

"Nezuko-chan enggak takut?"

"Takut, kok. Gimana kalo kematianku berdarah-darah? Aku kesakitan lebih dulu, kah? Atau jangan-jangan jasadku enggak ditemukan? Kemungkinan-kemungkinan itu bener-bener mengerikan."

"Jujur aja. Selama kita melihat ingatan masing-masing, aku udah ketakutan sama segalanya. Bahkan aku berpikir semua ini gak diperlukan. Gak apa-apa juga kalo hanya inget masa-masa SMP sampai SMA, tapi yang SD palsu dan banyak lupanya."

"Berarti Zenitsu-san gak akan pernah mengingatku, dong." Ada seulas sendu yang menari di ucapannya, membuat Zenitsu mempererat genggaman. Senja kian terbakar dalam kuning kejingga-jinggan. Kaca jendela memantulkan wajah Nezuko, begitu pun sebuah tangan yang membelai pipinya.

"Maaf. Aku udah gak berharap kalo bocah beruntung itu adalah aku. Tapi ternyata takdir pun bisa baik. Kita memang berteman pas kecil, dan sekarang aku bersyukur masih menyaksikan semua ini.

"Dalam ingatanku saat pertama kali aku mengenalkanmu pada Kakak, dia berkata Zenitsu-san itu orangnya pemalu, tapi menyenangkan, ketika kami cuci piring. Kakak juga menyayangkan, keluarga kami hanya ke Nagoya pas liburan musim panas."

"Kita menghabiskan semua jatah libur musim panas enggak, ya? Kalo cuma setengah atau beberapa minggu aja ... aku bakalan nangis."

"Uhm. Aku juga. Setelah inget semuanya aku makin gak berharap kita cepet-cepet berpisah. Menemukan Zenitsu-san menangis di taman kota. Mengajarimu naik sepeda. Makan bento bareng. Jalan-jalan ke Kastil Nagoya. Berkereta. Semua itu mau kuulangi bersamamu."

Manusia adalah bagian dari waktu, tetapi waktu bukanlah manusia, sehingga baik Zenitsu maupun Nezuko tidak dapat mengatur perpisahan dan pertemuan. Kereta berhenti mengarungi takdir. Keduanya turun yang secara ajaib, tidak menapak stasiun melainkan sebuah tanah tanpa aspal. Di depan rumah mungil keluarga Kamado berpose, begitu pun Nezuko dan Zenitsu kecil. Kamera dipasang memakai penghitung mundur. Foto pun tercetak dari kamera instan butut.

"Foto ...?" gumam Zenitsu yang remaja tidak paham. Kenapa ia tak punya satu di album? Pasti orang tua Tanjiro menyuruh ia memilikinya, bukan, sebagai kenangan-kenangan?

Sang pemotret justru menyerahkannya kepada Zenitsu yang remaja, lalu Nezuko mencuri-curi pandang penasaran. Rumah itu adalah tempat tinggal kakek Yoriichi. Beliau meninggal saat keluarga Kamado berkunjung. Meskipun sangat sebentar, Zenitsu kecil berpikir ia seperti mempunyai dua kakek yang lebih baik daripada satu ayah satu ibu, dan sekarang di sini Zenitsu yang remaja betul-betul merasa lengkap.

Yang semakin lengkap, ketika sambil menggenggam foto tersebut, lantas menengok ke belakang, kedua Zenitsu tahu-tahu menyaksikan Nezuko kecil ditabrak mobil.

Cepat sekali berpindahnya tanpa perlu kereta atau sihir.

Mobil tersebut juga sangat mengebut dalam membuat Nezuko kecil tergeletak, seakan-akan tidak pernah terjadi tetapi nyatanya memang kejadian–masih sulit dipercaya, meskipun sudah tahu.

Tentu saja mereka–Zenitsu yang remaja dan yang kecil–menangis. Ia tidak tahu mengapa berubah secepat ini. Sekejap sekali kebahagiaan yang diberikan selembar polaroid itu, atau kenangan saat pertama kali bertemu, atau ingatan di mana mereka belajar menaiki sepeda, keliling kastil Nagoya, berkereta, makan bento, mengenang Yoriichi ...

