Disclaimer: Shingeki no Kyojin milik Hajime Isayama. Penulis hanya meminjam karakter dan tidak mengambil keuntungan bersifat materi dari fanfiksi ini.
Note:
Untuk ultah Levi.
Sekuel cerita saya sebelumnya yang berjudul "Samudera Hitam" namun fik ini juga bisa dibaca dengan berdiri sendiri.
Fanfik berlatar canon setelah timeskip. Teori yang saya masukkan di sini murni imajinasi, dan tidak berkaitan dengan teori official-nya. Karena rancangan pertama untuk draft ini sudah dibuat jauh hari sebelum chapter 115, atas dasar headcanon bahwa Levi masih sehat walafiat hingga pertempuran berakhir.
.
.
.
Mikasa berdiri di tepi pantai, menunggu Levi yang sedang berenang ke tepian.
Langit pagi ini sangat cerah. Ombak berdebur menyapa batu karang yang berbaris di bibir pantai. Deburan ombak mengeluarkan bunyi gemericik di antara rongga bebatuan, sebagian jatuh menyeret buih di atas pasir putih.
Mikasa menyukai biru yang menghampar seluas mata memandang. Batas horizon yang mempertemukan langit dan laut itu bagai bentangan kain sutera yang lebar. Dunia luas, yang masih menyimpan banyak misteri. Sama seperti misteri kehidupan, titik yang dicapainya hingga sejauh ini. Ia berharap masa depannya lebih cerah dan lebih luas dari birunya langit itu.
Mikasa melempar pandangan ke depan. Levi masih berenang, mengayunkan tangannya mendorong air laut. Lelaki itu mengumpulkan segenap tenaganya tercurah melalui dorongan kaki dan tangannya yang melawan arus air.
Sebagai mantan prajurit, mereka tidak terbiasa berdiam diri. Satu tahun berlalu semenjak Perang Besar berakhir. Sebagian besar teman-teman Mikasa, termasuk anggota skuad kadet 104 kini memilih menikmati masa pensiun mereka dengan itu, Mikasa dan Levi sudah terikat kesepakatan tak tertulis, rutin melakukan aktivitas olahraga pagi. Diharapkan kegiatan ini dapat mereduksi tubuh mereka dan menjaga kelenturan otot. Olahraga rutin ini setara dengan sparring dan latihan militer.
Apabila Levi memilih renang, maka Mikasa menyukai lari dan jogging. Ia baru selesai berlari memutari desa. Sangat mudah baginya mengitari desa pesisir yang mungil ini, serta menjamah seluruh sisi jalan dan lorong-lorongnya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh menit. Mikasa mengenakan celana katun putih selutut. Kaos singlet hitam membalut ketat tubuhnya yang atletis, menampakkan lekuk abs dan dadanya yang sintal. Lengannya terekspos dijilati sinar surya dan tengkuknya basah oleh peluh.
Seekor bintang laut terseret arus dan terdampar di dekat kakinya yang terbenam di pasir. Perhatian Mikasa kemudian tersita saat ia melihat Levi selesai berenang.
Lelaki itu keluar dari air, meninggalkan larutan garam jatuh dari sekujur tubuhnya. Mikasa menelan ludah gugup ketika matanya melekati tubuh lelaki itu dari kaki hingga kepala. Levi bertelanjang dada sementara celananya menempel ketat di antara pusar dan lutut. Tetes-tetes air memercik jatuh ketika Levi mengibaskan kepala. Pemandangan itu tidak baik bagi jantungnya. Namun, bukan Mikasa namanya kalau hanya dengan begini saja wajahnya sudah merona.
Untuk beberapa detik, mereka saling menatap dengan pandangan datar yang khas. Tanpa kata-kata, Levi mengulurkan tangan. Mikasa tersentak saat menyadari sejak tadi matanya belum berkedip. Ia segera mengingat kebiasaannya, lalu mengulurkan handuk, yang kemudian digunakan Levi untuk menyeka rambut dan mengeringkan tubuhnya.
.
.
"Rasanya terlalu damai. Begitu damai hingga aku seperti mendengar suara laut dan langit bernyanyi."
Tatapan Mikasa masih terlempar jauh di batas horizon sana saat secara bersamaan mereka mengempaskan pantat di atas kursi lipat masing-masing.
"Damai katamu?" Levi menyanggahnya dan menunjukkan bahwa dirinya tak sepemikiran.
"Enak nian setan kecil itu," kata Levi menunjuk Eren.
"Setelah seluruh kekacauan yang dibuatnya, dia langsung dapat pengampunan, hidup sejahtera dalam sangkar istana? Semua orang sudah gila saat mengakui klaim dirinya sebagai ayah kandung Putera Mahkota!" Levi menyemburkan kalimatnya merasa dengan begitu amarahnya tersalurkan.
Mikasa terdiam. Ia menelisik wajah lelaki itu. Ada goresan bekas luka yang melintang dari pelipis kanan, melewati mata hingga pipi, memanjang hampir menyentuh dagu━kalau bekas luka itu simbol keberanian, maka Levi adalah pahlawan sejati.
Mikasa memahami kata-kata Levi, atau paling tidak berusaha memahaminya. Setelah perang berakhir dengan kemenangan Fraksi Yaeger dan kematian Zeke, Eren, saudara angkatnya berperan besar dalam mengembalikan kedamaian seperti semula. Namun, semua itu tidak menyurutkan kebencian Levi kepada Eren. Mikasa menganggap itu seperti bahasa antar-lelaki. Di mana ketika salah satunya menang, yang lain terpaksa tunduk menghadapi kenyataan; rivalitas abadi hingga mati.
"Ya. Damai. Bukankah ini yang kita inginkan?" Mikasa menekankan ucapannya. "Kalau memang menurutmu si keparat Eren itu tidak layak menikmati seluruh kesenangannya sekarang, toh waktunya tidak akan lama lagi."
