Aku Rei Gaara, anak lelaki usia 9 tahun yang tumbuh di pedesaan terpencil. Pada saat malam perayaan musim panas tahunan aku dan ayahku pergi melihat kembang api.

"Kau suka Gaara?" Ayahku mendongak menatapku dengan senyuman. Posisiku sekarang duduk di gendong di bahu ayah. Aku tersenyum senang sembari menatap letusan kembang api yang berbentuk bunga besar di atas awan yang gelap.


Tinjuan dari seorang bocah laki laki seumuranku mengenai hidungku hingga berdarah aku hanya bisa menatap kepergiannya dengan pandangan linglung. Menyeka darah dari hidungku dengan tangan. Selalu begini aku sering dijadikan bahan bulyan oleh teman sekelasku.


Aku mengayuh sepedaku di jalanan berdebu dengan mengenakan celana pendek dan kaus tanpa lengan, merasakan sengatan matahari musim panas menghangatkan tengkukku. Leherku arkh! Leherku terasa sakit-

Sekelebat bayangan zombie menggigit leherku dengan ganas dan brutal.


Umurku 17 tahun, aku sedang menatap pemandangan di luar jendela kelas yang membosankan. Setiap hari sekolahnku di jaga ketat oleh para parujirit veteran. Dunia ini sudah tak seperti dulu lagi hari hari kami lalui dengan merasakan ketakutan dan ancaman dari para zombie yang ingin memakan otak kami.

Aku mendengarkan pelajaran keamanan dalam operasi pengumpulan dan berusaha untuk tidak menatap gadis cantik yang duduk di bangku depan sebelah kanan. Gadis itu menoleh ke belakang dan menangkap basah aku yang sedang memandanginya. Di luar dugaan gadis itu malah tersenyum manis ke arahku.

Rambut Pink gadis itu panjang dan halus, mata indahnya yang berwarna hijau dedunan menyejukkan menatapku dengan rasa geli yang tersembunyi.

Jantungku berdetak lebih kencang, telapak tanganku berkeringat, perutku terasa seperti di penuhi ribuan kupu kupu.

Ketika kelas berakhir, aku menyusulnya di aula dan berkata. "Hai."

"Hai." Balasnya.

"Aku baru disini."

"Ya, aku tahu."

"Namaku Gaara."

"Aku Sakura." Dia tersenyum menunjukkan giginya yang putih dan rapi.

Di berkata-


Suara bibir dengan bibir yang saling bertubrukan dan deru nafas yang memburu hangat membuat gairahku pecah dan naik ke permukaan. Aku mengulum dan membelit lidah manis sakura yang hangat. Darahku berdesir, rasa bibirnya bagai candu yang membuatku menginginkan lebih dan lebih darinya.

"Gaara." Bisik sakura di telingaku saat aku menurunkan ciumanku ke lehernya yang jenjang. Sakura menjalin jemarinya dalam jemariku dan meremasnya pelan memberikan sensasi yang baru kali ini kurasakan.

Kutatap penuh sarat akan makna ke dalam mata emeraldnya yang indah sebelum aku kembali menciumnya dalam dalam, membelai bagian belakang kepalanya dengan tanganku yang bebas.

Melepas sejenak ciumanku walaupun enggan. Ku tatap kembali matanya yang sudah memunculkan sepercik api gairah dalam dirinya.

"Kau yakin ingin melakukannya?" Desahku tertahan.

Dia tersenyum. Dia memejamkan mata dan berkata. "Ya."

Ku rengkuh dia kuat kuat. Aku ingin menjadi bagian dari dirinya. Bukan hanya di dalam, tapi juga melingkupi seluruh dari dirinya. Aku merasa rongga dadaku merekah terbuka. Merasakan jantungku dan jantungnya bermigrasi saling menyatu. Aku ingin sel dalam tubuhku dan miliknya teranyam padu laksana benang yang hidup.


Dan sekarang aku lebih tua, umurku 25 tahun bulan ini. Lebih merasa bijak, dan lebih memperhitungkan dalam mengambil keputusan.

"Aku merindukan pesawat terbang." Sakura tersenyum memandang langit yang kelabu. "Ibuku sering berkata bentuknya seperti..." sejenak dia terdiam seperti mengingat. "Menggores sketsa di atas sana." Dia tersenyum lebar sembari membentuk pola abstrak di atas awan.

