Park Chanyeol tidak bergantung pada orang lain. Pendirian tersebut berubah usai ia mengenal Byun Baekhyun.


Fragments

Three-shot.

Park Chanyeol / Byun Baekhyun.

Hurt/Comfort, Angst.

[Warnings] yaoi (boy x boy), slight!yuri (girl x girl), heavy angst, age gap, slow burn, adegan seks maupun skinship dengan remaja di bawah umur, konflik berat dalam keluarga, pikiran maupun keinginan untuk bunuh diri, depresi, self harm, homophobia, penyimpangan karakter, bahasa kasar, humor ofensif mengenai agama dan kepercayaan.

© 2019 hanimiese


Hani's Note

halo, aku hani. ( ´ ▽ ` )ノ

ini fanfik hurt/comfort pertamaku. seharusnya ini longfic, tapi karena panjang dan bikin susah scroll, akhirnya bakal aku bagi jadi 3 bagian. oh iya, ini slow burn ya. alurnya mungkin bakal ngebosenin, terutama bagi pembaca yang ga suka proses relationship development yang pelan.

jadi... sekali lagi, kalo kalian tipe yang gampang bosen, ga telaten, bukan penyuka slow burn, apalagi cuma nyari ff yang isinya ena-ena doang... step back. caw aja. ini bukan konsumsi kalian. jangan sampe kalian terlanjur baca terus pusing sendiri kok ga abis-abis.

part ii bakal aku apdet (semoga) mingdep... sekalian mau edit ini biar gada typo.

happy reading, friends!


PART I


Hingga kita bertemu lagi di kehidupan selanjutnya,

Pertanyaanku tetap sama,

Bolehkah aku mencintaimu selamanya?


Gerombolan mahasiswa berkumpul di perpustakaan; mereka terbagi menjadi beberapa kelompok kecil, masing-masing membawa laptop untuk mengecek Kartu Hasil Studi. Staf akademik baru saja memasukkan seluruh nilai dalam website mahasiswa, seketika menggemparkan berbagai group chat oleh pengumuman yang sangat mendadak. Sebagian mahasiswa tersebut tampak lega, sekilas menoleh untuk melakukan high-five dengan teman seperjuangan—tetapi, tidak sedikit juga dari mereka yang malah menghela nafas frustrasi, menahan diri supaya tidak bergulung-gulung di lantai. Terlebih karena data menyangkut GPA sudah terpampang di depan mata.

Chanyeol menganga, memandang hampa nilai "D" di layar laptop—tangan menjambak rambut cukup ekstrem. "Sial!" ia setengah berteriak, otomatis menginterupsi konsentrasi mahasiswa lain dalam ruangan, mengabaikan ekspresi terganggu mereka dan papan besar bertuliskan "HARAP TENANG!". Chanyeol lantas mendongak untuk menatap pemuda tampan di hadapannya. Seseorang dengan postur tubuh tinggi dan rambut cokelat rapi, berkewarganegaraan Kanada tetapi melanjutkan studi ke universitas mereka. Mereka telah berteman baik sejak awal semester; satu-satunya kawan terdekat dari mahasiswa seangkatan satu jurusan. "Tebak siapa yang mengulang Analisis Real I?"

Kris Wu, nama pemuda tadi, masih melamun meratapi Kartu Hasil Studi mereka. "Setidaknya kau tidak mengulang Struktur Aljabar."

Chanyeol memejamkan mata, merenungkan jam-jam belajarnya yang tergusur oleh latihan band dan penampilan tidak berbayar sejumlah acara kampus. "Padahal aku rela bangun dini hari untuk belajar," ketika Kris tidak mengatakan apa-apa, ia cepat-cepat menambahkan, "Mungkin aku tidak terbiasa menerapkan sistem kebut semalam."

Raut muka Kris sejenak berubah serius. "Untuk sementara, kau harus mengambil vakum dari musik," mahasiswa asal Kanada tersebut mematikan laptop sembari mengerutkan alis. "Pikirkan kuliahmu dahulu."

Chanyeol menghembuskan nafas panjang. "Kau tahu aku tidak bisa," ia mengerang pelan, menjatuhkan kepala ke atas meja. "Fuck, kenapa aku mengambil jurusan ini?"

