Halo everyone!

Remember me? Hahahaa

Who knows that I'm still able to make some kinds of fanfic like this. Since I will be graduated from college soon, I have much spare time (pengangguran sementara elah) to write a new story and share it with you all.

So, basically this is about Kakashi Hatake-my love in Naruto universe, and of course with Hinata lovely girl. Entah kenapa saya agak terobsesi sama cinta beda usia, mungkin efek pingin dapet suami macem CEO tampan, mapan, dan berkarisma kayak di drama drama korea HAHA. Don't get me wrong okay? Nggak salah kan kisah cinta cintaan sama yang lebih tua? hahaha.

I write this only for my own pleasure, so I hope you enjoy this story too! :)


Titik-titik air hujan semakin terasa menghilang dengan bergeraknya awan mendung di atas langit. Hujan lebat yang mengguyur Tokyo pada pertengahan musim semi itu kini berangsur-angsur pergi, menyisakan gerimis pelan meskipun sinar matahari masih tertutup oleh awan mendung tipis.

Kubangan air yang menggenangi cekungan di aspal tampak bergelombang ketika Hinata melangkahkan kaki di atasnya dengan tergesa-gesa. Payung kuning menaungi tubuhnya yang masih terbalut seragam sekolah, sedangkan tangan satunya memegang kantong plastik bertuliskan 'Rumah Sakit Kosei'. Hinata merasa air hujan menembus masuk melewati almamater navy miliknya karena begitu cepatnya ia berjalan menembus hujan. Ia harus segera sampai ke rumah sebelum sore berakhir.

Setelah nyaris berlari menaiki jalan sempit yang menanjak, lalu melangkah di atas tangga semen yang licin, ia bisa melihat pagar tembok yang tertutupi oleh tanaman rambat di depannya. Hinata membuka pintu besi yang agak karatan, kemudian memasuki pekarangan rumah yang sangat luas. Rumah ini membentuk huruf U besar, dengan rumah inti berada di depan, lalu di samping berdiri rumah yang tak begitu keluarga Hyuuga urus. Sisanya adalah halaman belakang yang merupakan sepetak taman dengan tanaman yang tumbuh terlampau lebat.

Hinata tak pernah sempat mengurusi taman halaman belakang, karena tiga tahun terakhir ia disibukkan dengan hal yang lebih penting. Hinata melepas sepatunya yang basah dengan asal di teras kayu, kemudian masuk ke dalam rumah.

"Maafkan aku karena terlambat, akhir pekan antrian apotik sangat panjang," jelasnya pada seseorang laki-laki yang berdiri di dekat meja dapur, tampak sedikit jengkel.

"Bukankah kau bilang akan pulang lebih awal? Kupikir tadi ada acara penerimaan siswa baru atau semacam itu," balasnya.

Hinata melepas almamaternya yang basah lalu meletakkannya pada kursi makan di dekat dapur. Ia berjalan tergesa-gesa melewati orang yang masih berdiri jengkel di depan pantry. Hinata mencuci tangannya di westafel, "Sudah kubilang antrinya panjang sekali. Kau bisa pergi sekarang sebelum terlambat masuk jam soremu, Neji-nii."

Neji terdiam, iris ungu pucatnya menatap Hinata lurus. Kerutan di dahi Neji Hyuuga memudar saat dia menghela napas panjang sambil mengendorkan dasinya, kemudian dia berpaling untuk berdiri di sebelah Hinata yang sedang berkutat menyiapkan mangkuk berisi bubur. Tatapannya melunak, Neji menyentuh tangan Hinata yang dingin karena kehujanan, lalu menggenggamnya erat. "Maafkan aku. Aku... banyak hal terjadi di kantor, dan tak ada yang menyenangkan di antara semua itu. Aku... agak stress belakangan ini..."

Hinata membalas nggenggaman tangan kakaknya. "Sekarang pergilah, sebelum gajimu di potong jika terlambat. Terimakasih sudah menjaga ayah siang ini," ucap Hinata sembari tersenyum.

Neji tampak begitu merasa bersalah, tapi mereka tahu waktu adalah uang. Neji mencium pipi Hinata cepat sebelum akhirnya menyambar tas kerjanya, dan berjalan pergi. Hinata mengantar Neji sampai ke pintu depan, "Tunggu!" seru Hinata.

Ia berdiri di depan kakaknya untuk merapihkan dasi merah Neji yang kedodoran. Neji tersenyum tipis. "Aku akan berusaha lebih keras hari ini, tunggu aku saat memberimu kabar kalau aku diangkat menjadi manajer. Saat itulah aku akan membuat hidup kita jadi lebih baik, hm?"