Senyuman itu sudah bukan milikku lagi. Aku tahu itu. Aku sudah menerima keadaan sekarang maupun yang akan datang. Sekalipun sakura belum dan tidak mau. Karena faktor keadaan dan sosial aku yang dari kalangan biasa tak mampu bersanding dengannya walaupun aku ingin.

Sakura sudah menjadi salah satu keluarga uchiha sejak di mulainya perang zombie dan manusia, sakura mulai kehilangan kedua orang tuanya sejak dia masih kecil kemudian jendral fugaku yang kesepian menjadikannya anak angkat walaupun sampai sekarang sakura lebih senang memanggilnya paman daripada ayah. Jendral fugaku, jendral yang dulunya adalah seorang pebisnis terkaya seantero jepang yang saat ini sudah menjadi kota mati. Dia mempunyai watak yang sangat keras dan disiplin, namun dia sangat menyayangi putri angkatnya seperti putrinya sendiri.

Banyak rumor yang mengatakan bahwa jendral fugaku memiliki 2 orang putra. Tapi sampai saat ini aku belum mengetahunya dengan jelas.

Berhenti. Kau siapa? Biarkan ingatan ingatan itu larut. Kau bukan dirimu kau bukan siapa siapa. Selamat datang kembali.


Ingatan itu terus berputar memenuhi kepalaku bagaikan kaset film yang rusak. Mengulang kembali pada bagian berciuman panas. Aku bisa melihat sakura memandangku dengan jelas tapi dengan ekspresi yang berbeda, nada suaranya terdengar amat khawatir ketika menyebutkan. "Gaara?"

End of 'S' pov

"GAARA!!" Seperti gerakan slow motion dengan background suara tembakan pistol yang nyaring, sakura berteriak berusaha mencari kekasihnya. "Gaara di mana kau!? Jawab aku!"

Di lain sisi.

Hinata memukul dan menendang mundur zombie yang berusaha menyerangnya. Senapan sudah tidak dapat digunakan saat pelurunya sudah habis dan jumlah dari temannya yang masih hidup terus berkurang ditambah perasaan kacau sakit dan sesak menggerogoti hatinya saat ini. Menyaksikan mantan tunangannya yang sudah menjadi mayat hidup dan memakan teman temannya membuat hinata mual dan hancur.

Ketika hinata lengah pria mayat bertubuh gempal itu tak menyiakan peluang, pria mayat itu menerjang dan menindih tubuh hinata yang di buat kewalahan karena tak sanggup menahan bobot dari lemak yang tertimbun di tubuh gempal si mayat.

Ino yang melihat hinata berjuang melawan zombie gempal itu dengan sisa tenaganya. Ino mencoba mengambil senjata lee yang terlempar di bawah kakinya. Pistol itu berlumuran darah, darah lee bercampur dengan darah zombie yang kental dan hitam pekat dengan bau busuk yang menyengat. Dengan gerakan ragu ragu dan ekspresi antara takut dan jijik yang kentara ino mengarahkan moncong pistol kearah kepala zombie yang terus bergerak melawan hinata. 'Aku tak bisa aku...' batinnya ketakutan. Belum pernah sekalipun ino melawan zombie secara langsung seperti ini. Ia terlalu terbiasa dengan kehidupan mewah dan menjadi seorang putri yang manja tapi itu dulu sebelum zombie menghancurkan seluruh keluarganya.

"Bidik tepat di kepalanya!" Hinata berteriak sembari menendang kepala zombie gempal itu yang masih tetap melawan demi mendapatkan daging segar hinata. "Yakinlah kau bisa ino! Hidupku tergantung padamu!"

Ino membelalakan mata mendengar perkataan hinata yang memberikan kepercayaan penuh akan nyawanya padanya. Ino menelan ludah memfokuskan pandangan, tangannya masih bergetar ketakutan, ia kerahkan segala keberaniannya dan akan menarik pelatuknya-.

DOR!

Tembakan itu mengenai kepala zombie tanpa meseleset. Hinata dan ino menoleh kearah sakura yang menembak kepala mayat pria gempal itu dengan sisa peluru terakhir yang ia punya.

"RUN! INO HINATA!" Sakura melemparkan pistolnya yang telah kosong kesegala arah dan berlari bersembunyi di bawah kolong meja.

Hinata pun tak tinggal diam ia bergegas berdiri dan menyingkirkan bangkai itu dari atas tubuhnya, berlari ke arah ino yang masih berdiri mematung sambil memegang pistol.