Kris diam-diam mempertanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri.

.

.

Ia adalah Park Chanyeol. Seorang pemuda tinggi berusia 21 tahun dengan ciri-ciri menyerupai model: wajah baby-faced tampan, mata belok, bibir tebal, dan rahang yang tegas. Ia adalah mahasiswa semester enam jurusan Matematika, berkuliah di Universitas Nasional Seoul dengan GPA minimal 3,5 per semester. Sempat aktif di beberapa organisasi, tergolong tenar di antara mahasiswa karena kemampuan bermusik handal dan perawakan menawan.

Chanyeol berasal dari keluarga yang rata-rata memiliki jejak pendidikan berbasis sains. Ayahnya adalah seorang direktur produksi di pabrik kertas milik negara, lulusan Teknik Kimia terbaik tahun 1981 di Universitas Korea. Ibunya bekerja di perusahaan yang bergerak dalam bidang komunikasi, alumni Fisika University of South Wales Australia tahun 1983. Kakaknya, Yoora, lulus dari jurusan Ilmu Ekonomi National University of Singapore dengan GPA sebesar 3,8.

Chanyeol telah dituntun untuk menitih pendidikan sesuai rencana orang tuanya; setiap langkah yang ia ambil harus terlebih dahulu mendapat persetujuan mereka. Orang tua Chanyeol berpikir bahwa Matematika adalah jurusan yang paling sempurna baginya: prospek kerja luas dan menjanjikan, didukung oleh tanda-tanda bakat di pelajaran tersebut sejak dini (nilai serba A; pemenang olimpiade Matematika nasional). Meskipun ia tidak memiliki IQ setinggi Yoora, kerja keras mati-matian pemuda itu membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Chanyeol akhirnya diterima di universitas impiannya—Universitas Nasional Seoul—dengan jurusan yang sesuai rencana orang tua mereka.

Bermusik adalah satu-satunya aktivitas yang kini menyita perhatian Chanyeol, alasan dari penurunan kualitas GPA-nya dari semester ke semester. Ia selalu menyukai musik, tertarik untuk memainkan beberapa instrumen dan menulis lagu—mengikuti les gitar privat selama empat tahun sambil belajar mandiri melalui tutorial di internet. Hobi ini sempat ditinggalkan karena ambisi pendidikan, mengejar nilai tinggi dan piagam prestasi. Barulah memasuki semester empat kemarin, sejak ia dan beberapa teman lain membentuk sebuah band, Chanyeol menyadari bahwa ia lebih menyukai musik ketimbang menyelesaikan permasalahan Matematika.

"Hell," ia menggumam tanpa alasan, memikirkan banyak jam yang terbuang demi berlatih gitar dan merekam potongan lagu—pandangan kosong pada tiang halte bus yang hampir berkarat. Chanyeol kehilangan kontrol atas pembagian waktu, membiarkan dirinya terlena dalam bermusik: menerima tawaran untuk tampil di hampir setiap acara kampus. Ini adalah pertama kalinya ia mengulang satu mata kuliah, dan itu sudah cukup untuk menjadi peringatan agar ia mengerem aktivitas bermusiknya.

Pemuda itu mendongak, mengalihkan tatapan pada sebuah kedai kecil di pinggir jalan—hiasan lampu warna-warni natal masih melekat sepanjang dinding. Tempatnya sempit dengan beberapa kursi dan meja sederhana, dipadati oleh sejumlah pengunjung yang kebanyakan bapak berusia menengah. Chanyeol telah berkali-kali melewati kedai tersebut, tertarik untuk mencoba meski berakhir mengurungkan niat karena kesibukan kuliah. Mungkin ia bisa beristirahat di sana sebelum pulang.

"Selamat datang! Silahkan duduk!"

Chanyeol sedikit melonjak mendengar lengkingan barusan, cepat-cepat melepas earphones guna mendelikkan mata jengkel ke sumber suara. Seorang laki-laki berwajah bocah tengah tersenyum padanya dari jauh, tubuh pendek berbalut sweater kebesaran dan celana training. Kulitnya pucat, rambut hitam yang berkilau di bawah cahaya lampu terlalu terang. Ia terlihat polos, mata memancarkan semangat yang Chanyeol tidak pernah lihat sebelumnya dan sebuah senyum yang mengundang siapa pun untuk tertawa.

