Naruto and all characters only belong to Masashi Kishimoto

Author : Rielvn Zhaa

Rated : T

Genre : Angst, Romance, and Friendship.

Warning : (-) PUEBI, AU, Typo, OOC.

.

.

.

.

.

This is story real from my imaginaton.

.

.

.

.

.

DLDR? Please, Review~

.

.

.

.

.

Chapter 2 : Sweet Lies

.

.

.

.

.

_

Ketika membahas soal 'cinta' mungkin sebagian dari kita akan membayangkan betapa indahnya rasa itu. Kita akan terhanyut dalam dunia penuh warna, seperti pelangi setelah hujan, dan membawa kita kepada kebahagiaan yang teramat sangat.

Panah milik malaikat cinta selalu menghujani jantung kita yang kian berdebar. Menuntun untuk melupakan segala hal tentang kenyataan yang benar-benar terasa menyakitkan. Meski dilandasi oleh kebohongan yang telah menampar, namun ada suatu rasa di ujung sana. Jauh ... hingga membuat kita ragu, apakah rasa itu ada ... atau hanyalah kesemuan yang tak berarti.

Sejujurnya, jika kau bertanya lebih dalam, mungkin akan membuat dirimu sadar. Ada secercah harapan yang kelak akan membuatmu merasakan rasa yang kini kau kejar. Lihatlah dirimu!

Lama ... kita terbalut dalam angan semu masing-masing. Aku dengan rasaku, dan kau dengan rasamu. Bertolak belakang, bukan?

Secangkir coklat hangat pun tak bisa mengalihkan angan kita. Padahal, dulu secangkir coklat hangat ini yang selalu menemani canda dan tawa kita. Kau yang bertingkah konyol selalu menggodaku, dan aku yang selalu memarahimu.

"Aku mencintaimu ..."

Anganku teralihkan sekejap karena ucapanmu. Kedua tanganku memeluk secangkir coklat hangat dengan erat. Berharap, rasa hangat dari sana bisa menjalar ke seluruh tubuhku—khususnya fikiran yang sudah terbang jauh.

Iris hijauku menelisik lebih dalam kepada bola mata biru yang menawan itu. Bibirku bergetar ketika hendak berucap, lalu detik selanjutnya aku tertawa pelan. Menganggap ucapannya hanyalah mimpi semu yang tak kunjung nyata.

"Aku serius," imbuhnya lagi.

Iris biru itu menajam, memfokuskan perhatian kepadaku dengan penuh. Tidak ada keraguan ataupun kebohongan. Mungkinkah? Mimpi semu yang konyol ini akan menjadi nyata? Atau ... ini hanyalah sebuah kebohongan manis yang mempermainkanku?

Aku hanya terdiam. Memikirkan rasaku sendiri yang sejak tadi sudah tak karuan. Ingin rasanya menampar pipi bergaris tiga miliknya dengan kuat. Lalu mengatakan bahwa kita itu bodoh! Iya, bodoh karena cinta yang memuakkan seperti ini.

"Jangan berbohong, Baka!"

Pada akhirnya ... kalimat itu yang keluar dari mulutku. Jantungku berdebar dengan kencang. Ini berbeda ... seperti ... seperti ada sesuatu yang disembunyikan, tapi ... entah apa itu. Bagaimana jika dirinya benar-benar serius?

Bodohnya aku yang sama sekali tidak mempercayainya. Jika memang dirinya benar-benar serius, mengapa aku harus mengatakan semenyakitkan itu? Entah mengapa sekarang dadaku merasa sesak diikuti oleh pacuan jantung yang tak kunjung terhenti untuk terus berdebar. Ini aneh! Tidak, diriku sendirilah yang aneh.

"Ketahuan, ya, Sakura-chan?" tanyanya dengan senyuman lebar tanpa dosa.

Nafasku sedikit tersengal ketika mendengar pertanyaannya lagi. Iris hijauku menelisik kembali kepada kedua bola mata biru berpijar itu. Tak ada ... tak ada rasa itu untukku. Sudah kuduga, rasa yang sedari tadi mengusik fikiranku hanyalah kebohongan manis belaka. Menciptakan secercah harapan semu yang tak berarti hingga membangkitkan rasa cinta yang lebih.

Kini, aku hanya bisa mengekspresikan diriku seperti biasanya. Seolah rasa itu adalah bayangan yang tak bisa digenggam. Berbohong adalah pilihan terbaik untuk sesaat ini. Iya, hanya sesaat saja.

"Terlihat jelas, Baka! Kau tidak mungkin bisa mengatakan seserius itu," ujarku disertai dengusan kesal.