Pandangan Mikasa terlempar jauh ke langit, menembus awan. Awan-awan di sana berbentuk seperti tumpukan kapas yang tumpang-tindih. Sekawanan camar melintas dan berkejaran bebas. Memorinya terlempar sejenak ke belakang. Rumah kayu di sudut hutan, pembunuhan ayah dan ibu, bertemu keluarga baru, serangan titan pengganggu dan sumpah-sumpah yang terucap seiring mimpi-mimpi baru. Kehidupannya seperti dongeng, tapi dongeng tentang kesedihan, tentang melepaskan, tentang kehilangan lalu membangun kembali, juga tentang menjadi diri sendiri, tentang pilihan hidup dan ketetapan hati. Seperti sapuan ombak yang membelai bibir pantai itu, bukankah ada saat ketika pantainya berubah jadi arena pertempuran badai dan lautan?
Levi membiarkan gadis itu tenggelam dalam lamunan. Ia tidak menanggapi kalimat Mikasa, sebagaimana Mikasa tidak menganggap serius opini (kebencian)nya tadi. Lagipula, yang berada jauh di istana sana, sudah bukan urusannya.
Levi ingat tawaran Eren, saat pertemuan terakhir mereka. Ia diminta mengemban jabatan panglima tertinggi militer. Paradis butuh panglima yang, tidak hanya kuat, tapi kenyang makan asam garam, katanya. Bah! Seandainya Levi dihadiahi segunung emas pun, ia tak sudi tunduk di bawah kendali setan kecil itu lagi. Negeri ini butuh generasi baru, yang siap membangun setiap jengkal tanahnya dengan tangan-tangan bersih mereka dan pikiran jernih yang belum ternoda.
"Sekarang, apa yang kau cari?"
Levi sudah berdiri mengulurkan tangan.
Mikasa tertegun. Ia meraih uluran tangan Levi, namun mulutnya terkunci. Apa yang kau cari? Itu pertanyaan yang sulit. Ia tampak ingin mengucapkan sesuatu namun tidak berhasil.
Levi memahami itu dan ia mengendikkan bahu lalu menyambung pertanyaannya, "Sudah lah, tak usah dijawab. Itu tak penting. Ayo bangkit dan angkat pantatmu. Hidup damai bukan berarti leha-leha."
Pikiran Mikasa bergemuruh oleh pertanyaan itu ketika ia berdiri melipat kursi, lalu menjinjing tas olahraganya. Ia menyusul Levi yang sudah berjalan mendahuluinya. Memandangi punggung lelaki itu berharap jawabannya bisa ditemukan di sana.
.
.
Pukul dua puluh satu ketika Mikasa melayani pengunjung kedai yang terakhir. Ia menutup pintu dan membalik papan di partisi kaca menjadi 'tutup.' Seharian penuh bekerja di Kedai Erwin. Mikasa ingat percakapan mereka sebelum gonjang-ganjing besar yang terakhir. Lelaki itu benar-benar memenuhi janji dan impiannya. Saat ia mendengar Levi membeli rumah kosong di desa pesisir yang baru dibangun, ia pun menawarkan diri menjadi bagian dari pekerjaan ini.
"Karena kau akan memulai sesuatu yang baru, kau butuh teman. Aku akan jadi asistenmu. Kau harus menerimaku sebagai rekan kerja."
Begitu alasan Mikasa, yang langsung disambut Levi dengan tawa sarkas. Lalu, begitu saja, Levi menerimanya, dan yang terjadi berikutnya mengalir seperti sungai━Mikasa masih menyukai filosofi sungai yang pernah dibuatnya dulu. Kenangan itu masih tersimpan rapi dalam buku diary.
Banyak yang Mikasa peroleh dari kehidupan barunya kini. Di kedai tempat berkumpulnya para pembeli impian dan pengejar harapan. Tawa dan perbincangan mereka yang membaur jadi satu irama dan aroma. Secangkir kopi yang mereka racik untuk disajikan di meja, tersimpan rahasia kecil milik seorang nelayan yang putrinya minta dibelikan boneka baru, atau seringai lelaki hidung belang yang mampir demi sebuah 'transaksi' dengan kupu-kupu malam, atau fantasi petualangan bocah remaja yang baru kabur dari ketiak mama.
Di sini, Mikasa bisa merasakan denyut nadi kota dan nafas gelombang lautan di ujung desa.
Hanya satu yang akhir-akhir ini terasa mengganggu Mikasa. Setiap malam dalam perenungan kala kantuk merangkak di sela-sela atap kamarnya, ia bertanya-tanya: mengapa ia mengambil jalan ini? Mengikuti Levi … Menghibahkan seluruh waktu dan tenaga untuknya … Untuk apa?
Untuk apa ia mendekati Levi? Membantunya memperoleh pundi-pundi uang, dan memuluskan tujuannya?
Apa yang kamu cari?
Pertanyaan Levi tadi menambah kebimbangannya semakin menjadi. Hanya pertanyaan-pertanyaan sederhana, namun hingga tiga kali purnama menarik air pasang, Mikasa belum menemukan jawaban.
.
.
Ada banyak cara agar Mikasa berhasil merealisasikan usahanya, supaya Levi melihatnya. Mikasa ingin jujur pada diri sendiri, maka ia memutuskan bahwa inilah tujuan yang dia cari selama ini.
Setiap hari, Mikasa mengantar makan siang ke ruang kerja Levi. Biasanya berupa nasi kepal dan semangkuk sup ikan lezat. Di ruang kerja kepala kedai itu ada meja yang disediakan khusus untuk pegawai, berhadapan dengan meja Levi. Mikasa menyamarkan niatnya dengan membawa nampan bagian Levi dan dirinya, untuk kemudian ia menyantap mangkuk miliknya.