Hinata menyeret tangan ino yang bergetar dingin berniat membawa ino keluar ruangan tapi nasib berkata lain hinata dan ino di hadang oleh sekelompok zombie yang menatap mereka berdua dengan mata lapar.

Hinata terpaku terduduk lemah ia sudah tidak punya tenaga. Ia tak sanggup kalau harus melawan sekelompok zombie yang jumlahnya belasan. Yang bisa ia lakukan hanya menatap satu persatu mayat terkutuk itu dengan pandangan berkabut. Setitik air mata menetes ketika ia menunduk menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. Hari ini ajal akan segera menjemputnya sekelebat bayangan wajah adiknya hana yang saat ini pasti sedang menantinya sendirian dirumah mengkhawatirkannya dan juga tunangannya sai memenuhi kepalanya.

"Hinata..." ino menggoyangkan bahu hinata pelan menyadarkannya dari kesedihan. Hinata menoleh menatap ino dengan pandangan kosong dan mengikuti arah telunjuk ino yang mengarah kedepan, ke sosok zombi pria berambut pirang jabrik yang dengan brutal dan kasar meninju untuk menghalau zombie yang berniat mendekatinya dan ino. Zombie pirang itu melindunginya.

"Naruto..." hinata berkata pelan sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan terkejut.

Zombie N menoleh menggeram menatap tepat kearah amethyst hinata. Jantung hinata berdetak sakit menatap mata yang dulunya berwarna biru saphire yang cerah sekarang berubah menjadi warna mata zombie kelabu dengan pupil mata yang mengecil pipih.

"Rrr...Rrrrrun." Susah payah zombie N mengeluarkan sepatah kata untuk dimengerti manusia. Dengan gerakan patah patah N meminta hinata lari kearah pintu, N akan menghalau para zombie yang mengamuk.

Hinata mengangguk angguk gugup, kini giliran ino yang menarik tangannya membawa hinata lari dengan langkah berat karena sepertinya hinata enggan meninggalkan N mantan tunangannya.

Hinata setia menatap kearah belakang selama pelariannya dengan ino, air matanya meleleh. 'Maafkan aku naruto-kun.'


Zombie S meraba lantai yang kotor di bawah jemarinya yang masih menyisakan darah gaara yang belum sepenuhnya mengering. Dengan pandangan sayup sayup S mendengar tembakan yang memekakkan gendang telinga. Berusaha berdiri dan melihat sekelilingnya.

Rasa pusing dan pening datang menghantam kepalanya dengan keras.

S belum pernah merasakan imaji yang sedalam ini, seolah seluruh kehidupan meliliti kepalanya. Rasa seperti sengatan air mata membakar di matanya. Tapi saluran air matanya sudah tidak lagi berisi cairan. Perasaan itu mengamuk tak terpadamkan seperti api yang membara panas. Inilah kali pertama S merasakan sakit sejak S mati.

S menoleh mendengar suara jeritan tepat di dekatnya. Wanita itu, wanita yang berhasil mencuri atensinya untuk pertama kali, dia disini, wanita itu bernama sakura wanita itu mempunyai nama seindah bunga merah muda yang mekar di sepanjang musim semi. Sakura disini, sekarang terlihat lebih dewasa, mungkin 24, lekukan tubuh yang menonjol dan sikap yang terlihat lebih halus, otot otot kecil namun kencang terlihat pada sosoknya yang feminim. Hanya saja rambutnya tak sepanjang seperti yang S lihat di ingatan dari kekasihnya Gaara.

Sakura meringkuk di salah satu kolong meja. Tak bersenjata, terisak dan menjerit tertahan kala seorang zombie pria bermasker compang camping merayap ke arahnya. Zombie pria bermasker dan berambut silver acak acakan selalu mencari wanita. Ingatan tentang mereka seperti film porno baginya. S masih merasa bingung, tak yakin dimana atau siapa dirinya, tetapi...

S pov mode on

Aku mendorong zombie bermasker compang camping yang ku ketahuin bernama 'K' dan menggeram memperingati. "Jangan. Milikku."

K menggertakkan gigi seolah dia akan menerkamku tetapi diurungkannya ketika menatap mata tajamku yang sarat akan keinginan untuk membunuh jika mayat busuk itu berani menyentuh milikku. Zombie K pun memilih mundur perlahan dan bergabung dengan zombie yang lain mencari mangsa.

