PART III


Variasi suara meramaikan suasana kedai bibi Song; sejumlah ahjussi terlihat bermain kartu sambil berceloteh ria—saling meneriaki satu sama lain kala mereka menang. Chanyeol memasuki ruangan, menanggapi lambaian Joonmyun sembari menoleh ke sana kemari, mencari keberadaan remaja yang ia tunggu-tunggu. Baekhyun sedang terduduk di salah satu meja, mengobrol bersama para pelanggan tua: mengangguk antusias sebagai respons atas cerita mereka. Sepercik semangat muncul dalam obsidian sang remaja begitu ia melihat Chanyeol.

Pemuda itu langsung tersenyum. "Baek."

"Hyung!" seru Baekhyun, suara tinggi menggema nyaring dalam kedai. Chanyeol memilih tempat paling pojok, sengaja mengasingkan diri dari kebisingan pelanggan lain. Keadaan kedai lama-kelamaan menjadi sepi, satu per satu ahjussi meninggalkan meja mereka. Butuh waktu lama bagi Baekhyun untuk akhirnya menempati kursi kosong di seberang Chanyeol, jemari kecil mengangkat nampan berisi satu botol soju dan semangkuk ramyeon pedas. Pemuda itu berdiri, sekilas membantu sang remaja untuk menaruh pesanan ke atas meja.

"Kita jarang bertemu akhir-akhir ini," Baekhyun mengawali obrolan mereka, nafas sedikit terengah-engah akibat berlari ke sana kemari. "Bagaimana kabarmu?"

Chanyeol membungkuk untuk sejenak menghapus keringat pada dahi sang remaja. "Maaf aku tidak sempat mengunjungimu," ia memberitahu, tangan beralih untuk mengambil sumpit. "Ibu dan Yoora-noona terus mengajakku berpergian ke mall." Selagi pemuda itu mencelupkan sumpit dalam mangkuk—mencampur kembali seluruh bumbu ramyeon—ia mendadak menatap Baekhyun lagi. "Apa kau sudah makan? Ingin mencicipi ini?"

Baekhyun menggeleng, membentuk lengan menjadi tanda X. "Aku tahu," ia segera merespons pernyataan Chanyeol tadi, "Aku senang kalian sering menghabiskan waktu bersama."

Pemuda itu menepuk jemari Baekhyun. "Aku merindukanmu."

Baekhyun memandang Chanyeol lama, mengamati betapa lahap sang pemuda menyeruput ramyeon. "Aku juga," ia malu-malu menjawab, nada pelan yang luput dari pendengaran Chanyeol. Sang remaja lantas meraih botol soju di tengah meja sebelum menuangkan isinya dalam dua gelas. Baekhyun memiringkan kepala lucu, mengangkat gelas ke direksi Chanyeol. "Cheers?"

Pemuda itu tertawa, hendak menubrukkan gelas mereka sebelum mendadak menganga, seolah-olah baru menyadari sesuatu yang janggal. "Tunggu," ia refleks menurunkan tangan, alis terangkat aneh. "Baekhyun... bukankah kau tidak minum soju?"

Baekhyun menyeringai main-main. "Semua orang berubah," ia malah meledek, tidak menunggu Chanyeol untuk langsung meminum bir dalam sekali teguk. Sang remaja seketika mengerutkan bibir, merengek oleh rasa soju yang sungguh tidak enak bagi seorang first timer.

Mulut Chanyeol masih menyerupai huruf "O". Pemuda itu gagal memproses apa yang terjadi, terlalu tercengang untuk menyaksikan transformasi sikap manusia suci ini. Ia tidak menyangka Byun Baekhyun dan minum soju dapat berada dalam satu kalimat. "Wow," Chanyeol berkomentar usai membuang sejumlah detik guna menonton Baekhyun menuangkan bir. "Kenapa kau tiba-tiba ingin minum?"

Baekhyun menjilat sisa soju di bibirnya. "Aku tergoda untuk mencoba."

"Bagaimana rasanya?" Chanyeol bertanya, melanjutkan santapan makan malamnya.

Baekhyun menghela nafas. "Buruk," ujarnya jujur, namun remaja itu tidak berhenti mengisi soju dalam gelas lalu meneguknya cepat.

Ekspresi Chanyeol goyah menjadi khawatir. "Pelan-pelan."

Baekhyun terus menuang soju tiada henti, mengabaikan peringatan Chanyeol. "Aku mengerti kenapa kalian menyukai minuman ini."

Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi satu botol soju. Chanyeol terus menyaksikan dari seberang meja, sangat terhibur melihat sang remaja giat meminum alkohol. Mereka nyaris tidak bertukar kata, sekadar saling menatap sambil meneguk soju, dan pemuda itu harus memesan satu botol lagi karena jatah bir mereka sudah dihabiskan oleh Baekhyun. Ketika tanda-tanda mabuk mulai menampakkan diri dalam remaja itu, Chanyeol mati-matian menahan tawa, justru menikmati komedi yang sedang ia saksikan.

"Fuck."

Pemuda itu mendelik, menganga heran ke arah Baekhyun. Kata kasar barusan bukan sesuatu yang Chanyeol pikir akan jatuh dari bibir sang remaja. "Soju telah memburamkan penglihatanku," Baekhyun merengek manja, manik mungil semakin sipit yang mengerjap menggemaskan. Remaja itu tergesa-gesa menutup mata dari silaunya cahaya lampu. "Aku mulai buta!" seru Baekhyun, sementara Chanyeol terbahak tidak karuan. "Ini tidak lucu! Berhenti tertawa!"

Tawa pemuda itu memecah keheningan, serentak menuai perhatian dari Joonmyun dan bibi Song sekaligus—keduanya sama-sama menggeleng oleh tingkah mabuk Baekhyun, memarahi sang remaja karena belum mencapai usia legal untuk mencoba soju. Siapa sangka mereka akan melihat sisi "liar" dari manusia mungil yang sangat polos ini? Baekhyun, yang selalu menolak untuk minum. Baekhyun, yang tidak mau berkata kotor ataupun mendengar orang lain mengumpat. Baekhyun, yang hanya menebarkan kebaikan kepada orang sekitarnya. Siapa saja akan pingsan melihat transformasi drastis tersebut.

"Kau beruntung aku tidak mengabadikan momen bersejarah ini," Chanyeol menggelak tawa, menghampiri Baekhyun untuk membantu sang remaja berdiri, mengalungkan lengan pada bahunya. Sungguh, pemuda itu masih tidak percaya ia akan mendengar si polos Baekhyun mengumpat. "Ayo pulang."

Baekhyun tertidur pulas sepanjang perjalanan, bernafas tenang dengan kepala tersandar ke pintu. Dalam keadaan mabuk berat, sang remaja masih cukup sadar untuk berjalan sendiri (meski sangat tertatih-tatih), mencengkeram lengan Chanyeol demi keseimbangan. Pemuda itu menuntun Baekhyun menuju apartemen, tergesa-gesa membuka kunci sebelum mengistirahatkan sang remaja di sofa. Chanyeol terlebih dahulu melepas jaket Baekhyun lalu mengangkat remaja itu secara bridal style ke kamar, meletakkan tubuh mungilnya pada ranjang—memanfaatkan lampu jalan di luar sebagai sumber cahaya dalam kegelapan. Baekhyun mendengkur lembut, sementara Chanyeol menggeleng geli, jemari lebar berproses untuk melucuti kaus kaki sang remaja.

Selimut biru bermotif beruang lantas membungkus Baekhyun, hanya menyisakan kepala supaya remaja itu dapat bernafas. Ketika Chanyeol hendak menyalakan lampu tidur, sebuah tangan tiba-tiba meraba pipinya.

"Chanyeol-ah."

Pemuda itu menekan tombol lampu, mengizinkan terang untuk memasuki kamar Baekhyun. Chanyeol mendongak, mengamati obsidian sang remaja yang mengerjap lemas. "Hyung," ia langsung mengoreksi. Pada waktu yang sama, darah tiba-tiba mengalir dari hidung Baekhyun, cairan merah menuruni mulut remaja itu. Chanyeol seketika panik, tergesa-gesa berlari meraih sapu tangan dari lemari. "Baekhyun, kau mimisan!" pemuda itu sedikit berseru, secara hati-hati mengusap darah tersebut hingga hilang.

Ketika Chanyeol kembali dengan kompres dingin, ada sebuah ekspresi asing di mata Baekhyun. Pemuda itu menempatkan kain tersebut pada hidung sang remaja, menata posisi supaya es batu yang terbalut di dalamnya tidak jatuh. Baekhyun terus menatap Chanyeol, bibir setengah terbuka untuk berbisik, "Aku sedih."

Atensi pemuda itu berada pada mimisan Baekhyun. Ia menghela nafas lega saat mengetahui bahwa darah berangsur-angsur berhenti. "Kenapa?" Chanyeol cepat-cepat bertanya begitu menyadari pernyataan Baekhyun tadi.

"Karena aku..." Baekhyun meneruskan, suara lambat laun bertambah lembut—tertelan oleh rasa kantuk. Manik remaja itu semakin sayu, pandangan akan wajah bingung Chanyeol berangsur-angsur buram. Sang pemuda mengerutkan dahi. "Aku telah mengecewakan..."

"Mengecewakan siapa?" Chanyeol menggenggam kompres berbekas darah tadi. Fokus pemuda itu kini berada pada maksud ucapan Baekhyun. "Apa yang kau lakukan?"

Chanyeol mengulurkan salah satu tangan untuk mengelus poni Baekhyun ke belakang, menyingkirkan helai-helai tadi dari mata sang remaja. Terselip sebuah jeda sebelum Baekhyun bergumam sedih: "Jatuh cinta padamu."

Chanyeol terhenti, tangan sejenak beristirahat pada puncak kepala Baekhyun. Kendati pelan, kalimat barusan mendengung jelas bagi pendengaran pemuda itu, sebuah alasan mengapa jantungnya tiba-tiba berdebar cepat sekarang. Ia memandang Baekhyun lama, merenungi sesuatu yang melekat pada kata-kata sang remaja dan menghela nafas panjang. Chanyeol menggeleng, bangkit dari tempat tidur untuk mencuci kompres tadi di kamar mandi.

"Selamat tidur, Baekhyun-ah."

.

.

Ia hampir terjaga semalaman.

Chanyeol hanya terlelap selama satu jam sebelum mendadak terbangun di pagi buta, tubuh berada dalam posisi saling berhadapan dengan Baekhyun. Nafas berbau alkohol menerpa hangat pipi pemuda itu; ia menghabiskan entah berapa menit untuk sekadar menatapi sang remaja, mengamati bibir tipisnya yang sedikit menganga saat tertidur pulas. Sekelebat beban masih bertengger pada benaknya, menghancurkan suasana hati pemuda itu hingga ia ingin keluar kamar.

Usai mandi sekaligus berganti pakaian lebih rapi (kemeja putih garis-garis dan jeans biru), kini Chanyeol berada di dapur, mempersiapkan makanan bagi Baekhyun—jemari memegang spatula, membalik telur dadar di wajan ketika satu sisi telah matang. Ia menata telur tersebut di atas nasi, mematikan kompor lalu mengistirahatkan punggung pada lemari es di sebelahnya. Lima belas menit lagi pemuda itu harus ke kampus untuk diskusi kerja kelompok, mempersiapkan materi bagi presentasi minggu depan. Memasuki semester tujuh, mata kuliah yang ia ambil memang menipis tapi presentasi kelompok justru menumpuk. Ini belum termasuk teror dosen pembimbingnya untuk mempercepat penyusunan skripsi, padahal pemuda itu belum mengulang satu mata kuliah bernilai "D" yang dapat diambil pada semester genap.

Sesuatu menyerupai frustrasi berdenyut dalam kepala Chanyeol. Pemuda itu telah melupakan masalah krusialnya untuk drama percintaan mereka. Ia baru menyadari bahwa waktu berjalan terlalu cepat. Terakhir kali Chanyeol pusing memikirkan nilai "D" adalah semester kemarin; setelah itu, hidupnya berlalu dengan hantaman isu keluarga dan ia tidak mempunyai ruang untuk merenung tentang perkuliahan—justru bergantung pada Baekhyun untuk mencari penghiburan. Rupanya, Tuhan atau Dewa di luar sana (jika ia memang ada) mempunyai rencana lain.

"Jatuh cinta padamu."

Suara dan raut muka polos Baekhyun menghantui ingatan Chanyeol, membebaskan sebuah hela nafas yang dari tadi ia tahan. Tentu saja pemuda itu tidak bodoh untuk menyadari perasaan sang remaja. Setiap sentuhan dan ciuman yang Baekhyun serahkan padanya merupakan indikasi bahwa ia menyukainya. Malam di mana Chanyeol terbawa suasana hingga tergugah untuk mencium Baekhyun, ia akhirnya memperoleh sinyal bahwa mereka saling menaruh perasaan. Sejak itu pula, ada perubahan dalam cara mereka memperlakukan satu sama lain.

Chanyeol mendeskripsikan hubungan mereka sebagai teka-teki yang rumit. Pada satu sisi, mereka tahu bahwa mereka saling menyukai. Namun, di sisi lain, Chanyeol melihat sebuah garis yang masih memisahkan mereka: status untuk mengikat keduanya lebih serius. Meskipun tindakan dan afeksi mereka mengungkapkan semuanya; tetap saja, pemuda itu tidak merasa "lengkap" jika hubungan mereka hanya berjalan tanpa label. Mungkin beberapa alasan sudah memengaruhi Baekhyun untuk berhati-hati, dan setelah pengakuan sang remaja kemarin, Chanyeol tahu seperti apa alasan tersebut.

Rasa bersalah. Cemas. Ragu-ragu. Takut untuk menjadi berbeda dari yang lain.

Chanyeol pun tidak munafik untuk mengakui bahwa ia merasakan hal yang sama.

Percintaan sesama jenis dianggap tabu bagi lingkungan mereka yang konservatif. Melihat sikap sopan santun Baekhyun, Chanyeol dapat berkesimpulan bahwa ia berasal dari keluarga harmonis yang mementingkan nilai moral dan tradisi kolot. Dilihat dari bagaimana sang remaja sangat mengidolakan ayahnya, ia mungkin merasa "bersalah" karena tidak mematuhi sang ayah. Terlebih menyangkut hal seperti ini, di mana menurut perspektif orang adalah dosa yang fatal.

Chanyeol mengerti kebimbangan Baekhyun. Apabila harus jujur, pemuda itu juga tidak tahu kapan ia mampu memberitahu Yoora dan ibu. Chanyeol takut akan konsekuensi terburuk, tapi pada saat yang sama, ia tidak ingin menyembunyikan rahasia ini selamanya. Terlebih jika hubungan mereka akan benar-benar menjadi serius. Pemuda itu bukanlah pengecut untuk tidak mengakui suatu hubungan gara-gara nilai konservatif lingkungan mereka.

Lagi pula, apakah Chanyeol salah untuk mencintai orang yang ingin ia cintai?

"Hyung?"

Suara serak Baekhyun membuyarkan lamunan pemuda itu. Ia spontan menengadah, melihat betapa lambat sang remaja menyeret kakinya ke dapur—tangan mungil terus memegangi kepala. Wajah Baekhyun sedikit pucat akibat hangover; rambut tidak karuan serta mata kian sipit dari biasanya. Ia lantas menempati sebuah kursi kosong di meja makan, mengamati sarapan pagi yang tersedia di sana, lengkap dengan plastik berisi pil dan segelas air putih.

Raut muka Chanyeol iba. "Makanlah dahulu," ia berkata lembut, mendorong sumpit ke arah sang remaja. "Setelah itu, minum painkiller dan tidur lagi."

"Hm," Baekhyun memijat-mijat kulit kepala, seakan-akan tindakan tersebut sedikit meringankan migrain berat yang mengganggu kinerja inderanya. "Apakah ini efek dari alkohol?" remaja itu sekilas melirik jam dinding, mengerang kala dihadapkan pada angka 08:55. Ia sudah terlambat. "Ah, sepertinya aku terpaksa bolos sekolah hari ini."

Chanyeol terkekeh. "Tentu saja," ia merespons santai, "Kau sangat mabuk semalam."

"Maaf merepotkanmu," Baekhyun merengek lucu, membenturkan kepala di meja seperti orang frustrasi. "Semoga aku tidak melakukan hal-hal aneh kemarin..."

Chanyeol melayangkan tatapan jahil. "Kau menjadi cukup..." sebuah jeda seraya Baekhyun mengangkat kepala, menunggu kalimat yang hendak diucapkan sang pemuda, "...menghibur untuk dilihat."

Baekhyun setengah berseru, "Fuck!"

Transformasi sang remaja mengejutkan Chanyeol. Ia seketika mendelik, melototi Baekhyun heran lalu tertawa keras. Pemuda itu tidak menyangka ia akan mendengar remaja itu berkata kotor dalam keadaan sadar. "Kau lucu sekali."

Kendati penglihatan Baekhyun cukup buram, remaja itu secara hati-hati mengunyah telur dadar dan nasi putih—sumpit bergerak pelan supaya ia tidak menjatuhkan makanan. Chanyeol mengambil tas punggung paling besar, memasukkan tas laptop serta dua charger berbeda (satu untuk laptop, yang lain untuk ponsel) ke dalam. Pemuda itu sempat terdiam, merenungkan barang apa lagi yang perlu ia bawa sebelum akhirnya menambahkan binder hitam, tempat pensil, dan satu buku paket tebal. Untung saja hampir seluruh perlengkapan kuliah Chanyeol tersedia di apartemen Baekhyun (sang pemuda bahkan menyediakan sebuah rak khusus kebutuhannya); ia terlalu malas untuk pulang hanya demi menjemput barang.

Baekhyun mengamati Chanyeol dari meja makan. "Kau akan ke kampus?"

"Yup," Chanyeol menjawab, memakai kaus kaki sembari mengecek ponsel. Kris sudah menunggu sang pemuda di perpustakaan kampus. "Maaf tidak bisa menemanimu. Aku akan kembali nanti sore."

"Hati-hati, Hyung."

Chanyeol mencuri beberapa detik untuk menghampiri Baekhyun, memegang bahu sang remaja guna mengecup dahinya. "Sampai jumpa nanti," ucap pemuda itu singkat, menampilkan sebuah senyum kecil yang sangat mempesona bagi siapa pun yang melihatnya. Jantung sang pemuda diam-diam berdegup kencang, salah tingkah entah karena pengakuan Baekhyun tadi malam atau rasa malu yang berlebihan.

Chanyeol tergesa-gesa memutar tubuh untuk menghindari reaksi sang remaja. Namun, sebelum ia berbalik, pemuda itu sempat melihat betapa merah telinga Baekhyun.

.

.

Bunyi lantang gitar akustik, permainan drum sederhana, serta suara berat Chanyeol mengisi speaker. Anggota Wanderlust kini berkumpul di tempat latihan mereka, secara seksama mendengarkan demo milik Chanyeol. Semua tampak terpikat oleh pilihan nada sang komposer; mereka dapat membayangkan permainan instrumen masing-masing, tidak sabar untuk menata lagu tersebut sesuai khas Wanderlust. Sehun terlebih dahulu menggerakkan tangan, seolah-olah berimajinasi tentang permainan drum yang tepat.

"Kau benar," sang drummer menyetujui pernyataan Seulgi di awal, kala ia memberi perkenalan singkat tentang komposisi tersebut. "Ini adalah lagu yang romantis dalam caranya sendiri."

Kyungsoo mengangguk. "Suara Seulgi akan terdengar indah menyanyikan lagu ini," dahinya mengerut penuh konsentrasi. "Aku akan memikirkan aransemen yang bagus untuk memoles beberapa bagian..." sang pemain keyboard lantas melempar tatapan pada Chanyeol. "Apa judulnya?"

Seulgi menjadi orang yang menjawab pertanyaan tersebut, "May I."

Kyungsoo mengangguk lagi, kali ini lebih yakin.

"Hyung!" Sehun memeluk Chanyeol dari samping, berseru manja seperti anak kecil. "Apa kau menyukai seseorang? Kenapa tidak memberitahuku?"

Chanyeol menghela nafas risih.

"Yah, yah," Seulgi menjambak ringan rambut Sehun, otomatis melerai sang drummer dari komposer mereka. "Kembali ke posisi masing-masing. Kita perlu mengaransemen ulang lagu ini."

.

.

Entah kenapa, cuma secuil pengunjung yang mengerubungi pantai eurwangni pada sore ini. Kumpulan orang memang memadati sejumlah titik—baju sedikit terbuka di tengah hawa menjelang dingin—namun jumlah mereka tidak sebanyak biasanya. Para pengunjung memanfaatkan suasana sepi tersebut untuk berfoto ria, memperebutkan spot tertentu—mencuri sisa sinar matahari demi mengambil gambar. Samar suara mereka dan kicauan burung bergabung menjadi satu, sebuah musik yang mengiringi kesunyian pantai.

