Disclaimer: Naruto dan Overlord bukan punya saya.
Peringatan: Sedikit AU, OCs, OOC-ness, Half-uchiha!Naruto, tidak ada kyuubi apalagi juubi; ada unsur Youjo Senki di sini, karena Naruto dan Konan serta semua player yang terteleportasi ke New World adalah ulah Being X.

[Redemption of the Sinners]

-Chapter 1-

Untuk pertama kali dalam beberapa minggu terakhir, Zesshi melangkahkan kakinya keluar dari ruang harta rahasia Slane Theocracy. Zesshi keluar bukan karena ada hal menarik di luar sana yang ingin ia lakukan, melainkan karena Raymond Zarg Lauransan—Cardinal of Earth—memintanya untuk pergi ke ruangannya kalau ia sudah lelah mengutak-atik rubik yang ditinggalkan oleh Six Great Gods. Harus ia akui, satu-satunya hal yang ia rasa tidak akan bisa ia kalahkan adalah rubik itu. Bagaimana caranya agar keenam sisi itu bisa diselesaikan? Sudah lebih dari seratus tahun Zesshi memainkan kubus berwarna-warni itu, namun sampai saat ini ia hanya bisa menyelesaikan dua buah sisi saja. Ia menyerah, setidaknya untuk hari ini.

Langkah kaki Zesshi cukup pelan, namun tak terasa ia sudah berdiri di depan ruangan Raymond. Jika orang lain, tentu mereka akan mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk dari sang empunya. Tetapi Zesshi bukan orang lain, ia adalah yang terkuat; ia tak perlu izin siapa pun masuk ke ruangan mana pun. Ah, tentu saja ia mendengarkan kata-kata para kardinal, jika tidak diizinkan masuk maka ia tidak masuk. Namun itu bukan karena ia takut, melainkan karena Zesshi menghargai jasa para kardinal dulu yang telah merawat dan membantunya menjadi sekuat ini. Jika ada hal yang ia benci dari kardinal yang dulu, itu adalah karena mereka telah memisahkannya dengan ibunya, dengan dalih agar ia bisa fokus meneruskan estafet ibunya, juga agar bisa membalaskan dendamnya dan ibunya pada anjing berkaki dua yang memimpin para elf.

Menjadi kuat dan menghabisi Elf King dengan kedua tangannya sendiri, kedua alasan itulah yang membuat Zesshi bisa sampai pada kondisinya kini.

"Apa yang ingin kau bicarakan, Raymond?" tanya Zesshi tanpa basa-basi begitu ia membuka pintu tanpa permisi.

"Zesshi, duduklah," ucap Raymond, ia sama sekali tidak masalah dengan sikap Zesshi.

Zesshi menyandarkan sabit bermata duanya di dinding, lalu berjalan dan kemudian duduk di kursi di depan meja kerja Raymond.

"Aku punya berita yang pasti akan menarik perhatianmu," ucap Raymond, senyum tipis terlukis di bibirnya.

"Ho…? Biarkan aku mendengarnya." Zesshi sedikit tertarik, hanya sedikit.

"Dua minggu yang lalu," Raymond bercerita, "sebuah bar berdiri di sudut kota suci kita ini. Itu bukanlah bar seperti yang ada di tempat-tempat penginapan, melainkan sebuah bangunan yang hanya dikhususkan sebagai bar. Berdasarkan laporan para prajurit, bar itu menyajikan berbagai macam jenis minuman yang tidak pernah kita tahu sebelumnya. Bahkan beer yang dijual di situ memiliki kualitas yang jauh lebih bagus daripada beer terbaik di sini. Tak hanya menjual minuman keras, bar itu juga menyediakan makanan yang disebut dengan 'ramen, makanan para dewa'. Namun, semua itu masih belum cukup untuk membuatku membelalakkan mata."

"Apa yang membuatmu membelalakkan mata?" tanya Zesshi dengan ekspresi yang kembali bosan. Ia tidak datang ke sini karena tertarik untuk mendengar inovasi-inovasi baru dari minuman keras, apa yang Raymond pikirkan dengan mengatakan itu padanya?

"Sake."

"…!" Zesshi, untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, tak bisa menahan dirinya untuk tidak terkejut. Sake, itu adalah minuman sakral yang Six Great Gods—terkecuali Shursana—ingin minum setidaknya sekali untuk terakhir kalinya. Keinginan yang hingga mereka gugur tak jua terpenuhi.

"Kau ingin mencobanya?" tanya Raymond sembari mengeluarkan sebotol sake dan dua gelas kecil. "Aku membeli dua gelas kecil dan sebotol sake ini dengan harga dua puluh koin emas." Raymond meletakkan satu gelas di depan Zesshi dan satu lagi di depannya, kemudian ia menung kedua gelas itu dengan sake. "Cobalah," saran Raymond lalu menyesap sake miliknya ke dalam mulut.

Melihat ekspresi melayang di wajah Raymond membuat Zesshi menelan ludahnya sendiri. Kemudian ia arahkan pandangannya pada sake di dalam gelas kecil di depannya. Tangan Zesshi sedikit gemetar, tetapi ia tetap memaksa tangannya untuk mengambil gelas kecil berisi minuman sakral itu. Perlahan-lahan Zesshi mendekatkan gelas kecil itu ke mulutnya.

Semakin dekat.

Semakin dekat.

…Dan mendaratlah bibir Zesshi pada bibir gelas, lalu dengan penuh kehati-hatian ia menuangkan sake ke dalam mulut mungilnya.