Hinata tersenyum lembut mendengarnya. "Aku menantikannya. Hati-hati di jalan."

Neji baru akan menghilang di balik pintu, "Kemana Hanabi? Jangan bilang anak itu melakukan hal tidak berguna lagi?"

Hinata menghela napas cepat. "Itu hobinya, biarkan dia melakukan hal yang diinginkannya."

"Berhentilah memanjakan anak itu, oke? Aku pergi dahulu," ujar Neji sambil menutup pintu depan, menyisakan keheningan di dalam rumah ini.

Hinata menghela napas panjang, kemudian memutar bahunya yang agak pegal. Ia berjalan melintasi ruang tengah yang sepi dan menuju ke dapur yang sangat luas. Rumah bergaya jepang kuno ini sangatlah luas untuk ditinggali empat orang saja. Rumah ini selalu sepi dan sunyi. Rumah berlantaikan papan kayu yang mengkilap ini terlalu luas dan kosong.

Hinata berjalan pelan melewati koridor sampai ke dapur, kemudian menyiapkan kembali bubur yang telah ia masak. Ia berjalan dengan hati-hati karena tangannya membawa sebuah nampan yang agak berat. Kemudian ia tiba di sebuah pintu geser, lalu mengetuknya sebentar. Hinata memasuki kamar berbau orang tua itu. Sinar matahari berwarna keemasan menyelinap masuk menyinari sebagian ruangan ini. Tepat di tengah ruangan, sebuah futon tergelar dengan seseorang terbaring di atasnya.

"Ayah, saatnya makan malam," ujar Hinata lembut.

Hiashi Hyuuga hanya mengerlingkan mata melihat Hinata yang kini telah duduk di samping kasur. Hiashi terbatuk pelan. "Kenapa kau tidak mengganti bajumu dahulu, Hinata."

Hinata tersenyum sedikit mendengarnya, menyadari kalau seragam sekolah masih menempel pada tubuhnya. Seragamnya agak basah karena air hujan. "Bukan masalah. Ayo duduk," pinta Hinata sambil membantu ayahnya untuk memposisikan duduk di kasur. Hinata mulai menyuapi Hiashi sesendok demi sesendok sampai habis.

"Ini obatnya, aku baru saja membelinya," kata Hinata sambil menyodorkan segenggam penuh berisi pil.

Hiashi terdiam agak lama, tapi akhirnya dia menenggak semua pil itu. "Bagaimana kau bisa membeli ini? Uang pensiunku tidak turun bulan ini, dan aku tidak bisa memberimu apa-apa."

"Tidurlah sekarang, ayah ingin aku menyalakan televisi?" Hinata berkilah dan segera mengambil remote sambil menyalakan televisi di ruangan itu. "Kurasa pertandingan catur kesukaan ayah dimulai hari ini."

Hinata membereskan mangkuk-mangkuk tempat makan ayahnya, dan akan beranjak pergi seperti biasa. Ia tidak suka berlama-lama satu rauangan dengan ayahnya. Karena bagaimanapun hanya akan berakhir pada air mata. Hinata tak sanggup melihat ayahnya terbaring sakit tak berdaya. Sakit paru-paru yang di derita ayahnya sejak kematian ibunya menjadi awal keheningan yang menyelimuti rumah ini. Hiashi dahulu adalah seorang profesor di Universitas Tokyo. Namun, karena penyakitnya membuatnya terpaksa pensiun lebih dahulu. Menjalani kehidupan reguler dengan berbaring di atas ranjang seharian penuh, membaca buku dan meminum obat. Hiashi kehilangan segalanya saat istrinya meninggal. Dan tugas Hinatalah sebagai putrinya untuk menyakinkan ayahnya agar terus hidup. Sejak Hinata SD hingga sekarang.

Hinata baru akan bangkit berdiri untuk pergi, saat tangan ayahnya menggenggam pergelangan tangan Hinata. "Aku... ingin menonton pertandingan ini denganmu," katanya. Hiasahi tampak sangat rapuh dengan kimono abu-abu yang agak lusuh. Hinata terkejut mendengarnya, karena bagaimanapun, Hiashi memang suka sendiri. Meminta Hinata untuk tinggal menonton TV dengannya adalah hal yang jarang.

"Ayah ingin menontonnya bersamaku?" tanya Hinata heran.

"Apa tidak boleh jika aku ingin putriku menemaniku hari ini...uhuk!" Hiashi kembali terbatuk aneh, darah tampak keluar sedikit di ujung bibirnya.

