"Oi, bodoh."

Gintoki menarik napas, lalu mengempasnya lembut. Ia nihil selera untuk membalas hinaan itu. Alih-alih, si surai perak merengut kesal, lalu berujar kasar, "Apa?"

Hijikata Toshiro paham bahwa lelaki di hadapannya memanglah hanya memiliki satu sel dalam otaknya, namun, tetap saja–rasanya memang sulit untuk sabar, apalagi perihal ini. "Tidak usah merajuk padaku, oke? Ini permintaan anak-anakmu, jadi, kau duduk diam saja, sana."

Gintoki membiarkan pelupuk itu turun membalut iris sekental darah. Futon memang terasa nyaman dan punggungnya telah terlalu lama bersua dengan alas lembut itu. Tapi, resah tak lesap dari relungnya dan ia tak bisa berhenti berpikir akan–

"Kau khawatir? Telan saja, kota ini tidak selemah itu."

–keselamatan kota ini. Bagaimana disuruh tenang? Setelah berbagai hal, zaman berganti, amanto perlahan jinak, namun, selalu, selalu saja–ada hal yang merisak. Ia yakin bagian lain dari Kabukicho tengah rusuh dan sarat akan keributan yang tremornya seolah meruntuhkan angkasa.

"Patsuan dan Kagura bersama siapa?" Gintoki bertanya, di antara suara seraknya yang diseret udara.

Toshiro mengingat-ingat sesaat sebelum menjawab, "Sepertinya Sougo dan setengah Shinsegumi. Kondo-san dan sisanya bersama Otae-san. Oniwabanshuu dan Yoshiwara bersama Otose-san."

Gintoki, sekali lagi, melenguh lelah. Ingin menyumpah-serapah pun sesungguhnya tak ada tenaga. Betul–dia saja keras kepala, hingga Toshiro gemas dibuatnya.

"Lagipula kau mau saja menuruti mereka, Wakil Komandan?" Gintoki memanggil. Bangkit dari posisi tidur, berusaha meraih segelas air di sebelahnya. "Kau tidak ada kerjaan lain, hah?"

Toshiro mendengus dari hidungnya. Ia meraih sebuah pil putih dari botol kecil dan mengulurkan gelas air itu pada si surai perak. Gintoki menggeleng. Toshiro merapatkan alis, menegaskan nada suara–tak ingin dibantah, "Analgesik. Minum. Kau sakit."

Gintoki menyerah.

"Sudah kubilang," Toshiro menyahut. Iris samudra mengerling ke arah Gintoki, memperhatikan setiap gerak terkecil. Dahi yang dipenuhi peluh, jakun yang bergulir naik dan turun seiring air masuk ke kerongkongan, dan napas yang terdengar berat–jelas lelaki ini sakit. "Kau terluka, kau keras kepala. Shinpachi dan Kagura tahu kau akan terus memaksakan diri, makanya sekarang kau disuruh istirahat. Apa susahnya mengerti itu? Kau berkali-kali melaju meski kau sendiri nyaris mati. Bagaimana aku tidak menjagamu, upil?"

Gintoki tersedak atas hinaan terakhir itu. "Apa-apaan–"

Toshiro meraih gelas dari jemari si surai perak. "Istirahatlah," Toshiro bertitah, sekali lagi. Dahi berkerut dan entahlah–Gintoki rasa, ia mendapat sedikit rasa khawatir dari sana. "Tidur. Sehat kembali, lalu setelah itu–terserah kau mau ngapain."

Gintoki geming. Atas kesungguhan yang ia tahu tak semu itu, Gintoki mengangguk, lalu kembali tiduran. Ia sempat melirik kecil pada si surai sepekat jelaga sebelum lirihannya mengudara, "Kau ternyata perhatian dengan orang lain, ya, Wadan."

Toshiro menggeleng-geleng. Tidak menjawab. Tidak perlu, toh, tak lama setelah itu, si surai perak mulai menyelam ke dalam semesta mimpi dan dengkuran lembutnya kini menjadi satu-satunya hal yang mengisi ruangan.

Tidurlah, bodoh. Kita bicarakan ini lain kali.


Gintama © Hideaki Sorachi

Rest by Saaraa