Kelopak mata Zesshi seketika melebar sempurna. Minuman ini… pastilah minuman para dewa! Zesshi menghabiskan isi gelas itu dengan cepat, tangannya sudah terulur ke depan meminta Raymond mengisinya kembali dengan sake.

"Bagaimana?" tanya Raymond seraya menuangkan sake ke dalam gelas yang disodorkan Zesshi padanya.

Zesshi tak tak menjawab secara verbal, ia kembali menikmati segelas sake dengan penuh penghayamatan, seolah-olah ia tak ingin gelas itu kembali kosong—aksinya itu sudah cukup dari lebih untuk menjawab pertanyaan Raymond. Tetapi, gelas itu tak lebih panjang dari jari kelingkingnya, isinya habis setelah tegukan ke tiga. Zesshi kembali menyodorkan gelas itu untuk diisi sake oleh Raymond, tetapi kini Raymond sudah menyimpan botol sakenya dari pandangan Zesshi.

"Ray, keluarkan sake itu!" perintah Zesshi.

"Maaf Zesshi, tetapi masih ada hal yang perlu kubicarakan; aku tak ingin kau mabuk sebelum aku selesai berbicara."

"Aku tidak bisa mabuk semudah itu, Ray!"

"Katakan itu pada pipimu yang memerah dan napasmu yang memberat."

"Cih," decih Zesshi, meletakkan gelas kecil itu di depan Raymond, yang langsung saja disimpan oleh sang kardinal.

"Kau pasti tertarik ingin tahu siapa gerangan yang telah menciptakan minuman yang disebuatkan oleh keenam dewa agung, bukan begitu?"

"Aku tidak tertarik kalau dia tidak kuat," respon Zesshi cepat.

Raymond sudah terbiasa mendengar jawaban Zesshi yang seperti itu, tetapi kali ini ia tidak dapat menahan dirinya dari tersenyum. "Menurut Thousand Leagues Astrologer, pemuda yang bernama Naruto itu lebih kuat dari Sylvin. Apa dia sekuat dirimu atau tidak itu masih belum bisa dipastikan, Thousand Leagues Astrologer mengatakan kalau sesuatu menekan kekuatan pemuda itu sehingga dia tidak bisa melihatnya secara menyeluruh."

Zesshi langsung berdiri dari kursinya begitu Raymond selesai berbicara. "Aku akan melihatnya sendiri," gumam Zesshi dengan seringaian maniak di bibir tipisnya, melangkah mengambil sabit bermata dua andalannya.

"Tunggu, Zesshi!"

"Ada apa lagi, Ray?" tanya Zesshi tak sabaran.

Raymond melempar sekantung koin kepada Zesshi, yang langsung ditangkapnya dengan mudah. "Sekembalinya kau dari sana, belikan aku dua botol sake lagi. Ah, kalau kau ingin mengajaknya bertarung, lakukan itu di luar kota."

Zesshi memandang Raymond dengan wajah serius. "Tak biasanya kau mengizinkanku bertarung, biasanya kau selalu memaksaku untuk tidak bertarung. Yah, aku tidak peduli, itu justru bagus untukku. Siapa tahu kalau pemuda bernama Naruto itu adalah lelaki yang akhirnya dapat memenuhi hasratku?"

Raymond hanya diam melihat Zesshi yang sudah melangkah pergi. "Tak biasa, huh?" Raymond menengadahkan wajahnya memandang langit-langit. Pikirannya mulai berkelana, pada dua minggu yang lalu tatkala berada di luar Kami Miyako bersama dengan Black Scripture. Siapa sangka hari di mana ia melihat pilar harapan manusia itu dikalahkan dalam sekejap tanpa mereka menyadari kalau mereka telah diserang itu akan datang?

Raymond menghela napas lelah. Meskipun ia masih berumur 46 tahun, rasanya ia sudah setua rekan-rekannya sesama kardinal. Raymond kembali menghela napas. "Aku tidak punya pilihan lain," gumamnya pasrah. "Tetapi, aku sungguh berharap Zesshi menolak ajakannya dan tetap setia pada keenam dewa agung… meskipun kemungkinan hal itu terjadi sama dengan kemungkinan Slane Theocracy hidup beriringan dengan demi-human."

()—

Empat orang wanita Elf dalam balutan pakaian pelayan dengan tekun membersihkan dan menata meja-meja dan kursi-kursi di dalam bangunan satu lantai yang setengahnya difungsikan sebagai bar. Namun, tempat ini tidak hanya menjual berbagai aneka minuman keras, terdapat makanan pengisi perut dan cemilan manis di sini (ramen dan dango). Keempat Elf itu bekerja dengan cekatan dan sukacita. Meski para Elf yang ada di Kami Miyako ini semuanya adalah budak, keempat wanita itu merasa cukup bahagia karena dibeli oleh pemilik bangunan ini. Bukan saja mereka diperlakukan sebagai individu, mereka juga dibayar atas kerja mereka di sini. 20 koin perak per hari per orang; waktu kerja dimulai dari pukul sebelas pagi sampai pukul sebelas malam, tidak seperti tempat lain yang buka sepanjang malam, bahkan rata-rata kebanyakan buka selama 24 jam.

"Aku dengar kemarin ada enam elf, satu pria dan dua anak-anak serta tiga lainnya wanita, yang dibeli oleh seorang pedagang dari Kekaisaran," ucap salah seorang dari mereka, menyita perhatian para elf lainnya.