Kebahagiaan yang banyak, meluap, dan tumpah itu mengapa cepat sekali surutnya, tetapi luka di depan mata mereka seolah-olah abadi yang berlangsung selama-lamanya yang enggan reda?

"Demi menyelamatkanku Nezuko-chan menggantikanku ditabrak mobil. Maaf. Andai aku gak mengejar Kaigaku, kamu pasti masih hidup sampai sekarang."

Berakhir dalam kesingkatan, mungkin karena sekalinya terjadi kebahagiaan langsung berhamburan–jika perlahan-lahan terbakarnya, justru tidak akan sempat utuh yang telanjur disobek-sobek oleh sendu, paras kegembiraan tersebut. Luka pasti lebih cepat datangnya. Kalau tak mendahului seharusnya Zenitsu kecil bahagia dulu bersama Nezuko kecil, dari jauh-jauh waktu sebelum liburan musim panas.

"Keputusanmu tepat, Zenitsu-san. Dia pergi gitu aja tanpa memberitahumu. Gak aneh kalo kamu butuh penjelasan."

"Dia bukan cuma hantu. Makanya aku enggak bisa membiarkan dia, lalu memilih bersama Nezuko-chan saja. Cuma pas aku pikirin sekarang-sekarang ini, apa Kaigaku juga menganggapku temen? Karena kalo enggak ... kalo enggak begitu aku gak akan pernah menerima kematianmu."

"Zenitsu-san ..." Kira-kira Nezuko harus apa? Ingin memberi pelukan tangannya menolak. Ingin membalas pegangan Zenitsu yang remaja, keraguan pasti membantah Nezuko. Tetapi sesak sekali kalau diam saja. Melihat kematian dirinya sendiri ternyata amat membebani Nezuko, melebihi yang ia bayangkan.

Pantas saja jika seseorang tahu bagaimana ia hidup, ia tidak akan tahu caranya meninggal. Jika diperlihatkan pasti membuat syok. Yang seharusnya ketika mati berhenti menyeret beban, malah kian berat gara-gara menyaksikan pemandangan itu.

Jiwa Nezuko kecil tampak melayang-layang. Berusaha memarahi Zenitsu kecil yang berteriak-teriak; seharusnya ia yang mati menggantikan Nezuko kecil, karena keluarga Kamado menunggu malaikat mereka pulang–agak keliru Nezuko kecil yang mengejarnya itu, soalnya mestinya dia naik kereta balik ke Tokyo–mereka bersama selama tiga bulan penuh, sangat memuaskan.

Tanjiro yang curiga menyusul mereka, dan dibandingkan Zenitsu kecil tentu saja ia yang paling tidak menerima kematian adiknya. Kaigaku menampakkan wujud. Berbincang-bincang sebentar dengan arwah Nezuko, menawari agar jiwanya disimpan di perpustakaan bangunan lama–jadi, suatu hari nanti keduanya dapat bertemu lagi (tanpa Kaigaku di tengah-tengah).

"Berakhir, Zenitsu-san. Sebelum ke langit, boleh aku tau kehidupanmu setelah kematianku?"

Ingatan mereka sudah lengkap. Di saat-saat terakhir ini Zenitsu mendapati Nezuko kecil bersenandung riang–bertanya-tanya kapan rindu mereka bersua, selagi ia bertumbuh berkat kekuatan baru Kaigaku, hendak mengejutkan Zenitsu–oleh karenanya Nezuko bisa tampak seperti murid SMA, walaupun meninggal di usia sembilan.

"Kacau banget. Kakek sebenernya mau membawaku ke Tokyo abis kematianmu. Tapi aku terus nolak dengan alasan, mau pergi ke tempat yang pernah kita kunjungi. Di kelas enam SD aku melupakan Nezuko-chan, dan akhirnya jadi dibawa."

"Salah hitung, dong, aku. Tujuh tahun buatku. Delapan tahun untuk Zenitsu-san." Daya ingatnya memudar, ditambah pula Nezuko payah dalam matematika–kekeliruan itu ia tertawakan sebentar. Buku dongeng di atas meja sudah tertutup rapat. Lain waktu Nezuko juga mau membacanya bersama-sama Zenitsu hingga selesai.