Lelaki sehangat mentari pagi itu kembali tersenyum lebar. Ia menggaruk tengkuknya yang aku tebak tidak gatal. Lalu, detik selanjutnya dirinya segera menarik atensinya kepada secangkir coklat hangat yang hendak di minumnya.

"Bagaimana jika aku sedang serius, Sakura-chan?"

Alisku terpaut di tengah, menatap dirinya yang sedang menyesap coklat dalam diam. Memikirkan kembali perkataannya yang membuat keraguan dan rasa itu kembali menghampiri.

Terkutuklah kau cinta dalam pelabuhan yang salah. Aku menjadi lemah untuk menerima rasa yang memuakkan seperti ini. Fikiranku diselimuti oleh rasanya yang terkadang membuatku pusing.

"Apa maksudmu, Naruto?"

Aku bertanya dengan serius. Ingin segera mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Dilema rasa dalam kesendirian yang tak menepi seolah menghantuiku secara misterius.

"Aku menyukai Hinata-chan. Sebelum mengutarakan perasaanku secara langsung kepadanya, aku ingin berlatih terlebih dahulu kepada Sakura-chan," jelasnya dengan kedua pipi diwarnai semburat merah.

Seulas pedang seketika langsung menghunus jantungku yang sejak tadi berdebar. Batu besar seolah membebaninya hingga membuat dadaku merasakan sesak dan perih secara bersamaan. Iris hijauku bergetar dalam diam. Aku menunduk memendam luka.

Dirinya kembali menamparku dalam ketidakberdayaan ini. Sudah terlambat ... rasanya untukku benar-benar tidak ada—bahkan di sudut hati kecilnya.

Sedari tadi aku hanya menunggu dalam kebohongan manis yang kuperbuat sendiri. Meski sudah kutepis jauh-jauh sekalipun, jika memang kenyataan yang sebenarnya adalah seperti itu. Aku sendirilah yang telah membuat harapan semu.

Seulas senyum getir kusuguhkan untuk dirinya. Mengabaikan rasaku lagi, setidaknya aku sudah mengetahui fakta tentang dirinya. Sudah cukup untukku ...

"Katakanlah sekali lagi ... aku akan membantumu, Naruto."

Kini, akan kugenggam kata-kata kebohongan manis itu. Menganggap itu semua adalah sebuah kenyataan tulus yang ditujukan untukku.

.

.

.

.

.

Seperti pagi biasanya. Aku membantu Ibu untuk menyiapkan sarapan pagi di rumah. Tak ada yang memulai percakapan duluan seolah-olah kami seperti orang asing—lebih tepatnya aku yang menganggap seperti itu.

Semenjak Naruto sudah tidak pernah berkunjung ke kediaman kami. Aku merasakan bahwa Ibu lebih cenderung pendiam, tidak seperti biasanya yang sangat cerewet dan hobi menegurku bersama Naruto.

"Biar Sakura saja yang menaruh piringnya, Kaa-san," ujarku lembut sambil mengambil tiga piring dari tangan Ibu.

Ayahku sedang tidak ada di rumah. Beliau lebih sering ke luar negeri untuk mengurusi perusahaan. Jadi, wajar saja jika di rumah kami terasa sangat sepi.

"Sakura-chan?" panggil Ibuku.

Aku menoleh kepada beliau. "Iya, Kaa-san?"

"Nanti undang Naruto-kun untuk makan malam bersama, yah," jawab Ibuku dengan nada sedikit berharap.

Aku hanya terdiam sebentar. Lalu, detik selanjutnya hanya anggukkan kecil yang aku berikan sebagai jawaban.

.

.

.

.

.

Skenario apa yang telah Tuhan tulis untukku? Disaat aku sedang menahan segala luka yang menyayat hati sembari memeluknya dalam diam. Kini, aku harus membukanya lagi. Mengingat kenangan kusam yang teramat manis untuk aku lupakan tentangnya.

Jika dulu aku langsung datang menemuinya sendiri, kini ... aku terlalu takut. Rasa bodoh ini selalu mengejarku, menghantuiku, dan berputar dalam kilas balik yang memuakkan ketika berada di dekatnya.

Aku seperti pengecut dalam bayangan semu. Hanya bisa diam dan diam. Berkata soal rasa dalam bisikkan halus yang tak mungkin bisa didengarnya.

Ia berdiri di pintu kelasku dengan tubuh yang tegap. Senyuman lebarnya tak pernah terhenti untuk luntur sedikit pun. Menyapa setiap orang yang melewatinya, tak peduli siapa pun. Baginya, semua orang adalah sahabat terbaiknya—kecuali Hinata.