Chanyeol mengikuti Baekhyun dari belakang, hazel terpaku pada arus ombak yang bergerak tenang, seolah-olah lega untuk melihat kehadiran mereka. Satu jam yang lalu, keduanya masih di apartemen Baekhyun, menonton acara televisi tentang seafood hingga sang pemuda tiba-tiba mengusulkan untuk mengunjungi pantai—mengingat bahwa perjalanan ke eurwangni memakan waktu singkat. Sekarang, di sinilah mereka berdiri, perut terlebih dahulu kenyang usai memakan cumi bakar dua meter dari lokasi. Chanyeol bersyukur mereka mendatangi tempat wisata itu kala sedang sepi.

Kaki Baekhyun ragu-ragu mendekati pinggir laut, tertawa melihat pasang surut ombak yang menerjang kakinya—membasahi bagian paling bawah jeans remaja itu. Chanyeol berjalan ke samping Baekhyun, membawa kamera polaroid di salah satu genggaman. "Yah," ia memanggil, mengarahkan benda kecil itu pada direksi mereka, dan Baekhyun mengerti maksud isyarat barusan. Mereka sama-sama melihat lensa, memasang senyum terbaik saat bunyi "klik" memasuki pendengaran. Sebuah foto seketika keluar dari kamera tersebut, dan Chanyeol diam-diam meleleh melihat hasilnya.

Baekhyun kembali memandang ke depan, tubuh berputar untuk menatap sekeliling. "Indah sekali..." ia bergumam pada diri sendiri, mengeluarkan ponsel guna mengambil gambar.

Chanyeol mengeluarkan dompet, secara hati-hati menaruh polaroid selfie mereka di dalam. Sang pemuda kemudian meledek remaja itu: "Lebih indah mana dengan sungai Han?"

Baekhyun mengernyitkan dahi. "Hm," ia terkikik gemas, "Pilihan yang sulit."

Chanyeol menelan liur, hazel waswas mengamati Baekhyun, mempersiapkan diri untuk mengatakan sesuatu. Sebuah alasan kenapa ia "mendadak" mengajak sang remaja ke pantai. "Baek?" ia memulai, rasa tegang menghamburkan kepercayaan diri pemuda itu.

Baekhyun menoleh, dan di situlah Chanyeol tahu bahwa seluruh kata-kata yang ia praktikkan tadi pagi telah menghilang. Sang pemuda harus terlebih dahulu membuang muka agar mampu berbicara, "Lagu yang beberapa waktu lalu aku nyanyikan, kau ingat?"

Ekspresi kosong Baekhyun lambat laun bersinar oleh ingatan. "Oh!" ia setengah berseru, "Apa kau hendak menunjukkannya padaku?"

Melihat reaksi Baekhyun yang jauh dari ekspektasi, Chanyeol otomatis bersemangat. Ia langsung mengangguk. "Kami akan menampilkan lagu itu untuk sebuah lomba band," sang pemuda memberitahu, intonasi tidak yakin, "Bisakah... kau datang sebagai pendukung kami?"

"Tentu saja!" Baekhyun segera merespons, mengacungkan dua jempol penuh antusias. Chanyeol terkekeh, sekilas merasa lega dengan tanggapan sang remaja. "Aku ingin mendengar lagumu."

Pemuda itu lantas memindahkan atensi pada laut, mengumpulkan keberanian untuk malu-malu berkata: "Kau akan terkejut."

Baekhyun mengernyitkan alis. "Kenapa begitu?"

"Karena aku hanya memikirkanmu selagi menulis lagu itu," Chanyeol mengungkapkan, menoleh untuk menunjukkan hazel intens pada sang remaja. Baekhyun mengedipkan mata linglung. "Seseorang yang menjadi inspirasi laguku harus datang ke penampilan kami."

Baekhyun setengah menganga. "Kau bercanda..." Saat ia hanya menerima sebuah senyum simpul, remaja itu memeluk Chanyeol cukup erat. Sang pemuda membeku di sana, terlalu terkejut untuk melakukan apa-apa. "Terima kasih," Baekhyun berkata lembut, ketulusan terdengar dalam nada bicaranya. Chanyeol membalas rengkuhan sang remaja lebih erat. "Aku merasa terhormat," ia sempat melanjutkan, meletakkan ciuman pendek di telinga pemuda itu. Baekhyun lantas melepas pelukan mereka untuk mengambil ponsel, terburu-buru membuka aplikasi kalender di sana. "Tanggal berapakah kalian akan tampil?"

Chanyeol tertawa, menyukai sikap tidak sabaran remaja itu. "Tanggal 18 November."

Dalam sekejap, antusiasme lenyap dari raut muka Baekhyun. Sebuah ekspresi tidak terbaca mengambil alih wajah cantik sang remaja. Tawa Chanyeol pun ikut terhenti, memiringkan kepala penuh tanda tanya ke direksi remaja itu. "Ada apa?"

Baekhyun menggeleng kecil. "Tidak apa-apa," ujarnya, seketika menjadi ceria lagi. "Aku salah mengingat tanggal ujian sekolahku..." ia menunjukkan ponselnya pada Chanyeol, menampilkan jadwal ujian yang berdekatan dengan tanggal lomba mereka. Pemuda itu berpura-pura merotasi mata muak. "Omong-omong, aku akan menandainya sekarang."

Chanyeol semakin terkekeh oleh ketikan sang remaja.

Wanderlust, let's go!

Pemuda itu mengacak-acak rambut Baekhyun. "Awas saja kau tidak datang."

Sembari saling menatap, Baekhyun meraih kaleng bir dari tas, meminumnya sedikit lalu mengangkat kaleng tersebut di depan Chanyeol. "Tampilkan yang terbaik, Hyung."

Lesung pipi menampakkan diri di pipi sang pemuda. Ia menggeleng, masih tidak percaya bahwa remaja itu sudah terbiasa mengonsumsi alkohol. Chanyeol bagaikan pengaruh buruk bagi Baekhyun; dalam jangka waktu pendek, sang remaja mulai terbawa arus untuk mengikuti gaya hidupnya. Sebelum Baekhyun dapat meminum lagi, Chanyeol terlebih dahulu merebut kaleng itu dari genggaman sang remaja—menghabiskan seluruh isinya dalam sekali teguk.

Asalkan Baekhyun berada di sana, ia tidak mungkin lupa untuk melakukan yang terbaik.

.

.

Beberapa ketukan membuyarkan konsentrasi Chanyeol.

Pemuda itu terduduk di tempat tidur, tangan memainkan gitar dan manik menatap ponsel—mempelajari chord lagu baru. "Ya?" Chanyeol menyahut, dan pintu perlahan terbuka untuk menampilkan Yoora di belakangnya. "Noona?" ia bertanya, menghentikan permainan gitar. "Ada apa?"

"Kenapa kau masih berlatih?" Yoora melirik gitar sang pemuda. "Ini sudah jam dua belas."

Chanyeol memalsukan ekspresi sedih. "Kami akan tampil di empat acara kampus bulan ini..." ia memberitahu sekaligus merenungi jadwal padat Wanderlust. "Oh, dan kompetisi band bulan depan."

"Baiklah," Yoora ikut merengut untuk mendengar sibuknya jam terbang band sang adik. "Aku menunggu mahakarya kalian. Wanderlust, hwaiting!"

Chanyeol menaruh gitar ke tempat tidur, tersenyum tipis ke direksi sang kakak. "Terima kasih."

Beberapa detik setelahnya dipenuhi canggung. Yoora tampak ragu-ragu untuk mengucapkan sesuatu, dan Chanyeol terduduk di sana guna menunggu sang kakak. Wanita cantik itu menelan liur sebelum berkata waswas, "Aku kemari untuk meminta maaf."

"Huh?" Chanyeol mengangkat alis heran. "Untuk apa?"

"Apa yang kulakukan kemarin," Yoora beralasan, manik semakin berkaca-kaca seraya berbicara, "Memanfaatkan masalah orang tua kita untuk menutupi kesalahanku sendiri..." ia tergesa-gesa menyeka air mata yang berjatuhan. "Maafkan aku, Chanyeol-ah. Aku pasti sangat mengecewakanmu."

Pemuda itu langsung berdiri untuk memeluk Yoora, lengan mengitari bahu mungil sang kakak. Sejenak, ia menyadari bahwa kini tubuhnya telah lebih tinggi dari Yoora, bertolak belakang dengan masa lalu. "Jangan dipikirkan," ujar Chanyeol, mengelus lambat punggung sang kakak. Yoora menangis kencang di leher pemuda itu, mencengkeram tangan adiknya erat. "Apa yang telanjur terjadi tidak usah diingat-ingat lagi. Kita hanya perlu memulai lembaran baru dan tidak mengulangi kesalahan yang sama."

"Apa pun yang terjadi, Yoora-noona akan tetap menjadi kakak terbaik yang pernah kumiliki," Chanyeol mengakhiri pelukan mereka untuk menatap Yoora, meremas lengan sang kakak supaya ia tidak tersedu keras.

Di tengah air mata yang terus mengalir, Yoora tersenyum tipis. "Whoa," ia berkomentar singkat, tangisan wanita itu mulai berhenti secara bertahap. "Sejak kapan kau mengatakan hal-hal manis padaku?"

Bibir Chanyeol mengerut lucu. "Aku memang selalu bersikap manis pada Noona."

Yoora sempat terkikik, namun atensi sang kakak segera tercuri oleh beberapa foto polaroid dalam pigura di meja belajar Chanyeol. "Yah," ia menunjuk sosok imut di sebelah Chanyeol. "Siapa anak ini?"

"Hm?" Chanyeol menoleh, mata mengikuti jari telunjuk Yoora. Ia memasang topeng cuek. "Oh, itu Baekhyun."

Sang kakak mengerutkan dahi. "Baekhyun?"

Chanyeol mengangguk. Akan tetapi, karena ekspresi Yoora masih saja bingung, pemuda itu memperjelas deskripsinya: "Kau tahu, orang yang apartemennya sering kutumpangi."

Yoora melayangkan pandangan linglung. "Benarkah? Aku tidak tahu..." ia mengonfirmasi lagi, bola mata bergerak ke samping—suatu kebiasaan jika sang kakak berusaha mengingat sesuatu. "Kurasa kau belum memberitahukanku tentang Baekhyun? Apakah ia sahabat barumu? Kalian terlihat sangat dekat."

"Karena memang tidak ada yang harus diberitahu," Chanyeol malas-malasan menjawab, menghindari serangan pertanyaan sang kakak. Sungguh, pemuda itu tidak ingin membahas topik ini lebih detail. Ia menolak untuk melabelkan Baekhyun sebagai "sahabat biasa", tapi di saat yang sama, ia tidak siap untuk mengungkapkan realita. Lagi pula, kendati tidak pernah bertemu, Chanyeol sering menyebut Baekhyun dalam lima bulan terakhir. Seharusnya Yoora akan merasa familier dengan nama sang remaja. "'Noona, aku akan menginap di apartemen Baekhyun'?" pemuda itu menirukan alasan khasnya sejak kemarin, "Kupikir aku sering mengatakan ini."

Pandangan Yoora tetap hampa. "Tampaknya daya ingat kakakmu sudah menurun," ia menghela nafas pasrah. "Aku tidak terlalu memperhatikan dengan siapa saja kau berpergian."

Tentu saja, Chanyeol tidak terkejut. Kala itu, Yoora sedang tertekan oleh banyak masalah, mulai dari Seungho yang lari dari tanggung jawab hingga pertengkaran orang tua mereka. Wanita itu pasti kesulitan untuk fokus pada hal-hal sepele. Toh, Chanyeol juga terlalu sering berpergian untuk menginap ke rumah teman sebelumnya. Ada kemungkinan besar sang kakak spontan menganggap bahwa ia akan berada di tempat tinggal Sehun atau Kris.

Yoora menguap lebar, mengangkat kedua lengan ke atas. "Aku akan tidur," ia bilang, terdahulu berbalik untuk keluar dari kamar. "Jangan terjaga sampai pagi. Kau butuh istirahat."

Begitu pintu tertutup, Chanyeol akhirnya mampu bernafas lega. Ia mengembalikan atensi pada pigura, memandangi tiga foto polaroid mereka dengan latar berbeda—sebuah senyum tulus mengembang pada parasnya yang tampan.

Pemuda itu tidak menyangka ia akan berada pada titik ini. Titik di mana ia menjadi seseorang yang tidak gentar untuk menghadapi masalah, mampu untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan, dan memperoleh kekuatan dari kelemahannya. Chanyeol tahu bahwa ini tidak mungkin terjadi jika bukan karena Baekhyun. Sang remaja telah menemaninya sejak awal; ia menguatkan dan menghibur Chanyeol tanpa mengharapkan balasan.

Baekhyun, dengan ketulusan dan kebaikannya, mengulurkan tangan secara cuma-cuma bagi seorang pemuda yang baru ia kenal dan menolongnya untuk bangkit. Baekhyun, dengan kesederhanaannya, tidak menawarkan apa-apa melainkan harapan agar Chanyeol bisa bahagia lagi. Ia tidak pernah lelah untuk menyemangati Chanyeol, menghapus air matanya, dan mengembalikan senyum pada wajah pemuda itu. Baekhyun memperbaiki Chanyeol, sedikit demi sedikit, menyambung satu per satu puing yang pecah dan menyatukan mereka lagi saat puing-puing itu jatuh dalam sekejap.

Dari miliaran orang yang hidup di dunia ini, Chanyeol bersyukur ia telah diberi kesempatan untuk mengenal Baekhyun.

.

.

Suara batuk yang sangat keras menginterupsi kesunyian.

Baekhyun berlari ke kamar mandi, tergesa-gesa menyalakan keran dan memuntahkan darah pada wastafel, cairan merah kental yang lama-kelamaan berlarut dengan air. Dada remaja itu naik-turun tidak karuan, tangan mencengkeram keran seperti kesulitan untuk bernafas. Ia terbatuk-batuk lagi, cairan merah lebih banyak terdorong keluar lewat mulut, membasahi bibirnya yang kering. Ia cepat-cepat membasuh mereka, terus meludah dan mencuci mulut hingga sisa darah tidak menempel pada deretan giginya.

Usai memastikan bahwa ia sudah bersih, Baekhyun menatap refleksinya di kaca, mengamati betapa pucat wajah cantik itu di bawah cahaya lampu. Ia nyaris terlihat seperti mayat hidup. Remaja itu membasahi bibir, air mata lambat laun mengintip di balik obsidian yang mungil. "Kumohon," ia mengemis, entah kepada siapa, suaranya pecah seolah-olah hendak menangis. Baekhyun meletakkan tangan pada dadanya, menahan sesak yang kembali menyerang pernafasannya. "Berikan aku waktu sedikit lagi."

"Baekhyun?"

Suara Chanyeol menyadarkan Baekhyun dari tangisan pelan, diikuti oleh bunyi pintu yang ditutup cukup lantang. Remaja itu cepat-cepat menyeka air mata, mengais oksigen sebanyak mungkin untuk menenangkan paru-parunya—menunggu hingga dadanya bergerak lebih rileks. Ia memandang refleksinya satu kali lagi, memasang ekspresi datar sebelum keluar dari kamar mandi. Chanyeol telah berada di ruang tengah, menata dua kotak Dunkin Donuts pada meja makan. Pemuda itu langsung menoleh begitu merasakan kehadiran Baekhyun, dahi spontan mengerut.

"Kau pucat," ia memperhatikan wajah sang remaja, bergerak mendekat untuk menjamah dagunya. "Apa kau sakit?"

Baekhyun mengedikkan bahu santai. "Aku memang selalu pucat."

Chanyeol tampaknya memercayai alasan itu. "Aku membawakanmu donat," ia memberitahu, sekilas membuka kotak Dunkin Donuts tadi ke hadapan Baekhyun—menampilkan enam donat berbagai rasa yang didominasi oleh selai stroberi.

"Terima kasih," Baekhyun menjawab ala kadarnya, agak panik Chanyeol akan menanyakan kondisinya. Selama beberapa detik, mereka hanya berdiri di sana dalam hening, dan Baekhyun mendongak, menyadari hazel intens Chanyeol padanya. Remaja itu mengedipkan mata bingung, alis semakin mengernyit. "Kenapa?"

Sepasang bibir tebal tiba-tiba berada pada mulutnya, menghisap dan mengulum sangat terburu-buru. Baekhyun segera menutup mata, menyerahkan tubuhnya bagi Chanyeol ketika pemuda itu mendorongnya ke dinding, tangan mereka saling mengitari satu sama lain untuk menjamah teritori tertentu. Jemari lentik meremas rambut pemuda itu; mereka bergerak secara sensual dari kepala menuruni pipi selagi Baekhyun membalas ciuman Chanyeol sama cepatnya, nafas terengah-engah karena Chanyeol tidak membiarkan keduanya beristirahat. Saliva bertebaran di sekeliling mulut mereka, dan pemuda itu terlalu lihai memakai lidahnya untuk menjilat semuanya, menyapa benda tidak bertulang Baekhyun dalam pertikaian yang panas.

"Kamar," remaja itu setengah merintih, dipenuhi oleh nafsu saat tangan Chanyeol menyelipkan diri dalam kausnya—meraba lalu memijat putingnya lambat. "Kita harus ke kamar."

Sang pemuda mengangkat Baekhyun dalam pelukan, kaki jenjang melingkar pada pinggangnya dan tangan kekar mengelilingi pinggul remaja itu. Mereka tidak berhenti berciuman selama Chanyeol membawa Baekhyun ke kamar, bibir pemuda itu mulai berani untuk menebarkan jejak ke leher sang remaja. Dalam waktu singkat, segala helai benang tidak lagi memisahkan tubuh mereka, tumpukan pakaian tercecer berantakan di lantai—mengizinkan kulit antar kulit untuk bersentuhan mesra. Baekhyun menahan nafas ketika Chanyeol meletakkan dirinya ke atas matras—tubuh pemuda itu berada di atas sang remaja—gigi menggigit area perpotongan leher dan dadanya, sengaja meninggalkan bekas merah sebagai tanda kepemilikan.

Tangan-tangan saling menyentuh tubuh satu sama lain, jiwa dikuasai keserakahan untuk menjelajah seluruh bagian—jemari meraba, meremas, dan mengusap setiap inci. Baekhyun merintih selagi Chanyeol melarikan kecupan pada setiap titik kulitnya, menghisap sedikit kasar lalu berbalik untuk menyatukan bibir mereka. Baekhyun menarik Chanyeol sangat dekat, hidung sekilas terbentur dan tangan meremas bahu sang pemuda—pikiran kalang kabut oleh gesekan dada mereka saat keduanya bercumbu; betapa memabukkan nafas Chanyeol saat udara hangat itu menyapa wajahnya. Remaja itu menginginkan lebih, dan kali ini, ia tidak mau mengontrol nafsunya seperti dahulu.

Chanyeol pikir ia pun tidak mampu lagi menahan diri, membebaskan apa saja yang tangan dan bibirnya dambakan dari tubuh Baekhyun. Meski mereka terbiasa melakukan skinship mesra, pemuda itu selalu takut untuk melewati batas. Ia bahkan tidak tahu apa yang merasukinya untuk tiba-tiba mencium Baekhyun begitu bergairah. Satu pandangan pada wajah cantik sang remaja, dan segala pertahanannya runtuh, tersisa oleh nafsu dan gairah yang diam-diam ia pendam sejak awal. Kini, melihat betapa haus Baekhyun terhadap sentuhannya, Chanyeol merasa lega bahwa nafsu ini sama-sama menyengsarakan mereka.

Jari-jari mungil lantas memijat lengan Chanyeol, dari sana bergerak perlahan menuju kejantanan pemuda itu, ragu-ragu memegang layaknya anak kecil yang pertama kali menyentuh sesuatu. Chanyeol mengerang, sekilas menunduk untuk memandang jemari lentik Baekhyun yang membungkus penisnya, sebuah pemandangan yang dahulu sebatas fantasinya saat melakukan masturbasi. Pemuda itu lantas menengadah, hazel seketika terjebak dalam obsidian Baekhyun, semakin bergairah oleh nafsu yang tersorot dari manik sang remaja. Ia menempelkan dada keduanya, bibir menyerang leher remaja itu dan tangan sebaliknya menyelinap ke belakang tubuh Baekhyun, meremas pinggulnya berkali-kali—terobsesi pada kekenyalan kulit di sana.

Salah satu tangan Baekhyun mencengkeram bahu Chanyeol, sementara yang lain menuntun kejantanan pemuda itu pada lubang pinggulnya, menggesekkan kepemilikan mereka secara lambat. "Aku menginginkanmu," ia berbisik mesra, suara serak yang menaikkan bulu kuduk Chanyeol. Pemuda itu menggertakkan gigi, berdesah tertahan kala jemari Baekhyun beralih untuk memijati penisnya. "Bisakah aku merasakanmu, Hyung?"

