All Characters aren't mine. They Belong to Mangaka Eyeshield 21.

Original Fiction Story by Diyari De (Do not duplicate, translate to other language, or copy it to some other site)

Diyari De Present : Seven Wishes

.

.

Epilog

.

.

Hiruma membuka matanya yang tengah beristirahat siang di sofa hitam ruangan klub. Mata kantuknya masih terpasang disana. Dengan lembut, dia melihat ke Mamori di depannya, yang duduk di lantai bersandaran sofa. Dia sedang asik menjelajahi dunia di dalam bukunya.

Dalam diam Hiruma masih memandangi gadisnya. Sudah hampir dua bulan sejak Mamori menyatakan perasaannya. Kata-kata itu bagai sihir untuk Hiruma. Dia terjerat. Bahkan setiap kata-kata yang diucapkan Mamori, mampu menggerakkan seluruh pikirannya.

Jika Hiruma adalah iblis, maka Mamori adalah si penguasa iblis. Hiruma memang selalu memerintahnya. Tapi itu tidak seberapa jika dibandingkan permintaan Mamori yang selalu dia turuti. Seperti sihir. Hiruma pasti akan menurutinya. Kata-kata yang tidak mengandung unsur memerintah, tapi bisa dengan mudahnya menjerat Hiruma.

Mamori menoleh ke belakang menyadari kalau dirinya tengah diperhatikan. "Kamu sudah bangun?"

Hiruma merapatkan dirinya sambil merangkul pundak Mamori. "Jangan duduk di lantai. Apa kau tidak dingin?"

Mamori tersenyum. Senyuman itu bukan untuknya, tapi karena buku yang sedari tadi dibacanya.

"Sebegitu sukanya dengan buku itu," ujar Hiruma, mendapati perhatian Mamori lagi.

Mamori lalu kembali membaca bukunya.

"Lebih penting aku atau buku?" tanya Hiruma terdengar serius.

"Tentu saja kamu," jawab Mamori langsung walau tidak melihat ke Hiruma.

"Tapi kau lebih perhatian dengan buku itu."

Kali ini Mamori menoleh. Dia sadar sepenuhnya maksud dari perkataan Hiruma dari tadi.

"Konyol. Masa cemburu dengan buku," sahut Mamori.

Dia meletakkan buku itu di atas meja dan bangun dari duduknya. Mamori meminta Hiruma mengangkat kepalanya. Dia lalu duduk di sofa dan menarik kembali Hiruma agar tidur di pangkuannya.

"Nah. Aku sudah memperhatikanmu," ujarnya sambil tersenyum.

Lagi-lagi. Sihir itu kembali bekerja. Setiap kata-kata yang keluar dari mulut Mamori tidak pernah bisa dilawannya.

"Aku tidak butuh perhatianmu. Kau pikir aku anak kecil," protes Hiruma.

"Ya. Kamu anak kecil yang cemburu pada benda kesukaanku," balasnya sambil mengelus lembut rambut Hiruma.

"Jika aku dan bukumu tercebur di sungai. Mana yang akan kau tolong lebih dahulu?"

Mamori menatap mata Hiruma, tidak percaya dengan pertanyaan itu. "Kamu ini benar-benar ya, Hiruma."

"Jawab saja."

"Tentu saja bukuku. Kamu kan bisa berenang," jawab Mamori sebal.

"Berarti buku sialan itu lebih penting," ujarnya lirih.

"Astaga... Aku akan ikutan bodoh jika terus meladenimu yang seperti ini."

Hiruma merangkul dan menarik kepala Mamori hingga menunduk. Hiruma mendapati bibir Mamori dan mengecupnya ringan.

"Aku mau tidur lagi," ujarnya sambil berbaring menyamping dan kembali memejamkan matanya. "Jangan selingkuh dengan buku itu selagi aku tidur."

"Ya ya. Terserah apa katamu," sahut Mamori tersenyum sambil terus mengelus kepala Hiruma lembut.

.

.

Hiruma mendengar suara pintu apartemennya terbuka. Beberapa saat kemudian dia melihat Mamori muncul disana dengan tas jinjing yang dia letakkan di atas meja makan.

"Kau tidak bilang mau kesini," sahut Hiruma sambil menghampiri Mamori.

Mamori mengeluarkan semua barang-barang yang ada di dalam tas jinjing itu.

"Apa itu?" tanya Hiruma penasaran.

"Mana kutahu," ujar Mamori masih sedikit kesal. "Ini titipan Mamaku."

"Mamamu?"

"Ya," ujarnya sambil bertolak pinggang. "Memangnya apa yang kamu bicarakan dengan Mamaku di telepon waktu itu?"

Hiruma mengingat-ingat kembali percakapan itu. "Ooh," jawabnya singkat.

"Oh apa?" balas Mamori.

Hiruma tidak menjawab. Dia melihat-lihat kaleng sambil membuka isinya. Dia melihat sirup vitamin instan yang Hiruma tahu cuma di produksi di Okinawa. Setelahnya dia melihat susu penguat tulang. Kemudian ada beberapa kotak makanan yang siap dihangatkan untuk sekiranya dua minggu.

