Hai hai

Langusng update dong, hohoho.

Btw, how's your quarantine days going? Let's hope this pandemic will end very soon.

Enjoy!


"Rin," bisiknya.

Ada semacam perasaan hangat ketika melihat kedua sahabatnya, semacam membuka memori masa muda yang begitu menyenangkan. Tapi tentu saja, semua itu hanya di masa lalu. Luka di wajah Obito yang kini sedang menatapnya sengit sungguh mengingatkannya akan hal itu.

Mereka berdua tampak elegan dengan pakaian berwarna sama, abu-abu. Rambut cokelat Rin yang dulu selalu di atas bahu hingga masa lulus kuliah, kini sudah tumbuh panjang dan di ikat, wanita itu sudah menggunakan make up yang mencolok. Sedangkan Obito tumbuh lebih tinggi, sedikit kurus, namun tetap tampak percaya diri meski bekas luka seperti tidak rata pada sisi kanan wajahnya terlihat. Kilatan matanya tetap samat tiap kali melihat Kakashi.

Kebencian.

Wajah Rin tampak lebih tua, tapi tidak mengurangi kecantikan wanita itu. Dia tersenyum takjub. "Wow, sudah lama sekali, Kakashi."

Kakashi tak bergerak sedikitpun. Matanya terkunci saat menatap mata gelap Obito. Orang itu menyunggingkan senyum sinis.

"Apa itu sudah dua tahun lalu?" Rin bertanya.

"Tiga," potong Obito membenarkan. Dia mendengus saat menatap Kakashi. "Tiga tahun juga kau menutupi wajahmu?" sindirnya.

Rin tampak pucat, mendesah pelan. "Hentikan, Obito." Dia memperingatkan.

Sungguh malam yang sangat sial. Kakashi sama sekali tak mengharapkan malam yang ia kira akan membuatnya melupakan segala masalahnya berubah menjadi sebuah masalah baru.

"Yeah, dengarkan kekasihmu, Obito. Like you always did," balas Kakash dengan selip lidah.

Obito selalu terobsesi dengan Rin sejak dahulu, dan demia apapun orang itu akan melakukan segalanya untuk membuat Rin bahagia. Termasuk mengkhianati Kakashi.

Obito menyipitkan matanya, tampak terganggu. "Fiancée"

Kakashi tertawa pelan. "Well, Congratulation I guess? How incredable is your feeling when finally get you dream girl after betrayed me?"

"Fuck you," desis Obito.

"Fuck me?"

"Hentikan!" Rin berteriak. Sekarang orang-orang di ruangan tampak mulai melihat ke arah mereka. "Berhentilah bersikap seperti anak kecil. Kalian sudah hampir tiga puluh tahun! Seperti ini kah sikap terbaik yang bisa kalian tunjukkan? Tidakkah kalian ingat waktu kuliah dulu, kita masih saling membantu. Jadi, please, ingat memori yang baik saja."

Kakashi menghela napas dalam, mencoba meredakan emosinya yang entah mengapa begitu meluap-luap malam ini.

"Kekasih baru?" tanya Obito menatap ke arah Hinata yang berdiri gelisah di dekat Kakashi. "Wow, kenapa dia kelihatan sangat muda?"

Ia berusaha kerasa menyunggingkan sebuah senyuman di balik maskernya. "Selamat atas pertunangan kalian," ucapnya berusaha tidak menyeret Hinata ke dalam pembicaraan.

"Do you mean it?" sindir Obito.

Kakashi menghela napas dalam, "Why are you always such a bitch?"

"Still better than a coward prick."

"Can you stop calling me coward—"

"Take off your fucking mask, then!"

Tangan Obito bergerak terlalu cepat hingga Kakashi tidak bisa menepisnya. Masker putih yang selalu ia kenakan terlempar lepas, kemudian jatuh ke bawah begitu saja.

Kakashi terdiam, napasnya hampir tercekat. Tangannya bergerak untuk meraba wajahnya. Sebuah bekas luka pada pipi kirinya, yang tampak dalam berbentuk garis melintang dari sisi ujung pipi hingga dekat bibirnya.

Kakashi menatap ke arah masker yang tergelatak di lantai, napasnya tertahan begitu lama dan ia memiliki asumsi bahwa setiap orang di ruangan ini kini tengah menatapnya iba. Ia meraba wajahnya, luka di wajahnya masih terasa agak kasar meskipun sudah tiga tahun berlalu. Tiga tahun sejak ayahnya menyayat wajahnya dengan pisau.