Chanyeol menelan liur, sejenak membungkuk untuk mengecup dahi sang remaja. "Kau akan merasa sakit," ia memperingatkan, kata-kata yang bertolak belakang dengan benaknya sekarang. Pemuda itu pun sedang menahan diri untuk tidak memasukkan kejantanannya dalam tubuh Baekhyun. "Apa kau yakin?"

Anggukan sang remaja adalah jawaban yang cukup bagi Chanyeol.

Mereka bercinta secara lembut dan hati-hati, menikmati setiap detik dan menit yang berlalu, saling memanjakan lewat sentuhan dan ciuman yang mesra—memastikan bahwa tangan sudah menjangkau seluruh kulit telanjang satu sama lain. Ketika tubuh mereka bersatu, Chanyeol bergerak sangat pelan di atas Baekhyun, memandang bagaimana tubuh indah remaja itu menggeliat oleh sensasi yang luar biasa nikmat. Sang pemuda mencondongkan badan lebih dekat, menciumi rambut Baekhyun seraya menggeram, suara serak yang menyalurkan nafas panas di telinga Baekhyun. Chanyeol tidak sanggup menghadapi remasan dinding remaja itu terhadap penisnya, dan begitu Baekhyun mulai merintih sensual, sang pemuda tahu bahwa ia akan bergerak lagi.

"Ah," Baekhyun nyaris mencicit, mengikuti ritme Chanyeol yang berangsur-angsur cepat. Pemuda itu mengeluarkan lalu memasukkan kejantanan dalam tempo yang tidak masuk akal, menyukai pijatan-pijatan kasar yang diberikan Baekhyun. Dua pasang mata saling memandang, begitu intens serta diliputi oleh gairah, dan sang remaja memejamkan mata, merintih karena ujung penis Chanyeol terus menekan prostatnya, menyerang titik nikmat itu berulang-ulang hingga ia ingin ambruk. Hentakan Chanyeol bergerak di luar kendali; kini mereka sama-sama mengejar pelepasan, mencengkeram satu sama lain sebagai pelampiasan untuk rasa puas yang sungguh gila ini.

Chanyeol memegang penis Baekhyun, memompa milik sang remaja hingga ia tidak berhenti mendesah, tubuh akan meledak oleh sensasi penetrasi Chanyeol dengan belaian sang pemuda pada kejantanan. Bunyi kertak dari tempat tidur tidak mengganggu mereka untuk saling memuaskan, suara tepukan antar kulit yang bertemu serta rintihan keras mengisi kesunyian dalam apartemen. Nafas mereka memburu, mengetahui bahwa puncak yang ditunggu-tunggu sudah dekat, dan Chanyeol menghentak-hentakkan pinggul ke depan dan ke belakang, memandang tubuh mereka yang menyatu begitu sempurna. Jemari pemuda itu merangkak untuk meraba kulit Baekhyun dari atas ke bawah, rindu untuk menyentuh kelembutan di sana sebelum ia dapat meraih kenikmatan.

Orgasme menerjang Baekhyun secara tiba-tiba, mengacaukan pikiran remaja itu sampai ia tidak mampu berkata-kata, mendesah pelan sambil mencengkeram lengan Chanyeol—cairan putih kental tumpah ke jemarinya. Sang pemuda masih mendorong kejantanan dalam kecepatan yang tidak terkontrol, keringat membasahi dahi dan tangan memegang pinggul Baekhyun, sesekali meremas kulit kenyal remaja itu. Chanyeol menikam lebih dalam, mengerang tertahan ketika ia meraih puncaknya, menuangkan bukti pelampiasan dalam tubuh Baekhyun. Mereka terdiam untuk durasi yang cukup lama, sama-sama menunggu sampai pernafasan mereka berbalik stabil dan tidak terengah-engah seperti tadi.

Chanyeol perlahan mengeluarkan kejantanan, sejenak menuai rintihan lemah dari Baekhyun. Pemuda itu menyeka cairan putih di badan Baekhyun menggunakan tisu, hazel sayu memandangi raut muka mengantuk sang remaja. Ia lantas melempar tisu tadi ke tempat sampah, secara hati-hati mengambil selimut untuk melindungi tubuh mereka dari dingin. Salah satu lengan kekar pemuda itu segera mengalungkan diri di pinggang Baekhyun; di sampingnya, sang remaja seperti menemukan rumah untuk membenamkan wajah di leher Chanyeol.

Satu kecupan pada puncak kepala Baekhyun dan keduanya sama-sama terlelap.

Hanya saja, ada satu kalimat yang Chanyeol lupa katakan pada remaja itu, dan ia berharap Baekhyun tetap mengetahuinya sekalipun tidak diucapkan.

Aku mencintaimu.

.

.

"Ini adalah tempat favoritku."

Baekhyun memberitahu, sekilas menoleh ke direksi Chanyeol untuk melihat reaksinya. Pada malam yang cukup dingin ini, mereka berada di puncak apartemen sang remaja—sebuah lapangan lebar yang agak dipadati oleh barang-barang tidak terpakai milik penghuni. Meski begitu, pemandangan yang ditunjukkan dari sana benar-benar mempesona. Lampu-lampu jalan bagaikan taburan bintang yang menerangi gelapnya langit; kendaraan serta manusia yang berlalu-lalang tampak menyerupai miniatur.

"Cantik," Chanyeol berkomentar, sejenak termenung untuk mengapresiasi keindahan sekitar. Ia kemudian meninju bahu sang remaja main-main. "Kenapa kau tidak mengajakku ke sini sejak dahulu?"

Baekhyun terkikik, senang menerima respons positif Chanyeol. "Lu Han-hyung membawaku kemari dua minggu yang lalu," ia bercerita, mengeratkan jaket untuk menghangatkan diri. "Kami makan ramyeon bersama..." sang remaja meneruskan, perhatian tampak tercuri oleh bunyi klakson antar mobil. "Lu Han-hyung sering menyendiri di sini. Sepi. Tenang. Pemandangan yang cantik."

Chanyeol mengingat siapa Lu Han, tetangga Baekhyun asal Beijing dengan rupa yang tampan. Seorang psikiater berusia 37 tahun di Klinik Kejiwaan Universitas Yonsei; kata Baekhyun, ia memiliki kemampuan bahasa Korea yang menyamai penutur asli. Chanyeol sering melihat remaja itu dan Lu Han saling bertegur sapa setiap pagi, sekadar basa-basi, tapi pemuda itu tidak pernah berbicara langsung dengan sang psikiater. Lu Han adalah tipe tetangga yang berangkat pagi dan menghilang sampai malam.

Chanyeol mengangguk. "Aku bisa mengerti kenapa kalian menyukai tempat ini."

Suasana lantas menjadi hening, masing-masing tidak berbicara untuk mengamati pemandangan di bawah mereka. Ketika Chanyeol ingin mengawali topik baru, Baekhyun terlebih dahulu melakukan itu, "Bagaimana persiapan Wanderlust sekarang?"

"Tidak ada masalah," jawab Chanyeol, mengangkat alis santai. "Masih sebulan lagi."

Baekhyun menjinjit untuk meluruskan rambut Chanyeol ke belakang. "Lakukan yang terbaik, Hyung."

"Karena kau akan datang, aku tidak mempunyai pilihan lagi selain melakukan yang terbaik," pemuda itu menjanjikan, menampilkan senyumnya yang sangat menawan.

Baekhyun tertawa, menoleh ke depan sembari menggeleng oleh sikap genit sang pemuda. Ia kemudian bersenandung lembut, mendengungkan alunan lembut yang menghipnotis Chanyeol untuk terus menatap remaja itu. Kendati sebatas senandung yang malu-malu, suara Baekhyun tetap terdengar merdu—sebuah lulabi yang akan mengantar sang pemuda untuk menjemput mimpi jika kini mereka berada di tempat tidur. Barulah saat memasuki pertengahan lagu, Chanyeol menyadari komposisi apa yang Baekhyun nyanyikan.

"Perhaps Maybe?" pemuda itu bertanya tidak percaya, dan Baekhyun setengah mengangguk. Ia sudah lupa kapan terakhir kali ia mendengarkan lagu ini. Entah kenapa terlalu lambat bagi selera sang pemuda. "Sejak kapan kau mulai mendengarkan lagu-lagu Oohyo?"

"Beberapa minggu yang lalu," Baekhyun merespons datar, pandangan kosong pada langit malam. "Perhaps Maybe adalah salah satu lagu favoritku."

Chanyeol mengernyitkan dahi. "Aku tidak menyangka kau menyukai lagu sedih."

"Entahlah," Baekhyun menghembuskan nafas panjang. "Lagu itu mengungkapkan segala hal yang tidak bisa kukatakan."

"Hal apa—Baekhyun!" Chanyeol spontan melupakan kalimatnya karena darah tampak keluar dari hidung Baekhyun, mengejutkan remaja itu hingga ia langsung menyekanya. Sang pemuda terburu-buru membalikkan badan, berseru di tengah keadaan panik: "Tunggu... tunggu di sini!"

Tidak lama setelahnya, Chanyeol membawa sebuah gumpalan kain berisi es batu, nyaris terjatuh karena terburu-buru berlari pada lantai yang licin. Ia segera mengompres lubang hidung Baekhyun, menahannya di sana sampai darah berhenti menetes—memanfaatkan tangan yang lain untuk menghapus sisa darah di area tersebut dengan sapu tangan. Baekhyun memegang jemari Chanyeol, ingin mengompres sendiri tapi pemuda itu justru menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Hyung," Baekhyun memprotes, mencari-cari hazel sang pemuda supaya mereka dapat berbagi pandang.

Pusat perhatian Chanyeol tetap berada pada darah di gumpalan kain tadi, secara terang-terangan mengabaikan kalimat penenang sang remaja. "Aku sering melihatmu mimisan," pemuda itu akhirnya berkata, sejumlah detik usai memastikan bahwa hidung Baekhyun berhenti berdarah. "Kita harus ke rumah sakit. Sekarang."

Baekhyun menggeleng. "Jangan khawatir, aku akan pergi sendiri..." Chanyeol menyipitkan mata curiga, dan remaja itu memutar mata, meraih kain bekas darahnya untuk dipegang sendiri. "Besok pagi. Sebelum ke kampus, kau bisa menurunkanku di depan rumah sakit."

Ekspresi Chanyeol masih khawatir. "Apa kau tidak apa-apa sendirian?"

Baekhyun mengangguk patuh.

Chanyeol menghela nafas pasrah. Ia cepat-cepat melepas jaket untuk meletakkannya pada bahu Baekhyun, melindungi tubuh mungil sang remaja dari udara dingin. "Ayo kembali," ujarnya, menuntun Baekhyun menuju tangga. "Aku tidak mau kau kedinginan."

.

.

Ini adalah minggu keempat di bulan Oktober. Dua puluh hari sebelum kompetisi indie band tingkat nasional. Meskipun jumlah tidak masuk akal dari tugas dan jadwal bimbingan skripsi menghantam mereka mati-matian, anggota Wanderlust selalu meluangkan waktu untuk latihan. Mereka membawa laptop ke studio musik Seulgi, mencuri menit-menit kosong demi melakukan research bagi kebutuhan tugas—seketika berhenti mengutak-atik Microsoft Word begitu latihan dimulai lagi.

Selama jangka waktu tiga minggu, Wanderlust telah berlatih sangat keras untuk memperbaiki alur lagu, mengaransemen beberapa elemen hingga menciptakan lirik yang lebih cantik dan puitis. Seulgi benar-benar ambisius untuk memastikan bahwa lagu perdana mereka akan terdengar sempurna. Setiap mereka latihan, ada saja hal-hal detail yang gadis itu ingin perbaiki dari penampilan mereka. Mulai dari teknik menyanyi, seberapa baik mereka menyampaikan maksud lagu lewat karakterisasi suara, ekspresi saat tampil, dan permainan setiap instrumen musik yang harus menyesuaikan suasana. Mereka terlalu sering melakukan koreksi sampai Chanyeol lupa mana lirik yang harus ia tampilkan, kapan Sehun memperlambat permainan drum, dan harmonisasi seperti apa yang Kyungsoo tambahkan di beberapa bagian. Bahkan Seulgi pun terkadang melupakan porsi menyanyi yang telah berkali-kali ia ubah. Karena, menurut sang gadis, mereka perlu berlatih sebelum menentukan suara siapa yang cocok menyanyikan bagian tertentu. Proses yang terlalu terperinci ini sering membuat Sehun bersyukur bahwa posisinya hanya sebatas pemain drum.

"Perhatian!" sang maknae mendadak berteriak di tengah sesi latihan intens, memanfaatkan jeda sepuluh detik untuk berbicara, "Bisakah aku keluar sebentar untuk membeli ddeokbokki? Aku sangat lapar..."

"Aku ikut," sahut Kyungsoo dari pojok ruangan, menggerakkan tangan usai kelelahan bermain keyboard.

Seulgi mengangguk ke direksi Sehun. "Baiklah, kita butuh istirahat," ia langsung menyetujui, manik melirik jam tangan yang menunjukkan pukul 18:47. "Ayo berlatih lagi dalam... maksimal dua puluh menit."

Usai melihat Sehun dan Kyungsoo keluar dari ruangan, Chanyeol langsung menoleh pada Seulgi. "Yah."

"Apa?" Seulgi merespons seadanya, perhatian teralih pada layar ponsel—dua ibu jari berlarian lincah di atas keyboard. Senyum ceria yang melekat pada paras cantik sang gadis hanya berarti dua hal: entah ia sedang melihat video anggota DBSK atau asyik merayu Joohyun di KaTalk.

Chanyeol menghela nafas, bersiap untuk mengungkapkan rahasia terbesarnya sekarang: "Aku akan menyatakan perasaanku."

Awalnya, Seulgi setengah mengangguk, raut muka cuek karena atensi masih berada pada cuplikan chat terbaru dari Joohyun. Barulah setelah ia mencerna perkataan Chanyeol, gadis itu langsung melotot tidak percaya. "Apa?!" ia menghampiri sang pemuda, menampilkan ekspresi terkejut yang berlebihan. "Kau akan—apa?!" Chanyeol sedikit memundurkan tubuh, menghindari bentakan Seulgi. "Dengan siapa? Siapa yang kau sukai, Chanyeol? Kenapa kau tidak memberitahuku?"

Pemuda itu memutar mata oleh hujaman pertanyaan sang sahabat. "Jangan berlagak bodoh," ia berkata santai, berlagak memasang ekspresi kesal. "Kau tahu siapa yang kusukai."

"Son Seungwan?" Seulgi menebak, malah menyebutkan nama yang eksistensinya sudah hilang dari memori Chanyeol. Pemuda itu menatap sang gadis datar. "Katamu ia cantik... bukankah kau bilang kau bosan padanya?" sebuah jeda pendek sebelum Seulgi mencoba lagi, "Astaga, jangan bilang kau juga menyukai mahasiswa Thailand itu? Lalisa Manoban atau siapa pun namanya."

"Baekhyun," Chanyeol segera memotong omongan bertele-tele Seulgi, menginterupsi gadis itu karena ia justru mengarang bebas. Melihat kebingungan di wajah Seulgi, sang pemuda mengonfirmasi lebih detail: "Aku berbicara tentang Baekhyun."

Seulgi mengerjapkan mata linglung. "Baekhyun... siapa?"

Chanyeol otomatis tertawa. "The fuck?" ia menganga, menjadi bingung sendiri oleh respons aneh gadis itu. Masalahnya, Seulgi benar-benar terlihat seperti tidak mengenal Baekhyun, dan pemuda itu kesulitan untuk mendeteksi apakah ia berakting atau tidak. Tapi, satu hal yang ia kenal dari Seulgi, sahabatnya tidak pandai berbohong ataupun memalsukan ekspresi. "Ternyata IQ-mu lebih rendah dari yang kuperkirakan," Chanyeol bercanda, menaikkan satu alis main-main. "Apa kau adalah seorang pelupa sekarang?"

"Yah, aku serius..." volume suara Seulgi lambat laun menjadi pelan, seperti ragu-ragu untuk berbicara. Gadis itu mengernyitkan alis, tatapan lurus ke depan—suatu kebiasaan jika ia memaksa dirinya untuk mengingat sesuatu "Aku tidak pernah mendengar nama Baekhyun sebelumnya," Seulgi menggeleng cepat, air muka dipenuhi keyakinan bahwa memorinya benar. Kerutan di dahi Chanyeol pun semakin dalam. "Kau belum menceritakan apa pun padaku."

Pemuda itu membuka lalu menutup mulut, melakukan ini berkali-kali karena ia kehabisan kata-kata. Jika ini adalah salah satu prank sang gadis, Chanyeol berjanji akan menumpahkan teh ke bajunya nanti. "Aku mengenalkanmu, tidak, aku mengenalkan seluruh anggota Wanderlust pada Baekhyun empat bulan yang lalu!" ia menjelaskan, layaknya orang bodoh karena harus mengulang fakta ini lagi. Entah siapa yang sesungguhnya bodoh di sini, ia atau Seulgi. "Baekhyun adalah alasan kenapa aku menulis 'May I'!" Chanyeol sedikit menaikkan suara, lama-kelamaan muak menghadapi raut muka kosong sang sahabat. "Aku bahkan memberitahumu tentang ini... sejak kapan kau cepat melupakan sesuatu, Ddeulgi?"

"Tunggu, tunggu," Seulgi mengangkat tangan, sebuah sinyal supaya Chanyeol berhenti menginterupsinya. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan."

Chanyeol menghela nafas. "Ini tidak lucu," ia memperingatkan, sebuah sinyal mengerikan bahwa ia telah kehilangan kesabaran. "Berhenti menjahiliku."

"Chanyeol," Seulgi mengawali, memiringkan kepala untuk menatap pemuda itu lebih serius. "Alih-alih mengenal Baekhyun, aku bahkan tidak pernah mendengar namanya..." ujarnya frustrasi, tidak mendapati kebohongan dalam intonasi sang gadis. Chanyeol telanjur kecewa melihat Seulgi yang mudah melupakan sesuatu. Di sisi lain, gadis itu pun tampak kesal oleh rotasi mata sang pemuda. "Jangan marah. Aku tidak berbohong."

Chanyeol membuka ponsel, mengacuhkan apa pun keterangan Seulgi. "Lupakan," ia berkata acuh tak acuh, tidak dalam suasana hati untuk beradu argumen. "Aku lelah berbicara denganmu. Terus saja berlagak amnesia."

"Apa maksudmu?" Seulgi menganga tidak terima, terpancing oleh sarkasme Chanyeol. "Aku bersumpah—"

"Teman-teman, kami membawakan ddeokbbokki!" teriakan cempreng Sehun mengganggu pertikaian kecil mereka, mengembalikan hening dalam ruangan seperti semula. Menyadari tensi janggal di antara Chanyeol dan Seulgi, Sehun tiba-tiba tidak tahu harus mengatakan apa, menoleh ke arah Kyungsoo di belakangnya. Sang maknae lantas ragu-ragu bertanya, "Ada apa?"

Seulgi terus memandang Chanyeol, mengabaikan pertanyaan Sehun untuk berkata lantang, "Sehun, Kyungsoo..." intonasi gadis itu dipenuhi amarah, kesal, dan sarkasme yang bercampur menjadi satu, "Apa kalian mengenal seseorang bernama Baekhyun?"

Kyungsoo bahkan tidak melirik mereka, mengunyah ddeokbokki sambil menggeleng santai.

"Baekhyun?" Sehun menaikkan satu alis. "Aku tidak tahu."

Seulgi langsung mendelik ke arah Chanyeol, menampilkan ekspresi puas yang menjengkelkan.

Chanyeol mengernyitkan alis. "Apa kau bercanda?" hazel pemuda itu mengelilingi satu per satu orang dalam ruangan, berharap bahwa ini adalah sandiwara mereka. "Aku mengenalkan kalian padanya empat bulan yang lalu! Aku mengajak kalian untuk minum bersama di kedai langgananku!" secara tidak sadar, Chanyeol berteriak pada mereka, menggerakkan tangan layaknya orang gila, karena tanggapan mereka terhadap argumen sang pemuda hanya sebatas tatapan aneh. "Apa aku bahkan harus menjelaskan secara detail ciri-cirinya?!"

Sebuah hening. Seulgi memutar mata, sedangkan Sehun memandang gadis itu untuk berbisik "apa yang ia bicarakan?".

"Aku tidak mengingat siapa pun yang bernama Baekhyun," sambung Kyungsoo usai kesunyian yang kaku selama beberapa detik.

Chanyeol terus berdiri di sana, tidak melakukan apa-apa selain membuka lalu menutup mulutnya lagi, terlalu bingung untuk meluapkan argumen lain. Ia meneliti raut muka mereka—menunggu mereka untuk tertawa—tapi suasana tetap sunyi. Tidak ada satu pun yang tertawa. Mereka terlihat serius, justru lama-kelamaan bersikap masa bodoh. Sehun kembali berlatih drum, sementara Seulgi dan Kyungsoo sudah berkutat dengan ponsel.