Mangkuk sup dan piring nasi milik Levi ditaruh begitu saja. Dan komunikasi non-verbal mereka berlangsung sepanjang waktu.
Pegawai yang lain, seperti Jean, Connnie dan Armin, mereka semua dapat memahaminya. Setiap siang, Mikasa meminta supaya Armin menyerahkan nampan makan Levi padanya.
Bicara tentang mantan anggota squad 104, kini tersisa tiga sekawan. Mereka dipekerjakan atas rekomendasi Mikasa. Akan lebih menyenangkan andai mereka dapat berkumpul setiap saat dengan teman-teman lama tanpa perlu reuni, begitu usulannya.
Hingga hari ini, Mikasa menghitung, entah keberapa kali nampan makan Levi dibawanya ke sini, namun tak ada tanda-tanda kemajuan. Setiap ia tiba, Levi selalu menyibukkan diri dengan tumpukan dokumen, dan hanya memerintah supaya nampan makannya ditaruh di meja.
Rencana Mikasa gagal.
Pertama-tama, Mikasa tidak terlalu mempermasalahkan itu. Levi enggan makan semeja dengannya. Yah, mungkin saja, ada sesuatu dari table manner Mikasa yang tidak Levi sukai. Maklum saja, lelaki clean freak itu sangat angkuh. Tetapi, kalau sudah berulang seperti ini, bagaimana Mikasa bisa memahami apa yang sebetulnya dia kehendaki darinya? Bukankah ini namanya digantung dan diabaikan?
Mikasa menikmati makan dalam suasana hening. Dalam ruangan ini, hanya ada suara kertas dibalik, dan hentakan bunyi stempel, selain suara denting sendoknya sendiri. Bunyi gaduh obrolan manusia teredam di balik pintu di luar ruangan sana. Sup di mangkuknya hampir habis. Dan nampan di ujung meja itu masih belum tersentuh.
Mikasa mencoba cara membuat kemajuan. "Hei, Levi," panggilnya.
"Hn?"
"Makananmu … tidak enak kalau dibiarkan dingin."
Lelaki itu mengangkat dagu, hanya sekilas tatapan mereka bertemu. Lalu ia menundukkan kepala lagi. "Nanti akan kumakan," jawabnya terlalu singkat.
"Lihat, kau mau berbagi sup dengan lalat?" Mikasa mengancamnya.
Ia menunjuk mangkuk sup dan piring nasi kepal di atas nampan itu, mengibaskan tangan seolah mengusir lalat.
"Kalau begitu, bisa minta tolong tutupi piring dan mangkuknya dengan kertas atau apa lah."
Levi bahkan tidak mengangkat kepala atau menatap matanya.
Mikasa mendengkus kesal. Dengan gerakan kasar, dan sengaja dibuat supaya didengar, ia merobek kertas koran dari nakas di samping meja, lalu menutupi nampan itu menggunakannya.
Setelah merasa cukup kenyang, Mikasa keluar ruangan.
Begitulah rutinitasnya setiap siang. Mikasa heran, ada apa sih Levi? Apa dia betul-betul tidak mau makan semeja dengannya? Sombong sekali dia …
(Sementara secara diam-diam, setelah Mikasa keluar ruangan, Levi menyantap makanannya dengan lahap dan perasaannya berdebar tak keruan.)
.
.
Mikasa tidak ingin dirinya dianggap pembantu murahan. Maka, untuk beberapa hari, ia berhenti membawa nampan Levi.
Benar saja. Lelaki itu menyadari perubahannya, "Mana makananku?"
Mikasa agak tertegun. Namun, ia tak mau terpengaruh, "Berapa kali aku bawa makanmu ke sini, tapi tidak kaumakan? Sekarang kau tanya mana bagianmu? Ambil sendiri di dapur."
Levi melongo. Mikasa dan kalimat sarkasnya itu sudah biasa, sebab mereka seperti cermin bagi yang lain. Akan tetapi, nada suara Mikasa itu, mengindikasikan bahwa ada api kemarahan berkobar di sana.
"Kau tidak dengar? Makanan itu pasti akan kumakan, nanti setelah pekerjaanku selesai."
"Tidak." Mikasa menjawab. "Aku tidak ingin mendengar. Aku cuma ingin melihat. Melihat kau makan di hadapanku."
Secara refleks, Mikasa menutup mulut, merasa kelepasan bicara.
Levi menyeringai. "Huh? Segitunya kau ingin makan bersamaku?"
Akan tetapi, Mikasa pandai berkilah, "Apa? Kalau kau tak ingin makan denganku, jangan-jangan kau menganggapku pembantu yang tak pantas makan dengan tuannya? Sombong sekali. Memangnya kau ini siapa?"
Levi terperangah. "Hei. Aku ini bosmu, tapi prasangkamu itu keterlaluan."
"Hah? Lalu kenapa? Kenapa kau tidak mau menghargai pegawaimu sendiri dengan makan bersama mereka?"
"Bukan itu maksudku, Mikasa. Kau tahu, aku punya cara sendiri dalam menghargai para pegawaiku."
Mikasa menyeruput sendok kuah supnya yang terakhir dengan agak kasar.
Sebelum ia bangkit berdiri, akhirnya Levi berucap, "Baiklah. Untuk mematahkan anggapanmu. Besok, bawakan nampan makanku lagi, dan kau bisa lihat buktinya sendiri."
Namun, keesokan siangnya, ketika Mikasa kembali membawa nampan Levi seperti sebelumnya, lelaki itu justru sedang bersiap hendak pergi.
Mikasa hampir menjatuhkan mangkuk sup itu, andai tidak segera diletakkan di meja.