"Benarkah?" tanya seorang yang lain.

"Benar. Aku mendengarnya dari pembicaraan penjualnya langsung kemarin."

"Kalau begitu," timpal seorang elf yang lainnya lagi, "aku sungguh berharap pedagang itu akan menjual mereka kepada pembeli yang baik hati seperti Naruto-sama."

"Harapanmu sungguh kosong," sela seorang elf yang paling muda dari mereka. "Hanya Naruto-sama satu-satunya manusia yang tidak memandang para elf dengan hina. Hanya Naruto-sama satu-satunya yang akan memperlakukan budak sebagaimana orang merdeka. Seluruh manusia selain Naruto-sama, mereka semua busuk."

Ketiga elf tadi serentak mengalihkan wajah mereka memandang elf termuda di antara mereka berempat. Helen, itu nama elf termuda di antara mereka. Usianya baru menginjak 97 tahun. Gadis itu diselamatkan oleh majikan mereka saat hendak diperkosa oleh seorang prajurit yang membelinya dengan harga hanya sepuluh koin emas. Majikan mereka melemparkan sekantong koin, yang isinya terdiri dari ratusan koin emas, untuk menebus Helen. Prajurit itu setuju seketika, lalu tuan mereka itu membawa Helen ke tempat ini.

"Tentu saja, Helen," respon ketiga elf itu bersamaan, "tak ada yang sebaik Naruto-sama. Tetapi, masih ada manusia lainnya yang tidak busuk."

Helen hanya meng-hmph dan meneruskan pekerjaannya. Percuma berargumen dengan ketiga rekannya, mereka bodoh, tidak bisa melihat kenyataan dengan mata jernih sepertinya. Selain itu, mereka tidak punya talent. Sementara, ia memiliki talent, matanya dapat melihat kebenaran. Tidak seperti ketiga elf itu yang tidak tahu apa-apa mengenai majikan mereka, Helen tahu, ia sangat tahu.Ia dapat melihat kekuatan menakjubkan dari dalam diri majikannya, pahlawannya, dewanya. Kekuatan itu tidak seperti yang dimiliki oleh para manusia lainnya; kekuatan itu hanya ada pada tuannya seorang. Kekuatan biru gelap namun menghangatkan itu… Helen selalu merasa damai saat memanjakan matanya dengan energi yang senantiasa mengalir di tubuh tuannya. Mereka bertiga tidak akan mengerti dengan ucapannya, tidak ada gunanya berargumen dengan mereka.

Setelah menyelesaikan bagiannya di depan, Helen langsung beranjak ke belakang. Ia benci manusia, tidak mungkin ia akan mau beramah-tamah dan tersenyum pada mereka. Karenanya, ia memilih bekerja di dapur membantu tuannya menyiapkan makanan. Selain itu, Helen merasa tempatnya adalah di samping tuannya. Meskipun tuannya tidak menganggapnya sebagai budak, Helen tetap bersikukuh kalau dirinya adalah milik tuannya.

"Naruto-sama, saya sudah menyelesaikan bagian saya di depan, izinkan saya memulai membantu Anda."

Naruto berhenti membuat kuah ramen dan memandang pekerjanya. Helen, gadis elf yang sepuluh centi lebih pendek dari Konan itu memandangnya seolah-olah ia adalah dewa. Jika ia masih berada di Elemental Nations dan masih memasang topeng dewa, tentu ia akan sangat mengapresiasi elf berambut pirang sebahu dengan poni rata sealis itu. Tetapi ia tidak lagi berada di sana, pun ia sudah berhenti memposisikan dirinya sebagai dewa. Karenanya, melihat seseorang memandangnya dengan pandangan seperti itu rasanya sungguh menggelikan.

"Ya, mohon bantuannya, Helen," respon Naruto, senyum tipis terukir jelas di bibirnya.

Helen mengangguk dengan pipi sedikit bersemu, lalu melaksanakan tugasnya menyiapkan ramen dan pelengkapnya.

Naruto mengembalikan pandangannya pada kuah ramen yang dimasaknya. Sejujurnya, seumur-umur hidupnya, ia tidak pernah membayangkan dirinya akan membuka kedai ramen dan minuman keras. Namun sekarang… ah, rasanya ia ingin tertawa. Tapi apa boleh buat, di dunia ini tidak ada yang menjual ramen atau pun sake. Ia tidak tahu dengan belahan benua lain, tetapi di pinggir benua ini, kedua hal itu tidak ada. Namun itu bukan berarti Naruto membuka kedai sekaligus bar ini karena alasan itu semata; total ada empat alasan mengapa ia berada di kota ini dalam dua minggu terakhir. Pertama, Naruto ingin membebaskan elf sebanyak mungkin dari perbudakan dengan membelinya lalu memerdekakan mereka. Kedua, mencaritahu seberapa fanatiknya para penduduk Slane Theocracy. Ketiga, terdapat ruang bawah tanah sebagai tempat pertemuan rutin anggota Akatsuki. Terakhir, tentu saja alasan utamanya ia menampakkan diri di depan Raymond: merekrut Zesshi Zetsumei ke dalam Akatsuki.

