"Hei, Minato. Kau sibuk sekali."
"Astaga, Jiraiya-sensei. Selalukah seperti ini jika kau berkunjung ke kantorku?" tanya Minato, ia merasa kesal dengan gurunya yang selalu datang tiba-tiba dan mengagetkannya. Terlabih, ia muncul di jendela.
"Jika aku menggunakan pintu itu tidak 'Jiraiya' sekali," jawabnya, agak terdengar konyol memang. Tapi, ya...
"Hah, baiklah." Minato menghembuskan nafasnya.
"Apa kabar, sensei? Lama tidak bertemu." Minato tersenyum kedatangan gurunya yang tengah mengelana ke pejuru desa-desa elemental.
"Kabarku baik. Kau?"
"Seperti yang kau lihat, aku sibuk sekali. Berurusan dengan dokumen desa." Minato menuntun Jiraiya ke sofa.
"Hei, mereka memilihmu sebagai Hokage ke-4 bukan karena sudah tidak ada lagi shinobi hebat."
"Lalu, karena apa?"
"Karena memang sudah tidak ada lagi shinobi hebat."
"..."
"..."
Mereka tertawa. Menertawakan lelucon garing yang Jiraiya lontarkan. Memang terdengar sangat garing, bahkan tidak ada lucu-lucunya. Tapi, karena yang membuatnya Jiraiya itu menjadi lucu.
"Hei, bolehkah aku berkunjung ke rumahmu? Seperti biasa."
"Hah, ramen spesial dengan ekstra Naruto." Minato seperti bisa menebak apa yang akan terjadi.
"Kau langsung ke rumah saja, sensei. Aku tengah sibuk sekarang. Mungkin, makan malam aku akan bergabung dengan kalian. Hei, tolong, hibur Naruto. Dia sering sekali menangis jika kutinggal."
"Kau bisa mengandalkanku, Junior. Naruto akan bahagia dengan kedatangan pamannya ini!" ujar Jiraiya, ia begitu semangat.
"Paman?"
"Kau tahu, aku tidak begitu tua untuk ukuran 'kakek', jadi tidak ada salahnya dia memanggilku begitu."
"Ah, ya, kurasa kau ada benarnya. Baiklah, aku tidak bisa menjamumu lama-lama di sini. Sebaiknya kau langsung saja ke rumah."
"Oh, baiklah. Sampai jumpa di rumah, Minato."
"Sisakan ramennya untukku!" Dan Jiraiya sudah pergi, melompati atap-atap rumah warga.
.
.
.
( . Y . )
.
.
.
1.56 pm.
Rumah Minato.
Toktoktok!
Kushina mengerutkan alisnya.
"Naruto, tolong bukakan pintunya, sayang. Ibu tengah sibuk memasak makan malam," lanjutnya.
"Baik, Kaachan." Naruto, bocah 6 tahun membuka pintu.
"Hei, siapa yang merindukan Paman Jiraiya, hah? Pasti si kecil ini!" Jiraiya langsung menggendong setelah tahu yang membuka pintu adalah Naruto.
"Geli! Geli!" Naruto tergelak. Tertawa ketika Jiraiya menggelitik perutnya.
"Oh, kau Jiraiya-sensei. Masuklah, aku kebetulan masak banyak."
Jiraiya menurunkan Naruto sambil melihat pantat sintal Kushina.
"Yeah, aku akan masuk ke sana," bisik Jiraiya.
.
.
.
( . Y . )
.
.
.
Makan siang telah usai. Kushina juga sudah membersihkan piring. Jiraiya sedang bermain dengan Naruto.
"Kau sudah memberitahu Minato, sensei?"
"Tentu saja. Dan dia bilang, sebelum makan malam dia sudah pulang."
"Hah, lelaki itu. Jika dia bilang demikian, artinya jam 10 baru pulang."
"Itu bagus."
"Apa?"
"Maksudku, biarlah. Dia seperti ini karena tanggung jawabnya sebagai Hokage. Hal yang paling membanggakan seumur hidupmu, 'kan? Jadi, kurasa, kesal karena dia selalu pulang larut malam adalah hal yang kurang patut."
"Ya, mungkin kau benar. Atau memang aku yang terlalu kesepian."
Kushina tidak menyadari seringai mesum dari Jiraiya.
"Kau tahu, aku bisa membantumu dengan itu."
"Dengan apa?"
.
.
.
( . Y . )
.
.
.
Naruto tiba-tiba mengajak Jiraiya mandi bareng, Kushina juga diajak. Kushina sebisa mungkin memberi pengertian kalau dia tidak bisa ikut mandi bareng dengan lelaki yang bukan suaminya. Tapi, Naruto yang sudah berkeinginan terlihat sangat sedih dan murung. Jadi, Kushina mau tidak mau ikut mandi bareng dengan Jiraiya. Jiraiya tersenyum kemenangan karena alibinya berhasil menggunakan Naruto sebagai senjatanya.
Dan di sinilah mereka. Telanjang dan basah.