Levi mengenakan mantel dan topinya secara tergesa.
Terlalu banyak pertanyaan yang Mikasa lemparkan lewat tatapan, hingga Levi paham bahwa ia baru saja membuat gadis itu kecewa.
Alih-alih meminta maaf, atau menunda janji untuk esoknya lagi, Levi malah menggerutu, "Salah satu supplier biji kopi kita nyaris membuat masalah. Aku harus menemuinya sendiri. Dasar menyusahkan."
Lalu, Mikasa ditinggalkan menyantap makan siang sendirian lagi.
Yang sebetulnya menyusahkan orang lain itu siapa?
.
.
Akhirnya mikasa menyerah. Sebab kali terakhir ia berharap ingin dilihat, hatinya terluka dan harapannya hancur. Buat apa, toh akhirnya sama saja, Levi tidak pernah mau memahami dirinya.
Armin, yang pertama mengenali gelagat ini. Ia mempertanyakan mengapa nampan Levi akhir-akhir ini sering tertinggal di meja dapur?
"Hei, Mikasa." Pemuda pirang itu memanggil Mikasa yang hendak meninggalkan dapur, sementara tangannya membawa nampan berisi piring dan mangkuk milik sendiri.
"Nampan makan Levi?"
Armin menunjuk nampan di ujung meja pegawai. Ada piring milik Jean yang belum diambil juga. Ia berharap Mikasa mau meninggalkan penjelasan, mengapa ini di luar kebiasaannya?
Mikasa berhenti di depan pintu menuju teras belakang. Ia menolak menjelaskan. "Biar dia ambil sendiri. Aku mau makan di luar."
Connie, seraya mengusap tangan di cemeleknya yang penuh noda━ia pernah ditegur Levi atas hal itu━berkata heran, "Sudah hampir seminggu nampan itu dibiarkan begitu. Ada apa dengan mereka? Bertengkar?"
Jean, yang sedang mengelap gelas basah, mengangkat bahu, "Hei, menurut kalian, Mikasa dan bos cebol kita … hubungan mereka sampai seperti itu ya?"
Armin menghela napas, pasrah atas ketidakpekaan Jean. "Kau ini, sama sekali tidak merasa ya?"
"Maklum sih, kuda, punya mata nggak dipakai buat lihat."
"Hah? Maksud kalian, aku ini bodoh begitu? Dengar, aku bukannya nggak melihat ada apa antara Mikasa dan bos kita, tapi memang nggak ingin lihat!"
"Ahhh, cinta lama si kuda. Sudahlah, lupakan saja soal kau dan Mikasa bersama. Sudah jelas, Mikasa itu suka mantan kapten kita." Armin tidak sadar dirinya sudah memanas-manasi suasana.
"Woi, jahat banget kalimatmu, Armin. Kudoakan kalian semua jones sampai mati."
"Hmm, kamu lupa ya, Jean." Connie menyahut sambil bermulut penuh mengunyah keripik. "Armin itu sudah jadian sama Annie loh."
"Hah?! Mana mungkin! Gadis es itu mau sama bocah kikuk ini?"
Armin, yang sedang menuang sup dalam mangkuk, nyaris menumpahkan kuah panas ke tangannya sendiri. Kedua telinganya memerah. "Kau ini bicara apa, Connie? Hubunganku dengan Annie belum sampai tahap itu!"
"Nah, kan. Kubilang mana mungkin!"
"Sumpah ya, Armin. Sudah bagus dapat Annie. Kau mau masuk squad jomlo ngenes bareng kita berdua?" Connie berujar.
"Heh! Berdua katamu? Memangnya siapa saja?"
"Aku dan kamu, Jean."
Jean melotot jijik. Dan obrolan trio pegawai Kedai Erwin siang itu berakhir dengan adegan muntah-muntah imajiner.
.
Levi, setelah kejadian tempo hari, ketika ia terpaksa membatalkan janji makan semeja dengan Mikasa, merasa sudah tahu ini akan terjadi.
Selama seminggu terakhir, setiap siang ia kesepian. Tidak ada yang datang ke ruang kerjanya, mengantar nampan makan, seperti yang biasa Mikasa lakukan. Sebab tidak ada yang berani meringsak kantornya selain Mikasa seorang.
Lelaki itu duduk di balik meja besarnya. Tak sanggup menyembunyikan raut merana ketika melihat seberang meja di sana. Tempat Mikasa biasa duduk menyantap makan siangnya. Sebetulnya, ia merasa terhibur hanya dengan kehadiran Mikasa saja. Tetapi terhalangi oleh harga dirinya. Padahal ia ingin sekali memuluskan tuntutan hatinya: makan semeja dengan Mikasa. Ia takut tak akan sanggup membendung perasaannya yang terlalu senang. Ia merasa bersalah. Khawatir secara berlebihan, cemas apabila dirinya nekat makan di depan wanita yang diam-diam disukainya itu, lalu tersedak misalkan. Itu akan menurunkan derajat harga dirinya!
.
.
Sore menjelang malam, kedai sudah tutup. Levi menyadari kantornya terlalu hening. Ia hendak beranjak dari ruang kerjanya, ketika tiba-tiba, tiga orang pegawainya memberondong masuk tanpa salam.
Levi mengernyit aneh. Mereka semua berkacak pinggang, mengepungnya seperti barikade tentara.
Armin berdiri di sisi kiri, menutupi jendela.
Jean berdiri menjulang di depan meja.
Connie, berdiri menyandar rak buku di sisi kanan.
"Kalau mau menuntut kenaikan gaji," kata Levi menerka, "maaf, sebaiknya kalian keluar dan cari tempat lain yang sesuai standar kalian sendiri."
Jean menggeleng. "Kapten, bukan itu yang kami minta."