"Bagiku semua orang adalah sahabat terbaikku, Sakura-chan," jelas Naruto saat itu.

"Tapi, jika mereka jahat kepadamu bagaimana? Apa kau tetap menganggap mereka sebagai sahabatmu?" tanyaku masih tidak mengerti.

Ia mengulum senyum tulus. "Aku tidak peduli, Sakura-chan. Yang jahat adalah sifat mereka. Justru menurutku, jika mereka jahat kepadaku, tandanya mereka ingin menjadi sahabatku. Namun, karena keegoisan merekalah yang membuat mereka ingin menjahatiku. Aku tetap akan menganggap mereka sahabat terbaikku."

Aku hanya mengangguk, lalu kembali bertanya, "Tapi ... jika sahabat terbaikmu adalah seseorang yang kau cintai bagaimana? Apakah hubunganmu tetap kau anggap sahabat terbaik? Atau ... You know what i mean."

Ia tampak berfikir sejenak. "Hmm ... aku belum memikirkannya. Tapi, akan kuanggap ia sebagai seseorang yang melebihi dari kata 'sahabat terbaik'."

Aku mengernyitkan alis, lalu berkata, "Apa itu?"

"Kekasih satu-satunya yang terbaik dan paling aku cintai ... dan kemungkinan, akan aku usahakan sebagai calon istriku kelak."

Detik selanjutnya kami sama-sama tertawa.

"Sakura-chan?" panggilnya seperti biasa.

Aku memberhentikan langkah tepat dihadapannya dengan kepala menunduk. Sial! Jantungku kembali berdegup kencang, namun rasa sesak semakin memelukku dengan erat.

Sudah lama dirinya tidak memanggilku lagi. Bertegur sapa pun hanya basa-basi yang tak berguna. Roda waktu seolah terhenti begitu saja. Denyutnya melemah karena kondisi yang memuakkan seperti ini.

Kita seperti orang asing, berbicara dalam keraguan dan menatap dalam kekosongan. Setelah memberanikan iris hijauku untuk menatapnya, aku seperti terhipnotis oleh pijaran biru dari kedua bola matanya.

Aku tak berdaya lagi. Lubang hitam yang terkoyak semakin menganga. Lukaku masih diselimuti oleh rasa yang mengatasnamakan cinta. Rasa yang telah kucoba untuk dikubur, sekarang tergali kembali.

Putaran kilas balik waktu terus mengajakku untuk mengingatkan fakta tentang rasanya yang aku anggap sebagai kebohongan manis. Rajutan tentang kisah kita ikut mengiringinya. Waktu yang patut kusalahkan. Mempermainkanku di masa lalu, sehingga meninggalkan jejak kenangan menyedihkan di masa sekarang.

"Aku ingin mengunjungimu," tuturnya dengan ramah.

Bolehkah aku menamparnya berkali-kali? Atau ... melayangkan jitakanku seperti biasanya ke kepala pirangnya?

Aku memarahi diriku sendiri yang semakin lemah karena dirinya. Aku benci dengan keadaan dan rasa yang harus terpendam sendiri. Ini bukanlah aku yang seperti biasanya. Dirinya benar-benar sukses mempermainkan rasa dan fikiranku.

Aku mengangguk pelan. "Kebetulan Kaa-san juga ingin mengajakmu makan malam di rumahku."

Lupakan sesaat lagi. Amnesiakan jejak-jejak retisalya untuk saat ini. Meski nantinya akan berujung kepiluan, setidaknya ... aku tak ingin ditertawakan oleh rasanya yang tak ada untukku.

Dirinya mengangguk sambil tersenyum lebar. "Baiklah ... sampai nanti malam, Sakura-chan." Ia kembali berlalu begitu saja. Irisku meredup sendu menatap punggungnya di lorong sekolah yang panjang. Jadi ... seperti ini rasanya memendam luka hati dalam diam?

Mari kita berdamai kepada hati yang terus menjajahi kenangan tak berarti.

Menguliti sayatan luka penuh kehampaan di tengah lara yang tak kunjung bertepi.

Jika rasa luka di hati disembuhkan dengan cinta, tapi ... kenapa cinta selalu membuat luka di hati?

To Be Continue

Untukmu penggenggam rasa. Terima kasih sudah membaca chapter ke dua ini.

Aku harap kalian selalu enjoy dalam membacanya. :)

Krisan dengan sopan tanpa ada Flame. Apresiasi karya seseorang dengan bijak.

I hope you like!

Love,

Rielvn.