Chanyeol menyeringai kecut, sekilas tertawa remeh. Seulgi pun mendongak, mengetahui benar bahwa itu adalah tanda dari puncak kemarahan sang pemuda. "Ini tidak masuk akal..." Chanyeol melangkah mundur, tidak mampu mengontrol nadanya yang kecewa. "Kenapa kalian mudah sekali melupakan seseorang?"

Seulgi lantas ikut berdiri, mengambil mic dari gagang untuk berbicara: "Maaf memotong pembicaraanmu, Chanyeol," suara sang gadis menggema lantang melalui speaker, dan Kyungsoo meringis oleh bunyi keras yang tiba-tiba tersebut. "Tapi kita harus berlatih. Berhenti mengoceh tentang 'Baekhyun' atau siapa pun nama teman fiksionalmu itu." Ketika Chanyeol hendak mengelak, menyerang sahabatnya dengan argumen lain yang lebih sarkastik, Seulgi terlebih dahulu menginterupsi: "Dua puluh hari lagi kita akan tampil. Bisakah kau bersikap serius untuk kali ini saja?"

Chanyeol mengepalkan tangan. Ia telah bersikap serius sejak tadi. Jika ada orang yang harus dituduh karena bermain-main, orang itu adalah Seulgi. Melayangkan satu tatapan terakhir pada sang sahabat, Chanyeol meraih dompet lalu berjalan menuju pintu. "Sudahlah, aku ingin membeli bir."

Seulgi mendelikkan mata. "Tidak, kita—"

Bunyi pintu yang dibanting merupakan akhir dari perdebatan mereka.

.

.

Ketika Chanyeol keluar dari kamar mandi, ia telah disambut oleh kehadiran Baekhyun di dapur, tangan sibuk menyiapkan roti bakar bagi mereka.

"Jam berapa kau akan ke kampus?"

Chanyeol melirik jam tangan. 08:20. "Jam setengah sepuluh, mungkin," jawabnya tenang, menghampiri sang remaja untuk memakan salah satu roti bakar, "Kau tidak ke sekolah?"

Baekhyun tidak menatap Chanyeol selagi ia merespons datar, "Aku ingin bolos."

Chanyeol memandang remaja itu, menunggu penjelasan lebih lanjut namun Baekhyun tetap diam saja. Barulah selesai menghabiskan roti bakar, pemuda itu terus terang bertanya: "Apa yang terjadi?" ia mendekat, jemari memegang pergelangan tangan sang remaja. "Kau sering bolos sekarang. Jangan pikir aku tidak menyadari bahwa dua minggu ini kau sama sekali tidak ke sekolah."

Obsidian Baekhyun melebar. "Bagaimana—"

"Kau selalu membalas pesanku tepat waktu," ujar Chanyeol, melontarkan alasan di balik kejanggalan tingkah laku Baekhyun. "Pagi dan siang. Sekolah tidak mungkin mengizinkan siswa mereka menggunakan ponsel sebelum jam belajar selesai."

Baekhyun langsung membisu, wajah sedikit memucat. Menyadari ketakutan sang remaja, ekspresi Chanyeol pun melembut. "Kau bisa memberitahuku apa saja, Baekhyun. Aku tidak akan marah..." ia meyakinkan, menaruh tangan pada puncak kepala remaja itu—jemari menelusuri helai-helai lembut supaya Baekhyun tidak merasa terpojokkan. "Apa yang sebenarnya terjadi? Apa kau terkena masalah? Seseorang sering mengganggumu di sekolah?"

Baekhyun menelan liur. "Tidak ada," ia terburu-buru berkata, berjalan menjauhi pemuda itu. "Aku ingin berhenti sekolah saja."

"Kenapa?" Chanyeol memutar tubuh, kaki mengikuti ke mana pun Baekhyun pergi. "Kau tidak sakit..." ia menyebutkan, mengingat bahwa seminggu yang lalu mereka mengunjungi rumah sakit dan Baekhyun tidak terdiagnosa penyakit apa pun. "Kau baik-baik saja. Pasti ada alasan lain kenapa kau menolak untuk ke sekolah."

Chanyeol tahu bahwa bullying adalah isu yang marak terjadi di sekolah, tidak terkecuali zamannya dahulu. Pemuda itu beruntung untuk tidak mengalami bullying karena ia dan Seulgi tergolong anak populer. Meski begitu, mereka selalu membela siapa pun yang diperlakukan buruk, terutama Seulgi. Gadis itu nyaris dipukul oleh salah satu teman lelaki karena membela siswa yang dihina; kalau saja Chanyeol tidak di sana untuk melindungi Seulgi, mungkin ia sudah babak belur.

"Tidak ada apa-apa," Baekhyun terlihat risih oleh keingintahuan Chanyeol, raut muka kian kosong seraya beralasan: "Aku berhenti sekolah karena aku merasa bosan. Aku tidak melihat hasil yang menguntungkan dari sekolah."

Bahu Chanyeol sedikit turun. "Baekhyun..."

"Aku bilang aku tidak ada apa-apa," Baekhyun mengulang, setengah menaikkan volume bicara seperti menahan amarah. Remaja itu terlihat seperti mengontrol dirinya untuk tidak menjerit. "Jangan memaksaku."

Chanyeol mengabaikan intonasi kasar Baekhyun, beralih untuk menggenggam jemari sang remaja. "Apa beasiswamu dihentikan?" ia segera menebak, tidak peduli kalau ia mungkin bersikap lancang. Mereka telah tinggal bersama untuk waktu yang cukup lama, dengan Baekhyun yang menolongnya dari masa-masa sulit hingga ia pulih. Hubungan mereka lebih dari sekadar dekat (setidaknya menurut anggapan Chanyeol); wajar jika pemuda itu ingin membantu sebisa mungkin untuk meringankan masalah sang remaja. "Kalau ini menyangkut masalah finansial, jangan khawatir. Aku akan membiayai kebutuhan sekolahmu."

Baekhyun membuang muka sekalipun Chanyeol layaknya memohon pada remaja itu untuk berkata jujur. "Baekhyun-ah, perjalananmu masih panjang," Chanyeol meneruskan, hazel mencari obsidian yang kian menghindarinya. Remaja itu menundukkan kepala, seolah-olah muak untuk mendengar nasihat panjang Chanyeol. "Kau tidak bisa bertahan jika pendidikanmu terbengkalai. Aku tahu ini terdengar sangat menjengkelkan, tapi kau tidak boleh berhenti sekolah. Kau harus setidaknya lulus dari universitas terbaik dengan GPA tinggi untuk memasuki zona aman..."

"Gelar memang belum pasti menjamin apa-apa, tapi beginilah kualitas yang perusahaan cari di luar sana," Chanyeol menyentuh dagu Baekhyun, mengarahkan wajah sang remaja agar mereka berbagi tatap. Manik mungil itu tidak menyorotkan apa-apa kecuali hampa. "Tahukah kau betapa mengerikannya tingkat persaingan di zaman kita? Apa kau tidak mempunyai cita-cita untuk menjadi seseorang yang sukses?"

Baekhyun mempertahankan kontak mata mereka, bola mata hitam yang dahulunya selalu memancarkan hangat kini menjadi dingin. "Aku tidak membutuhkan cita-cita," ia akhirnya berucap, memegang tangan Chanyeol hanya untuk menyingkirkan jemari itu dari wajahnya. "Aku juga tidak membutuhkan simpatimu. Ini adalah urusanku. Kau tidak perlu ikut campur."

Chanyeol membeku, sekilas terperangah oleh cara bicara Baekhyun, tapi pemuda itu tidak tersinggung. "Jangan berbicara begitu," ia mencoba lagi, ingin menenangkan sang remaja. Mungkin masalah ini mengakibatkan Baekhyun untuk stres berat sehingga ia tidak mampu mengontrol diri. "Kalau kau belum siap menceritakan masalahmu padaku, baiklah. Aku tidak apa-apa," ia meyakinkan, suara lembut yang terdengar sangat sabar meski Baekhyun tidak menanggapinya. Meski Baekhyun terus memperlakukannya kasar seakan-akan tidak menghargai usahanya. "Tapi ketahuilah bahwa aku akan membantumu. Apa saja yang terjadi."

"Tidak usah!" Baekhyun tiba-tiba berteriak, mencengangkan pemuda itu hingga ia melangkah mundur ke belakang—mata melebar karena ledakan emosi sang remaja. Semarah-marahnya Baekhyun, remaja itu tidak pernah bersikap kasar seperti ini. "Aku tidak membutuhkan simpati siapa-siapa! Urungkan niatmu untuk membantuku," suaranya menggema lantang dalam ruangan, menampar Chanyeol oleh transformasi sikap remaja itu. "Seseorang sepertimu tidak akan tahu apa-apa..." ia menggeleng, menyeringai remeh ke direksi Chanyeol—sebuah ekspresi yang pemuda itu tidak sangka akan terpatri di wajahnya.

Dada Baekhyun naik-turun tidak karuan, amarah mengambil alih tindakan sang remaja. "Aku terbiasa menghadapi semuanya sendiri," setiap kata yang tumpah dari bibir Baekhyun membawa sesak pada paru-paru Chanyeol. Pemuda itu memandang Baekhyun tidak percaya, ingin menutup telinga dari ucapan menyakitkan sang remaja tapi ia hanya mampu berdiri di sana layaknya orang lemah—mendengarkan semuanya seraya mempertahankan diri untuk tidak terjun dalam perdebatan. "Aku hidup sendiri. Aku tidak memiliki siapa-siapa," tatapan Chanyeol gemetaran, hazel semakin sendu atas seluruh kalimat yang Baekhyun lontarkan begitu mudah. Tidak ada rasa bersalah dalam obsidian remaja itu. "Jangan mencoba untuk ikut campur. Kau tidak pernah mengalami apa yang aku alami."

Chanyeol berhenti mengalah ketika Baekhyun berujar, "Berhenti berlagak seperti kau sudah melalui segalanya," remaja itu kembali memalingkan muka, menolak untuk menatap raut wajah Chanyeol yang dipenuhi pilu. "Itu memuakkan."

Chanyeol menutup mulut, tangan mengepal hingga memutih karena ia tidak tahu harus berargumen seperti apa, terlalu lemah untuk melanjutkan pertengkaran konyol ini. Ia enggan mengalah lagi, tapi pada saat yang sama, ia tidak mau beradu mulut secara kasar—setidaknya tidak dengan Baekhyun. Pemuda itu tidak menyangka ia akan sangat dikecewakan oleh Baekhyun, terlebih melihat bagaimana Baekhyun secara tidak berperasaan menginjak usahanya untuk menolong sang remaja. Setelah segala masalah yang mereka hadapi bersama, segala kekuatan dan dukungan yang remaja itu berikan bagi sang pemuda, Chanyeol tertohok oleh kenyataan bahwa Baekhyun mungkin tidak menganggap Chanyeol sebagaimana pemuda itu menganggapnya. Seseorang yang penting; seseorang yang lebih dari berarti bagi hidupnya.

Sikap dingin Baekhyun pun memunculkan pertanyaan yang menusuk benak Chanyeol.

Apakah Baekhyun tidak mencintainya sebagaimana Chanyeol mencintainya?

Pemuda itu memutar tubuh, memasuki kamar untuk memasukkan semua barang-barangnya—terburu-buru mendesakkan mereka menjadi satu. Nyeri lama dalam dada Chanyeol menghampirinya lagi, dan ia mengambil nafas panjang, berusaha agar tidak terpengaruh oleh rasa sakit yang sama. Sejenak, pemuda itu ingin tertawa pilu, menertawakan kekonyolan bahwa kali ini orang yang selalu menjadi alasan kenapa ia baik-baik saja telah berbalik untuk menyakitinya. Baekhyun, yang dahulu menaruh perban pada lukanya, kini justru menggores luka lain yang lebih perih untuk dirasakan.

Saat Chanyeol keluar, Baekhyun masih berdiri di posisi yang sama, mata mengamati koper di genggaman sang pemuda.

"Aku tidak akan mencampuri urusanmu lagi setelah ini."

Suara serak Chanyeol memecahkan kesunyian di antara mereka. Pemuda itu lantas melayangkan satu tatapan terakhir, hazel kosong menemui obsidian Baekhyun dari jauh. Sang remaja tidak menjawab, mengalihkan pandangan ke arah lain—sengaja mengabaikan eksistensi Chanyeol, wajah tidak mencerminkan rasa bersalah ataupun sedih. Sekali lagi, tidak ada permintaan maaf. Tidak ada suara yang memohon agar Chanyeol tidak pergi, meski diam-diam pemuda itu mengharapkan ini untuk terjadi.

Dalam keadaan marah dan kecewa yang memuncak, pemuda itu meninggalkan apartemen Baekhyun—membanting pintu di belakangnya.

.

.

Lima hari terasa seperti waktu yang sangat lama.

Chanyeol berpura-pura terlihat ceria, tapi ia pun tahu bahwa ia sesungguhnya jauh dari "baik-baik saja"—bahkan nyaris memasuki fase yang dahulu ia lewati: beban pikiran tidak terkontrol, yang mana akan membawanya pada depresi berat jika bukan karena kehadiran ibu dan Yoora. Sejak pemuda itu meninggalkan apartemen Baekhyun, sang remaja tidak mengabarinya sama sekali. Tidak ada chat yang menanyakan keadaan sang pemuda; tidak ada permintaan maaf. Tidak ada usaha untuk memperbaiki hubungan mereka yang tiba-tiba sudah di ujung tanduk. Baekhyun seakan-akan menutup mata dan telinga dari permasalahan mereka yang ia awali sendiri.

Selama lima hari ini, Chanyeol merenungkan seluruh ucapan Baekhyun di kamar, mencari titik kesalahan dari kata-kata yang pemuda itu lontarkan. Ia tidak tahu apakah ia salah untuk ingin tahu. Ia bingung apakah ia salah untuk menaruh perhatian berlebihan kepada remaja itu. Ia tidak mengerti kenapa Baekhyun marah karena Chanyeol ingin menolong remaja itu, memberikan nasihat yang penting bagi masa depannya. Chanyeol hanya mengharapkan yang terbaik untuk Baekhyun, salahkah jika ia memperingatkan remaja itu untuk mementingkan pendidikan?

Kendati bersikap kasar, entah kenapa, sebagian dirinya yakin bahwa Baekhyun tidak sungguh-sungguh; bahwa Baekhyun tidak mungkin memperlakukan orang sekejam itu, terlebih atas upaya tulusnya untuk membantu sang remaja. Namun, menyaksikan kemarahan berlebihan Baekhyun kemarin, setengah dari dirinya juga tidak yakin oleh isi hati remaja itu—terlalu takut untuk berspekulasi tentang sesuatu yang mungkin akan menyakiti dirinya sendiri. Pemuda itu sejenak terpikir untuk meminta maaf, agar mereka cepat berbaikan dan menjadi seperti dahulu, tapi di saat yang sama, ia pun tidak tahu "kesalahan" apa yang ia lakukan.

Kesalahan untuk menaruh perhatian? Lantas, haruskah Chanyeol berpura-pura tidak peduli terhadap masalah yang Baekhyun hadapi dan menganggap bahwa semuanya sedang baik-baik saja? Perlukah Chanyeol melakukan ini supaya mereka tidak bertengkar? Berbagai pertanyaan yang membingungkan terus mengerumuni kepala pemuda itu.

Tidak, Chanyeol tidak akan terlebih dahulu meminta maaf. Ia enggan mengalah untuk sesuatu yang ia rasa bukan kesalahannya. Sekalipun pemuda itu sulit untuk melewati hari-hari tanpa Baekhyun, sekalipun ia tahu ia sangat merindukan setiap hal kecil tentang remaja itu, ia bisa baik-baik saja. Secepatnya, hubungan mereka akan seperti dahulu lagi. Pertengkaran ini tidak mungkin bertahan terlalu lama.

Sekarang, Chanyeol akan memaksakan diri untuk fokus pada latihan band.

"Hyung, kau tidak apa-apa?"

Suara Sehun membuyarkan Chanyeol dari lamunan. Pemuda itu menoleh, menyadari bahwa ini mungkin sudah keseratus kalinya ia melamun dalam dua jam sesi latihan. "Hm? Ya, tentu saja," ia merespons datar lalu terburu-buru mengganti topik, "Seulgi-yah, haruskah aku menyelipkan harmonisasi di pre-chorus?"

Seulgi mengambil sejumlah detik untuk termenung, mempertimbangkan usul sang sahabat. "Ide yang bagus," Seulgi mengangguk setuju, memperbaiki posisi mic untuk melanjutkan latihan mereka. "Ayo berlatih dari awal. Kali ini aku akan merekam penampilan kita. Perhatikan ekspresi dan permainanmu. Tunjukkan yang terbaik."

.

.

Dua minggu lebih terlewati tanpa tersiar kabar dari Baekhyun.

Remaja itu seperti hilang ditelan bumi. Ia tidak mengubah status di akun KakaoTalk, mempertahankan foto profil yang sama sejak berminggu-minggu lalu. Baekhyun menonaktifkan semua akun sosial medianya, dan Chanyeol mengetahui fakta tersebut sejak minggu pertama mereka bertengkar. Remaja itu seakan-akan sengaja untuk menghindari Chanyeol, melaksanakan permainan saling mengacuhkan yang (entah kenapa) ia awali. Sampai detik ini pun, tidak pernah ada satu tanda yang menunjukkan usaha Baekhyun bagi hubungan mereka. Sang remaja layaknya cuci tangan terhadap apa saja masalah yang kini mereka alami, dan kenyataan ini benar-benar di luar perkiraan pemuda itu. Ia tidak habis pikir pertengkaran mereka akan bertahan lebih dari tiga hari.

Di sisi lain, kegiatan Chanyeol dipadati oleh latihan band maupun jadwal bimbingan skripsi, melelahkan fisik sang pemuda dengan segala kewajiban yang perlu diselesaikan. Ia bangun pagi untuk mencari data, mengoreksi kekurangan dari bab yang ia serahkan pada dosen pembimbing—melaksanakan rutinitas yang sama di larut malam. Usai menyicil skripsi, ia akan langsung pergi ke rumah Seulgi untuk latihan berjam-jam, menyempurnakan penampilan Wanderlust bagi lomba empat hari lagi. Seluruh waktu yang tersisa sengaja sang pemuda sisakan untuk beristirahat, memimpikan Baekhyun hampir setiap ia terlelap.

Mungkin pikiran pemuda itu memang terpusat pada Baekhyun. Setiap hari, ia melewatkan mobil di depan kedai remaja itu, berharap untuk mencuri pandangan atas figur mungil Baekhyun, meski sedetik saja. Tetapi, sepanjang dua minggu ini, Chanyeol tidak kunjung melihat kehadiran sang remaja di sana, menyadari bahwa hanya Joonmyun dan bibi Song yang melayani pelanggan. Bahkan saat pemuda itu berkali-kali menyetir ke sekeliling apartemen Baekhyun pada jam pulang bekerja, keberadaan Baekhyun benar-benar lolos dari jangkauan Chanyeol. Ia seperti menghindar, seolah-olah mengetahui bahwa sang pemuda akan diam-diam mengintainya dari jauh dan menjauhi segala hal yang mengakibatkan mereka untuk bertemu secara tidak sengaja.

Chanyeol benci mengakui bahwa ia sudah terlalu merindukan Baekhyun. Separuh dari dirinya memaksa untuk menyampingkan ego dan meminta maaf terlebih dahulu, namun pemuda itu juga enggan mengalah untuk suatu "kesalahan" yang tidak jelas. Ia membutuhkan penjelasan, alasan dari seluruh pertanyaan yang sudah memenuhi kepalanya sejak dua minggu lalu. Kenapa Baekhyun marah; kenapa Baekhyun memperlakukan sang pemuda sangat berbeda dari biasanya.

Pemuda itu segera terbangun dari posisi terlentang, menoleh ke arah jam dinding—memandang jarum pendek di angka sepuluh dan jarum panjang di angka empat. Ia lelah untuk terus-menerus tenggelam dalam pikiran mengenai mereka, terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Malam ini, bertolak belakang dari malam-malam sebelumnya, Chanyeol akan mengakhiri apa pun pertikaian yang melingkupi mereka. Jika Baekhyun ingin menghindar, maka pemuda itu harus berinisiatif untuk mengawali pembicaraan ini terlebih dahulu. Ia tidak mau berdiam diri di kamar dan merenungkan kesalahan tanpa mencoba apa-apa seperti sekarang.

Setidaknya, ia akan mendengar penjelasan Baekhyun.