Pelayan itu menghampiri Chanyeol guna menyerahkan sebuah menu, kelewat polos untuk menyadari pandangan menghakimi sang pelanggan. Chanyeol berusaha untuk tidak terang-terangan menghina sandal beruangnya. "Berikut adalah nota dan daftar pesanan," nadanya ceria saat berbicara, bolak-balik membunyikan pulpen. Dari dekat, Chanyeol semakin yakin bahwa bocah ini belum memasuki fase remaja—berumur tiga belas tahun, mungkin. Mata mungil, bibir tipis kemerahan, pipi tembam. "Silahkan panggil saya apabila Tuan selesai menulis pesanan."

Chanyeol mengernyitkan alis dongkol. Tuan? Ia menjerit dalam hati. Chanyeol bahkan terlihat muda untuk seseorang yang berusia 21 tahun. Beruntung ia masih berhati nurani untuk tidak mengeroyoki anak-anak. Terlebih kepada anak-anak yang bekerja pada malam hari seperti ini.

Pesanannya datang nyaris lima menit kemudian, semangkuk ramyeon ditemani satu botol soju. Chanyeol menyantapnya cepat, mengabaikan cita rasanya yang menakjubkan demi meneliti gerak-gerik pelayan itu—mondar-mandir ke sana kemari demi melayani pelanggan. Ia sepertinya mengenal setiap pengunjung kedai ini, mengajak mereka berbicara lalu mengambil pesanan mereka. Sial, Chanyeol membenci anak kecil—apalagi mereka yang kebanyakan bicara. Pemuda itu bertanya-tanya kapan ia akan berhenti berceloteh dan menutup mulut.

Chanyeol tidak menggubris senyuman ramah sang bocah ketika ia meminta nota pembayaran, menyerahkan sejumlah lembar uang lalu terburu-buru meninggalkan kedai—membuntu telinga dari seruan "Terima kasih! Harap datang kembali!"-nya.

.

.

Nama band mereka adalah Wanderlust, diambil dari kosakata Inggris yang—menurut kamus Thesaurus—berarti suatu keinginan kuat untuk menjelajah, melakukan perjalanan. Wanderlust memiliki harapan untuk mengembara, menyebarkan karya-karya mereka kepada seluruh penjuru dunia—menjadi sebuah band yang benar-benar bermusik guna menyalurkan hobi terpendam. Mereka ingin membahagiakan pendengar melalui sejumlah komposisi, mempersembahkan karya terbaik supaya siapa pun yang mendengarnya akan selalu terhibur.

Atau setidaknya begitulah interpretasi berlebihan Seulgi, vokalis sekaligus pencetus nama "Wanderlust" yang bertanggung jawab atas pembentukan band mereka.

Kang Seulgi adalah mantan Ketua Lembaga Pers Mahasiswa satu tahun yang lalu, semester enam jurusan Fisika dan Astronomi. Ia terlihat dungu, tapi sesungguhnya cukup berprestasi dalam bidang akademis. Mengikuti les vokal sejak usia belia mengakibatkan kemampuan vokal gadis itu sulit untuk ditandingi. Seulgi mempunyai kontrol dan tingkat nada yang impresif bagi seorang penyanyi nonprofesional, memudahkan Wanderlust untuk memilih lagu karena ia mampu membawakan apa saja dengan sangat baik.

Beberapa anggota lain yang termasuk dalam Wanderlust adalah Chanyeol, Kyungsoo, dan Sehun. Chanyeol adalah gitaris, bertugas sebagai rapper yang mengaransemen lagu dan terkadang melakukan harmonisasi suara bass. Do Kyungsoo, semester dua jurusan Fisika dan Astronomi (mantan mahasiswa Teknik Elektro Universitas Yonsei yang drop out karena bosan), adalah pemain piano bertalenta, vokalis kedua Wanderlust yang sering berkolaborasi dengan Seulgi—baik melalui harmonisasi maupun menampilkan lagu duet. Sedangkan Oh Sehun, semester empat jurusan Matematika, adalah drummer, tidak seberapa berkontribusi dalam band dan suka mengomel tentang masalah organisasi.