Kakashi tersentak. Ia memandang ke sekeliling, semua mata tertuju pada pertengkaran di tengah ruangan. Kini semua orang telah melihat wajahnya, melihat kelemahannya, menyadari kesalahan yang ia buat.

Matanya menangkap iris ungu pucat milik Hinata yang kini sedang tampak berkilau yang ternyata adalah refleksi cahaya di matanya yang berair, hampir menangis.

Kakashi mengepalkan tangannya yang masih bergetar dari tadi, memberikan tatapan maut pada Obito sekilas, kemudian berlalu pergi meninggalkan pesta terkutuk itu.


Malam semakin larut dan angin musim panas berhembus kencang melewati teras rumah. Hinata merapatkan cardigan putih yang ia kenakan, tangannya masih setia menggenggam ponsel di saku. Ia mengecek ponselnya untuk ke sekian kali malam itu. Sudah lewat tengah malam. Ia membuka kembali pesan masuk, berharap ada pesan baru masuk dari Kakashi, namun nihil. Ia hanya membaca kembali pesan dari Neji yang mengatakan bahwa dia dan Hanabi tidak akan pulang malam ini karena menginap di tempat kenalannya yang orang kaya. Dan membalas pesan Shikamaru yang menanyakan bagaimana liburan musim panasnya berlangsung.

Hinata menghembuskan napas panjang, malam mulai terasa dingin karena sudah hampir dini hari namun tak ada tanda-tanda Kakashi akan pulang. Hinata menatap nanar ke halaman depan yang kini dipenuhi kunang-kunang. Begitu indah.

Setelah kejadian akbar di pesta tadi malam, Kakashi pergi menerobos ratusan mata yang memandang ke arah mereka dan menghilang begitu saja. Hinata nyaris berteriak untuk menahannya, namun ia berpikir kalau Kakashi butuh waktu.

Astaga, siapa yang tak ingin sendirian setelah disakiti seperti itu di depan orang banyak. Sepanjang perjalanan pulang Hinata hanya mencoba menghubungan teka-teki kehidupan Kakashi yang semakin lama tampak semakin rumit. Dan itu hanya membuat Hinata semakin ingin mengenal Kakashi, mengerti dirinya. Tapi orang itu sangat berusaha keras mendorong Hinata menjauh. Ia teringat pertengkaran terakhir mereka.

Apakah perkataan Kakashi benar? Apakah Hinata bersikap seolah gadis yang paling mudah jatuh cinta hanya dengan beberapa sentuhan dan sikap baik dari Kakashi? Namun mengapa Hinata malah balik menginginkan orang itu?

Tak pernah sekalipun dalam hidupnya, Hinata menginginkan sesuatu menjadi miliknya.

Luka di wajah Kakashi. Terlalu jelas untuk dilewatkan sepasang mata. Kini ia tahu wajah di balik masker yang selama ini menutupinya. Namun luka itu sama sekali tidak mempengaruhi wajah Kakashi yang ternyata, astaga, luar biasa tampan. Tapi Hinata tahu alasan fisik bukan yang mempengaruhi keputusannya untuk memakai masker. Ia masih belum mengerti.

Ia ingin memahami.

Hinata bangkit dari duduknya, ia tidak tahan lagi. Ia harus mencari Kakashi, ia takut orang itu jatuh di jalan atau tertabrak kendaraan lain.

Hinata berlari melewati rumput yang basah oleh embun, dan ketika ia baru melewati pagar ia hampir berteriak terkejut. Seseorang tersungkur di tembok pagar. Kakashi duduk merosot sampai nyaris pada posisi tidur di jalanan.

Dasinya dan tuxedo hitamnya menghilang entah kemana. Kemeja putihnya tampak kusut dan beberapa kancing lepas. Tangannya masih memegang sebuah botol minuman keras.

"Sensei!" seru Hinata menunduk untuk membantunya berdiri.

Ia mengusap hidungnya saat mencium bau alkohol yang sangat kuat dari tubuh Kakashi. Orang itu mendongakkan wajahnya dan Hinata masih belum terbiasa melihat wajah Kakashi seutuhnya. Garis rahangnya begitu tegas, kuat, hidungnya begitu sempurna, mata kristal hitamnya tampak tak fokus.

"Hinata..." ucapnya lirih kemudian cegukan.

Mengesampingkan cara Kakashi menyebut namanya yang selalu membuat jantungnya berdetak kencang Hinata berusaha mengangkat kemudian menyeret tubuhnya masuk ke halaman rumah. Tubuh Kakashi sangat jangkung, dan dia adalah pria dewasa dengan otot tubuh yang sempurna. Hinata nyaris kuwalahan saat menghempaskan tubuh Kakashi ke atas lantai teras.