Chanyeol menghela nafas, ragu-ragu membuka laci di sebelah tempat tidur untuk mengambil pigura—hendak mengamati foto polaroid mereka seperti biasanya, suatu kebiasaan bodoh ketika ia tidak sanggup mengontrol kerinduannya. Pemuda itu membenahi posisi, memanfaatkan sisa cahaya lampu jalan untuk menatap foto tersebut, menyadari bahwa hanya ada satu figur saja di sana. Dirinya. Berpose sendiri dalam kertas-kertas persegi itu, senyum lebar menghiasi paras tampan sang pemuda. Senyum yang terbentuk jika Baekhyun di sampingnya.

Kerutan di dahi Chanyeol seketika tampak. Ia langsung menyalakan lampu, mengeluarkan foto-foto polaroid dari pigura, menyebarkan mereka ke atas kasur dan melihat bahwa figur Baekhyun benar-benar menghilang dari sana. Hazel sang pemuda melebar, tangan gemetaran mengecek satu per satu foto—manik mengerjap linglung atas apa yang ia saksikan. Jantung Chanyeol mulai berdegup ketakutan, debaran kencang yang mengakibatkan pernafasan pemuda itu menjadi sesak.

"Ini tidak masuk akal."

Ia tergesa-gesa meraih ponsel dari atas meja, menekan nomor ponsel Baekhyun pada layar—melakukan panggilan berkali-kali untuk mendengar jawaban yang sama.

"Maaf, nomor yang Anda tuju tidak terdaftar."

Dada Chanyeol naik-turun tidak karuan, jemari bergetar yang setengah memegang ponsel. Ia membuka aplikasi KakaoTalk, kegelisahan memuncak kala mengetahui bahwa akun Baekhyun telah terlebih dahulu menghilang—segala jejak obrolan mereka seperti punah begitu saja. Pemuda itu menggerakkan jari telunjuk ke bawah, mencari ruang obrolan mereka, namun sama sekali tidak ada tanda-tanda chat mereka dalam aplikasi tersebut. Seakan-akan percakapan mereka di ponsel memang tidak pernah terjadi.

Baekhyun benar-benar menghilang, dan pemuda itu tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Maka, ia pun mencari, asal-asalan mengenakan mantel lalu berlari menuju mobil, menyetir dalam kecepatan tinggi untuk mendatangi kedai tempat kerja Baekhyun. Di sana, Joonmyun dan bibi Song tengah melayani pelanggan, merespons ramah terhadap celotehan pengunjung yang tiada henti. Sosok bertubuh mungil dengan hoodie kebesaran tidak hadir di antara mereka, dan keduanya terlihat tenang, sama sekali tidak mengkhawatirkan keberadaan Baekhyun apabila ia tidak masuk—sungguh bertolak belakang dengan dahulu, yang mana bibi Song akan memperhatikan Baekhyun layaknya anak sendiri. Chanyeol terburu-buru menghampiri mereka, membiarkan keringat dingin yang telanjur menuruni dahinya.

Joonmyun mengangguk sopan ke direksi Chanyeol, suatu tindakan yang terlalu formal bagi mereka—mengingat bahwa keduanya hampir bertemu tiap hari dan sering bercengkerama.

"Maaf," Chanyeol memulai, suara dipenuhi waswas. Bibi Song dan Joonmyun bahkan tidak menyapanya akrab seperti dahulu, sikap terkesan lebih kaku. "Apakah Bibi melihat Baekhyun? Ponselnya tidak aktif dari tadi."

Bibi Song mengerutkan alis. "Baekhyun?" ia bertanya lagi, seolah-olah nama itu asing untuk diucapkan oleh sang pemilik kedai. "Bibi tidak yakin pernah mengenal seseorang bernama Baekhyun."

Nafas Chanyeol memburu, pemuda itu cepat-cepat menoleh ke direksi Joonmyun. "Kau!" ia berteriak, suara keras yang mencengangkan semua orang dalam kedai—mengarahkan atensi mereka pada keributan yang diciptakan sang pemuda. Lelaki itu memandang Chanyeol aneh. "Kau—kau melihat Baekhyun? Apakah ia sempat kemari akhir-akhir ini?"

Raut muka Joonmyun bingung, mengindikasikan bahwa ia tidak mengerti maksud Chanyeol. "Maaf, Hyung..." ia berkata linglung, dan sekilas, Chanyeol merasa asing oleh panggilan itu. Mereka seumuran, dan Joonmyun tidak pernah memanggilnya "hyung". Terkecuali untuk kali pertama mereka bertemu, semasa keduanya belum saling mengenal. "Aku tidak tahu siapa yang Hyung maksud," sang lelaki merespons dalam nada pelan, menyadari kemarahan yang berangsur-angsur muncul di paras Chanyeol. Pemuda itu seperti menahan diri untuk mengeroyok Joonmyun. "Coba sebutkan ciri-cirinya, mungkin?"

Chanyeol tertawa remeh, kendati gelisah menguasai dadanya. "Jangan bercanda," ia menatap bibi Song dan Joonmyun secara bergantian, air mata mengintip di balik hazel yang ketakutan. "Ia bekerja di sini sejak tahun lalu, kalian pasti mengenalnya."

Bibi Song dan Joonmyun saling berbagi pandang, air muka sama-sama bingung. Joonmyun lantas membuka mulut, "Kami tidak bohong, Hyung. Kami tidak tahu," intonasi lelaki itu memohon, mengharapkan Chanyeol untuk meninggalkan kedai mereka secepatnya. "Sejauh ini, kami tidak memperkerjakan siapa pun. Kami tidak mengenal seseorang yang bernama Baek—"

"Omong kosong!" Chanyeol mendesis tertahan, mencengkeram kerah baju Joonmyun hingga lelaki itu setengah tercekik. Bibi Song berteriak, dan beberapa paman berdiri untuk menghampiri Chanyeol, ingin melerai keduanya. Joonmyun menahan nafas, mendelik ketakutan oleh bentakan kasar pemuda itu. "Hentikan sandiwaramu, bajingan! Jangan bermain-main denganku!"

Salah satu pria menarik mantel Chanyeol ke belakang. "Tenang!" ia berseru tegas, sebuah sinyal supaya pemuda itu mengendalikan emosinya. "Kau tidak bisa asal bermain tangan."

Begitu Chanyeol melepaskan genggaman, bibi Song merangkul Joonmyun dari samping. "Keluar!" ia membentak sang pemuda, membawa Joonmyun jauh-jauh dari jangkauan Chanyeol. "Keluar dari sini! Jangan ganggu kami!"

Chanyeol tidak membuang waktu lagi. Pemuda itu melayangkan satu tatapan terakhir sebelum ia pergi, tergesa-gesa memasuki mobil untuk mendatangi apartemen Baekhyun. Ia terengah-engah hebat, tubuh tidak henti-hentinya berlari dengan isi pikiran yang berantakan—kekhawatiran yang berlebih mengakibatkan kelima inderanya sulit untuk berfungsi. Layaknya orang gila, ia mengetuk-ketuk apartemen Baekhyun, meneriakkan nama sang remaja berkali-kali hingga ia kehabisan nafas—tangan terus menggerakkan knob pintu meski terkunci. Pemuda itu panik; ia ingin segera melihat figur mungil sang remaja sebelum sesuatu memengaruhi otaknya untuk berpikir macam-macam.

"Permisi?" sebuah suara lembut menginterupsi kepanikan Chanyeol, dan ia memutar tubuh ke belakang, mengetahui bahwa pemilik suara tersebut adalah Lu Han, tetangga dekat Baekhyun. Sang psikiater sempat memandang Chanyeol curiga sebelum berkata sopan: "Setahu saya apartemen ini tidak berpenghuni."

Jemari Chanyeol melekat kaku pada knob. "Tidak, tidak," ia menggeleng cepat, intonasi meninggi oleh panik yang mengambil alih tubuhnya. "Temanku tinggal di sini, aku—"

"Mungkin Anda berada di lantai yang salah?" Lu Han mencoba lagi, memotong pembicaraan pemuda itu. "Saya mengenal pemiliknya. Apartemen ini sudah kosong sejak ia pindah ke Busan dua tahun yang lalu..." kedua telinga Chanyeol seperti menghadang penjelasan tidak masuk akal Lu Han, dan pemuda itu termenung di sana, setengah menggeleng tidak percaya untuk mengelak seluruh perkataan sang psikiater. "Apakah Anda kerabat dari Haeri?"

"Kau mengenalnya," Chanyeol menggenggam masing-masing lengan Lu Han, mendelik untuk meyakinkan pria itu. Terdapat ekspresi risih di wajah cantik sang psikiater, tapi ia tidak peduli. "Byun Baekhyun," Chanyeol nyaris berseru, terlalu frustrasi dan gelisah untuk menerima tanggapan cuek semua orang terhadap sang remaja. "Kau mengenalnya..." ia tidak berhenti berbicara, mengharapkan Lu Han untuk tidak mengelak seperti yang lain. "Namamu Lu Han, bukan?" Chanyeol berujar cepat menyerupai orang gila, "Kau mengenalnya."

Lu Han menyingkirkan genggaman Chanyeol. "Saya tidak tahu," jawab sang psikiater lebih keras.

"Kalian bohong," Chanyeol setengah menggeram, hampir memukul salah satu pipi sang psikiater. "Kau mengenalnya..." lambat laun intonasi pemuda itu melemah, "Aku melihat kalian sering menyapa."

"Maaf," Lu Han mengernyitkan dahi bingung. Chanyeol tidak ingin mendengar ucapan Lu Han lebih lanjut. "Kau mungkin salah orang."

Air mata terlebih dahulu membanjiri wajah Chanyeol, perasaan familier dari nyeri di dadanya menyengsarakan pemuda itu lagi. Ia berlari menuju puncak apartemen, jantung berdegup ketakutan karena Baekhyun tidak di sana. Perjalanan setengah jam pun lantas ia tempuh untuk mendatangi pantai eurwangni, menyusuri jalanan yang dingin untuk mencari keberadaan remaja itu—tidak memedulikan angin kencang di malam hari, udara dingin yang menghantam mantel sang pemuda hingga ia menggigil. Langkah kakinya bergerak cepat; ia mencari ke sana kemari, menanyakan ciri-ciri fisik Baekhyun ke setiap orang yang ia temui dan menelusuri seluruh kafe yang ia lewati.

Sekali lagi, Chanyeol seakan-akan dihukum untuk tidak menemukan Baekhyun.

Nafas pemuda itu tidak teratur usai terlalu lama berlari, punggung tersandar pada kursi dalam mobil—kehabisan ide ke mana lagi ia harus mencari Baekhyun. Chanyeol memejamkan mata yang sedikit bengkak, mengingat-ingat setiap kalimat yang dilontarkan remaja itu, sedetail dan sejelas mungkin. Merenungi percakapan mereka sehari-hari. Memutar balik memori yang sang pemuda dambakan untuk terjadi kembali.

Sebuah nama kemudian terlintas dalam pikiran Chanyeol.

Sungai Han.

Pemuda itu terburu-buru menyalakan mesin mobil, mengebut sepanjang jalan untuk menghampiri tempat kesukaan sang remaja—mendahului kendaraan lain secara ugal-ugalan. Lampu warna-warni menyambut kedatangan Chanyeol di sekitar Sungai Han, sebuah tanda bahwa natal sudah dekat dan semua orang mulai memasang dekorasi cantik di mana-mana. Pemuda itu memarkir mobil di arena yang tersedia, mata mengamati sekitar untuk mencari jejak Baekhyun di sana.

Meski kendaraan masih berlalu-lalang di jalanan, pada jam setengah satu pagi, Sungai Han telah sepi oleh pengunjung. Angin berhembus kencang pada rambut Chanyeol, dan ia mengencangkan mantel, menoleh ke sana kemari dalam kepanikan—mata mengamati pepohonan dan sejumlah bangku kosong yang tersedia di sekeliling sungai. Hanya ada sekumpulan orang di sini, tergabung untuk membangun tenda dan bercengkerama. Dari seluruh gerombolan orang pemuda itu temui, Baekhyun tidak berada di sana.

Chanyeol tidak akan menyerah. Ia berjanji, ia harus mencari Baekhyun sampai mereka bertemu. Pemuda itu lantas berjalan, lebih dan lebih jauh lagi, hingga ia akhirnya melihat sosok itu dari kejauhan—terduduk sendirian di salah satu bangku. Chanyeol sejenak terhenti.

Ia tampak sangat rapuh dan lemas, terbungkus oleh mantel cokelat tua yang usang, syal tipis mengitari lehernya. Rambut hitamnya bersinar di bawah warna-warni lampu jalan, helai-helai halus yang selalu Chanyeol jamah begitu hati-hati. Obsidian orang itu menyorotkan hampa, wajah pucat menyerupai mayat yang memandang lurus ke depan. Ia tidak menggigil sekalipun angin terus-menerus menerpa tubuhnya. Dari kejauhan, ia terlihat seperti sesuatu yang akan mudah hancur jika digenggam; sesuatu yang membutuhkan sentuhan lembut agar ia mampu bertahan.

Menyadari kedatangan pemuda itu, Baekhyun pun menoleh, kesedihan seketika menguasai mata sang remaja.

"Kau menghilang," Chanyeol berbisik lemah, suara menginterupsi keheningan pagi buta. "Dari setiap foto yang kuambil dan memori semua orang..." ia perlahan mendekati remaja itu. "Kenapa?"

Baekhyun membisu.

Chanyeol mematung, sekilas terlarut oleh kesenyapan di sana sebelum Baekhyun tiba-tiba mengawali, "Beberapa minggu yang lalu, aku pergi ke sekolah untuk mengikuti ujian. Tidak ada yang menyapaku; beberapa anak yang aku kenal tidak menghiraukanku sekalipun aku telah memanggil mereka berkali-kali..." remaja itu menunduk, intonasi semakin lemas seperti menahan isak. "Aku memasuki ruang kelas, dan aku melihat seseorang telanjur menduduki kursi ujianku. Aku memberitahu mereka bahwa itu adalah kursiku, tapi mereka tidak menanggapiku."

Chanyeol menunggu.

"Butuh beberapa menit bagiku untuk menyadari bahwa mereka tidak bisa melihatku," Baekhyun kembali menengadah, mengulas senyum pedih ke arah sang pemuda. "Semua orang tidak bisa melihatku. Mereka bahkan tidak mengetahui eksistensiku."

Hazel Chanyeol memandang Baekhyun kosong. Terlalu kosong karena ia telah dipenuhi oleh kebingungan, kegelisahan, ketakutan, dan ketidaktahuan yang bercampur aduk menjadi satu—memporak-porandakan batin pemuda itu.

"Ini tidak masuk akal," ia kemudian membuka mulut, memaksakan suara untuk keluar sekalipun terdengar pecah. "Aku—aku tidak tahu siapakah dirimu. Hanya saja... atas tujuan apa kau memasuki hidupku?" Chanyeol menatap Baekhyun frustrasi, tidak dapat membendung perasaannya lagi. Pemuda itu membutuhkan jawaban untuk semua pertanyaan yang tidak masuk akal ini. "Kenapa aku masih mengingatmu? Apa kau bahkan seseorang yang nyata?"

Baekhyun tetap terdiam.

Maka, Chanyeol pun memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang diam-diam membunuh pemuda itu, dada terlebih dahulu sesak untuk membayangkan jawabannya. "Apa kau akan menghilang?" ia ragu-ragu melontarkan, air mata dipaksa bersembunyi di balik hazel lebar. "Bahkan dari ingatanku?"

Setetes air mata segera jatuh dari obsidian Baekhyun. "Kau akan melupakanku."

Chanyeol sekilas termenung, kehilangan nyawa untuk merasakan sesuatu. Baekhyun bangkit untuk memeluknya, dan Chanyeol membiarkan remaja itu. "Maafkan aku," lirih Baekhyun, begitu menyakitkan hingga pemuda itu ingin terisak dan memohon sang remaja untuk berhenti berbicara. "Maafkan aku, Chanyeol..."

"Aku tidak membutuhkan permintaan maaf!" Chanyeol berteriak, melonggarkan pelukan mereka untuk menatap Baekhyun. Dari bawah sinar lampu yang sedikit meredup, air mata terlihat menumpuk di bawah kelopak pemuda itu. "Kenapa aku mengingatmu? Kenapa kau menghilang? Kenapa semua orang melupakanmu dan kenapa mereka tidak bisa melihatmu?" Chanyeol melangkah mundur ke belakang, menjauhi figur yang batinnya dambakan dan ia hancur untuk setiap inci dari jarak yang memisahkan mereka. "Kenapa—kenapa kau di sini? Aku mulai tidak mempercayai apa yang aku lihat."

Baekhyun masih membisu, obsidian memancarkan pilu. "Bukankah ada alasan kenapa kau masuk dalam hidupku?" Chanyeol meneruskan, intonasi kian agresif oleh depresi yang berlebihan. Nafas pemuda itu tersengal-sengal saat ia berbicara lebih pelan, "Kau baru mengenalku, tapi kau... kau selalu ada bagiku. Kau mendengarkan keluh kesahku. Kau menyemangatiku... dalam masa-masa terberatku."

Chanyeol menelan liur. "Kenapa?" ia bertanya, mengeraskan volume ketika Baekhyun tidak menjawab—seruan menderita pemuda itu justru membungkam mulutnya. "Kau siapa?" ia setengah menjerit, pandangan akan figur yang lemah itu mulai kabur oleh air mata. "Kenapa kau begitu peduli padaku?!"

Manik Baekhyun berkaca-kaca. "Chanyeol, ini demi kebaikanmu."

"Berhentilah berpura-pura!" Chanyeol sejenak lepas kendali atas nafasnya, terengah-engah hebat karena ia memaksa untuk tidak terisak. "Aku memercayaimu, tapi kau justru menipuku. Aku tidak peduli siapa dirimu sebenarnya dan atas tujuan apa kau mendekatiku. Aku—aku menyesal telah bertemu denganmu. Aku seharusnya memang tidak memercayai siapa pun selain diriku sendiri. Aku melakukan kesalahan yang besar dengan bergantung padamu..." pemuda itu lantas tertawa pahit, menertawakan tindakan bodoh yang ia lakukan. Dingin merasuki hazel Chanyeol saat ia berbisik, "Aku menyesal telah jatuh cinta padamu."

Tawa Chanyeol lambat laun menjadi sangat lantang, menggema dalam kesunyian yang mencekat. Ia menggeleng, menatap Baekhyun seakan-akan remaja itu adalah sesuatu yang konyol. "Sungguh tidak masuk akal," ia berujar di tengah tawa yang tidak terkontrol, seperti bagaimana orang gila menyikapi sesuatu yang menyengsarakan dirinya. Mungkin ia memang sudah gila. "Apa kau bahkan nyata?" Chanyeol menyeringai masam. "Kau mungkin hanyalah imajinasiku belaka."

Pemuda itu membalikkan tubuh saat Baekhyun tiba-tiba berkata.

"Kau bunuh diri," pernyataan remaja itu seketika menghentikan langkah Chanyeol, meluluhlantahkan keinginan sang pemuda untuk melarikan diri dari sana. Kaki Chanyeol seperti terjebak di atas tanah, tidak dapat digerakkan meski ia berusaha. "Tanggal 18 November 2020 jam 23:19. Kau meninggal di kamarmu karena overdosis."

Chanyeol perlahan menoleh, melihat betapa besar pilu yang menyelimuti wajah Baekhyun. "Apa..." sebuah jeda seraya ia memandang Baekhyun linglung, "Apa yang kau bicarakan?"

"Kau tidak sanggup menghadapi kehancuran dalam keluargamu," Baekhyun meneruskan, suara serak yang dipaksakan untuk berbicara sekalipun ia tampak tidak sanggup. Setiap kata yang jatuh dari bibir pucat Baekhyun hanya menohok batin Chanyeol, "Kau tidak bisa melihat keluargamu yang sempurna berakhir tragis. Tidak ada seorang pun yang bisa menghiburmu. Kau ingin hidup, tapi kau tidak memiliki alasan untuk bertahan."

Tangisan Baekhyun berangsur-angsur kencang. "Kau merasa sendirian. Kau memang sendirian... karena kau tidak pernah mau bergantung pada siapa pun," terselip rasa iba dalam obsidian Baekhyun, layaknya seorang ibu yang tidak kuat melihat penderitaan anaknya. "Kau benci mengungkapkan perasaanmu kepada orang lain, tapi pada akhirnya, kau menderita karena semua orang tidak memedulikanmu. Mereka terjebak dalam anggapan bahwa Chanyeol akan selalu baik-baik saja."

Chanyeol tertegun. "Jangan bercanda," ia bergumam pelan, "Tidak mungkin."