Meskipun posisi mereka sekarang sudah bukan bawahan-atasan lagi, namun Levi tetap dihormati dan dipanggil dengan julukan khasnya.
Sebelum sempat Levi melontarkan kalimat sarkas balasan, Armin sudah menyela:
"Sebetulnya, ini tentang kawan kita, Kapten Levi. Anda terlihat mengabaikannya akhir-akhir ini━"
"━jadi, kami berbaik hati membantu Anda supaya berbaikan dengannya."
"Apa maksud kalian?"
Levi tak butuh jawaban dan langsung paham: mereka membicarakan Mikasa.
Levi terdiam sebentar. Ia melonggarkan dasi dan menaruh punggung di sandaran kursi.
"Ah, si muka datar itu rupanya. Kukira gaji atau apa …"
Jean mengepalkan tangan. "Sebaiknya Anda tidak menjadi lelaki brengsek yang menyia-nyiakan wanita yang mencurahkan perhatiannya pada Anda hingga segitu tinggi."
Levi terperanjat atas ancaman Jean itu. Ia menyeringai, "Ho? Apa kau masih sakit hati sebab tak dapat perhatian Mikasa?"
"Anda tak berhak membicarakan soal diriku dengan Mikasa."
Jean mengatupkan rahang dan giginya bergemelatuk. Ia mengangkat tangan, nyaris melayangkan tinju, tapi Connie segera mencekal tangannya.
"Saya lakukan ini karena percaya pada Anda, Kapten!"
Connie berusaha melerai. "Mikasa sudah banyak membantu kami. Walau tak seberapa, tapi ini termasuk cara kita membalas kebaikannya, Kapten. Saya harap Anda mampu bersikap lebih bijak"
Armin terkejut kedua orang ini langsung mengungkap maksud mereka tanpa basa-basi. Ia tersenyum kikuk, mengangkat tangan dan berusaha mendorong Jean supaya mundur dan tidak memulai kelahi.
"Ahaha," Armin merasa paling payah dalam hal negosiasi langsung. Ia melanjutkan, "Seperti itulah, Kapten. Kami hanya ingin mencarikan solusi. Kalau Anda butuh bantuan, tak usah sungkan minta tolong pada kami."
Setelah Jean mundur dan menahan diri tidak jadi melayangkan pukulan. Barulah Levi menjawab, "Tanpa merendahkan usaha kalian atau menolaknya, aku minta kalian keluar dari sini. Sekarang, tinggalkan aku."
"Tapi, Kapten!" Armin cemas.
"Biarkan aku berpikir. Aku akan menyelesaikan masalah ini dengan caraku sendiri."
"Hei! Saya tahu Anda mantan Kapten yang hebat, tapi bukan begini cara Anda mengabaikan bantuan kami." Jean menyolot.
"Keluar sekarang, atau aku potong gajimu, Jean."
Akhirnya, sambil bergandengan tangan karena takut, Armin dan Connie menyeret Jean keluar.
Namun, saat di ambang pintu, kepala Jean kembali menyembul, dan ia melontarkan kalimat ancamannya yang terakhir: "Kalau Anda berani menyakiti Mikasa, sebaiknya Anda cepat-cepat menggali kuburan Anda sendiri."
Setelah ketiga orang itu menghilang, Levi mendesah tak bertenaga. Gadis itu sudah membuatnya pusing, bingung dan bimbang.
.
.
Keesokan siangnya, Levi sengaja memasuki dapur untuk mengambil nampan makanan. Mikasa terlihat hendak membawa mangkuknya ke teras belakang.
Levi memanggil, "Hoi! Mikasa!"
Jean, Armin dan Connie mengintip dari balik meja, menunggu dengan berdebar-debar, seperti sedang menonton drama teater.
Mikasa menghentikan langkah dan menoleh. Tatapannya tajam menghunus Levi. "Apa?!" jawabnya ketus.
"Ke kantorku."
Mikasa baru akan berbalik hendak kabur ketika Levi mengeluarkan kalimat ancaman. "Evaluasi dana pengeluaran kedai."
Pendengaran Mikasa menajam.
Levi melanjutkan dengan nada yang tak ingin dibantah: "Bawa nampanmu, dan kita akan berdiskusi."
Dengan berat hati, Mikasa memutar langkah dan mengikuti Levi menuju ruang kantornya.
Kini, Mikasa menghadap Levi. Dengan mangkuk dan piring penuh di tangan masing-masing. Mereka makan tanpa saling bicara. Hanya denting sendok dan bunyi samar kecapan lidah yang menguar di udara.
Mikasa merasa sedikit canggung. Ini sungguh kali pertama, ia makan dengan Levi dalam satu meja. Dugaan Mikasa bahwa cara Levi makan itu penuh peraturan ala bangsawan, sepertinya benar. Ia mencoba bersikap seperti biasa, menyendok kuah, dan mencomot nasi serta menggigit udang, namun, rasanya seperti semua yang tertelan mengganjal di tenggorokan. Ia tidak ingin terlihat layaknya orang bodoh. Ini seperti cara makan ketika menghadapi kematian.
"Aku ingin tahu," Mikasa mulai buka suara, "Evaluasi macam apa yang kau inginkan? Toh semua sudah terdaftar di buku jurnal keuangan."
Levi terdiam, memberi kesempatan Mikasa menelan kunyahan terakhir. Mangkuk dan piring Levi sudah habis. Lelaki itu menaikkan satu alis, "Tidak juga," katanya.
"Sebetulnya tidak ada yang kuperlukan selain makan denganmu."
Mikasa tersedak. Matanya melotot. Ia segera meraih gelas air putih dan menenggak isinya.
Jangan-jangan, Armin salah memasukkan bumbu dalam mangkuk sup tersebut. Tapi, nyatanya, Levi mengucapkan itu dengan wajah datar dan nada suara yang khas, cukup meyakinkan, bahwa tak ada yang salah dengannya.