Hinata tersenyum meskipun dadanya terasa sesak tiap kali mendengar ayahnya batuk. "Baiklah, jika ayah menginginkannya." Hinata duduk kembali di samping Hiashi. Mereka menonton pertandingan itu dalam diam. Hinata hanya menikmati momen yang sudah langka ini.

"Kau bosan ya?" tanya Hiashi.

Hinata menggeleng samar. "Tidak juga. Pemain itu tampan jadi membuatku ingin terus melihantya," ujar Hinata bergurau.

Hiashi tertawa serak. Kemudian Hinata merasakan tangannya digenggam oleh tangan keriput Hiashi. Hinata menoleh.

"Ayah ingin kau bahagia, Hinata. Ayah ingin melihatmu menikah nanti," kata Hiashi parau.

Hinata menolak untuk memperhatikan ayahnya lagi, karena sesungguhnya matanya sudah terlanjur berair. "Kumohon hentikan. Jika ayah ingin melihatku menikah, maka ayah harus melakukannya."

Hiashi tersenyum tipis. Ayahnya adalah sosok yang tegas, sungguh keras dan disiplin. Orang-orang bilang Hiashi adalah profesor yang sangat galak. Hinata sendiri merasakannya. Hiashi selalu mengedepankan Hanabi, adik perempuannya. Namun diam-diam Hinata tahu, kalau Hiashi selalu menyisakan gaji-gajinya untuk semua anaknya. Dia percaya pada Neji dan Hinata untuk menjaga Hanabi yang masih kecil dan labil. Dia menyiapkan segala sesuatunya dengan baik dan sempurna. Hanya ada satu bisul kecil dalam rencana Hiashi, dia tidak mengira akan sakit separah ini.

"Hinata..." panggil ayahnya serak. Genggaman tangannya semakin kencang.

"Sudah cukup, oke? Lebih baik menonton lagi, karena ayah tahu? Aku sangat senang saat ini. sekarang ini sangatlah mirip dengan kita dahulu. Saat menonton pertandingan dengan Ibu, Neji, dan Hanabi. Aku sangat senang, meskipun hanya ada ayah di sampingku. Jadi kumohon, tetaplah disini."

Hiashi menggeleng samar. "Kau harus menemukan kebahagiaanmu sendiri. Kau sudah banyak menderita sampai saat ini."

Hinta tak bisa menahan air mata yang mengalir turun di wajahnya. Ia tidak menginginkan ini. Tidak lagi, setelah ibunya. Satu kali saja sudah sangat cukup.

"Kau gadis yang luar biasa. Mungkin kau merasa dirimu tidak berguna, kau dikucilkan, kau merasa berbeda dari neji dan Hanabi. Tapi kau memiliki hati yang baik. Tidak pernah ayah mengira memiliki putri sepertimu, karena kau tahu, ayah bukan orang yang sangat baik Kau selalu mengedepankan perasaan orang lain daripada milikmu sendiri. " Hiashi merangkul Hinata yang bergetar karena menangis. "Putri ayah satu-satunya yang selalu menemaniku. Bahkan saat ayahmu ini hanya bisa berbaring sakit."

"Ingatlah meski kau merasa tidak punya uang, tidak punya rasa percaya diri, tidak punya teman. Tapi kau memiliki keluarga. Kau memiliki ayah."

Tangisannya jebol saat ayahnya berkata demikian. Mendadak semua kenangan tentang ayahnya, kesalahan-kesalahan Hinata di masala lalu bercampur aduk membuat perasaan sakit mencengkeram dadanya semakin kuat. Mereka memang sudah ada di titik akhir perjuangan selama ini. Mereka sudah kehabisan dua hal: waktu dan pilihan. Sayangnya penyakit paru-paru yang di derita Hiashi tidak memungkinkan untuk dioperasi karena usia Hiashi. Sedangkan waktu tak bisa berhenti bejalan. Setiap kehidupan ada akhirnya. Bahkan Hinata yang masih hidup, merasa hidupnya sudah mencapai akhir.


Kerlap-kerlip cahaya dari setiap lampu di Tokyo tampak berpendar buram dari balik kaca besar yang berembun malam ini. Aliran air mengalir turun membasahi kaca yang memisahkan Kakashi Hatake dari dunia malam yang sangat gemerlap oleh cahaya dan kebisingan kota. Ia berdiri di lantai ke 30 dari salah satu gedung pencakar langit yang tersohor di Tokyo. Hatake Chemical. Berdiri dengan begitu megahnya, namun sekaligus kesepian. Atau mungkin hanya Kakashi seorang yang merasakannya.