"Menurutku mau Nezuko-chan bilang tujuh tahun jadi sepuluh tahun, atau tujuh tahun jadi seratus tahun juga gak masalah. Menunggu itu emang lama. Syukurlah kita sama-sama gak menyerah."

"Satu hal lagi. Menurut Zenitsu-san aku yang jadi hantu demi bertemu kamu, aneh atau enggak?"

"Mana mungkin. Kalo misalnya aku yang meninggal, terus dapet tawaran dari Kaigaku, aku pasti langsung menerimanya karena–"

Mata bertemu mata. Senyuman yang Zenitsu bentuk lebih dari cukup untuk membuat kerinduan terakhir Nezuko puas. Terakhir kalinya pula Zenitsu mencium Nezuko–lembut, hangat, dan penuh cinta yang bukan lagi sebatas mimpi atau diangankan. Tangan mereka melambai-lambai dengan ringan. Ketika Nezuko berbalik, kenyataan milik keduanya menyerpih yang menyatu bersama matahari musim panas–akan senantiasa abadi hangatnya, kasatmata yang oleh karena itu–


Zenitsu pulang ke tempatnya yang sesungguhnya.


"ZENITSU/MONJIRO/ZUMANITSU!"

Panggilan beragam yang menjadi kesehariannya itu membangunkan Zenitsu dari tidur panjang. Saat sebelah matanya mulai beradaptasi dengan cahaya, ia menemukan Tanjiro yang menangis, Uzui tampak khawatir, sedangkan Inosuke uring-uringan. Mereka tidak terjebak di bangunan lama. Jiwa Nezuko pasti sudah pulang ke langit, sehingga–

"Aneh. Apa aku menjatuhkan sesuatu?"

"Pasti foto yang Giyuu kasih. Itu guru ketakutan lo kagak cepet-cepet balik, hahaha." Tanjiro membantu memungutnya, dan ketika Zenitsu cek ternyata gambaran itu diambil sewaktu Yoriichi meninggal. Kini Zenitsu sudah ingat. Meskipun menyakitkan, menyesakkan, sekaligus melukai, tetapi ia bersyukur dapat mengetahui segalanya dari awal.

"Nezuko, adik perempuanku udah bahagia sekarang. Terima kasih karena memenangkannya untuk kami, Zenitsu."

"Nanti Inosuke-sama traktir ramen sebagai gantinya. Kerja bagus, anak buahku."

Sementara mereka bertiga merayakan kemenangan, di luar kamar pasien Giyuu bersandar pada tembok entah menunggu apa. Tentu ia senang bisa membantu. Murid-muridnya jadi tidak berakhir sama dengan Sabito serta Makomo, dan sulit dipungkiri Giyuu juga penasaran bagaimana kabar keduanya.

"Mereka menang, Sabito, Makomo. Kalian bisa ke surga sekarang."

"Murid-muridmu hebat, Giyuu. Aku sempat berpikir Agatsuma bakalan kalah sama ingatannya." Lantai marmer berhenti menjadi fokus sang guru olahraga. Tepat di depan matanya Sabito dan Makomo tersenyum–masih mengenakan seragam musim panas yang sudah lama sekali Giyuu tinggalkan.

"Agatsuma berhasil karena kekuatannya sendiri. Bantuanku tidak seberapa."

"Kami tau foto itu mengambil andil yang besar, lho. Jika Agatsuma-san tidak dibawa ke ingatan tersebut, bisa-bisa dia berputar-putar lagi." Mungkin spekulasi Makomo benar, dan Giyuu yang acuh tak acuh terhadapnya membuat Sabito tertawa. Matanya dialihkan ke arah lain–entah mengapa Giyuu tahu mereka harus berpisah.

"Tatap kami berdua, Giyuu. Kami mau melihat matamu sampai akhir."

"Tidak bisa, Sabito."

"Takut ketahuan nangis?" Bukan juga. Harusnya Makomo paham begitu pun Sabito, kenapa ia menolak melakukannya.