Sekitar setengah jam kemudian, semua persiapan telah selesai dilakukan. Naruto meminta ketiga elf yang bertugas melayani pelanggan untuk membuka kedai sekaligus bar ini. Sedang dirinya berdiri dalam balutan seragam bartendernya di tempat khusus bartender. Sementara, Helen bertugas untuk menyiapkan ramen dan dango jika ada yang memesan. Gadis elf itu berada di belakang tempat kerja bartender, terdapat ruang kosong berbentuk persegi di dinding yang memisahkan kedua ruang itu.

Seorang wanita yang rambut dan matanya heterokromia—perak sebelah kanan dan hitam sebelah kiri—yang satu atau dua centi lebih pendek dari Helen datang memasuki kedai sesaat setelah pintu dibuka. Gadis itu memiliki wajah cantik dengan kulit yang putih pucat, kedua tangannya ditutupi oleh sarung tangan hitam. Dia memakai sweater tanpa tudung berwarna kuing krem, sepasang legging hitam membungkus kaki lentiknya. Gadis itu tak masuk sendiri, dia ditemani oleh sebuah sabit bermata dua yang tersemat erat di tangan kirinya.

"Ah, Nona Zesshi Zetsumei, selamat datang di tempat kami," sapa Naruto tatkala Zesshi mendudukkan diri di kursi di depannya berdiri, senyum hangat terlukis di bibir lelaki berambut pirang acak sebahu yang jambangnya membingkai wajah berkulit putih gelap itu.

Jika Zesshi terkejut mengetahui lelaki beriris hitam kelam itu mengetahui namanya, ia sama sekali tidak menunjukkannya. "Sake satu gelas, makanan yang bernama dango itu lima tusuk," ucap gadis itu, iris heterokromia-nya terpusat pada iris hitam Naruto.

"Baik, silakan ditunggu."

Naruto berbalik, meminta Helen menyiapkan lima tusuk dango, lalu ia menuangkan sake ke dalam gelas kecil. Naruto meletakkan gelas itu di depan Zesshi, lalu mengambil piring kecil berisi dango yang disodorkan Helen dan meletakkannya lagi di depan Zesshi. "Silakan dinikmati," ucap Naruto, senyum ramah menyertai ucapannya.

Zesshi meraih satu tusuk dango yang terdiri atas tiga butir dango. Ia membawanya ke mulut, lalu melahap satu butir dango dengan pelan. Naruto menyaksikan ekspresi bahagia di wajah Zesshi, tampaknya dia telah jatuh cinta pada makanan manis itu. Zesshi sama sekali belum menyentuh sake, dia baru meneguk minuman fermentasi air beras itu setelah dango-nya habis dia makan.

"Sepertinya toleransi tubuhmu terhadap alkohol sangat rendah, Nona Zetsumei," komentar Naruto, senyum terhibur menghiasi bibirnya.

Zesshi meletakkan gelas kecil yang sudah kosong itu di meja, lalu mengambil sabitnya dan mengarahkannya ke depan Naruto. "Ayo pergi ke luar benteng kota, bartender."

"1 koin emas, lima koin perak," respon Naruto, tak sedikit pun ia merasa terancam dengan sabit bermata dua itu.

Zesshi mengerjapkan matanya, lalu menurunkan sabit dan mengeluarkan satu koin emas dan lima koin perak. Naruto menerima koin itu dan memasukkannya ke laci. "Ikut aku," ucap Naruto lalu melangkah ke belakang. Zesshi sedikit memiringkan kepalanya bingung, namun ia tetap mengikuti pemuda yang membuat darah bertarungnya mendidih hanya dengan berada di dekatnya itu.

Zesshi mendapati dirinya mengikuti pemilik kedai sekaligus bar ini menuruni tangga ke ruang bawah tanah. Dia berhenti tepat di depan pintu besar yang terbuat dari kayu berkualitas tinggi. Lelaki itu berbalik. "Aku sudah menunggu di dalam, masuklah, Zesshi Zetsumei."

Zesshi mengernyitkan keningnya. "Apa maksudmu dengan 'aku sudah menunggumu di dalam'? Saat ini kau jelas-jelas ada di sini."

Naruto hanya tersenyum simpul dan mendorong pintu kayu itu. "Aku ini duplikat, yang asli adalah yang sedang duduk di atas singgasana itu." Naruto, atau yang lebih tepat klonnya, lekas pergi dari situ tanpa menunggu respon Zesshi. Ia adalah klon, tugasnya adalah mengelola tempat ini sampai klon yang lain menemukan orang yang tepat untuk mengelola tempat ini.

Seperti yang duplikat itu bilang, Zesshi dapat melihat seorang pria yang persis seperti pria tadi duduk di atas singgasana di ujung ruangan yang hanya diterangi oleh lilin-lilin yang tergantung di dinding-dinding. Berbeda dengan duplikat itu yang irisnya hitam, iris lelaki yang duduk di singgasana itu berwarna merah darah—dengan tiga tomoe di masing-masing irisnya. Dia mengenakan jubah hitam dengan pola awan merah, Zesshi dapat melihat kalau kuku-kuku jarinya dicat dengan warna merah semerah irisnya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Zesshi merasa ragu untuk meneruskan hasratnya. Bahkan, pelipisnya telah basah dipenuhi keringat dingin. Apa sebaiknya ia berbalik dan meninggalkan tempat ini? Tidak, jelas tidak! Aku bukan pengecut!

"Zesshi Zetsumei, masuk. Aku sudah menunggu kedatanganmu; Raymond telah melakukan hal yang benar."