Setelah reda habis tersedak, Mikasa menjawab, "Kalau memang tak ingin makan denganku, tak usah memaksakan diri seperti ini."
Mikasa menuang teko air minum dan menyodorkan gelas untuk Levi.
"Berbohong pada diri sendiri itu sudah jadi ciri khasmu ya?"
Mikasa tertegun. Bagaimanapun, akhirnya Levi memenuhi janjinya bukan? Makan semeja dengannya. Lalu, apa lagi yang kurang?
Mikasa mengangkat bahu, "Yah. Untuk orang berhati dingin sepertimu, sepertinya kau cukup puas dengan permainan ini."
"Besok dan seterusnya, kau harus membawakan nampan makanku lagi."
Mikasa menganggguk, menyamarkan senyumnya.
.
.
Armin baru saja pamit pulang, menyusul Connie dan Jean. Ruangan kedai paling depan sudah kosong. Mikasa melirik ke arah kamar yang menjadi ruang kerja Levi. Pintunya terbuka sedikit. Mengira Levi masih tenggelam dalam kalkulasi pendanaan bisnis dan tak ingin diganggu, ia memutuskan untuk melangkah ke dapur dan memeriksa bahan persediaan. Tidak ada yang kurang. Stok biji kopi baru saja dipenuhi, juga susu dan cokelat. Tiba-tiba saja, Levi melongok, mengejutkan Mikasa dengan isyarat supaya ia mengikutinya ke ruang depan.
"Ada apa?" tanya Mikasa dengan dahi berkerut ingin tahu. "Levi?"
Mula-mula, ia menebak. Levi ingin membicarakan hal penting berkaitan dengan bisnis ini. Tapi apa? Supplier biji kopi yang baru? Review buruk dari pelanggan ampas? Pemangkasan gaji? Atau yang lebih mengerikan, kebangkrutan dan PHK?
Akan tetapi, Levi justru berjalan mondar-mandir di antara meja dan kursi. Raut wajahnya datar tapi matanya berkilat gelisah. Mikasa terheran-heran. Ia menduga salah persepsi, atau bahkan tidak mengerti.
Levi maju satu langkah sebelum benar-benar berhenti. Ia berdiri dengan satu tangan bertumpu di meja.
"Aku ingin bicara denganmu."
Detik ketika tatapan mereka bertemu, Mikasa baru paham━yang membuatnya ingin tertawa keras-keras: Levi hendak mengatakan sesuatu yang sangat penting, tapi tak tahu cara menyusun kata yang tepat.
Lelaki itu hendak membuka mulut, seperti akan bersuara, tapi kemudian rahangnya terkatup rapat. Mikasa masih menunggu.
"Jadi apa yang mau kau katakan?"
Mikasa bertanya ketika dirasa lelaki itu terlalu lama buka suara.
"Besok, Hanji akan launching toko berlian."
"Iya, aku tahu."
Tempo hari, Hanji mampir di kedai, secara khusus memberitahu toko berlian barunya. Berharap ada satu-dua teman-teman lamanya yang ikut meramaikan.
"Menyedihkan si maniak titan itu sekarang jadi pedagang aksesori wanita. Sangat tidak cocok," lanjut Levi.
"Tidak juga. Menurutku, Hanji cocok jadi pedagang berlian."
Dalam hati Mikasa menertawakan sarkasme Levi. Tidak ada yang berubah, pikirnya. Levi dan ilmu komunikasi lisannya, tidak pernah berkembang. Hingga ketika ia berkata, "Hitung-hitung biar dia senang banyak yang berkunjung, aku mau ke sana."
"Kau ingin aku menemanimu?" Mikasa berharap.
Levi mengangguk. "Tajam sekali tebakanmu. Aku baru akan bilang begitu."
"Memangnya kapan aku bisa menolakmu?"
.
.
Esoknya, Mikasa mendapati dirinya sudah berada dalam toko berlian Moblit━sperti Kedai Erwin milik Levi, sepertinya menjadi tren baru di kalangan veteran, mengabadikan nama teman-teman mereka yang sudah tiada.
Levi, yang seharusnya membimbing kunjungan ini, malah tampak kikuk. Berada di tengah-tengah pengunjung toko perhiasan yang didominasi kaum hawa.
"Jangan salah paham, Mikasa. Aku hanya ingin minta pendapat darimu. Emas dan perak adalah lahan investasi terbaik, aku baca begitu di koran. Setiap tahun, nilainya semakin tinggi, berbeda jika kau menyimpan uangmu dalam bentuk kas di bank," begitu katanya tadi.
Mikasa tidak paham, kenapa Levi mau bersusah payah datang ke tempat yang terasa asing ini, mengajak Mikasa bersama, kalau hanya urusan 'investasi' dan simpan-menyimpan dana?
Toko ini letaknya di pusat kota, sebelah tenggara desa pesisir Blueshin . Begitu menjejak ke dalam ruangan, akan terasa sensasi gemerlap yang menyilaukan. Dengan tata ruang diperluas dan dekorasi dinding yang cerah. Kalung, anting, gelang, dan bermacam batu mulia terpampang menghias lemar-lemari kaca. Sepertinya pembangunan sudah merata hingga pelosok negeri Paradis, membuat rakyat hidup makmur dan berkecukupan. Pameran perhiasan milik (salah satu) mantan komandan terhebat itu, yang digadang-gadang akan menjadi toko perhiasan terbesar di kota ini, berhasil meraup pengunjung dari berbagai kalangan.
Mikasa mengajak Levi berhenti di depan salah satu etalase kaca. Kilau kalung-kalung emas di dalam sana menembus hingga keluar.