"Aku melihatmu," Baekhyun menelusuri hazel Chanyeol, seolah-olah ia menyaksikan sesuatu di balik bola mata sang pemuda. "Kau kehilangan semangat yang sekarang kau miliki..." ia berkata lambat, air mata berhamburan hingga menuruni dagu. "Kau hampir terjaga setiap malam; kau merasa tidak berguna karena kau tidak mampu mengembalikan kebahagiaan Ibu dan Kakakmu. Menyaksikan mereka menderita hanya semakin menyakitimu."

Jemari gemetaran Baekhyun memegang tangan Chanyeol, dan saat itu juga, kepala pemuda itu pening oleh sesuatu yang asing—cahaya sangat terang membutakan masing-masing matanya, mengikis sisa-sisa tenaga yang ia punya hingga ia ingin ambruk. Chanyeol perlahan mundur, tidak sengaja melepaskan genggaman Baekhyun, dan begitu ia membuka mata, sang pemuda dihadapkan pada pemandangan itu. Pemandangan tentang apa yang Baekhyun beritahukan. Menyerupai film yang bergerak terlalu nyata bagi penglihatan sampai pemuda itu tidak mampu membedakan mana realita dan mana imajinasi belaka.

Setetes air mata lolos dari hazel Chanyeol.

Di sana, dalam pemandangan antara nyata dan tidak nyata ini, ia melihat dirinya sendiri. Tergeletak di lantai kamar layaknya pemabuk, botol-botol soju berserakan di mana-mana—beberapa pecahan kaca tersebar tidak karuan. Rambutnya berantakan, dan matanya tidak menyorotkan apa-apa kecuali hampa, menatap lurus ke depan untuk melamun tidak berdaya. Sejumlah wadah kecil berisi obat mengelilingi pemuda itu, label petunjuk dengan tulisan "RUMAH SAKIT JIWA GONJIAM" tertera di sana. Pemuda itu tidak ragu-ragu untuk mengeluarkan seluruh pil dari wadah, meneguk mereka dalam sekali minum, mengeluarkan tawa pilu begitu nyeri di dadanya semakin menjadi-jadi.

"Kau tidak tahu kepada siapa kau harus pergi," suara Baekhyun merangkak dalam pendengaran pemuda itu, dan Chanyeol tersedu, memandang dirinya sendiri yang menggeliat kesakitan—busa putih keluar dari mulut dan keringat dingin bercucuran, wajah kian memucat mendekati kematian. "Tidak ada yang mengulurkan tangannya padamu. Kau kehilangan arah. Kau tenggelam dalam lagu-lagu yang mengantarkanmu pada keinginan untuk mengakhiri hidupmu sendiri."

Baekhyun tidak berhenti, meski air matanya berjatuhan deras hingga ia kesulitan berbicara: "Kau mulai mengurung diri di kamar. Kau jarang makan ataupun minum. Kau berhenti melakukan apa pun yang kau sukai karena kau pikir semuanya sudah tidak berguna..." Chanyeol menoleh ke sekitar, memandangi sobekan kertas dari buku komposisi lagu dan gitar yang tampak tidak tersentuh—semua tergeletak begitu saja di kamar. "Kau mengunjungi seorang psikiater, namun obat tidur dan obat penenang tidak dapat menghilangkan kerinduanmu untuk bunuh diri. Mereka tidak membantumu sama sekali."

"Pada satu titik, kau memutuskan untuk melarikan diri dari penderitaanmu," Baekhyun menelan liur, menenangkan nyeri di dadanya yang mengakibatkan remaja itu untuk tersengal hebat. "Aku menyaksikanmu menangis. Sangat pelan dan memilukan..." Chanyeol menunduk, tidak sanggup untuk memandang tubuhnya yang terkapar tidak bernyawa di lantai. "Kau meneguk seluruh pil yang dokter berikan. Kau meminum segala macam obat yang bisa kau temukan. Kau... kau tidak membiarkan satu pun tersisa."

Chanyeol tersedak dalam tangisan, membuka mulut untuk mengais nafas yang sulit ia raih—isakan keras telanjur mencuri udara dari paru-paru sang pemuda. Ketika ia menengadah, gambar bergerak tadi telah menampilkan sebuah kejadian lain. Ia melihat sosok mungil itu, rambut keemasan sebahu dan paras yang sangat cantik. Sosok itu mengenakan jubah putih yang panjang, dan ia berdiri di sebuah alam yang begitu berbeda, terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Pepohonan tinggi mengelilingi keberadaan sosok itu; bunga berwarna-warni yang menghiasi sekitar rumput, langit biru yang cerah, serta air terjun yang bergerak tenang. Orang-orang di sana mengenakan jubah putih yang sama, dan mereka tampak berbahagia, tidak ada kesedihan, tangisan, maupun penderitaan pada setiap wajah mereka.

"Hamba-Mu akan menolongnya sebelum terlambat. Anak-Mu biarlah selamat dari kematian yang sia-sia."

Chanyeol melihat sosok itu berlutut, kepala tertunduk hormat entah kepada siapa, suara lembut yang masih terdengar seperti lulabi bagi pemuda itu. Namun, secepat ia mengedipkan mata, gambar bergerak itu tiba-tiba lenyap dari hadapan sang pemuda. Ia kembali melihat Baekhyun, figur mungil yang membisu di sana dengan air mata membasahi wajahnya. Ia tampak seperti sosok mungil yang ia saksikan dalam gambar bergerak tadi, hanya saja dengan rambut hitam dan tubuh yang nyaris rapuh—wajah pucat yang dapat menyebabkan orang untuk berpikir bahwa ia sudah mati.

Chanyeol mengingat semuanya. Ia telah memasang setiap potongan teka-teki dalam satu bagian.

Sekarang, segala misteri tentang Baekhyun menjadi masuk akal.

Kenapa Baekhyun benar-benar sendiri. Percakapan Baekhyun tentang saudara-saudaranya yang berada "di tempat yang jauh dan damai". Kenapa ia sangat menghormati "ayah"-nya. Kenapa Baekhyun menghindari alkohol. Kenapa ia tidak menyukai kata-kata kotor. Kenapa ia mempunyai sifat yang sangat baik dan penyabar, terlalu suci untuk manusia biasa.

Baekhyun mengetahui secara tepat kapan saja Chanyeol merasa terpuruk. Ia selalu hadir bagi pemuda itu, mendengarkan keluh kesahnya dan menenangkan batinnya secara tulus. Baekhyun melakukan yang terbaik untuk meringankan penderitaan Chanyeol, dan ia berhasil. Sungguh berhasil hingga pemuda itu merasa bodoh untuk menggantungkan diri kepada Baekhyun.

"Kau adalah seorang malaikat," Chanyeol akhirnya berkata, tersenyum pahit oleh kenyataan yang begitu menyakitkan, begitu tidak masuk akal pada waktu yang bersamaan. Baekhyun menunduk, menghindari pandangan kecewa pemuda itu. "Tentu saja. Kau terlalu tulus untuk menjadi seorang manusia. Terlalu baik... terlalu polos..." sebuah hening seraya ia tertawa dalam kepiluan. Tidak ada hal yang ingin ia lakukan selain menertawakan dirinya sendiri. "Katakan, apakah menyenangkan untuk mempermainkan seorang manusia bodoh sepertiku? Membodohiku dengan merekayasa identitas hidupmu?" suaranya meninggi, sesak menyerang dadanya seraya ia berseru, "Apakah jatuh cinta padamu adalah bagian dari rencana kalian?"

Baekhyun menatap Chanyeol sedih. "Tidak..."

"Bohong," pemuda itu menggertakkan gigi, tubuh melemah sebab paru-parunya sekilas kehilangan udara. "Kau sudah mengetahui semuanya, tapi kau berakting seperti kau tidak tahu apa-apa. Kau berada di sampingku karena ini adalah pekerjaanmu..." ia mengepalkan tangan, menyatakan sesuatu yang justru menyengsarakan dirinya sendiri: "Kau—kau tidak pernah mencintaiku."

Baekhyun terus menggeleng tidak berdaya, menyangkal semua perkataan pemuda itu. "Tidak... Chanyeol, kumohon. Jangan berpikiran buruk," ia mengemis, tangan gemetaran menggenggam jemari Chanyeol. Pemuda itu menunduk untuk melihat jari-jari mereka yang bersentuhan. "Aku melanggar perintah Tuhan untuk mengungkapkan perasaanku padamu. Aku tidak mungkin mempermainkanmu..." terselip sebuah jeda saat ia mengambil nafas, "Kau benar. Tuhan memang menyuruhku kemari untuk menghentikan kematianmu, mengubah keputusanmu supaya kau tidak mengakhiri hidupmu secara sia-sia. Tapi aku tidak berbohong mengenai perasaanku. Aku mencintaimu... dengan cara apa lagi aku perlu menunjukkannya?"

Chanyeol menyingkirkan jemari Baekhyun, berbalik untuk melangkah mundur dan menciptakan jarak di antara mereka. "Kau membohongiku selama berbulan-bulan," ia menuduh remaja itu, menyerangnya terus-menerus untuk memuaskan ego sendiri. "Aku bahkan tidak yakin bahwa apa yang kau katakan sekarang adalah untuk menyelesaikan 'tugasmu' supaya aku tidak bunuh diri atau kau memang benar-benar mencintaiku."

"Aku mencintaimu," ujar Baekhyun tanpa gentar, sejenak meruntuhkan pertahanan Chanyeol untuk tidak membenci remaja itu. Hazel Chanyeol terperangkap dalam obsidian Baekhyun, menyelami lautan hitam yang kini dilingkupi oleh ketulusan. "Aku mencintaimu, dan atas itulah aku melanggar perintah Tuhan. Sampai detik ini pun, aku mencintaimu," ia mengulang pengakuan ini berkali-kali, dan darah Chanyeol dibuat mendidih oleh pernyataan lantang Baekhyun. "Aku merelakan kemuliaan yang Tuhan berikan padaku untuk bisa bersamamu. Sekalipun aku tahu konsekuensi yang akan kuterima, aku tidak peduli," ia berbicara gemetaran, bunyi pelan yang sedikit tertelan oleh udara. "Pekerjaanku sudah selesai. Tuhan menganggapku kotor sekarang. Aku telah diusir dari Surga... tidak ada yang sudi menatapku lagi," senyum yang terukir di wajah Baekhyun menampakkan luka-luka yang diam-diam ia pendam. "Semua malaikat sudah mencampakkanku. Waktuku mendekati akhir... aku akan mati."

Pernafasan Baekhyun berangsur-angsur stabil. "Kau akan melupakanku. Setiap jejak tentangku akan hilang dari memorimu. Tahukah kau bahwa ini akan sangat menyakitiku?" ia menunduk, menyembunyikan air mata yang hendak berjatuhan lagi. "Karena meskipun kau lupa padaku, aku akan tetap mengingatmu. Aku akan menderita dengan memori tentangmu selama-lamanya..." Chanyeol mengerjapkan mata yang berair, memandangi tubuh mungil Baekhyun yang hampir tumbang—tidak mampu lagi mengatakan sesuatu yang menyakiti keduanya. "Itulah konsekuensi yang aku dapat atas perlawananku kepada Tuhan."

"Aku mengerti kalau kau membenciku," Baekhyun melanjutkan, lebih tenang dari sebelumnya, tidak ada kesedihan dalam nada bicaranya. "Aku tahu kau tidak mungkin memercayaiku lagi. Tapi mohon berikanlah aku kesempatan untuk mengatakan ini," ia memaksakan diri untuk tersenyum lebar, menyingkirkan jejak lara yang memengaruhi perasaan remaja itu. Baekhyun menampilkan sisi tegarnya pada sang pemuda, sebagaimana dahulu mereka melalui masa-masa sulit bersama. "Hidupmu masih panjang, Chanyeol. Kau akan memperoleh kebahagiaan, dan aku tidak ingin melihatmu terjebak pada keputusasaan yang sama. Kau dapat melewati semuanya sebagaimana kau mampu menghadapi ini... apa pun yang terjadi."

Baekhyun melangkah ke belakang, sengaja memberi jarak di antara mereka. Sebuah pesan tidak bersuara bahwa ini adalah perpisahan, dan Chanyeol memandang ruang lebar yang sekarang memisahkan keduanya. "Terima kasih telah memilih untuk bertahan," ucap Baekhyun lembut, tangan mengepal yang seakan-akan dipaksa untuk tidak menyentuh pemuda itu. "Hiduplah bahagia untuk selama-lamanya, Park Chanyeol."

Chanyeol termenung, mulut seperti dibungkam dan hazel terluka yang kembali meneteskan air mata. Ia tidak mengatakan apa-apa sebelum membalikkan tubuh, pergi meninggalkan memori menyakitkan ini di sana.

Baekhyun tidak menghentikan pemuda itu.

.

.

Chanyeol tidak tidur pulas selama dua hari, sosok mungil itu memenuhi setiap ruang kosong dalam pikiran sang pemuda—merenungkan segala hal yang tidak masuk akal baginya. Ia selalu melamun, kendati selama latihan band, pemuda itu masih dapat mengendalikan emosi untuk menghasilkan penampilan yang ideal. Tidak ada ekspresi apa-apa di manik Chanyeol; menyamai orang linglung, ia menyantap makanan dan merespons ala kadarnya terhadap percakapan orang-orang. Saat ia bermain gitar sendiri untuk mengalihkan perhatian dari Baekhyun, seluruh pengetahuan chord tiba-tiba melayang dari otaknya.

Sang pemuda harus berada dalam suasana ramai agar Baekhyun tidak menyelubungi kepalanya. Oleh karena itu, ia menyetujui ajakan Wanderlust untuk beristirahat di studio Seulgi, sesekali berlatih meski tidak disiplin seperti kemarin. Kompetisi band akan dilaksanakan besok, dan mereka memutuskan untuk membatasi waktu latihan mereka, takut malah mengacaukan kesempurnaan penampilan. Kerja keras mereka selama berbulan-bulan akan terbayar sebentar lagi.

Seulgi menghembuskan nafas panjang, jantung mendadak berdebar. "Kalian siap?"

Sehun menatap gadis itu main-main. "Mungkin ada baiknya kalau kita melipat tangan dan berdoa bersama."

Kyungsoo memutar mata, sementara Seulgi terkekeh. "Kau atheis, bodoh," Kyungsoo berkomentar blak-blakan, "Dengan siapa kau akan berdoa? Aku?"

Ketika semua justru kompak terbahak, Chanyeol menginterupsi mereka: "Kenapa kalian tidak percaya pada Tuhan?" pemuda itu mendongak, memandang mereka satu per satu. "Mungkin saja eksistensi-Nya benar-benar ada."

Hening.

"Wajahmu terlihat mabuk..." Kyungsoo membuka suara, hujatan singkat itu menuai tawa lebih kencang dari Seulgi dan Sehun. "Aku akan memaafkanmu kali ini."

Meskipun mereka tidak menganggap Chanyeol serius, pemuda itu tidak sedang bercanda.

Sepanjang perjalanan pulang, ia kian mempertanyakan eksistensi Tuhan, sulit untuk memercayai ucapan Baekhyun meskipun apa yang ia lihat kemarin seperti nyata, bahkan terlalu nyata untuk disangkal sebagai khayalan. Selagi ia menyetir, lagu Lauv terputar melalui radio, nada-nada ceria yang mendengung lewat speaker mobil. Berbeda dengan biasanya, pemuda itu tidak memiliki kekuatan untuk ikut bernyanyi, memusatkan perhatian pada lalu lintas. Ekspresinya kosong, seluruh antusiasme seperti lenyap dari emosi Chanyeol sejak ia menemui Baekhyun dua hari yang lalu.

Sebuah komposisi lain lantas bermain, menggantikan lagu upbeat barusan menjadi lambat.

Amado urin

Mungkin

Amado yeogikkajinga bwa

Ini adalah akhir bagi kita

Chanyeol langsung mengenali pemilik suara lagu tersebut, memori tiba-tiba memutar ulang ingatan yang menyakitkan.

Amuri anin cheok

Bahkan jika kita berusaha untuk

Haebwado

Bertindak sebaliknya

Ireohge urin

Seperti ini, kita

Seoroege apeun

Menyakiti satu sama lain

Sebutir air mata jatuh begitu saja; ia ingin tertawa pilu, lirik yang dibawakan sang penyanyi mengoyak dinding pertahanan Chanyeol hingga hancur menjadi puing-puing kecil.

Eojjeomyeon urin

Mungkin kita harus

Seororeul wihae

Untuk satu sama lain

Ireohke…

Seperti ini...

Diam-diam, Chanyeol mempertanyakan apabila Tuhan sengaja memainkan lagu ini. Apabila Tuhan memperoleh kesenangan dari menyiksa pemuda itu.

Chanyeol samar-samar mendengar suara Baekhyun.

"Perhaps Maybe adalah salah satu lagu favoritku."

Ia larut bersama musik yang lambat, tenggelam oleh pilu yang melingkupi lirik lagu itu.

Nae soneul jaba

Pegang tanganku

(Nae soneul jabajullae)

(Bisakah kau memegang tanganku?)

Nae soneul jaba

Pegang tanganku

(Nae ireum bulleojulge?)

(Bisakah kau menyebut namaku?)

Neoege malhago shipjiman

Meskipun aku ingin memberitahumu

(Eonjena hamkke haejugil barae)

(Kumohon tinggallah bersamaku selamanya)

Dalam hitungan detik, pemuda itu telah hambur dalam tangisan, meledak oleh lara yang tidak mampu dibendung. Chanyeol teringat akan segala hal yang Baekhyun lakukan, setiap usaha untuk mengembalikan semangat pemuda itu agar ia tidak menderita sendiri. Seorang malaikat, yang suci dan takut untuk berdosa, mengorbankan kemuliaannya bagi Chanyeol. Tapi, kenapa ia memperlakukan Baekhyun seperti ini?

Naege neoneun

Bagiku, kau

(Neomaneun saranghalge)

(Aku hanya akan mencintaimu)

Nafas Chanyeol semakin tersengal-sengal.

"Lagu itu mengungkapkan segala hal yang tidak bisa kukatakan."

Air matanya tidak berhenti mengalir, dan ia memanfaatkan kesunyian dalam mobil untuk menangis sangat keras.

Naege neoneun

Bagiku, kau

(Ni nunmul dakkajulge)

(Aku akan menghapus air matamu)

Jabeul su eomneun

Tidak bisa kugenggam

Daheul su eomneun

Tidak bisa kucapai

Neoneun

Kau

(Geu appeun maeumkkajido)

(Bahkan penderitaanmu)

Lirik akhir dari lagu itu mengakibatkan Chanyeol untuk menaikkan kecepatan, tiba-tiba memutar balik dan mengubah haluan—sejenak membentuk kekacauan di jalan raya, bunyi klakson terdengar di mana-mana. "Jangan pergi, kumohon jangan menghilang," ia berbisik, suara pelan yang disembunyikan oleh instrumental lambat lagu ini. Pemuda itu tidak berhenti memohon meski ia tidak tahu akankah Baekhyun mendengarnya. "Maafkan aku, maafkan aku..."

Jika Baekhyun harus pergi, Chanyeol ingin menghabiskan waktu singkat mereka untuk bersama. Ia tidak peduli apabila Tuhan berniat untuk menghukumnya; pemuda itu akan menemani Baekhyun di masa-masa terakhirnya. Ia tidak ingin menyakiti Baekhyun lagi. Ia akan menciptakan memori yang sekalipun nantinya terlupakan, memori itu tetap tersimpan dalam lubuk hatinya. Mungkin, apabila diizinkan, ia bisa mengingat mereka lagi dan mengetahui bahwa seseorang yang luar biasa pernah singgah dalam hidupnya.

Chanyeol cepat-cepat memarkir mobil, mengabaikan betapa lelah tubuhnya untuk berjalan menelusuri taman dekat Sungai Han. Hujan air matanya bertambah deras untuk melihat sosok itu, tubuh rapuh yang masih menduduki bangku yang sama sejak kemarin. Sesaat, ia mengamatinya dari belakang, memandang bagaimana Baekhyun mendongak untuk melihat bintang-bintang. Mungkin membayangkan rumah yang tersembunyi di atas sana, rumah dengan pemandangan indah yang kini menutup pagarnya dari kedatangan Baekhyun.

Chanyeol melepaskan syalnya.

Aku akan bertahan.

Ia ragu-ragu mendekati Baekhyun, setiap memori lambat laun menampilkan kilas balik mereka dalam pikiran pemuda itu. Masa-masa berat yang mereka lewati berdua demi mencapai akhir bahagia. Senang maupun duka. Pengorbanan Baekhyun agar mereka dapat bersama.

Chanyeol tidak akan membiarkan usaha Baekhyun berakhir sia-sia.

Aku hanya akan bertahan jika itu adalah kebahagiaanmu.

Sejak terakhir kali mereka bertemu, kondisi Baekhyun memburuk. Jemari kecil itu gemetaran, bibir membiru, dan dada naik-turun dalam tempo yang tidak teratur. Ia tampak kesulitan untuk sekadar bernafas, tangan lemas mencengkeram mantel setiap ia terbatuk. Dari dekat, Baekhyun nyaris menyerupai mayat hidup.