Kushina masih menutupi tubuhnya dengan handuk, ia membasuh belakang punggung Naruto. Kushina sebisa mungkin membelakangi Jiraiya yang telankang bulat. Penis Jiraiya sudah menegang. Ia mendekat, menempelkan penis beruratnya ke punggung Kushina. Kushina kaget, ada benda panjang dan keras yang menempel di belakang tubuhnya. Tiba-tiba, ia merasa basah di vaginanya. Melihat tidak ada penolakan, Jiraiya melepas handuk yang melilit tubuh Kushina. Ia raba dan remas payudara itu lembut. Mencubit putingnya, memelintirnya. Kushina mengerang, mengigit bibir bawahnya menahan desahanya agar tidak terdengar Naruto.
Jiraiya menarik pelan tempat duduk yang Kushina gunakan. Ia menggantinya dengan selangkangannya. Jiraiya mengarahkan penisnya memasuki vagina Kushina hingga tertancap semuanya. Kushina mengerang.
"B-baiklah, Naruto, saatnya keramas."
"Pintar," bisik Jiraiya.
Ia meremas pantat Kushina, menggerakan bokong itu naikturun. Jiraiya keenakan, penisnya dijepit vagina istri murid didiknya. Gerakannya sangat pelan. Naruto bahkan tidak menyadari kalau Ibunya tengah bersetubuh dengan guru ayahnya.
"N-nah, Naruto. Kau sudah selesai. Sekarang, keluarlah. Kaachan masih lama," ucap Kushina, berusaha menahan erangannya.
"Baiklah!"
"Pakaianmu sudah Kaachan siapkan. Kau bisa memakainya sendiri, sayang?"
"Ya, aku bisa, Kaachan."
"Baiklah, jangan lupa tutup pintunya."
Setelah pintu tertutup, Jiraiya langsung bangun. Sejekap Kushina sudah dalam posisi menungging. Jiraiya menyodok-nyodok vagina Kushina cepat. Menusuk-nusuk lubang itu dengan bebasnya. Biji zakar Jiraiya sampai menampar-nampar klitoris Kushina. Kushina melihat ke nelakang dari arah bawah, penis Jiraiya menusuk-nusuk vaginanya. Lagi, untuk kesekian kalinya, ia bersetubuh dengan guru suaminya ini. Seakan Minato mengizinkannya menyetubuhinya setiap 3 bulan sekali.
"Ahhnn... Jiraiya-sama, pelan-pelan! Ini untuk Minato nanti malam! Ouhnn... Sshh... Enak!"
Jiraiya menghiraukan perkataan Kushina. Ia justru menambah kecepatan menyodoknya sambil menarik rambut merah Kushina. Suara benturan selangkangan Jiraiya dan pantat Kushina terdengar nyaring karena air yang membasuh tubuh mereka.
Jiraiya mencabut penisnya. Ia menelentangkan tubuhnya, Kushina berpindah, duduk di atas tubuh Jiraiya. Ia mengatarahkan penis itu memasuki vaginanya lagi. Kushina menggoyangkan tubuhnya seperti penati striptease untuk menggoda lebih Jiraiya. Ia menaikturunkan tubuhnya seraya goyangannya masih berlanjut. Jiraiya yang tergoda mencengkram pantat Kushina, ia mulai menggerakan pinggulnya menyodok-nyodok vagina Kushina. Kali ini, ia tidak memakai Bunshinnya seperti biasa. Kali ini, ia ingin dirinya langsung yang menytubuhi istri Minato ini.
Jiraiya menghentikan sodokannya. Ia bangun tanpa melepas penyatuan mereka. Ia menggendong Kushina. Kushina berpegangan pada leher Jiraiya agar tidak terjatuh. Jiraiya memulai sodokannya dengan tempo sedang. Ia melihat Kushina memejamkan matanya karena nikmat. Jiraiya mempercepat tusukannya. Nafasnya memberat. Kushina mengerang nikmat. Mulutnya menganga, tapi tidak mengeluarkan suara. Jiraiya menghentikan sodokannya, ia menurunkan Kushina. Kushina langsung berlutut di depan penis Jiraiya, mengocok batang itu sambil mengulumnya. Kepala merahnya maju mundur searah dengan tangannya mengurut penis berurat itu.
"Aku keluar!"
Cairan pejuh keluar sangat banyak membasahi wajah Kushina. Wanita itu membuka mulutnya, sebagian pejuh masuk ke dalam tenggorokannya. Tujuh kali tembakan pejuh sudah cukup membanjiri tubuh Kushina. Ia bahkan tidak bisa membuka matanya karena saking banyanya sperma yang keluar. Jiraiya memegang kepala Kushina, menampar-nampar wajahnya dengan penisnya yang melemas.
.
.
.
( . Y . )
.
.
.
9.45 pm.
Minato baru pulang dari kantor. Ia melihat tidak ada sendal Jiraiya di rak alas kaki. Ruangan gelap, hanya ruang makan yang masih terang. Minato berjalan menuju meja makan. Ada memo yang bertuliskan: Minato, aku langsung pergi. Ramen buatan istrimu sangat 'nikmat'. Aku akan datang lagi 3 bulan lagi untuk ramen spesial Kushina. Oh, ya, istrimu sangat pintar memasak. Katakan padanya untuk ramen spesial lagi.
"Hah, dia itu tidak sabaran. Tapi, biarlah. Jika dia pergi, maka aku makan," ujar Minato. Ia memakan ramen yang sudah dingin. Walaupun sudah dingin, tapi masih nikmat dimakan.
Ya, nikmat. Apalagi, langsung dinikmati dari yang membuatnya.
.
.
.
( . Y . )
.
.
.
THE END.
FIN.