Aku mendekati wanita itu. Dia berdiri was was di depanku. Dagingnya yang lembut menawariku segala hal yang terbiasa ku ambil, naluriku mulai menegaskan diri. Desakan untuk mengoyak dan mencabik menerjang memasuki lengan dan rahangku. Tapi seketika hilang menguap entah kemana tergantikan rasa iba dan ingin melindungi ketika aku mendengar dia menjerit ketakutan. Sesuatu dalam diriku bergerak, seperti seekor ngengat lebah yang berjuang melawan jaring laba laba. Dalam momen keraguan yang singkat itu, masih hangat oleh nektar ingatan dari seorang pemuda, aku menentukan pilihan.

Aku menyuarakan erangan lembut dan berjalan pelan kearah wanita itu, berusaha menjejalkan keramahan ke dalam ekspresiku yang datar. Aku bukanlah siapa siapa. Aku hanya anak lelaki 9 tahun, aku anak lelaki 17 tahun, aku-

Gadis itu melempar pisau ke arahku tepat ke arah dadaku yang di dalamnya terdapat jantung yang sudah lama mati tak berdetak.

Aku mencabut pisau itu dan menjatuhkannya ke lantai. Aku mengulurkan kedua tanganku, berusaha mengeluarkan suara halus melalui bibirku, tapi aku tak berdaya. Bagaimana bisa aku tampak tidak mengancam sedangkan darah kekasihnya mengalir menuruni daguku?

Aku terus maju perlahan dan dia terus mundur menghindari tiap langkah kakiku yang menuju kearahnya. Terus mundur ketakutan hingga punggungnya membentur mengenai lemari obat obatan.

"Sa...kura.." ucapku perlahan dan susah payah. Nama itu bergulir di lidahku seperti madu, aku merasa bahagia hanya dengan mengucapkannya.

Mata wanita itu membelalak. Wanita itu terpaku dan merosot dengan tubuh yang bergetar memandangku kaku.

"Sakura." Ucapku lagi dan ikut berjongkok mensejajarkan posisiku dengannya.

Aku mengulurkan tangan. Aku menunjuk gerombolan mayat di belakangku. Aku menggeleng. Dia menatapku, tidak menunjukan tanda apapun, bahwa dia mengerti maksudku. Bahkan saat aku menjangkau untuk menyentuhnya dia tidak bergerak. Beruntungnya dia tidak berusaha menikamku dan memberontak. Aku akan sangat kesulitan jika dia melakukan hal semacam itu.

Aku memasukkan tanganku yang bebas ke dalam luka disalah satu mayat yang sudah mati, kebetulan berada di sebelah kiriku, ku kumpulkan seraup darah hitam tanpa kehidupan. Perlahan lahan dengan gerakan lembut, ku balurkan darah itu ke sisi wajahnya, turun ke lehernya dan pakaiannya. Tersentak pun dia tidak. Mungkin dia masih ketakutan. Ku endus lehernya perlahan untuk mengetes bau ini sudah bekerja atau belum untuk menyamarkan bau aslinya.

"Save." Kataku pelan sambil menatap emeraldnya yang mengeluarkan setetes air mata.

"Ayo pergi."

"Apa?" Di terkejut.

Aku meraih kedua lengannya dan menariknya sampai berdiri. Pada saat itu para zombie sudah selesai melahap mangsa mereka dan berbalik untuk memeriksa ruangan dengan mengendus bau daging manusia dengan penciumannya yang tajam.

Pandangan mereka jatuh padaku. Pada sakura. Aku berjalan ke arah mereka sambil mencekal pergelangan tangan sakura. Aku benar benar menyeretnya sampai dia terhuyung di belakangku.

N mengendus udara dengan waspada, aku tahu, dia membaui apa yang persis ku baui. Dia hanya memandangku dengan pandangan yang sulit ku artikan sepertinya dia tidak akan memberitahukan rahasiaku ini pada para mayat yang tak pernah merasa kenyang.

Setidaknya itu akan membuatku sedikit lega.

Tanpa sepatah katapun kami meninggalkan gedung tinggi itu dan kembali ke dalam tempat tinggal kami di pusat perbelanjaan pertengahan kota yang sudah mati. Aku berjalan tertegun, di penuhi pikiran kaleidoskopis yang aneh. Sakura berpegang lemas pada genggamanku, menatap sisi wajahku dengan mata lebar serta bibir yang bergetar.

TBC

Special thanks to my beloved reader @bucin is fun yang selalu kasih suport dan ngikutin cerita yang ancur ini sampai sekarang. ã (* Ë *)ï

Bhay see you in next chapter ã (ã »Ï ã »)ã