Chanyeol lantas memakaikan syalnya pada Baekhyun, sejenak mengejutkan remaja itu oleh kehadiran sang pemuda. "Chanyeol?" ia mengerjapkan mata bingung, menunduk untuk melihat syal hijau yang telanjur membalut lehernya—melindungi kulit sang remaja dari udara dingin. "Terima kasih..."

"Baekhyun," Chanyeol menempati tempat kosong di samping Baekhyun, ikut memandangi langit Seoul di malam hari. Mereka selalu menyukai bunyi kendaraan yang bersahutan dan mengamati bintang-bintang. "Apakah kau senang menjadi manusia?"

Baekhyun termenung, menghela nafas selagi ia bernostalgia. "Hm," ia sekilas tertawa, membalas tatapan Chanyeol sama hangatnya. "Aku menikmati kehidupanku sebagai manusia hingga aku lupa bahwa aku adalah seorang malaikat dan terjatuh dalam dosa."

Chanyeol ingin mendengar suara Baekhyun, maka ia bertanya lagi: "Bagaimana rasanya melakukan dosa?"

"Menyenangkan?" Baekhyun mengedikkan bahu, merenungkan masa lalu. "Bebas. Tidak takut untuk bertindak. Kau tahu kau melakukan dosa, namun kau tidak berhenti. Rasanya seperti kecanduan."

Chanyeol tersenyum tipis. "Apa kau pernah menghentikan kematian sebelumnya?"

"Ini adalah pertama kali," Baekhyun menjawab tenang, "Saat aku melihat apa yang akan terjadi padamu, aku tergerak untuk menolongmu."

Terselip jeda selagi Chanyeol mengingat masa awal mereka bertemu. "Itukah alasan kenapa aku tertarik untuk mengunjungi kedai Bibi Song?"

Baekhyun tertawa hambar. "Mungkin."

"Kisah tentang keluargamu... apa kau berbohong?"

Baekhyun menggelengkan kepala. "Dahulu aku adalah manusia biasa. Lahir pada tahun 1892 dan meninggal di usiaku yang keenam belas. Inilah kenapa aku mempunyai figur seorang laki-laki berumur enam belas tahun..." ia mengalihkan tatapan pada bintang-bintang, melakukan kilas balik pada masa lalu. "Keluargaku bermata pencaharian petani. Kami tinggal di desa terpencil. Aku memiliki dua kakak perempuan dan satu adik laki-laki. Dalam perjalanan untuk merantau ke kota, longsor menghadang kami dan kami pun jatuh ke jurang. Semuanya meninggal dunia."

"Karena aku adalah satu-satunya orang yang memercayai Tuhan, maka Ia hanya menyelamatkanku saja," Baekhyun lantas menunduk, menghembuskan nafas panjang untuk meredam kerinduan. Terlalu lama hidup telah menyebabkan remaja itu untuk tidak bersedih lagi. "Aku tidak pernah bertemu keluargaku lagi setelahnya. Kami tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan orang-orang di neraka. Tuhan menyediakan jurang yang sangat lebar antara Surga, neraka, dan dunia. Tidak ada yang bisa menyeberanginya kecuali Tuhan atau atas perintah-Nya sendiri."

"Lalu Ia mengangkatmu untuk menjadi seorang malaikat?"

Tersirat kebahagiaan dalam senyum Baekhyun. "Aku ingat betapa senangnya aku saat itu. Aku tidak berhenti memuji-Nya sepanjang hari."

Obrolan mereka berjalan untuk waktu yang lama. Chanyeol menanyakan banyak hal mengenai malaikat: bagaimana rasanya menjadi malaikat, dan apa saja tugas yang mereka lakukan. Baekhyun memberitahu bahwa ia mulai sakit-sakitan sejak ia melawan Tuhan, mengabaikan larangan-Nya untuk tidak jatuh cinta pada manusia. Orang-orang perlahan melupakan eksistensinya, dan Lu Han berhenti menyapanya meski mereka sering berpapasan. Selain Chanyeol, manusia sudah tidak dapat melihat maupun mengingatnya lagi. Baekhyun juga bercerita bahwa ia harus pergi dalam waktu dekat; bahwa malaikat lain sudah memperingatkan Baekhyun untuk meninggalkan dunia. Sebelum, saat, atau bahkan setelah hari kematian Chanyeol yang sesungguhnya, yaitu delapan belas November 2020.

Chanyeol pun menanyakan kenapa Tuhan menyelamatkannya. Baekhyun mengungkapkan bahwa Tuhan mengusahakan segala hal untuk menyelamatkan manusia yang tersesat seperti Chanyeol. Ia akan mengirimkan malaikat-Nya untuk menggagalkan kematian sia-sia mereka, menjadi seorang sahabat yang dapat menemani mereka di masa-masa berat. Tentu, tidak semua malaikat berhasil mengubah keputusan mereka; beberapa manusia masih menutup diri dan tetap memilih untuk mengakhiri hidup. Apabila mereka ingin mati, malaikat tidak bisa melakukan apa-apa. Karena, sedari awal, malaikat tahu bahwa Tuhan memberikan kebebasan bagi manusia. Tidak seperti malaikat yang diharuskan untuk hanya mematuhi perintah Tuhan, manusia—bagaikan anak yang paling dimanja oleh-Nya—dibebaskan untuk membuat keputusan mereka sendiri.

Detik berganti menjadi menit sebelum berakhir dalam jam. Matahari mulai terbit, dan mereka terjaga penuh semalaman. Chanyeol bahkan belum tidur lebih dari lima jam sejak tiga hari yang lalu. Tenggorokan pemuda itu serak, beberapa titik di tubuhnya terasa nyeri, sementara pening menyerang kepalanya. Ia kelelahan, tapi ia tidak mau membuang satu detik pun untuk tidak bersama Baekhyun. Figur mungil itu adalah kekuatan bagi Chanyeol.

"Bisakah aku menanyakanmu satu hal lagi?"

"Hm."

"Ke mana..." Chanyeol berkata waswas, menanyakan sesuatu yang menjadi ketakutan terbesar pemuda itu. "Ke mana kau akan pergi setelah ini?"

Baekhyun membisu selama beberapa detik. "Mungkin neraka," ia akhirnya menjawab, tidak ada tegang dalam nada bicara sang malaikat. "Mungkin dibuang ke dunia. Aku tidak tahu," Baekhyun menaikkan bahu, memaksa untuk terlihat baik-baik saja. "Tidak ada yang tahu seperti apa rencana Tuhan."

"Tenang," ia berkata main-main, mata berkaca-kaca yang mengkhianati sandiwara remaja itu untuk terlihat tenang. "Jumlah malaikat pemberontak lebih banyak dari bayanganmu..." suara Baekhyun pecah, "Aku tidak sendiri."

Air mata segera meleleh dari hazel Chanyeol; pemuda itu tidak sanggup membendung tangisan di depan Baekhyun. Sebuah tangan lantas terulur untuk menyekanya, dan Chanyeol mengangkat kepala, melihat butiran kristal yang sedang Baekhyun tahan untuk tidak jatuh. "Jangan menangis," ia berbisik lambat, menggunakan sisa-sisa kekuatannya demi menenangkan pemuda itu. "Aku benci melihatmu sedih."

Chanyeol meraih jemari Baekhyun di pipinya. "Maafkan aku," ia berujar sedih, menarik Baekhyun dalam rengkuhan yang erat—tangan memegang hati-hati bahu Baekhyun seakan-akan tubuhnya dapat rapuh. "Maafkan perkataanku," ia membenamkan wajah pada leher sang malaikat. "Aku hanya mementingkan diriku sendiri. Maafkan aku."

Bisakah kau tidak pergi? Bisakah kau tinggal bersamaku saja?

Chanyeol meneriakkan permohonan-permohonan itu dalam hati.

"Bukankah aku yang harus meminta maaf?" pertahanan Baekhyun hancur ketika ia membuka suara, air mata terlebih dahulu merembes dari kelopak—membanjiri pipi dan turun ke leher. Ia berbicara terputus-putus, nafas kian tersengal: "Aku—aku mengatakan hal-hal kasar padamu supaya kau membenciku..." Baekhyun terisak kencang begitu Chanyeol mengelus punggungnya. "Mungkin aku tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa kita harus berpisah."

Pelukan mereka mengerat, menggantungkan diri pada satu sama lain demi memperoleh kehangatan—aroma memabukkan Baekhyun membuat darah pemuda itu mendidih. Ia menangis pelan, tertusuk oleh realita bahwa suatu hari nanti, Baekhyun akan menghilang dan ia tidak dapat mendekapnya lagi seperti ini. Chanyeol melonggarkan rengkuhan untuk mempertemukan bibir mereka, berciuman lambat hingga mereka kehabisan nafas—dada sesekali bersentuhan dan kulit saling menyapa. "Terima kasih telah menyelamatkan hidupku," lirih Chanyeol, perlahan memisahkan bibir mereka untuk berbagi tatap yang sendu.

Baekhyun melarikan jemari pada rambut Chanyeol. "Tidak," ia memandang setiap inci dari wajah pemuda itu, seolah-olah mengabadikan mata, hidung, dan bibir Chanyeol dalam ingatannya. "Terima kasih telah menyelamatkan hidupmu," Baekhyun menekankan, memperhatikan air mata yang terus berjatuhan di pipi pemuda itu. "Lakukan yang terbaik untuk kompetisi band hari ini. Aku tidak sabar mendengarkan lagu kalian."

"Aku akan menunggumu," Chanyeol mencengkeram jemari Baekhyun. Pemuda itu tidak ingin melepaskan genggaman ini. "Kau harus datang."

Di tengah tangisan mereka, Baekhyun mengangguk antusias. "Pasti," ia meyakinkan, tersenyum lebar dengan mata yang membentuk seperti bulan sabit. Salah satu ekspresi favorit pemuda itu. "Aku sudah berjanji, bukan?"

.

.

Seoul Indie Band Competition 2020 resmi dimulai.

Ratusan penonton memenuhi venue, kebanyakan dari mereka berdiri dan sisanya menduduki kursi VIP—berlokasi tepat di belakang meja juri. Sebuah panggung besar menghadap ke arah penonton, lampu-lampu terang akan menonjolkan siapa saja yang hendak tampil di sana. Sejumlah band telah membawakan lagu orisinil mereka, menunjukkan berbagai genre musik mulai dari rock sampai jaz.

Anggota Wanderlust berkumpul di ruang tunggu, saling bergandengan tangan sambil menghitung detik menuju penampilan mereka, mendapat nomor urutan 129. Masing-masing terlihat gugup kecuali Chanyeol, wajah pemuda itu pucat oleh flu—sebuah akibat dari begadang tiga hari berturut-turut. Beruntung ia sempat tertidur, memanfaatkan dua jam kosong di studio bawah tanah Seulgi sekaligus jeda pendek perjalanan mereka ke lokasi SIBC. Chanyeol hanya terdiam murung, melamunkan tentang Baekhyun sejak tadi.

"Yah, wajahmu pucat sekali," Seulgi menyentuh bahu pemuda itu, mengembalikan atensi Chanyeol pada realita. "Kau yakin kau tidak apa-apa?"

Kyungsoo tampak khawatir. "Jika kau sakit, lebih baik kau beristirahat saja."

"Kyungsoo benar. Kita tidak kemari untuk menang," Sehun menambahkan, menyahut dari mana ia berdiri. Ia lantas memegang dahi Chanyeol, meringis oleh suhu panas tubuh sang gitaris. "Persetan dengan lomba. Aku tidak mau melihatmu pingsan di tengah penampilan. Kesehatanmu adalah prioritas kita di sini."

Ekspresi Seulgi gelisah. "Jangan memaksakan diri, Chanyeol-ah."

Sungguh, Chanyeol terharu oleh sikap pengertian mereka, tapi ia tidak mau mengecewakan Wanderlust. Mereka sudah mempersiapkan ini sejak lama; tentu saja pemuda itu tidak ingin menjadi penghalang bagi mimpi mereka. Pemuda itu harus memberikan yang terbaik. Lagi pula, ia yakin ia akan baik-baik saja.

"Aku tadi meminum vitamin dan tertidur dalam mobil Sehun sepanjang perjalanan," Chanyeol beralasan jujur, tidak melebih-lebihkan kondisi. Terlepas dari demam, ia agak membaik usai terlelap. Setidaknya kepala pemuda itu tidak lagi pusing. "Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja."

Seulgi hendak memastikan sebelum terpotong oleh sahutan dari jauh.

"Peserta nomor 129... Wanderlust, mohon persiapkan diri kalian. Terima kasih!"

Mereka seketika berbagi pandang, mata sama-sama mendelik.

"Bagaimana ini?" Sehun berujar panik, menggenggam tangan Seulgi—menyebabkan gadis itu untuk menjadi lebih gugup. Penampilan band sebelum mereka sudah memasuki pertengahan lagu, dan ketiga anggota Wanderlust saling berceloteh tentang rasa takut berlebihan. Di tengah keributan mereka, ponsel Chanyeol bergetar dalam saku. Pemuda itu mengecek layar, mengernyitkan alis atas nomor tidak dikenal yang tertera di sana.

Chanyeol berjalan menjauhi mereka untuk mengangkat telepon, "Halo?"

"Aku akan berdiri di paling depan," suara Baekhyun seperti obat penenang bagi pemuda itu. Chanyeol pun menghela nafas lega. "Jangan gugup."

"Kami akan menampilkan yang terbaik," ia mengatakan itu sebagai janji.

"Aku tahu," Baekhyun langsung menjawab, menuai kekehan dari sang pemuda. "Aku tidak sabar. Sampai jumpa nanti."

Chanyeol terburu-buru menginterupsi sebelum panggilan diakhiri, "Tunggu," ia berujar singkat, "Baekhyun?"

"Ya?"

Jantung pemuda itu berdebar. "Aku mencintaimu."

Chanyeol dapat mendengar senyum tulus dalam pernyataan Baekhyun: "Aku mencintaimu juga, Chanyeol-ah."

Setelah panggilan ditutup, seorang staf mendatangi tempat duduk mereka. "Peserta 129 dengan nama Wanderlust?" ia mengonfirmasi, sementara para anggota terlebih dahulu berdiri. Chanyeol langsung berlari untuk menghampiri mereka. "Harap berdiri di belakang panggung. Kalian akan tampil setelah ini."

Mereka saling berpegangan tangan, menunggu dalam gugup sebelum nama Wanderlust dipanggil.

Malam ini, apa pun hasilnya nanti, kerja keras mereka akan terbayar.

Saat Wanderlust melangkah ke atas panggung, sorakan para penonton mengejutkan mereka, malah menjadi penyemangat bagi rasa gugup yang luar biasa. Visual mempesona mereka serentak menyita perhatian massa, ponsel bersiap untuk mengambil foto semua anggota, terlebih oleh lampu-lampu yang begitu jelas memamerkan paras menarik Wanderlust. Dari sana, hazel Chanyeol menelusuri penonton, secara mudah menemukan seorang figur mungil yang berdiri di tengah kerumunan, tangan berada pada saku mantel usang kecokelatan—senyum terlukis pada wajah cantiknya. Anggota keluarga Seulgi, Kyungsoo, Sehun, termasuk Yoora dan ibu juga terlihat mengepung satu baris penonton, menyerukan nama "Wanderlust!" berulang-ulang.

Dalam sekejap, seluruh rasa sakit dari demam yang hinggap di tubuh pemuda itu pun hilang.

Setelah melakukan perkenalan diri pendek, pembawa acara tersebut menujukan satu pertanyaan pada sang gitaris. "Chanyeol-ssi," ia mengawali, menatap pemuda itu lalu penonton secara bergantian. "Sebagai pencipta dari komposisi ini, bisakah kau mendeskripsikan sedikit tentang lagu kalian... 'May I'?"

"May I adalah lagu untuk mengungkapkan perasaanmu pada seseorang," Chanyeol menjelaskan, sekilas melirik Baekhyun untuk melihat ekspresinya. "Lagu ini sengaja diatur dalam tempo lambat supaya pendengar dapat merasakan ketulusan dari pernyataan cinta May I."

Pembawa acara itu mengangguk ceria. "Tentu kalian sudah penasaran untuk mendengar lagu mereka, bukan?" massa langsung berteriak histeris. "Inilah 'May I' karya Wanderlust!"

Begitu jemari Chanyeol memetik senar gitar, seruan penonton mengeras. Kyungsoo menekan sejumlah chord di atas keyboard, disusul oleh permainan lambat dari drum Sehun, sang drummer segera mengangguk mengikuti irama. Seulgi mengambil nafas, secara anggun meraih mic untuk memulai lagu mereka. Suara merdu gadis itu pun menggema ke seluruh venue, mencuri perhatian penonton oleh cara bernyanyi Seulgi yang indah.

There you stand, opened heart, opened doors

Full of life with a world that's wanting more

But I can see when the lights start to fade

The day is done and your smile has gone away

Let me raise you up

Let me be your love

Memasuki chorus, suara Seulgi dan Kyungsoo bersatu dalam harmonisasi yang sempurna.

May I hold you as you fall to sleep?

When the world is closing in

And you can't breathe here

May I love you? May I be your shield?

When no one can be found

May I lay you down?

Jari-jari terampil Chanyeol memainkan gitar; pemuda itu lantas mendekatkan bibir ke mic, menampilkan rap yang seketika menggemparkan penonton—suara rendah pemuda itu menggetarkan hati para gadis di sana.

Unfamiliar

This beautiful feeling I only have for you

But I let myself fall with no regrets

Now my world revolves around you

I see you in my dreams

I'll do anything to see you in my future

Let me protect you

Let me wipe the tears off your face

May I stay with you? May I hold your hand in your worst?

Chanyeol melekatkan hazel pada obsidian Baekhyun, mempertahankan kontak mata mereka seraya menyelesaikan bagian terakhir rap-nya.

Till we meet again in my next life

My question remains the same

May I love you forever?

Lirik romantis dari rap pemuda itu memperoleh jeritan histeris dari penonton. Chanyeol menahan tawa, mata berbalik untuk memandang gitar lagi, jemari memetik senar sesuai chord. Mendekati akhir penampilan, suara Seulgi, Kyungsoo, dan Chanyeol kompak mengambil alih chorus, menciptakan paduan suara yang merdu untuk didengar. Dua vokalis utama Wanderlust kemudian saling beradu kemampuan bernyanyi, memamerkan nada tinggi yang impresif sebelum penampilan mereka selesai—meraih tepuk tangan antusias dari para penonton.

Baekhyun mengulas senyum yang paling lebar di tengah penonton, rasa bangga terpancar dari masing-masing mata bulan sabitnya. Chanyeol ikut tersenyum, mengalihkan pandangan pada satu per satu pendukung mereka di venue, menyaksikan betapa ricuh ibu dan Yoora bertepuk tangan. Ketika ia hendak menatap Baekhyun lagi, tubuh mungilnya tiba-tiba lenyap dari antara penonton, menyisakan syal hijau milik sang pemuda yang sudah terinjak-injak oleh massa. Chanyeol seketika mengarahkan hazel ke segala direksi, mencari-cari Baekhyun di tengah keramaian, telanjur mendambakan kehadiran sosok itu lagi.

Baekhyun benar-benar menghilang dari sana.

Jantung Chanyeol mulai berdebar ketakutan; pemuda itu kehilangan fokus atas sekitarnya, tergesa-gesa menuruni tangga ke belakang panggung. Seulgi langsung menyusul Chanyeol dari belakang, memegang pergelangan tangan sang sahabat. "Chanyeol?" ia memiringkan kepala bingung. "Ada apa?"

Tatapan Chanyeol berada pada pintu keluar, mengabaikan pertanyaan gadis itu. "Aku harus pergi."

"Yah," Kyungsoo menginterupsi mereka, memicingkan mata curiga. "Apa yang kau lakukan? Kita perlu kembali ke ruang tunggu."

"Aku—aku," Chanyeol melepas genggaman Seulgi, menoleh ke seluruh anggota Wanderlust. Pemuda itu menggumam asal, "Akan kujelaskan nanti."

Ia tidak ingin melakukan hal lain kecuali berlari secepat mungkin, tidak memedulikan seruan Seulgi dan Sehun, berdesakan di antara gerombolan orang dalam ruangan. Chanyeol membiarkan pintu keluar terbuka, kaki bergerak cepat untuk melewati lautan manusia di luar—mendorong siapa pun yang menghalangi pemuda itu. "Jangan hari ini," ia memohon, entah ditujukan kepada siapa. Air mata kini membasahi pipi Chanyeol; ia menangis, nafas terengah-engah karena ia berlari seraya menangis. Ketakutan merambat ke sekujur tubuhnya, mengganggu jalan pikiran sang pemuda hingga ia tidak menghiraukan gerutu orang-orang di sekelilingnya, mendesis pada Chanyeol untuk tidak berdesakan. "Kumohon jangan ambil Baekhyun hari ini."