Mereka mempunyai jadwal latihan rutin setiap hari Kamis, berkumpul di studio bawah tanah rumah Seulgi yang dilengkapi oleh peralatan band serta rekaman—peninggalan ayah gadis itu yang dahulunya adalah mantan pemain band. Seperti biasa, Kyungsoo dan Seulgi menyanyikan sebuah lagu duet sambil membagi giliran harmonisasi. Chanyeol melatih fingering gitar, dan Sehun ketagihan bermain game online. Satu minggu ke depan mereka akan menjadi guest star di pertandingan bulu tangkis antar fakultas universitas mereka, pertama kalinya dibayar kendati tidak seberapa banyak. Seulgi bilang ini adalah langkah awal menuju Wanderlust yang profesional, dan mereka akan ditonton oleh banyak mahasiswa satu universitas. Sebuah kesempatan besar untuk menaikkan eksistensi Wanderlust.

Komposisi jaz berjudul "Manhattan" kemudian berdering, bunyi cukup keras untuk menghancurkan konsentrasi masing-masing. Chanyeol berhenti memainkan gitar, mengambil ponsel dari meja dan agak mengernyitkan dahi saat melihat nama yang tertulis di layar. Pemuda itu lantas menoleh ke tiga orang lain, menggerakkan tangan sebagai aba-aba supaya mereka tidak ribut. "Ibuku menelepon, diamlah sebentar." Sejenak suasana menjadi hening, tangan langsung mengutak-atik ponsel, selagi Chanyeol menggeser tombol hijau. "Halo?"

"Halo? Chanyeol? Di mana kau sekarang?"

Chanyeol melirik asal ke arah Sehun. "Rumah Seulgi. Kami berlatih untuk penampilan minggu depan. Ada apa?"

"Begitu? Pantas saja tidak ada yang menjawab telepon rumah—"

"Tidak usah berbasa-basi!" bentakan tiba-tiba ayah mengejutkan Chanyeol, seketika mendengung dalam telinga karena volumenya yang keras. Pemuda itu sekilas menjauhkan ponsel, sedikit menganga atas sikap kasar beliau. "Kau selalu membicarakan hal yang tidak penting!"

Kesunyian mengambil alih mereka setelahnya, dan sang putra menunggu, alis sama-sama mengernyit sebelum ibu mendadak berkata: "Teman Ayah mungkin akan mengirimkan parsel besok pagi. Kira-kira jam delapan. Bisakah kau menerimanya? Kami akan ke Busan untuk menghadiri pernikahan rekan kerja Ayah."

Chanyeol masih tercengang oleh suara ayah beberapa detik yang lalu. Ia terbatuk singkat lalu menjawab tidak yakin: "Tentu saja."

"Baiklah. Sampai jumpa besok. Titipkan salam Ibu untuk Yoora."

"Hm," Chanyeol segera merespons, "Hati-hati—" Sambungan terlebih dahulu ditutup meskipun sang putra belum selesai berbicara. Pemuda itu menghela nafas, mengembalikan posisi ponsel ke atas meja bersama bayang-bayang bentakan ayah—menebak-nebak masalah apa yang kira-kira memancing amarah beliau. Ibu memang terkadang tidak sabar, tegas membalas segala argumen dengan cara bicara yang cukup melekit. Tetapi ayah tidak pernah bereaksi seperti ini sebelumnya. Mereka akan mengungkapkan pendapat mereka secara tenang tanpa menaikkan suara. Anehkan jika Chanyeol merasa ada sesuatu yang janggal?

Menyadari perubahan raut wajah sang teman, Seulgi melemparkan tatapan khawatir. "Kenapa?"

Pertanyaan gadis itu langsung merusak lamunan kosong Chanyeol. Ia pun menggelengkan kepala, meletakkan tangan pada gitar untuk melanjutkan permainan. "Tidak apa-apa," Chanyeol membasahi bibir. "Ayo latihan sekali lagi."

.

.