Sebagian lampu di setiap lantai gedung mulai padam, para pegawai berbondong-bondong mengeluarkan diri dari tempat terkutuk yang berjam-jam mereka diami. Kakashi memandang halaman luas di bawah sana, mengamati lautan manusia yang sebagian mengenakan payung berwarna-warni, tampak ingin segera merasakan kenikmatan sebuah kasur di rumah. Betapa lelahnya wajah mereka setelah berjam-jam menghadap layar komputer, menilik berkas yang sama setiap harinya, ataupun terkena air liur dari atasanmu yang marah pada sebuah kesalahan kecil.

Hujan semakin mereda, meninggalkan titik-titik air yang menempel di kaca raksasa gedung ini serta embun malam yang semakin dingin. Kakashi menatap refleksi dirinya sendiri di depan kaca yang penuh embun, hanya tampak samar. Pria jangkung, berambut putih platina, bermata hitam gelap, tubuhnya terbentuk dengan otot-otot yang kuat meski ia tampak sedikit bungkuk. Terpancar kewibawaan yang nyaris tertutupi oleh masker putih yang menutupi sebagian wajahnya. Kakashi menghela napas sekali lagi, lalu melonggarkan dasi navy miliknya yang sudah sangat kedodoran.

"Bisakah kau tidak melankolis seperti itu?" tanya sebuah suara tegas di belakangnya.

Kakashi memutar badannya, di hadapannya seseorang duduk tegak seorang paruh baya di belakang meja besar. Terdapat sebuha plakat nama bertuliskan 'Minato Namikaze - CEO Hatake Chemical' Dengan tulisan berlapis emas serta dua naga perak di kedua sisinya. Orang berambut pirang dan bermata biru jernih itu memainkan kursi putarnya dengan malas.

"Sampai kapan kau ingin menjadi bagian dari mereka?" tanya Minato sekali lagi.

Kakashi mengangkat sebelah alisnya. "Mereka? ah, maksudmu... orang awam?"

"Yeah," balas Minato, kilatan matanya berubah tajam tepat ke arah iris gelap Kakashi. "Kau tak bisa selamanya melarikan diri dari tanggung jawab dan menyerahkan semuanya padaku, kau tahu?"

Kakashi tersenyum di balik masker putihnya. "Bukankah seperti menang lotere bagimu untuk duduk di kursi itu? Aku sungguh tidak keberatan."

"Tentu saja aku senang, tak ada orang di luar sana yang menolak menjadi CEO yang kaya. Tapi kau, kau adalah bisul di pantat perusahaan ini."

Kakashi kini tertawa pelan sembari berjalan mendekati meja. "Mengapa kau pikir demikian?"

"Well, jika kau tidak ingin memiliki perusahaan ini, pergilah. Jadilah orang biasa seperti impian konyolmu. Tapi fakta bahwa kau masih menginjakkan kakimu di atas karpet ruangan ini menunjukkan betapa bingungnya kau saat ini, Kakashi. Demi Tuhan, ini sudah hampir dua tahun." Minato menggelengkan kepalanya pelan.

Kakashi terdiam agak lama. "Kau benar. Tapi aku belum siap, dan kau tahu itu."

"Kau sudah hampir 30 tahun, tidakkah kau bisa mengambil keputusan dewasa?"

Kakashi duduk di atas meja kerja Minato, mengelus pelakat nama CEO tersebut. "I wish."

Minato menghela napas panjang. "Aku tidak memiliki masalah dengan menjadi pemimpin Hatake Chemical, demi ayahmu dan kita adalah keluarga. Tapi ini bukan dirimu, Hatake Kakashi yang ku tahu adalah orang yang melakukan hal-hal hebat hingga perusahaan menjadi seperti ini. Kau ilmuwan yang hebat—"

"Oh, stop saying bullshit."

"I'm not bullshiting here, son. Just remind you of what you've done back then."

Kakashi menatap Minato dalam diam. "Kau tidak tahu apapun."

"Oh yeah, aku memang tidak tahu apapun. Tapi coba tebak, kau sendiri yang memperlihatkannya dengan masker di wajahmu."

Skakmat.

Kakashi menelan ludah, mendadak pipinya terasa gatal. Kakashi menggaruk sebelah wajahnya yang di tutupi oleh masker putih, lalu mengambil napas dalam-dalam. Ia tahu ia kalah.

Sisi bibirnya terangkat membentuk senyum di balik maskernya. "Apa yang kau inginkan?" tanya Kakashi pada akhirnya.