Kakashi menggaruk rambutnya kemudian meneguk minuman keras dari botol di tangannya. Hinata segera menyambar botol itu kemudian membuangnya.

"Sensei benar-benar mabuk! Ayo segera masuk, kau bisa kena flu!" ucap Hinata agak keras karena Kakashi tampak mengabaikan semua kata-katanya.

Kakashi terkekeh, duduknya sempoyongan dan seperti akan tersungkur. Hinata duduk di sampingnya berusaha menyerat Kakashi ke dalam rumah.

Kakashi menepis tangannya. Akhirnya dia menatap mata Hinata. "Kau bertingkah seperti seorang ibu yang tidak pernah ku miliki."

Dadanya terasa sesak saat mendengar hal itu. Ini pertama kalinya Kakashi mengungkapkan kehidupan pribadinya.

"Sensei sedang mabuk," ujar Hinata lembut, ia menyentuh bahu Kakashi pelan.

"Apa kau masih marah?" tanyanya sambil mengeluarkan sebatang rokok dan segera menyulutnya. Kakashi menghembuskan asap lewat mulutnya, entah bagaimana tapi kelihatannya hal itu membuat Kakashi sedikit lebih tenang.

Dia menoleh ke arah Hinata, menghisap nikotin lebih banyak lagi. "Bukankah seharusnya kau masih marah karena aku telah memanggilmu..." dia menghembuskan lebih banyak asap, tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Cegukan lagi.

"Well, apa sensei masih marah?" tanya Hinata balik.

Kakashi tertawa kosong. "Apa kau tidak takut padaku? Apa ini membuatmu tidak berani menatap ku lagi?" dia menolehkan sisi wajahnya yang terluka.

Hinata tertegun, luka itu jelas dalam hingga meninggalkan bekas sejelas itu. Hatinya terasa dicengkeram.

Hinata mendekat sedekat mungkin, tangannya terjulur untuk menyentuh pipi Kakashi, merasakan garis panjang di pipinya. Ia memastikan Kakashi menatap matanya.

"Sensei tidak pernah membuatku takut. Semua orang memiliki luka di hidup mereka sendiri, dan itu normal, manusia tidak sekuat itu untuk memiliki hidup yang sempurna." ucapnya pelan.

Mata Kakashi kini mulai fokus, menatapnya dalam. Dia menyentuh tangan Hinata di pipinya, kemudian melemparnya pelan. Kakashi menghisap rokoknya dan menghembuskannya.

"Kenapa sensei selalu mendorongku keluar? Kenapa sensei tidak mau aku mengerti dan membantumu?" tanya Hinata frustrasi, ia menggapai bahu kakashi.

Tangannya menggebrak lantai kayu di teras. "Ini!" bentaknya. "Karena kau bersikap seperti ini, Hinata! Astaga, sampah sepertiku tidak akan pernah berani menyeretmu dalam kehidupanku yang menyedihkan!"

Mata Hinata terbelalak, terkejut karena Kakashi tidak pernah membentak sebelumnya.

Kakashi mencengkeram rambutnya frustrasi. "Saat aku pertama kali bekerja di perusahaan, aku seorang bintang," mulainya.

Dia menghisap rokoknya dalam. "Aku dan Obito adalah partner sejak zaman sekolah, harus kuakui kau tidak akan bisa menemukan orang se-menyenangkan seperti Obito lagi. Obito lebih senang mengurus masalah otoritas dan relasi dengan client dan aku lebih senang menghabiskan waktu di lab. Aku sudah mengembangkan beberapa vaksin dan obat dengan kejeniusanku, otakku brilian dan wajahku cukup tampan untuk membuat semua wanita di kantor menyelipkan nomor telepon mereka tiap kali menyapaku."

Kakashi menghembuskan napas penuh asap. "Ayahku sangat membanggakanku," ujarnya pelan. "Tapi pada tahun ketiga bekerja di perusahan, Rin, sahabat kami sejak kuliah jadi lebih tidak sabar akan perasaannya padaku. Aku tahu dia menyukaiku sejak dahulu dan tak ada hal yang bisa kulakukan untuk membalansya. Saat itulah aku meminta Hanare, sekertarisnya Minato, untuk menjadi kekasihku. Dia wanita yang cantik, dan aku menyukainya, meskipun perasaan itu tak sepenuhnya ada. Aku tahu aku menyakiti Rin, dan Obito jelas membenciku akan hal itu."