Ray melakukan hal yang benar? Apa maksudnya? Apa sebenarnya Raymond tahu sekuat apa lelaki bermata merah itu, lalu memancingnya untuk datang ke sini sehingga ia bisa disingkirkan? Tidak, Ray tidak seperti itu. Meski yang lainnya menganggapku sebagai senjata, Ray dan Sylvin menganggapku sebagai rekan… Ray, dia tak mungkin melakukan sesuatu tanpa alasan yang logis.

"Tidak perlu takut, aku tidak berniat membunuhmu."

Takut… takut katanya? Aku, Zesshi Zetsumei… takut?! Tidak mungkin, tidak mungkin, itu jelas sekali tidak mungkin. Ia memang ragu untuk masuk, tetapi ia sama sekali tidak takut. Zesshi mengeratkan genggamannya pada gagang sabitnya, lalu melangkah ke dalam. Pintu kayu itu langsung tertutup dengan sendirinya tepat setelah ia masuk.

"Tidak perlu takut, katamu?" Langkah kaki Zesshi yang mulanya pelan, berubah menjadi cepat, lalu ia berlari menerjang ke arah lelaki itu duduk. "Akan kutunjukkan seberapa takut-nya diriku!" teriak Zesshi lalu melompat dengan sabit terayun siap memisahkan kepala lelaki arogan itu dari tubuhnya.

Jrasssssh!

Gelebuk. Kepala itu jatuh, berguling dengan darah berceceran. Zesshi terdiam, bingung tidak mengerti. "Apa yang terjadi…?" tanyanya sembari melangkah mundur. "Tidak mungkin… tidak mungkin dia mati semudah itu…?"

"Memang tidak mungkin."

Mata Zesshi membelalak mendengar suara itu, relfeks ia mengedarkan pandangannya mencari sumber suara. "Tidak mungkin…!" syok Zesshi melihat lelaki itu masih duduk di singgasananya dengan mata tertuju pada dirinya. Ia menurunkan pandangannya, mencari keberadaan kepala yang sebelumnya telah ia potong. Tetapi, ia justru dibuat terkejut dengan apa yang ia lihat: ia masih berada di depan pintu, selangkah pun belum memasuki ruangan.

Apa yang terjadi…? Apa tadi itu hanya halusinasinya saja?

Zesshi menggemeletukkan gigi-giginya lalu melangkah memasuki ruangan yang hanya bercahayakan lilin itu. "Greater Strength, Speed Booster, Triple Acceleration, Increase Perception." Zesshi langsung melesat dengan kecepatan tinggi yang tak mungkin bisa diikuti oleh mata yang tak terlatih, sabit mengayun tinggi berniat membelah lelaki itu beserta singgasananya.

Trang! Lelaki itu menahan ayunan sabitnya dengan sebuah besi hitam, lalu berdiri dan menendang Zesshi dengan kaki kirinya yang membuat Zesshi terlempar ke kanan. Zesshi bersalto di udara menghilangkan momentum tendangan pria berusia delapan belas tahunan itu, lalu mendarat dengan mulus. "Ultimate Strength, Ultimate Speed, Ultimate Perception," gumam Zesshi lalu kembali melesat menerjang pria yang memandangnya datar itu.

Zesshi mengayunkan sabitnya secara diagonal dari atas ke bawah, tetapi dapat diblok dengan besi hitam. Namun, tidak seperti tadi, besi hitam itu langsung patah akibat kuatnya ayunan sabit Zesshi yang telah diperkuat Ultimate Strength dan Ultimate Speed. Zesshi memanfaatkan hal itu untuk memutar tubuhnya lalu mendaratkan tendangannya ke sisi kiri kepala lelaki itu, yang hanya dia tahan dengan tangan kirinya.

Dhuak! Buum! Lelaki itu terpental hingga menghantam dinding.

"Kupikir kau sangat kuat hingga bisa membuatku ragu untuk masuk, ternyata tak lebih kuat dariku." Meskipun ia berkata seperti itu, Zesshi sedang sangat berhati-hati. Ini adalah yang pertama selama beberapa dekade terakhir ia menggunakan martial art ultimate-nya. Meskipun ia punya belasan, tetapi Zesshi hanya bisa menggunakan sepuluh secara bersamaan, itu pun sudah cukup menguras staminanya.

"Seperti yang diharapkan dari seorang Zesshi Zetsumei," ucap pria tersebut seraya membersihkan debu dari jubahnya.

Seperti yang kuduga, dia tidak terluka sedikit pun. "Hmph," dengus Zesshi, kembali bersiap-siap menyerang.

"Tetapi," lanjut pria berambut pirang yang di masing-masing pipinya tedapat tiga garis tipis yang samar, barangkali tanda lahirnya. "Aku tidak berniat bertarung denganmu; aku hanya ingin berbicara dan mengajakmu bergabung dengan organisasiku. Namun, jika kau bersikeras, aku tak keberatan untuk meladenimu. Hanya saja, jika kau kalah, kau harus menerima tawaranku. Bagaimana, Zesshi Zetsumei?"

"Berani sekali kau berkata sombong di hadapanku?!" Zesshi mengeratkan genggamannya pada gagang sabitnya lalu berlari ke arah pria berjubah hitam itu seraya berbisik, "Hidden Art: Claim the Soul." Aura hitam seketika menguar menyelubungi Zesshi dan sabitnya. Ini adalah teknik yang ia kembangkan untuk meningkatkan efektivitasnya dalam menggunakan kemampuan khusus Soul Eater—nama sabitnya Zesshi.