"Aku sudah seperti menantu kesayangannya saja," ujar Hiruma tersenyum bangga.

"Ini harus dihangatkan kalau mau dimakan. Jangan tidak dimakan. Aku sudah bawa berat-berat," ujar Mamori masih dengan omelannya sambil memasukkan kotak makanan dan susu ke dalam kulkas.

"Jangan mengomel terus," sahut Hiruma. "Aku belum siap berdebat denganmu."

Mamori melotot ke Hiruma yang sudah berjalan ke sofa seolah tidak peduli. "Kalau kamu tidak mau berdebat, maka jangan membalas omonganku. Dasar menyebalkan."

Hiruma menggarukkan kepalanya. Dia mengingat sejak Mamori datang barusan, tak satu pun kalimat menyebalkan yang dia ucapkan.

"Dan jangan malas menghangatkannya. Kamu bisa menghangatkannya sendiri untuk makan malam. Kurangi makan ramen. Dan lagi, aku sudah berkali-kali bilang kalau sediakan beras. Tapi kamu tidak mendengarkanku."

"Kau ini... sedang PMS, heh?"

Mamori tidak peduli dan tidak menjawabnya. Dia lalu masuk ke kamar kedua Hiruma. "Aku mau istirahat," ujarnya menutup pintu dan meninggalkan Hiruma.

Dua jam kemudian, Hiruma beranjak dari laptopnya dan menyadari kalau Mamori belum keluar dari kamarnya. Hiruma pun menuju dapur dan menyeduh cokelat hangat untuk Mamori.

Hiruma berjalan ke kamar Mamori dengan secangkir cokelat hangat di tangannya. Hiruma membuka pintunya pelan-pelan. Dia melihat Mamori yang terlelap di dalam selimutnya. Hiruma meletakkan cangkir itu di meja samping tempat tidur. Dia lalu duduk di pinggir tempat tidur sambil mengelus dengan lembut kepala Mamori untuk membangunkannya.

Mamori perlahan membuka matanya.

"Kau baik-baik saja? Apa masih sakit?" sahut Hiruma.

Mamori mengangguk lemah, tidak beranjak dari posisinya. Sementara Hiruma masih mengelus kepala Mamori untuk menenangkannya.

"Minum dulu cokelat hangatnya. Aku akan hangatkan makanan untuk kita makan siang," ujarnya sambil menyentuh pipi Mamori.

"Terima kasih Hiruma," ujar Mamori.

Hiruma beranjak dari tempat tidur dan mulai menyiapkan makan siang untuk mereka.

.

.

Mamori menatap lurus dari balik bukunya ke Hiruma yang tengah sibuk dengan ponselnya. Dia duduk menyamping dan bersandar di lengan sofa, sementara Hiruma duduk tepat di sebelahnya. Masih terus memperhatikan Hiruma karena dia teringat sesuatu yang dari dulu mengganjal di pikirannya.

"Apa sih? Kalau ada yang ingin dikatakan, bilang saja. Tatapanmu tidak enak," keluh Hiruma.

Mamori mendengar itu, tapi dia masih sibuk dengan pikirannya.

Sudah lebih dari setengah tahun mereka menjalani hubungan. Bisa dibilang baik-baik saja. Karena perdebatan mereka setiap hari sudah layaknya makan siang. Bahkan untuk urusan yang tidak penting pun bisa membuat mereka berdebat. Tapi hal itu tidak membuat mereka jauh. Karena mereka tahu, kalau mereka berdua saling mencintai.

Ya. Mamori memang mencintainya. Sampai detik ini pun tidak pernah berkurang. Meskipun Hiruma menyebalkan. Meskipun Hiruma tidak pernah mengatakan cintanya. Itulah yang menjadi pikiran Mamori. Tak sekali pun Hiruma mengatakan kalau dia mencintai Mamori. Karena hal itu, Mamori sedikit ragu apakah dia dicintai atau tidak.

"Apa kamu mencintaiku Hiruma?" sahut Mamori.

Hiruma mengerutkan keningnya. "Kau melindur, heh?"

Mamori menutup bukunya dia lalu duduk mendekat ke Hiruma. "Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah mendengar kamu bilang cinta kepadaku."

Hiruma masih memandangi Mamori. Menunggu apa yang diinginkannya.

"Apa kau benar mencintaiku Hiruma? Seolah hanya aku yang berjuang sendirian disini."

"Apa perempuan selalu memusingkan hal-hal yang tidak penting seperti itu, heh?"

"Ini penting!" protesnya. Mamori lalu teringat sesuatu. "Aku tahu. Sebentar." Dia lalu beranjak ke lemari loker miliknya dan mengambil sesuatu disana.

Hiruma melihat Mamori kembali lagi dengan buku yang sudah tidak asing baginya. Dia melihat senyuman yang tidak biasa terpasang di wajah Mamori. Walau tidak biasa, tapi Hiruma mengenal senyuman itu. Senyum itu artinya, Mamori hendak berbuat sesuatu yang akan memberatkan Hiruma.