"Levi, bagaimana menurutmu? Kalung berlian itu?"
Mikasa menunjuk seuntai kalung yang terpajang dalam lemari kaca. Kalung itu bertakhtakan susunan berlian putih.
Levi terdiam. "Bukankah itu terlalu norak?"
Mikasa berkedip. "Bukankah ini untuk investasi?"
Aneh Levi tidak tertarik pada pilihannya dan malah mencari yang lebih norak (dari berlian.) Kalung dengan batu ruby itu misalkan. Mikasa heran melihat Levi menunjuk kalung bertakhtakan ruby merah.
"Ya. Memang untuk investasi. Kalau suatu saat kedai kita pailit, kalung itu ada untuk digadaikan."
"Ya sudah. Sesuai pilihanmu saja."
"Kenapa jadi terserah aku?"
"Loh, maksudmu bagaimana? Aku tawarkan kalung yang punya nilai jual tinggi, dengan asumsi kalung itu bakal disimpan dalam peti."
"Benar, Mikasa. Kalung itu memang akan disimpan, tapi bukankah permata ruby itu juga sama bernilai tinggi?"
Mikasa mengerutkan hidung. Tangan mereka menempel pada lemari kaca. Untuk sesaat, Mikasa melihat binar mata Levi yang tidak dia pahami. Ia belum pernah melihat wajah Levi begitu bercahaya, dengan kilau yang sama seperti emas dan permata.
Belum sempat Mikasa mengutarakan pikirannya, seseorang datang menginterupsi.
"Hei, Kalian! Aku tahu kamu akan datang, Levi!"
Tidak ada yang menyadari sejak kapan Hanji sudah berdiri di balik etalase kaca itu. Perempuan jangkung itu tampak ganjil mengenakan setelan jas hitam. Mereka tidak percaya sosok yang segar dan cerah itu adalah orang yang sama di masa lalu, yang tak pernah lepas dari seragam scout legion-nya yang kusam dan bau.
"Hanji?"
"Tapi, Mikasa? Aku tidak menyangka kalian datang bersama loh."
Hanji mengedipkan mata pada Levi.
"Semakin tua, mulutmu semakin tak terkendali, Hanji."
"Kenapa kau di sini?" Mikasa bertanya.
"Ini kan toko milikku. Apa aku tidak boleh berada di tempatku sendiri?"
"Sebaiknya kamu cuci tangan dulu, Hanji." Levi berujar. "Pekerjaan 'bersih' ini sering membuat tanganmu gatal, eh?"
"Bukannya urusan di balik meja kasir itu sudah jadi tugas karyawan ya?" Mikasa bertanya.
"Kok kamu sinis begitu sih, Levi? Ya, Mikasa, karena ini hari penting yang akan jadi tonggak usahaku nanti, aku harus menanganinya sendiri, memastikan semua berjalan lancar."
Hanji bertopang dagu dengan siku bertumpu pada etalase yang berukuran setinggi dada orang dewasa. Ia menatap kedua rekannya dengan pandangan ingin tahu.
"Yang lebih penting, kalian mau ambil kalung yang mana? Kalau kamu mau buat pesanan khusus, langsung padaku, Levi. Biar aku sisihkan perhiasan incaranmu itu di tempat yang aman."
Levi mendengkus, bermaksud mengabaikan godaan Hanji, yang justru meyakinkan perempuan itu untuk lebih semangat mengerjainya. Ia hendak menarik tangan Mikasa, namun ditolak oleh yang bersangkutan.
"Ya. Bosku ini tak paham soal perhiasan." Mikasa berkata. "Dia bilang untuk investasi. Bisakah aku minta bantuanmu, Hanji?"
"Wah, tentu! Akan kubantu pilihkan kalung yang cocok, kalau untuk investasi … mmm."
Hanji membuka kunci etalase. Pintunya bergeser terbuka, kemudian ia mengambil beberapa untai kalung dan menyodorkan pada Mikasa.
"Nih, silakan pilih sendiri. Dengan menyentuh teksturnya langsung, biasanya akan lebih meyakinkan barang yang ingin kita beli."
"Hei, kamu bilang tadi kita boleh ambil ini kan?" Levi menyela.
"Yup. Tentu saja dengan harga." Hanji menjawab. Lagi, ia mengedipkan sebelah mata. "Laki-laki yang baik itu pasti bermodal kan?"
" … "
"Hei, aku tahu yang cocok untuk kalian!" Tiba-tiba, Hanji merebut kalung-kalung dari tangan Mikasa dan mengambil seuntai kalung dari ujung dalam etalase.
"Ini dia! Black Diamond yang ditempa dari penambangan batu terbaik."
Hanji mengangkat kalung berlian bertakhtakan batu onyx itu tinggi-tinggi di depan hidung Levi dan Mikasa.
Mikasa melempar tatapan pada Levi, meminta persetujuan. Ia ingin supaya Levi cepat-cepat mengambil keputusan.
Levi menelengkan kepala, kemudian mengambil kalung itu dari tangan Hanji.
"Tidak buruk. Berapa harganya?"
.
.
Usai keliling kota, mereka berhenti makan di restoran seafood. Milik Nicolo, yang membuka cabang di pesisir dekat desa Blueshin. Mikasa belum pernah merasa begitu senang, bebas dan damai seperti ini. Setelah melewati tahun-tahun gelap dengan perang tiada akhir. Ia tadi sempat menyeret Levi keliling butik-butik pakaian━kali ini dirinya yang berkepentingan━dan membuat lelaki itu pusing dengan beragam pilihan baju-baju yang ingin dibeli.