"Justru sebaliknya, kami selalu berterima kasih karena kau tetap hidup, dan terus mengingat kami sampai sekarang. Tegakkan kepalamu, Giyuu. Kau ini cowok. Guru olahraga pula."

"Benar kata Sabito. Malu sama dirimu sendiri kalau terus menyalahkan diri sendiri." Bahu kanannya Makomo tepuk, diikuti Sabito yang melakukannya di sebelah kiri. Warna mereka pudar entah karena pergi, atau disebabkan mata Giyuu memanas memproduksi cairan bening.

"Sekarang temui kami di kuburan. Jangan ke bangunan lama sekolah lagi."

"Ya, Sabito. Sampai jumpa."

"Bersemangatlah untuk seterusnya. Jaga Kamado, Hashibira sama Agatsuma buat kami juga.

"Ya, Makamo. Sampai jumpa."

Helaan napas yang pertama dan terakhir ini Giyuu keluarkan guna menahan tangis, setelah mereka benar-benar berpulang. Baru saja berniat pulang, pintu kamar Zenitsu dibuka oleh Uzui yang langsung merangkul rekan sesama pengajarnya itu–pasti menyembunyikan sebuah maksud.

"Kita pergi sekarang juga, gak ada penolakan. Zumanitsu dibolehin keluar dari rumah sakit. Mereka juga menang. Lo pun harus menghargai diri sendiri yang udah membantu."

"Oke."

"Balesnya panjangan dikit, kek. Capek gue ngomong." Kambuh, deh, sifat alay ini guru. Inosuke tahu-tahu sudah sangat di depan. Kebingungan sendiri kala Zenitsu masih di belakang menyindir Uzui, tentunya Tanjiro berusaha melerai, Giyuu bengong saja menontoni.

"Cepetan! Nanti tokonya tutup gimana?"

"Masih jam satu siang, babyk. Tokonya tutup gegara lo ancurin iya."

Kehidupan yang damai pun kembali. Sayangnya Zenitsu tidak bertemu Kaigaku lagi, atau mungkin mereka pun selama-lamanya berpisah? Padahal masih banyak yang harus diomongkan.

"Apa pun yang terjadi lo tetep sahabat pertama gue, kok."

Alasan mengapa Kaigaku bergabung dengan Muzan memang tidak Zenitsu mengerti. Namun, ia tahu bahwa yang membuatnya tidur nyenyak selama di Nagoya adalah Kaigaku–ketika malam ia datang, lantas menunggui Zenitsu kecil bangun di pagi hari barulah melanglang entah ke mana.


Karena setelah satu kali bertemu denganmu, tidak akan pernah cukup mau berapa kali pun juga untuk selanjutnya.


"Iya, kan, Nezuko-chan?"


Tamat.

A/N: AKHIRNYA TAMAT LOH. aku ga nyangka bisa selesai hari ini. langsung dikejer soalnya besok ada tanggungan fic laen, dan aku punya utang baru di BSD jadinya makin ngebet buat tamatin. thx banget buat kalian yang baca cerita ini sampe akhir. maaf juga soalnya di ending malah ga ada horornya, tapi lebih ke drama, friendship, sama rada angst dikit wkwkw. at least bisa dibilang aku puas sama fic ini, dan ini fic chapter pertama di KnY yang gak aku gantungin kek di fandom lain. belom lagi genre-nya horor. aku bener2 keluar dari zona nyaman selama pembuatan chapter 1-5 rasanya (kecuali enam, konsumsi sehari2 ini). Semoga kalian suka. lain waktu moga aku bisa bikin fic chapter lagi di sini. babay~ buat vira udah dibales di story WA ya review-nya.


Balasan review:

Mikazuki Ryuuko: percayalah itu keliatannya kek udah sering ketemu, karena aku deskripsiin panjang2. sebenernya emang baru ketemu sekian kali dan totalnya 12 kok (jangan diitung tapi). aku selalu nunggu siapa pun yang pernah review di mari buat review lagi kok wkwkw. moga suka ya ama chapter akhir ini. sayang banget uzen nya dikit banget di mari wkwkw. thx juga udah ngikutin dari awal sampe akhir fic horor abal2 ini. aku seneng banget tiap baca review-mu.