Ayunan sabit bermata dua Zesshi melesat tajam siap memotong musuhnya menjadi dua, sementara aura hitam yang membungkusnya siap merebut serpihan-serpihan jiwa yang terpotong oleh sabitnya. Tetapi, aura biru gelap tiba-tiba menyelimuti tubuh pemuda itu, lalu sejurus kemudian tulang-belulang terbentuk dari aura biru itu membentuk skeleton besar. Trang! Sabit Zesshi membentur tulang dada yang melindungi lawannya. Pria itu sedikit tergeser ke belakang, tetapi sabitnya gagal meremukkan tulang-tulang biru gelap itu.

Merasakan bahaya, Zesshi langsung melesat mundur. Buam! Pukulan tangan kerangka manusia itu menghantam lantai tempatnya berdiri tadi, membuat retakan yang cukup besar di sana. Aku tidak punya pilihan lain, batin Zesshi, aura hitam yang menguar di tubuhnya menghilang. "Ultimate Booster, Ultimate Acceleration, Ultimate Protection, Strength of Nature, Hidden Art: Thousand Scythe of God!"

Bersamaan dengan Zesshi mengaktifkan martial art-nya, kerangka biru gelap itu tiba-tiba ditutupi oleh jaringan, membentuk otot, lalu diselubungi oleh oleh energi yang berperan sebagai baju, kemudian ditutupi oleh armor layaknya kesatria dalam balutan zirahnya. Benda raksasa itu sekarang telah memiliki empat tangan, satu memegang tameng sedang tiga lagi kosong.

Zesshi langsung melesat dengan sabit terayun cepat dari kanan ke kiri. Dengan teknik rahasia Thousand Scythe of God, satu ayunan sabit dapat menghasilkan tenaga dengan seribu ayunan. Jika ia mengaktifkan semua martial art ultimate-nya saat menggunakan teknik itu, meskipn belum pernah mencobanya, Zesshi yakin ia akan mampu membelah gunung. Itu adalah serangan terkuatnya, kartu andalannya. Tetapi, jika ia menggunakan semua itu, ia ragu kalau tubuhnya masih sanggup untuk bertarung. Karena itu, Zesshi mengharuskan dirinya untuk hanya menggunakan teknik itu bersamaan dengan maksimal sembilan martial art ultimate-nya.

Sayatan-sayatan yang Zesshi lancarkan semuanya diblok oleh tameng segilima itu, tetapi tak sempurna. Meski pelan dan sedikit, Zesshi dapat melihat kalau tameng itu retak dan jika ia meneruskan usahanya maka tameng itu akan hancur. "Ultimate Herculean Strength," bisik Zesshi. Pyaaar! Tameng segilima itu seketika hancur berkeping-keping. Tetapi, bersamaan dengan itu sebuah tangan biru gelap menunju ke arahnya. Terbawa momentum, Zesshi tak bisa melakukan apa-api selain menggunakan tangan kirinya melindungi wajahnya.

Buam! Zesshi terlempar hingga menghantam dinding.

"Arghhh, sialan!" serapah Zesshi lalu meludahkan darah yang memenuhi mulutnya ke tanah. "Urghhh," keluhnya merasakan rasa sakit di punggung dan tangan kirinya yang ia yakin kalau tulang di dalamnya retak. "Brengsek, akan kupatahkan tulang-tula—"

"Banshou Ten'in."

Wusssh! Tubuh Zesshi tiba-tiba tertarik ke arah armor besar itu. Zesshi berusaha mati-matian untuk meraih sabitnya, tetapi tarikan itu lebih kuat dan dalam sekejap ia sudah berhadap-hadapan dengan tangan biru raksasa itu yang langsung saja mencengkram tubuhnya dengan mudah. "Lepaskan aku, bangsat!" teriak Zesshi, panik, meronta-ronta.

"Kau kalah, seperti perjanjian tadi, kau akan bergabung dengan Akatsuki… tetapi, aku berubah pikiran…."

Zesshi memandang ngeri mata berpola riak air itu. "A-Aku menye—argghhh!" Jeritan kesakitan memaksa keluar dari mulut Zesshi. Bunyi tulang-tulang remuk terdengar. Darah segar mengalir keluar dari mulut, hidung, telinga, hingga kedua mata Zesshi. Ia mulai kesulitan bernapas, mulutnya mangap-mangap menarik udara masuk, tetapi justru darah yang keluar dalam jumlah yang lebih banyak. Pandangan Zesshi menggelap, rasa sakit di tubuhnya sudah tak terkira. Ia akan mati, Zesshi seakan melihat pintu kematian yang siap menariknya masuk. Aku tak mau mati! Aku tak mau mati! Seseorang, enam dewa agung, siapa pun… AKU TAK INGIN MATI!

"Hah!" Mata Zesshi terbelalak, napasnya menderu berat, keringat memenuhi wajahnya. "…Aku… masih hidup…?" Zesshi mengedarkan pandangannya memandang sekeliling. Seketika mulutnya menganga, ia masih berada di luar pintu ruangan. "Ti-Tidak mungkin…." Genggaman tangan Zesshi melemah, sabit kebanggannya jatuh menghantam tanah. Zesshi melangkah mundur, rasa panik dan takut memenuhi wajahnya. "Tidak mungkin… ini tidak mungkin, ini tidak mungkin!"

Apa aku sudah berlebihan? Naruto turun dari singgasana yang ia duduki dan melangkah pelan menuju Zesshi yang tubuhnya sudah bersandar di dinding dengan mimik bingung, takut, dan panik di wajah cantiknya.