Kini mereka duduk berhadapan, dibatasi meja bundar putih. Restoran bergaya rooftop ini terletak persis di atas tebing tinggi. Di bawah sana lautan luas membentang sejauh mata memandang. Bunyi debur ombak yang memecah karang di bawah tebing-tebing itu terdengar bagai orkestra alam yang melenakan telinga. Piring dan mangkuk mereka sudah kosong, tersisa noda saus dan remah-remah tepung, juga daun peterseli.
Mikasa memandangi camar lepas, yang terbang bebas menantang birunya langit. Ada berapa jenis kebebasan di dunia ini? Mikasa bertanya-tanya. Menuju ke mana, muara kebebasan itu? Apakah di ujung cakrawala sana, camar itu menemukan kesenangannya juga? Kegembiraan yang tak akan terusik oleh segala?
Levi meneguk gelas kopi, lalu berkata menyadarkan lamunan Mikasa, "Rasa kopi di sini kurang kuat."
Mikasa terkekeh pelan. Agak aneh melihat dirinya duduk semeja, makan bersama Levi. Padahal lelaki itu pernah begitu sulit diajak kompromi, menolak ajakan makan bersama di tempat yang lebih sederhana.
"Yang kau minum itu es kopi, Levi. Jelas berbeda dengan kopi di kedai kita, juga restoran ini menonjolkan cita rasa makanannya, bukan minuman, apalagi kopi."
Mikasa menyesap teh dingin, menatap Levi dari balik cangkir.
"Mikasa?" Levi bersuara setelah usai meneguk habis gelas kopi.
"Ya?" Mikasa memperhatikan. Ia mengenali ekspresi itu. Malam itu saat Levi mengutarakan keinginannya untuk acara (jalan-jalan) ini.
Setelah jeda hening yang berkalkulasi dari detik ke menit, Levi mengeluarkan kotak kalung dari saku mantel, yang membuat jantung Mikasa (nyaris) berhenti berdetak.
Dengan gerakan agak tergesa, Levi membuka kotak kaca itu, lalu mengangkat kalung dan membuka kaitannya, katanya: "Tolong, kepalamu, Mikasa. Aku ingin lihat ukuran kalung ini di lehermu."
Mikasa, yang masih terheran namun tetap menuruti perintah, mencondongkan kepala ke atas meja hingga jarak wajahnya mendekat ke arah Levi.
Levi lekas memakaikan kalung itu melingkar di leher Mikasa. Setelah selesai, ia menyeringai tipis, puas melihat permata onyx menjuntai indah di leher Mikasa.
"Ini memang cocok untukmu."
Mikasa terbata, "Maksudmu? Kau meminjamkan kalung ini padaku?"
Levi terdiam sejenak. Telapak tangan terkepal di dagu. Matanya masih memindai leher Mikasa yang kini tampak lebih berkilau dengan kalung itu.
"Tidak," Levi menjawab.
Mikasa tertegun, "Lalu?"
"Kalung itu punyamu."
"Apa?" Mikasa terperanjat. Tangannya menyentuh permata onyx yang menjuntai di lehernya.
Ia berkata dengan suara merendah, secara perlahan ia beralih, dari tidak percaya menjadi paham akan sesuatu. "Jangan … bercanda … Kau bilang ini untuk investasi."
"Ya. Memang. Untuk investasi."
Mikasa ingin menonjok wajah Levi. Seenaknya saja mempermainkan perasaannya. Tangannya membuat gerakan akan mencopot kalung itu, tapi dicekal oleh si pemberi.
"Tunggu, Mikasa. Tunggu. Jangan lepas kalungnya. Jangan pernah melepaskannya." Levi mengulangi permintaannya, sangat tegas.
Tiba-tiba, Levi mendekatkan wajah mereka━ada yang aneh dari kilatan matanya━begitu dekat hingga Mikasa mengira ia akan dicium. Namun, lelaki itu hanya berbisik, "Aku serius, Mikasa. Ini investasi untuk masa depan, jauh lebih berharga dari pundi-pundi uang yang dihasilkan kedai kita."
Detik ketika Levi menatapnya seperti ingin mengebor pertahanannya itu, Mikasa memahami, lebih dari harapannya sendiri. Melebihi impian dan angan-angan. Ia tidak perlu mencari-cari jawabannya lagi.
Levi ternyata lebih lihai dalam komunikasi, tidak seperti yang disangka selama ini. Justru, Mikasa lah yang sebetulnya kurang berkompeten.
"Aku …" Mikasa kehilangan kata-kata. Ia melihat badai berkecamuk di mata Levi. Yang belum pernah dilihatnya seperti ini. Mendadak, sekeliling mereka hening. Mikasa merasa dunia terhenti. Hanya ada degup jantung dan deru napas mereka yang seolah menyatu hingga ia tak mampu membedakan mana miliknya dan mana milik Levi.
"Tidak bisa menerima ini." Mikasa mengatakan itu dengan nada ragu. Matanya menghindari tatapan Levi.
Lelaki menarik wajahnya, dan Mikasa kembali merasa kehilangan.
"Aku sudah tahu kau akan merespon begitu." Levi berujar kecewa.
"Kenapa kau berikan ini untukku?"
"Aku tak akan mengatakan alasannya."
"Sempurna sekali caramu memaksaku."
"Masih ingin menolak kalung ini?"
Mikasa terdiam. Tangannya kembali menyentuh kalung di leher, merasakan tekstur kalung tersebut. Ia bertanya-tanya, betulkah sikap Levi ini? Haruskan ia menerimanya? Bukankah ini yang selama ini dia harapkan? Kenapa ia meragu?
"Baiklah. Karena suatu saat nanti, aku bisa menjualnya kalau sedang butuh."
"Hei. Jangan jual kalungku seenaknya saja."
"Ini kan sudah kauberikan padaku?!"
"Tapi aku memberimu bukan untuk dijual lagi!"
"Oh, begini caramu memperolokku?"
"Diam dan pakai saja kalungnya!"