"Dia menyukai Rin bahkan sejak kecil, dan ketika dia tahu Rin menangis karenaku, dia tidak bisa tinggal diam. Lagipula Obito selalu kesal melihatku lebih sukses darinya, meskipun sebagian besar dia bercanda, aku tahu sisi gelap manusia pasti akan muncul jika ditekan terus. Kontrak bernilai miliaran sudah diteken dengan perusahaan lain, milik nyoya Tsunade, Obito meyakinkanku utnuk meneken kontrak itu, dan dengan bodohnya aku tidak mengechek ulang poin-poin perjanjian, karena Obito bilang hal itu tidak penting. Saat itu aku memang ingin ayahku semakin bangga padaku karena sebelumnya aku hanya bekerja sebagai ilmuwan."

"Ternyata Obito membuat perjanjanjian ganda dengan orang dalam perusahaan Tsunade, mereka mengalirkan bahan baku untuk membuat obat baru yang seharusnya untuk Hatake Chemical, malah mengalir ke perusahaan lain. Saat aku mengetahuinya semua sudah terlambat. Kontrak yang kuteken hanya tipuan. Tak ada aliran dana, karena itu proyek yang besar, maka obatpun tak jadi diproduksi memenuhi target. Semuanya hancur, rumah sakit-rumah sakit marah besar. Perusahaan hampir bangkrut karena hal itu."

"Ayahku mengetahui kesalahanku, dia sangat murka. Kami berdebat hebat, saling memaki dan melempar barang. Rumah yang hanya ditinggali kami berdua jadi gaduh, kami bertengkar dari dapur hingga ke ruang tengah. Dan karena begitu murkanya dia, ayahku mengayunkan pisau dan mengenai wajahku. Darah mengalir banyak sekali. Kemudian dengan bodohnya aku melakukan kesalahan sekali lagi."

Kakashi menghisap rokoknya dengan tangan bergetar, dia mencoba berkata jelas meski kini seluruh tubuhnya tampak gemetar.

"'Kenapa kau tidak mati saja!'. Itulah yang ku katakan padanya. Aku menyuruhnya mati saja. Menyalahkanya habis-habisan karena membuatku hidup tanpa seorang ibu. Menyalahkannya karena selalu bersikap egois dan hanya ingin melihatku sukses tanpa benar-benar peduli pada usahaku selama ini. Mesk—meski aku tahu selama ini dia lah yang berperan ganda menjadi ayah sekaligus ibu dalam hidupku. Meski aku paham betul dia hanya ingin hidupku sukses dan bahagia, tidak sepertinya. Tapi aku malah menyuruhnya mati saja. Dan dia benar-benar menurutiku kala itu."

"Aku hanya pergi ke luar sebentar, berteriak frustrasi pada jalanan. Sampai setelah lewat tengah malam aku kembali ke rumah untuk mencoba berbicara padanya lagi... tapi yang ku temukan saat pertama kali membuka pintu ruang tengah adalah tubuhnya yang tergantung."

Angin berhembus lebih kencang, membuat daun di pepohonan sekitar halaman saling bergesekkan menambah keheningan yang menyiksa setelahnya. Entah sejak kapan Hinata baru menyadari pipinya basah oleh air mata. Jantungnya terasa jauh lebih sakit seperti ada yang mencengkeramnya. Ia tidak tahu, ia tidak pernah tahu kehidupan Kakashi segelap itu.

Tangan Kakashi masih tampak gemetaran, bahkan rokok di ujung mulutnya tampak bergetar. Dia menghirup dalam-dalam asap nikotin itu. "Sejak itu aku selalu menutup wajahku, luka di pipiku hanya mengingatkanku pada kesalahan. Aku adalah sampah."

Tangan Hinata meraih pipi Kakashi, memaksanya menatap mata Hinata yang sudah basah oleh air mata. Kakashi menyadarkan Hinata akan manusia berduka dengan cara mereka sendiri. Orang lain hanya melihat apa yang mereka ingin lihat. Kakashi tampak sempurna dalam segala hal dari luar. Dan Hinata menyalahkan dirinya sendiri karena tidak segera mencoba mengerti Kakashi lebih awal.

Hinata memeluk tubuh Kakashi. "Terimakasih sensei," ucapnya lirih. Hinata mencoba tersenyum, "Terimakasih untuk tetap bertahan hidup. Terimakasih telah mencoba membuka dirimu lagi dengan menceritakan hal itu padaku. Kini sensei hanya perlu berjalan perlahan-lahan lagi, sensei harus memaafkan dirimu sendiri, kemudian membayar segala kesalahanmu pada ayahmu dengan cara bangkit kembali. Aku yakin ayahmu meninggal bukan untuk melihatmu semakin menghancurkan perusahaan. Dia tetap ingin sensei berhasil. Percayalah, ayahku juga seperti itu."