"Namaku Naruto Uzumaki," ucap Naruto ketika kakinya berhenti beberapa langkah di depan Zesshi. "Aku pemimpin Akatsuki. Kami bertujuan untuk membawa kedamaian ke dalam dunia ini. Bukan hanya untuk manusia, melainkan untuk elf, vampire, dwarf, demi-human, dan semua makhluk berakal lainnya. Zesshi Zetsumei, kami mengundangmu untuk bergabung dengan Akatsuki. Jika kau membantu Akatsuki mewujudkan tujuannya, Akatsuki akan membantumu mewujudkan tujuanmu. Biarkan aku mendengar jawabanmu."

"A-Apa yang terjadi barusan, bagaimana aku bisa hidup…?"

"Ilusi," jawab Naruto.

"Ilusi?"

"Aku menunjukkan ilusi tentang apa yang akan terjadi jika kau memenuhi hasratmu untuk mengajakku bertarung."

"Hal itu… ilusi, huh?"

"Aku sama sekali tidak punya niat untuk menyakitimu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku ingin mengundangmu bergabung dengan Akatsuki." Naruto menampilkan senyum kecil di bibirnya. "Aku sudah membuat perjanjian dengan Raymond. Akatsuki tidak akan memainkan tangannya di Slane Theocracy (setidaknya tidak untuk jangka waktu yang dekat), sebagai gantinya aku memintanya membiarkanmu pergi. Tentu saja, aku tidak akan memaksamu bergabung jika tak ingin, kau boleh kembali ke tempatmu jika kau lebih menyukai tinggal di Slane Theocracy. Tetapi, harus kau ketahui bahwa kami akan mengembalikan kedamaian kepada Elf Kingdom setelah prioritas pertama kami terpenuhi. Orang yang telah memperkosa ibumu, kami akan membunuhnya, lalu memilih elf yang lain sebagai raja. Keberadaan Elf King adalah ancaman bagi kedamaian, dia harus segera disingkirkan. Bukankah itu kenginanmu, membunuhnya?"

Ekspresi Zesshi berubah seketika, wajahnya diselimuti kebencian yang mendalam. "Aku yang akan membunuh bajingan tengik itu!" desisnya.

"Artinya kau menerima untuk bergabung dengan Akatsuki?"

Ekspresi Zesshi kembali berubah, kali ini dia tersenyum secara sensual. "Kau mengatakan Akatsuki akan membantuki memenuhi tujuanku, bukan begitu?"

Naruto mengangguk, ia merasakan hal buruk akan keluar dari mulut half-elf itu.

"Aku dari dulu menginginkan anak dari lelaki yang kuat. Tidak peduli rupanya seperti apa, bahkan jika dia bertubuh besar berwajah busuk pun tak mengapa, yang penting kuat. Tetapi, aku belum pernah menemukan lelaki yang kuinginkan itu, setidaknya sampai hari ini." Zesshi menjilati bibirnya dengan sensual. "Beri aku anak, aku akan bergabung dengan Akatsuki."

Mata Naruto mengerjap. Dari apa yang ia pikirkan, itu tak pernah masuk nominasi. Raymond sudah mengatakan kalau Zesshi itu "berbeda", tetapi… ia sungguh tidak pernah membayangkan akan menerima kata "beri aku anak".

"Tidak perlu khawatir," ucap Zesshi dengan tangan terlipat di dada. "Meskipun aku sudah berusia 267 tahun, aku ini masih perawan. Kalau kau tidak percaya, aku bisa menunjukkannya padamu saat ini juga."

"T-Tidak perlu!" seru Naruto, menghentikan Zesshi dari membuka bajunya.

"Oh, kau setuju?"

Naruto menghela napas lelah. "Zesshi, membuat anak itu… kau harus melakukannya dengan orang yang kau cintai."

"Tidak masalah," respon Zesshi, berdiri berhadap-hadapan dengan Naruto, kemudian menggenggam tangan kanan Naruto dengan kedua tangannya. "Saat ini aku sudah jatuh cinta padamu, Na-ru-to-kun~" ucapnya dengan nada sensual, sambil menggesek-gesekkan tangan Naruto pada pipi kirinya.

"Ze-Zesshi, aku baru saja bertemu denganmu, tak mungkin aku langsung mencintaimu."

"Tidak masalah, cintaku sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan cinta kita berdua."

Naruto terdiam, keringat dingin memenuhi pelipisnya, tulangnya menggigil tatkala Zesshi mulai menjilati tangannya dengan wajah erotis.

Konan… di mana pun kau berada, tolong selamatkan aku!

Re-Estize, Re-Estize Kingdom

Seorang wanita berambut biru pendek dalam balutan jubah hitam berpola awan merah berdiri sendiri di atas sebuah cabang pohon. Iris kuning kecoklatannya memandang datar seorang wanita bertubuh mungil dengan topeng putih bercorak yang menutupi wajahnya. Wanita tersebut sudah hampir setengah jam berdiri di situ, menunggu sampai objek pandangannya berpisah dengan rekan-rekannya. Wanita berambut biru tersebut menunggu dengan sabar. Penantiannya akhirnya membuahkan hasil sekitar belasan menit kemudian.

Tubuh wanita berambut biru itu berhamburan menjadi lembaran kertas, yang kemudian membentuk ratusan kupu-kupu yang terbang indah mengikuti wanita bertopeng yang tadi diamatinya.