Latihan intensif mereka tidak berakhir sia-sia. Penampilan Wanderlust berjalan lancar, menuai banyak tepuk tangan dan sorakan dari stadion. Mereka membawakan komposisi Bruno Mars berjudul "24K Magic" secara akustik, menyajikan warna mereka sendiri melalui campuran suara indah Seulgi dan Kyungsoo. Bahkan lagu "Freal Love" karya Far East Movement saja dapat mereka hidangkan dalam cara yang sungguh berbeda, memamerkan fingering handal gitaris Chanyeol bersama permainan gesit drummer Sehun. Wanderlust berhasil mencuri seluruh perhatian mahasiswa oleh penampilan mereka yang luar biasa.

Chanyeol terduduk di bangku halte bus sembari melakukan scroll pada layar ponsel, menyimak beberapa orang tidak dikenal yang serentak mengikutinya di Instagram. Mereka meninggalkan like di setiap foto, membanjiri kolom komentar dengan kalimat suportif seperti "aku menyukai penampilan kalian hari ini!". Antusias berlebihan mereka meninggalkan rasa hangat dalam benak Chanyeol; pemuda itu pun tersenyum kecil, mengunci ponsel sambil menyandarkan tubuh ke belakang—mata mengelilingi sekitar sampai tatapannya berhenti pada sebuah kedai familier di pinggir jalan. Sekelebat kilas balik tentang lezatnya ramyeon mereka menyerang ingatan Chanyeol, dan ia seketika termenung, mempertimbangkan pilihan untuk tetap pulang atau mengunjungi kedai itu sebentar. Aksi melamun barusan berlangsung selama lima menit sebelum Chanyeol akhirnya berdiri, menyeberangi jalan dengan sebuah case gitar di lengan.

"Selamat datang!"

Kelima indera Chanyeol seperti terbentur oleh suatu sensasi déjà vu yang kuat. Pemuda itu menoleh, nyaris memutar mata saat itu juga karena tentu saja ia akan melihat sang pelayan di bawah umur lagi—berciri khas mengenakan sweater kebesaran dan celana training. Tampaknya sebulan tidak kemari telah membuat Chanyeol lupa akan eksistensi bocah ini. Mungkin otaknya sungguh-sungguh menyaring mana yang layak diingat dan mana yang tidak. Bukan apa-apa, ia hanya membenci anak-anak sejenis bocah tersebut.

"Silahkan, Tuan," suara ramahnya menyakiti telinga Chanyeol, dan pemuda itu cepat-cepat menulis pesanan—mencorat-coret kertas dengan tulisan kurang jelas. Terserah, ia tidak peduli. "Satu ramyeon dan satu botol soju?" Ketika sang pelanggan mengangguk tanpa meliriknya sedikit pun, bocah itu kemudian membungkuk. "Baiklah, harap tunggu. Terima kasih."

Chanyeol mengulang apa yang ia lakukan terakhir kali ia ke sini: mengamati tingkah laku sang pelayan sambil menghabiskan ramyeon—terkadang menyela sesi makan dengan segelas mungil bir. Menurut sorakan heboh beberapa pegawai kantoran di meja paling depan, bocah itu ternyata mempunyai nama, yaitu Baekhyun atau... apalah, masa bodoh. Chanyeol mengamati muak saat salah seorang dari mereka tiba-tiba muncul untuk membawa kue ulang tahun—lilin angka "28" tertancap penuh cahaya di atasnya. Baekhyun ikut bertepuk tangan histeris kala seorang wanita cantik berambut pendek malu-malu membungkukkan tubuh, meniup lilin diiringi nyanyian "selamat ulang tahun" sepanjang momen tersebut.

"Seperti permintaan Jaejoong-hyung," Baekhyun memulai, memaparkan senyum yang menggemaskan—gigi mungil bersembunyi di balik bibir merah muda. "Aku akan menyanyikan lagu kesukaan Soohyang-noona hari ini."

Chanyeol sempat memutar mata ketika sang pelayan tiba-tiba membuka mulut.