"Kau mau menulis apa di kertas itu?" ujar Hiruma melihat Mamori yang sudah membuka lipatan surat perjanjian tentang tujuh permintaan yang sudah lama tidak dilihatnya.

lalu hendak menuliskan sesuatu disana. "Lihat saja," jawab Mamori.

Hiruma menunggu Mamori sampai dia selesai menulis. Setelah itu Mamori menyodorkan kertas itu ke Hiruma.

Hiruma membaca kertas itu dengan curiga.

Hiruma harus mengatakan 'aku mencintaimu' kepada Mamori setiap hari.

Hiruma membaca itu hampir setengah tertawa. Dia tersenyum dengan cengiran khasnya. "Hanya ini permintaan terakhirmu?"

Mamori mengangguk dengan yakinnya.

"Jangankan setiap hari. Aku bisa mengatakannya berapa kali pun kau mau."

Mamori memandang tidak percaya. "Tadi saja aku minta tapi kamu tidak bilang."

"Bukan seperti itu caranya," ujar Hiruma.

"Maksudmu?" balas Mamori dengan wajah kebingungannya.

"Tersenyumlah. Lalu katakan kalau kau mencintaiku. Maka aku akan balas perasaanmu," ujar Hiruma.

Mamori terdiam sesaat. Kemudian dia tersenyum, dengan senyuman lembutnya yang mampu menyihir Hiruma. "Aku mencintaimu, Hiruma," ujar Mamori dengan tulus.

Hati Mamori menghangat kala Hiruma mendekatkan dirinya sambil merangkul pinggang Mamori. Hiruma menciumnya dengan lembut, menikmatinya, seolah menghantarkan perasaannya. Mamori perlahan menutup matanya. Mereka berciuman untuk beberapa detik kamanya. Mamori lalu membuka matanya saat Hiruma melepaskan ciuman mereka.

"Bagaimana?" tanyanya masih dengan merangkul Mamori.

Rasa hangat sudah menjalar ke kepala Mamori dan dia kehilangan kata-katanya.

"Mau aku mengatakannya lagi?" tanya Hiruma. "Aku sudah bilang aku bisa mengatakannya sesering yang kau mau."

Mamori mengangguk. Dia merangkul leher Hiruma dan memperpendek jarak mereka. Mamori langsung mencium Hiruma. Dia tidak peduli jika seandainya ada anggota klub yang datang. Dia hanya ingin Hiruma, ingin memiliki cinta Hiruma yang jelas hanya untuknya.

Hiruma melepaskan ciuman mereka dan tersenyum. "Tidak ada habisnya kalau kau malah jadi lupa diri begini. Aku tidak akan bisa berhenti."

"Aku mencintaimu Hiruma. Kamu milikku. Cuma aku yang boleh memeluk dan menciummu," ujar Mamori dengan tatapan seriusnya.

"Aku tahu. Tidak perlu kau ucapkan pun, sihirmu sudah berhasil," balas Hiruma.

"Sihir?" tanya balik Mamori yang keheranan.

Hiruma membawa Mamori ke dalam dadanya. Dia memeluknya erat dan mencium wangi Mamori yang begitu disukainya.

"Kau dengar itu?" balas Hiruma sambil membelai lembut rambut Mamori. "Suara detak jantungku."

Mamori memejamkan matanya dan merasakan debaran jantung Hiruma.

"Itu artinya, aku milikmu. Cuma kau yang boleh memeluk dan menciumku."

Mamori tersenyum dan mengeratkan pelukannya. "Kamu hangat Hiruma. Aku mencintaimu."

Hiruma merenggangkan sedikit pelukannya. Mamori mendongak dan menatap lembut ke Hiruma. Mamori lalu tersenyum padanya.

"Sekarang kau sudah tahu caranya." Hiruma mengecup lembut bibir Mamori.

Tak perlu lagi kata-kata. Cara Hiruma menyampaikan cintanya, begitu lembut dan istimewa. Cara itu bisa sampai tepat ke hati Mamori. Menghangatkannya. Hanya Hiruma yang bisa.

.

.

END OF STORY

.

.

Side Note :

Hellloooow... Bagaimana epilognya? Suka? Puas? Atau masih kurang? Saya pribadi sebenarnya ingin melanjutkan cerita ini. Tapi bingung harus menulis konflik apa lagi XD Jadi akhirnya saya usaikan saja di Chapter 11 ini.

Oke jangan bersedih. Saya pasti akan terus berkelana di Shipping HiruMamo ini. Walau pasti akan butuh waktu untuk cari-cari ide dan inspirasi.

Untuk yang sudah setia menemani ocehan saya sampai sini. Terima kasih untuk yang sudah Review, favorit, follow cerita atau akun saya. Terima kasih banyaaak atas dukungan kalian yang masih menyempatkan diri membaca hobi saya ini.

Love you guys. You're the best and thank you. See you on the next project. And I'm still writing for it! Just be patient guys. I'll upload it soon. Maybe on October? XD

Salam : De