Jika Tuhan memang ada, tolong dengarkan doaku.

Wajah Chanyeol bertambah pucat, kepala menjadi pening dan pemandangan sekitar pemuda itu seperti berputar. Udara dingin di malam hari menyerang Chanyeol, menusuk kulit sang pemuda dari balik sweater yang tidak tebal—melemahkan tubuhnya yang sedikit demi sedikit akan tumbang. Ia tidak mengenakan mantel sebelum keluar, dan lama-kelamaan ia menggigil kedinginan, rasa mual menguasai tenggorokan pemuda itu. Keringat dingin menetes dari dahi Chanyeol; ia tahu ia kesulitan untuk bernafas, tapi ia tidak mau berhenti berlari. Tidak sebelum ia memeluk Baekhyun untuk yang terakhir kali.

"Jangan tinggalkan aku," Chanyeol susah payah berbicara di tengah gertakan gigi, tangan gemetaran oleh angin yang seolah-olah membekukan pemuda itu. Ia menoleh ke sana kemari, semakin frustrasi karena sosok mungil itu tidak tergapai dalam pandangan sang pemuda. "Aku tidak mau lupa. Aku ingin melihatmu untuk yang terakhir kali," Chanyeol mengeraskan suara, memperoleh sejumlah tatapan aneh dari orang-orang asing di sekitarnya. Mempertanyakan kenapa pemuda itu menangis dan mengobrol dengan dirinya sendiri.

Jangan pergi.

Dada naik-turun berantakan, Chanyeol sekilas berhenti, merebut seluruh oksigen bagi paru-parunya yang kini mulai tidak berfungsi sempurna. Ia terus mengamati sekitar, dan di sana, beberapa meter dari pemuda itu, Baekhyun sedang berdiri di dekat zebra cross. Tubuh mungil itu masih mengenakan mantel yang sama, obsidian menampilkan hampa layaknya orang tidak bernyawa—menunggu lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau. "Baekhyun!" ia menghabiskan sisa kekuatannya untuk berteriak, meski apa yang keluar dari mulutnya hanyalah bisikan serak. Dalam kondisi yang kian lemas, Chanyeol berlari menuju sang remaja, mengabaikan debar jantungnya yang tidak mampu lagi bekerja berat. "Baekhyun!" suara Chanyeol terdengar lebih lantang, namun Baekhyun tetap tidak mendengar sang pemuda. Sebaliknya, ia pergi untuk menyebrangi zebra cross bersama sejumlah pejalan kaki lain, tatapan lurus ke depan.

Chanyeol memforsir diri untuk berlari; ia menggerakkan kaki secepat mungkin, tidak menghiraukan angin yang menyerang dadanya, memperparah sesak hebat dalam paru-parunya. Segala benda dan manusia di sekeliling pemuda itu berputar, tapi ia menggeleng, berjanji untuk mengejar ke mana pun malaikatnya pergi. "Baekhyun! Tunggu aku!" ia menjerit layaknya orang gila, menangisi jarak lebar yang telah memisahkan mereka karena Baekhyun terus berjalan. Semua orang menoleh untuk menatap Chanyeol, terperangah oleh wajah pucat pemuda itu, air mata yang mengaliri pipi dan bibir yang membiru. Ia mencampakkan perhatian mereka, justru berteriak sekuat tenaga supaya Baekhyun akan menoleh, "Kumohon, tunggu aku..." sang pemuda bergerak sempoyongan. "Baekhyun!"

Pandangan Chanyeol tiba-tiba kabur. Pemuda itu dapat merasakan bahwa tubuhnya akan ambruk, dan ini mengundang ketakutan untuk melingkupi benaknya, air mata bercucuran karena ia tidak mau kehilangan Baekhyun. Ia melihat lampu pejalan kaki berubah menjadi merah, namun langkahnya tidak berhenti di pinggir jalan. Chanyeol meneriakkan nama Baekhyun, meluapkan tenaga terakhirnya demi berlari, ingin cepat-cepat menyusul remaja itu sebelum waktu mereka habis—suara parau yang menunjukkan bahwa ia telah sekarat.

Seruan orang-orang memperingatinya agar tidak menyeberang, dan Chanyeol tidak mendengarkan mereka, terlalu resah oleh bayangan bahwa ia akan terlambat menemui malaikatnya. Ia terisak tertahan, langkah berangsur-angsur lambat di luar kendali, tubuh mulai menyerahkan diri pada kelumpuhan sarafnya. Obsidian kosong Baekhyun masih terpusat ke depan; ia tidak menyadari keberadaan Chanyeol, seolah-olah terdapat sekat tipis yang sengaja menceraikan mereka, melenyapkan suara pemuda itu dari pendengaran Baekhyun.

Chanyeol tetap berjalan, kaki gemetaran yang sewaktu-waktu akan terjatuh jika ia tidak berhenti. Ia membisikkan nama Baekhyun seperti doa, mengabaikan teriakan histeris para pejalan kaki—pandangan mengikuti ke mana figur itu pergi. Sebentar lagi, sang pemuda berharap, ia akan menggapai Baekhyun dan menyatukan jari mereka seperti dahulu. Hazel melekat pada remaja itu, ia tidak menghiraukan bunyi klakson yang saling bersahutan, mobil-mobil yang harus mengerem secara tiba-tiba di hadapan sang pemuda.

Chanyeol tidak memedulikan sebuah truk pengangkut barang yang bergerak dalam kecepatan tinggi, datang dari arah berlawanan untuk tiba-tiba menerjang pemuda itu, melempar tubuhnya ke seberang jalan dalam sekejap. Ia terhempas tidak berdaya ke tanah, darah langsung mengalir ke mana-mana untuk membentuk kolam yang luas di sekitar kepala—cairan merah membasahi setengah wajah sang pemuda. Samar-samar jeritan ngeri orang-orang memasuki telinga Chanyeol; mereka seketika mengelilingi pemuda itu, menyaksikan tubuhnya yang tergeletak sekarat, dada naik-turun begitu lambat.

Seluruh anggota badan Chanyeol sulit untuk digerakkan; rasa sakit yang berlebihan hanya mengakibatkan pemuda itu untuk menjadi mati rasa, mengabaikan nyeri luar biasa dari kepala hingga kakinya—paru-paru seperti tidak sanggup lagi menyerap oksigen. Ia mengerjapkan mata pelan, hazel menolak untuk meninggalkan punggung Baekhyun, air mata berjatuhan karena ia tahu ia tidak akan memiliki kekuatan untuk bangun. Chanyeol membuka bibir, tidak mampu mengeluarkan suara apa pun meski ia tengah membisikkan nama kekasihnya. Detik demi detik, figur mungil itu bergerak jauh, dan semakin jauh dari pandangan—terlalu jauh hingga tidak mungkin dicapai oleh tangan gemetaran sang pemuda.

Chanyeol terus meneteskan air mata, mengetahui bahwa tubuhnya akan segera tunduk pada rasa sakit—kelopak perlahan turun untuk terpejam.

Bahkan sebelum gelap mengambil alih kesadaran pemuda itu, Baekhyun tidak menoleh ke belakang.

.

.

Dalam ruangan putih yang tampak terisolasi, layar sebuah patient monitor bergerak untuk menunjukkan denyut jantung yang stabil. Chanyeol terlentang pada tempat tidur di sampingnya, seluruh peralatan medis mengelumuni tubuh lemah pemuda itu—lambat laun membantu untuk memulihkan kondisi pasien menjadi seperti semula.

Perlahan, mata Chanyeol terbuka, berkedip untuk waktu yang lama karena pemuda itu tidak terbiasa oleh silau mencolok dari lampu ruangan. Dalam penglihatan yang masih buram, ia melihat alat pernafasan pada mulutnya, memudahkan sang pemuda untuk menghirup oksigen dari sana. Pendengaran Chanyeol menangkap bunyi-bunyi asing dari berbagai peralatan medis, mengernyit oleh beragam suara yang menghantam telinganya. Ia kehilangan akal untuk menerka di mana ia sekarang, rasa nyeri dari seluruh titik pada tubuhnya menyebabkan pikiran sang pemuda untuk kalang kabut.

"Ia membuka mata!" suara tinggi seseorang menggema dalam ruangan, dan dahi Chanyeol mengernyit oleh seruan tiba-tiba mereka. Ia melihat suster berpakaian serba putih mendelikkan mata pada sang pemuda, terburu-buru meletakkan papan tulis di meja— berlarian untuk menelepon seseorang. Chanyeol masih tidak sanggup untuk bergerak. "Dokter Kim!" sang suster nyaris memekik senang, "Saudara Park Chanyeol baru tersadar dari koma. Bisakah Anda kemari secepatnya?"

Semua terjadi terlalu cepat, dan sebelum pemuda itu dapat menanyakan sesuatu, ia terlebih dahulu tertidur—celoteh suster tadi menghilang begitu saja.

Chanyeol tidak tahu kapan ia bangun lagi. Satu hal yang ia tahu pasti, kedua kalinya sang pemuda tersadar, ia melihat beberapa orang berkumpul di sekeliling tempat tidur. Kendati masih samar, kali ini penglihatan Chanyeol lebih jelas dan ia mampu mengenali mereka: Kyungsoo, Sehun, Seulgi, dan Joohyun. Mereka saling berbisik waswas, menatap satu sama lain seperti berdiskusi tanpa ingin membangunkan pemuda itu.

Chanyeol terus mengerjapkan mata, menunggu sampai pandangan membaik sebelum ia menggerakkan tubuh—berakhir menciptakan bunyi yang mengakibatkan mereka untuk menoleh. Keempat teman sang pemuda pun mendelik terkejut, menghampiri Chanyeol untuk memastikan bahwa ia benar-benar sadar. Seulgi tergesa-gesa berlari ke pesawat telepon, meraih gagang lalu menempelkannya pada telinga, memencet nomor tertentu. Sejenak, Chanyeol mendengarkan suara gopoh gadis itu, terbata-bata memberitahu bahwa pemuda itu sudah bangun.

"Jangan bergerak!" Sehun berseru panik, memindahkan pandangan dari Seulgi ke Chanyeol. "Noona sedang menelepon Dokter Kim."

Sang dokter hadir dalam rupa seorang pria berusia paling tidak 35 tahun: paras tampan, kulit sedikit kecokelatan, dan murah senyum. Dari bagaimana ia memperlakukan pasien (cara bicara hangat dan sabar), siapa pun bisa menebak bahwa ia adalah dokter favorit semua orang. ID card yang menggantung di leher sang dokter menulis bahwa nama lengkapnya adalah Kim Jongin, dokter spesialis saraf Rumah Sakit Anam Universitas Korea. Ia menanyakan beberapa hal mudah pada Chanyeol, seperti ingatan tentang nama, data diri singkat, serta mengetes penglihatan sang pemuda dengan jari. Selagi Dokter Kim menjelaskan panjang lebar tentang kondisi Chanyeol, pemuda itu memilih untuk membisukan suaranya. Inti dari deretan kalimat sang dokter adalah ia membaik dan wajib rutin mengikuti pelatihan berjalan. Setelahnya, mereka langsung mengganti masker oksigen Chanyeol menjadi lebih sederhana agar ia dapat berbicara.

Para suster lantas membantu menegakkan ranjang tidur, memudahkan Chanyeol untuk duduk di sana. Dokter Kim mengangguk puas. "Saya senang bisa mengobrol langsung dengan Anda, Chanyeol-ssi," ia mengungkapkan, suara menggebu-gebu karena kenaikan drastis kondisi sang pasien. "Anda masih memerlukan istirahat total sebelum latihan berjalan... ya, paling lambat sebulan lagi Anda bisa keluar," mata Dokter Kim mengamati hasil pemeriksaan Chanyeol pada papan tulis, sengaja mendelik dramatis agar teman-teman pemuda itu ikut senang. "Di luar perkiraan saya, Anda tidak mengalami masalah apa pun dalam berkomunikasi. Saya harus bilang bahwa Anda sangat beruntung."

Menghembuskan nafas tenang, ia menatap Chanyeol sebelum beralih ke empat teman sang pemuda. "Baiklah. Saya akan pergi," Dokter Kim berpamitan, tersenyum ramah ke arah mereka. "Mungkin teman-teman bisa menemani Chanyeol-ssi di sini? Silahkan mengobrol sesuka kalian asal memperhatikan jam istirahat Chanyeol-ssi."

Mereka mengangguk patuh, spontan membungkuk ketika Dokter Kim—disusul oleh beberapa suster—meninggalkan kamar. Sunyi tiba-tiba menyelimuti mereka; kelima orang itu saling membisu sebelum Seulgi akhirnya membuka suara, "Ibumu dan Yoora-eonnie akan ke sini sebentar lagi," gadis itu berdeham pelan. "Tadi mereka harus pergi ke pengadilan."

Chanyeol sekilas mengangguk. Sehun menepuk lembut lengan Chanyeol, mata tampak berkaca-kaca. "Aku senang melihatmu terjaga," ucapnya putus-putus, seakan-akan mencoba untuk tidak menangis. Seulgi pun memalingkan muka untuk tidak terisak, bahkan seseorang yang kaku seperti Kyungsoo saja diam-diam sempat menghapus air mata. Reaksi mereka menghangatkan benak Chanyeol.

"Delapan belas hari adalah waktu yang sangat lama untuk tertidur, Chanyeol-ah," ujar Seulgi gemetaran, bibir mengerucut lucu karena ia hendak menangis. Pemuda itu terkekeh lemas, tangan susah payah menggapai jemari sang sahabat. "Jangan mengejutkan kami seperti ini lagi."

Joohyun tersenyum. "Seulgi memikirkanmu setiap hari," ia berkata lembut, meremas bahu Seulgi dari belakang. "Ia selalu menangis."

"Hindari melanggar rambu lalu lintas atau kau akan benar-benar mati," suara datar Kyungsoo langsung merusak suasana, otomatis menghentikan acara tangis para sahabat. Ketika Joohyun, Seulgi, dan Sehun melempar tatapan kesal pada lelaki itu, ia malah menaikkan alis cuek. "Apa?" Kyungsoo kemudian mengambil ponsel beserta mini speaker dari tas. "Aku ingin memutar lagu."

Perbincangan mereka diawali dari topik yang paling mendasar. Mereka tidak memperoleh juara apa-apa di Seoul Indie Band Competition 2020; tetapi, seminggu pasca Chanyeol koma, Wanderlust memperoleh tawaran kontrak dari S.M. Entertainment, salah satu dari tiga agensi terbaik Korea Selatan yang mencetak idola-idola tenar level internasional seperti BoA, DBSK, Super Junior dan Girls' Generation. Mereka berencana untuk meluncurkan band pertama mereka tahun depan, dan agensi itu tertarik oleh kemampuan para personil Wanderlust. Tentu saja, meskipun Seulgi adalah leader dari band mereka, ia tidak berhak membuat keputusan tanpa sepengetahuan satu anggota pun. Maka, mereka memberitahu S.M. Entertainment untuk mengolor waktu sampai Chanyeol sembuh dari koma. Apabila pemuda itu setuju, barulah mereka tertarik untuk mendiskusikan tawaran kontak tadi.

"Tapi, Hyung..." Sehun menyela di tengah percakapan nostalgia Seulgi dan Chanyeol, mengenang pengalaman mereka selama tampil di SIBC 2020. Semua berpaling untuk menatap sang maknae. "Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi hari itu?"

Chanyeol menghela nafas, menelan air putih untuk membasahi tenggorokan. "Hm," ia mengedikkan bahu acuh tak acuh. Mereka belum sempat membahas tentang kecelakaan pemuda itu karena ia tidak memiliki memori apa pun. "Aku hanya mengingat rasa sakit usai tertabrak. Tidak adil, bukan? Mungkin aku memang amnesia."

"Kau sempat terburu-buru turun dari panggung, seolah-olah ingin mengejar sesuatu..." Kyungsoo menambahkan dari mana ia terduduk, mengernyitkan alis ke direksi Chanyeol. Seulgi dan Sehun mengangguk, membenarkan informasi sang keyboardist. "Apa kau tidak ingat apa atau siapa yang kau kejar?" ia memberi penekanan pada dua kata kunci penting, menemukan kejanggalan dalam peristiwa ini.

Entah kenapa, semakin pemuda itu memaksa untuk mengingat, semakin ia tidak menjumpai memori apa-apa dalam kepalanya. "Sungguh," ia mengonfirmasi, intonasi lebih dari yakin, "Aku mengingat momen kita tampil di panggung. Hanya saja, selain itu dan detik-detik sebelum aku pingsan, memorinya... hilang?"

Sehun memandang Chanyeol serius. "Anehnya," ia melanjutkan, memandang setiap orang dalam kamar. Tensi di sana mendadak kaku. "Seorang saksi sebenarnya memberitahuku bahwa kau sempat menangis. Entah kau ingat atau tidak, kau memang tergesa-gesa mengejar sesuatu hingga tidak memedulikan apa pun."

"Kalau kau menangis," Joohyun akhirnya bergabung dalam percakapan mereka, memiringkan kepala penasaran. "Bukankah itu berarti kau sedang mengejar sesuatu yang penting?"

Pertanyaan barusan langsung membungkam mulut Chanyeol, menyisakan bekas dalam pikiran pemuda itu.

Namun, sekeras apa pun ia berusaha, memori spesifik itu menolak untuk kembali. Jika Chanyeol malah memforsir otak untuk bekerja berlebihan, ia takut kondisinya akan menurun.

Mungkin, suatu hari nanti, aku akan mengingat semuanya lagi.

Chanyeol mengakhiri upayanya dengan satu hela nafas pasrah. Pemuda itu akan memikirkan masa depan, berambisi untuk mewujudkan seluruh wish list yang belum tercapai. Ini adalah permulaan sempurna bagi Wanderlust, dan Chanyeol sudah bilang bahwa ia siap untuk menyetujui apa saja keputusan yang terbaik bagi mereka. Sang pemuda tidak ingin membuang waktu, terlebih demi mencari tahu alasan dari tindakannya beberapa minggu lalu. Segala yang sudah terjadi biarlah terjadi dan berlalu; yang penting ia baik-baik saja, hanya tinggal menunggu proses pemulihan lalu menjalankan aktivitas seperti biasa.

Lagu "Bye Bye My Blue" milik Baek Yerin berputar keras dalam kamar, ketukan drum yang tenang menjadi musik pengiring mereka, suara merdu Seulgi segera menyadarkan Chanyeol dari lamunan yang lama. Ia mendongak ke direksi sang sahabat, tertawa kala Sehun malah melakukan tarian aneh mengikuti irama lagu. Mereka terkekeh bersama sebelum playlist Kyungsoo memainkan komposisi baru, nada kelam yang seketika merusak suasana hati Chanyeol. Entah kenapa, segala detail tentang lagu tersebut mengacaukan perasaan sang pemuda.

Chanyeol mengerutkan alis. "Lagu ini..." ia memulai, tiba-tiba kehabisan kata-kata.

"Perhaps Maybe," Kyungsoo menyebutkan judulnya santai, menaikkan satu alis ke arah Chanyeol. "Ada apa? Kupikir kau menyukai Oohyo?"

Pemuda itu gelagapan, lidah seperti terikat untuk mengucapkan sesuatu, kacau balau oleh denyut perih dalam dadanya. Memegang bahu sang kakak tingkat, Sehun cepat-cepat menyahut: "Cuaca hari ini terlalu terang untuk menikmati lagu sedih. Mungkin Chanyeol-hyung ingin mendengarkan komposisi yang lebih upbeat?"

Chanyeol ragu-ragu mengangguk, meski ia tahu bahwa nyeri ini bukan disebabkan oleh alasan Sehun. Pemuda itu bahkan tidak mengerti kenapa ia merasa sedih.

Seulgi merebut ponsel Kyungsoo, menekan "stop" lalu melempar benda persegi itu ke pinggir kursi. Begitu komposisinya berhenti, sesak di dada Chanyeol mereda. "Bagaimana kalau kita menonton film saja? Mumpung stok filmku banyak sekali," saran gadis itu penuh semangat, tidak menghiraukan omelan keyboardist mereka. "Aku membawa laptop!"

Chanyeol tersenyum, mengabaikan perasaan aneh dari lagu tadi.

"Ide yang bagus."


THE END


CREDITS

1. Lagu yang dipakai sebagai komposisi Wanderlust adalah May I, diciptakan dan dinyanyikan oleh Trading Yesterday / The Age of Information. Terkecuali bagian rap (a.k.a, hasil mengarang bebas Hani, ehe), lirik yang tertulis di sini sesuai dengan lirik aslinya dan ada bagian yang dikurangi untuk menyesuaikan cerita.

2. Lagu yang menginspirasikan Hani untuk menulis ini: Perhaps Maybe - Oohyo.