Ratusan kupu-kupu itu berkumpul belasan langkah di depan wanita berambut pirang bertopeng, membuat wanita tersebut langsung memasang posisi siaga.

Kupu-kupu tersebut mulai menyatu dengan satu sama lain, yang kemudian kembali membentuk tubuh seorang wanita berambut biru dalam balutan jubah hitam bercorak awan merahnya.

"Keeno Fasris Inberun," ucap wanita berambut biru dengan suara datarnya. "Kami dari Akatsuki, organisasi yang bertujuan membawa kedamaian ke dalam dunia ini, telah mendengar banyak hal tentangmu. Pun kami telah melihat tindak-tandukmu dalam sebulan ini. Oleh sebab itu, aku datang di hadapanmu mewakili Akatsuki dengan tujuan mengundangmu bergabung ke dalam organisasi. Tidakkah kau menginginkan dunia di mana keberadaanmu bisa diterima tanpa harus bersembunyi di balik topeng?"

Di balik topengnya, kelopak mata Keeno melebar sempurna dengan muka penuh keterkejutan. Hari di mana seseorang yang asing muncul di hadapannya dan memanggilnya dengan nama aslinya… Keeno tidak pernah membayangkannya. Bagaimana dia bisa tahu tentangnya? Lalu Akatsuki, ia sama sekali tidak pernah mendengarkan nama itu semasa hidupnya. Tetapi… membawa kedamaian ke dalam dunia ini… keberadaannya diterima tanpa harus bersembunyi di balik topeng….

Jujur saja, Keeno sedikit tergiur dengan tawaran itu. Namun demikian, ia tidak boleh gegabah. Wanita yang berdiri di hadapannya jelas sekali manusia, bagaimana kalau kata-kata manisnya itu hanyalah kebohongan dan tujuan mereka sebenarnya adalah menggunakannya sebagai objek eksperimen. Apa coba yang diinginkan manusia dari seorang vampire, selain menjadikan mereka sebagai bahan eksperimen?

Keeno mengobservasi wanita yang masih memandang datar dirinya. Manusia itu, dia… kuat sangat kuat. Bagaimana bisa ada manusia yang bisa sekuat itu? Meskipun vampire tidak berkeringat, Keeno merasa seperti berkeringat dingin. Peluangnya menang melawan wanita itu tak sampai dua puluh persen, apa ia harus pergi dari sini? Tetapi jika ia pergi, bagaiman kalau wanita itu menyebarkan fakta kalau ia adalah vampire.

"Kau tidak perlu menjawab hari ini. Tiga hari lagi, di waktu ini, aku akan datang lagi ke sini. Biarkan aku mendengar jawabanmu pada saat itu. Pertimbangkan hal ini: jika kau membantu Akatsuki mewujudkan tujuannya, Akatsuki akan membantumu mewujudkan apa pun tujuanmu."

"Tunggu!" teriak Keeno saat melihat separuh tubuh wanita itu sudah berubah menjadi lembaran kertas. "Dari mana kau tahu tentangku, aku yakin identitasku sangat tersembunyi."

"Rigrit." Dengan itu, wanita tersebut melebur sempurna menjadi lembaran kertas. Kertas itu melipat dirinya sendiri menjadi kupu-kupu, kemudian terbang tinggi ke langit malam. Meskipun apa yang dilihatnya mempesona mata, Keeno sama sekali tidak fokus pada kupu-kupu kertas yang semakin tak tampak.

"Rigrit," gumam Keeno, ketakutannya tadi menghilang sepenuhnya. "Kalau wanita tua itu memberitahunya tentangku, artinya apa yang dikatakannya tadi adalah kejujuran…."

Membawa kedamaian ke dalam dunia ini; membuat dunia di mana vampire sepertinya dapat hidup bebas tanpa perlu bersembunyi di balik topeng… betapa tujuan yang mulia, dan terkesan agak naïf. Demi-human memakan manusia, vampire meminum darah manusia, manusia memusuhi selain diri mereka… dunia ini terlalu majemuk untuk disatukan. Apa manusia yang telah kehilangan sanak keluarganya ke dalam perut demi-human, akan menerima demi-human sebagai tetangga mereka? Apa vampire yang lain, bisa hidup berdampingan dengan manusia tanpa berpikiran untuk meminum darah mereka? Akatsuki, betapa mustahilnya tujuan mereka itu.

…Tetapi, jauh di dalam dirinya, Keeno ingin melihat dunia yang seperti itu terwujud.

"Bisakah dunia seperti itu terwujud?" tanya Keeno pada langit malam.

Dunia di mana setiap orang dapat hidup dengan damai, dunia di mana tidak ada peperangan dan pertumpahan darah, dunia di mana setiap makhluk saling bahu membahu menata dunia yang teratur, bisakah dunia yang seperti itu diwujudkan?

.—

Catatan: New World punya sistem yang erat kaitannya dengan Yggdrasil, semua yang berada di New World otomatis diberlakukan aturan itu. Hal itu tak terkecuali pada Naruto dan Konan, mereka tunduk pada atuan New World. Karena itu, mereka tidak bisa melindungi diri dari World Item tanpa memiliki World Item.

Hai, kalau tertarik, boleh baca cerita fantasi/action/petualangan original saya di NovelToon, judulnya "Against the World", atau cari saja nama penulis "Near". Bacanya gratis, nggak bayar. Silakan dicoba, mana tahu suka.