"Aku ingin kau sadarkan dirimu sendiri, Kakashi. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri atas kematian Sakumo, dan keluarlah dari persembunyiannmu di balik masker itu. Jangan takut akan apa yang orang lain pikirkan tentangmu—"

"Kau tahu bukan itu ketakutan terbesarku."

"Bukan? Lalu apa? Ketampananmu berkurang?" serang Minato sekali lagi.

Kakashi mendengus dengan senyumnya. Jeda agak lama sebelum akhirnya Kakashi membuka suara. "Aku takut akan menghancurkannya sekali lagi."

Hening sebentar. Kakashi merasa agak sesak ketika mengatakan pernyataan finalnya. Ya. Itu benar. Kakashi tidak ingin menghancurkan apapun saat ini, tidak lagi setelah ia menghancurkan hidup ayahnya sendiri. Atau secara tidak langsung kejadian itu menghancurkan hidupnya sendiri juga. Kecerobohan dan keegoisan masa mudanya tidak membawa Kakashi kemanapun selain pada kehancuran. Ia terlalu bodoh untuk mengetahui itu semua, dan ketika akal sehatnya mulai sadar... terlambat. Entah bagaimana untuk orang secerdas Kakashi, sepertinya ia selalu melakukan kebodohan. Seakan gelar PhD-nya hanyalah sebuah tulisan hitam di atas putih.

Suara AC berdengung pelan, menambah suasana dingin yang menyelimuti ruangan ini. Kakashi meluncur turun dari atas meja Minato, kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana. Ia melangkahkan kaki menjauhi meja utama ruangan itu, sambil menoleh pada Minato untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan ruangan. "Jangan terlalu memikirkanku, paman. Kusarankan agar menggunakan waktumu untuk mengawasi putramu saja, huh?"

Minato tampak ingin merosot dari kursi putarnya, dia menghela napas. "Oh percayalah kau masih jauh lebih mudah diatur dari pada Naruto."

Kakashi tertawa pelan mendengarnya. "Kalau begitu lebih baik aku pulang duluan," lanjutnya berpamitan di depan pintu.

"Tentu saja kau harus pulang dan melanjutkan riset konyolmu itu untuk obat baru kita. Pekerjaan apa lagi yang bisa di lakukan pengangguran?" sindir Minato.

"Hei, aku bukannyamenganggur. Kau katakan sendiri tadi, aku sedang melakukan riset, oke?"

Terdengar dengusan pelan dari mulut Minato. "Sampai kapan kau akan menjadi orang di balik layar, sebagai tangan pertama? Maksudku, akan jauh lebih mudah bagimu untuk duduk di kursi CEO saja."

"Dan menendangmu keluar dari perusahaan? Sepertinya menarik," balas Kakashi tertawa.

Minato memutar bola matanya. "Aku masih pemegang saham terbesar kedua di perusahaan ini, okay? Lagi pula sampai kapan kau akan terus tinggal di hotel? Kau tidak berani menginjakkan kakimu di rumahmu sendiri. Kau bisa tinggal bersamaku, kau tahu."

"I'm still working on it," sahutnya sembari tersenyum.

Minato menghela napas panjang, sepertinya ia mengakui kekalahannya atas betapa keras kepalanya Kakashi malam ini. "Baiklah. Tapi kumohon Kakashi... segeralah kembali ke perusahaan. Nama belakangmu berkerlap-kerlip pada tulisan di atas gedung ini. Dua tahun seharusnya lebih dari cukup bagimu untuk terus tenggelam dalam kegelapan."

Dadanya terasa agak sesak ketika mendengar ucapan paman angkatnya, karena kata-kata itu sangatlah benar. "Kau benar. Tapi aku belum menemukan alasan untuk keluar, sepertinya yang kubutuhkan adalah seseorang yang bisa menarikku keluar sebelum tenggelam lebih dalam."

Minato tersenyum yang terlihat sangat menyakinkan. "Maka kau akan segera menemukannya."

Tepat saat Kakashi akan melangkahkan kakinya keluar dari ruangan, ponsel di sakunya bergetar. Kakashi memeriksa sebuah pesan yang baru saja masuk.

Hei, sensei.

Maafkan aku, tapi aku tidak bisa mengantarkan dokumen yang kau minta hari ini. Ayahku baru saja meninggal dan pemakamannya diadakan besok. Sekali lagi maaf.

Neji Hyuuga.

TBC


What do you think guys? haha. Let me know for any possible comments.

Next chapter will be updated soon, insyaAllah :)