Mata Kakashi melebar seakan tertegun. Napasnya terlihat putus-putus, lalu Hinata bisa melihat matanya mulai basah. Dia menangis sambil membuang rokok yang tinggal separuh ke tanah.

"Kau bercanda," ucapnya sambil tertawa meskipun matanya masih basah. "Kenapa malah berterimakasih? My life is a complete mess, Hinata. I'm screwed."

Hinata mempererat pelukannya. "Aku ingin sensei percaya kalau sensei tidak sendiri. Sensei masih memiliki keluarga, aku, Neji dan Hanabi. Dan aku ingin sensei yakin pada dirimu sendiri lagi."

"Lalu kenapa kau menangis?" tanyanya, dan kini tangan Kakashi yang ada di pipi Hinata, mengusap air matanya. "Kenapa kau harus menangis untuk orang sepertiku, Hinata."

Tangan Hinata menggenggam tangan Kakashi yang ada di pipinya. "A-aku..." Hinata memejamkan mata. "Aku ingin memahami sensei sepenuhnya, aku ingin sensei tahu bahwa aku selalu ada untuk tempatmu pulang. A-aku tidak ingin kehilangan sensei—mmh!"

Hinata terlonjak saat Kakashi mendesaknya hingga punggunya membentur tembok teras, dan menciumnya. Kakashi mencium bibirnya. Jantungnya terasa bisa menghancurkan tulang rusuknya karena berdegup terlalu keras hingga ia merasa pusing. Bibir Kakashi menangkap bibir Hinata dengan cepat, mendesaknya. Kakashi menciumnya dalam, dia menggerakkan bibirnya dengan teratur namun menuntut. Bibirnya terasa sangat lembut dan panas. Ia bisa merasakan alkohol dan sedikit asap rokok saat Kakashi memainkan bibirnya, mengecap bibirnya berkali-kali. Hinata nyaris tidak bisa bernapas.

"S-sensei.." ucapnya di sela-sela ciuman itu. Kesempatan itu digunakan Kakashi untuk membuka mulut Hinata dan memasukkan lidahnya.

Hinata tersentak merasakan lidah Kakashi mengecap segala hal yang ada dalam mulut Hinata, bibirnya masih menyedot bibir Hinata keras. Kakashi menggeram. Lidahnya terasa panas menyapu langit-langit mulut Hinata. Ia nyaris tersedak oleh saliva mereka yang bercampur di dalam mulutnya.

Kepalanya terasa pening karena intimasi yang sangat panas di antara mereka. Napas Kakashi sangat memburu dan berusaha bernapas di antara decap-decapan itu, sedangkan Hinata yang sama sekali belum pernah berciuman merasa hampir ingin pingsan. Begitu panas, begitu manis.

Lalu akhirnya bibir Kakashi melepaskan bibirnya, Hinata mencoba bernapas saat merasakan bibir Kakashi ternyata turun dan mencium sepanjang garis rahangnya. Lidahnya menyapu kulitnya hingga turun ke leher Hinata, kemudian menggigitnya di beberapa tempat. Hinata mengeluarkan semacam suara yang entah antara pekikkan atau desahan. Ia buru-buru menutup mulutnya sendiri.

Kakashi menarik wajahnya dari leher Hinata, napasnya masih memburu dan pupilnya melebar oleh nafsu.

Mereka hanya diam, napas panas saling berbenturan dan saling menatap dalam.

"Jika aku menginginkamu untuk tidur denganku, apa kau masih bisa bilang kalau kau akan selalu ada untukku?" tanya Kakashi.

Wajah Hinata yang sudah memerah sempurna menjadi bertambah panas, ia benar-benar merasa pening.

"S-sensei..."

"Bisakah kau memanggilku Kakashi?" tanyanya. Kakashi mendekatkan wajahnya kembali, tapi orang itu hanya diam. Mengintimidasi Hinata dengan kedekatan mereka, napas mereka masih saling berbenturan. Matanya bergerak untuk menelusuri wajah Hinata, hingga tatapannya berhenti pada bibir Hinata. "Mengapa kau selalu membuatku mengikuti hatiku, Hinata."

Dia mencium Hinata sekali lagi, namun hanya sekilas karena kemudian tubuh Kakashi merosot jatuh. Orang itu pingsan setelah menghabiskan berbotol-botol minuman keras.

TBC

Sengaja dibikin pendek sekali-sekali, hehe. Hayo habis ini ngapain~