At last, my love has come along

My lonely days are over

And life is like a song

Pemuda itu sejenak berhenti mengunyah, menoleh ke sumber nyanyian tadi, mata mengerjap kagum oleh bagaimana sempurna suaranya terdengar. Ini adalah komposisi favorit kakek Chanyeol yang dinyanyikan oleh Etta James, "At Last", dan Baekhyun menyanyikannya dua oktaf lebih tinggi dari lagu asli—mempertunjukkan tingkat nada yang luas melalui betapa mudahnya ia meraih nada tinggi dan melakukan falsetto indah. Sesekali Baekhyun akan menyelipkan runs di tengahnya, menarik massa untuk menyaksikan penampilan spontan sang pelayan, terpesona oleh suaranya yang menyerupai pujian malaikat. Chanyeol terus membeku di tempat duduk, mulut dibiarkan setengah menganga sebelum ia menyadari sebodoh apa ia terlihat dan terburu-buru membuang muka.

Baekhyun tetap bernyanyi sekalipun pelanggan tambah berdatangan, tidak menyadari mata linglung Chanyeol yang mengikutinya ke mana saja ia pergi. Bocah itu kerap memperoleh pujian dari beberapa orang, sekadar tertawa kecil untuk menanggapi mereka—berangsur-angsur tidak menyanyi karena sibuk mengantarkan pesanan. Chanyeol selalu berpura-pura melihat ponsel setiap sang bocah tidak sengaja memergoki tatapannya. Baekhyun mungkin telanjur menganggap pemuda itu aneh sekarang.

"Permisi," suatu aliran listrik seperti mengalir dalam pembuluh darah Chanyeol. Sang pelanggan otomatis mengeratkan pegangan pada ponsel. "Bolehkah saya mengambil piring kosong Tuan?"

Chanyeol melirik Baekhyun sekilas. "Hng," ia merespons dingin, mengabaikan segala kontak mata sang pelayan.

Baekhyun membungkuk sopan. "Terima kasih." Begitu bocah itu merapikan mangkuk ke atas nampan dan hendak berbalik, Chanyeol mendadak mengajukan pertanyaan—gagal mengontrol mulutnya sendiri.

"Kenapa kau berhenti menyanyi?"

Pemuda itu bertanya tidak yakin, memasang ekspresi tenang meskipun ia sebenarnya siap untuk menggali kubur detik ini juga. Baekhyun menatap Chanyeol bingung, memiringkan kepala imut. "Maaf?"

Chanyeol berdeham canggung. "Kau... tidak bernyanyi lagi?" pemuda itu tentu akan menyesali ini, namun ia melanjutkan: "Suaramu bagus. Aku membawa gitar," ia menyentuh bagian belakang lehernya malu-malu, sesaat kehilangan ide harus berkata apa. Baekhyun hanya menatap datar case gitar sang pelanggan. Sial. "Kupikir—uh. Maksudku, aku akan mengiringimu bernyanyi, kalau kau mau. Mumpung keadaan sedang tidak ramai dan kau bisa leluasa bernyanyi tanpa harus melayani pelanggan baru?"

Berbanding terbalik dengan reaksi yang Chanyeol perkirakan, manik Baekhyun justru berkilau senang. "Benarkah?" ia menganga lalu menutup mulutnya kembali, tersenyum lebar layaknya seorang anak kecil yang baru diberi permen. "Baiklah, tunggu sebentar. Saya akan mencuci piring terlebih dahulu."

Chanyeol tidak pernah membayangkan peristiwa ini untuk terjadi, tapi mereka sungguh-sungguh bernyanyi bersama. Baekhyun mengisi kursi di hadapan Chanyeol, suara terdengar menenangkan diiringi oleh petikan gitar serta vokal harmonisasi pemuda itu—tangan memegang sumpit sebagai mic imajinasi. Keduanya tertawa kompak, sama-sama menikmati suasana hingga gagal menyadari bahwa beberapa pengunjung bahkan mengunggah penampilan mereka ke InstaStory. Pemilik kedai ini, seorang ibu baik hati bernama panggilan bibi Song, tersenyum menyaksikan mereka, bertepuk tangan ketika keduanya berhenti bernyanyi. Setelah mendendangkan banyak lagu, Chanyeol semakin yakin bahwa kemampuan vokal Baekhyun layak untuk disejajarkan dengan penyanyi profesional. Bagaimana mungkin seseorang bertalenta sepertinya belum direkrut oleh agensi mana pun?

"Tidak usah terlalu formal," pemuda itu berujar, mengulurkan tangan ke depan—tersenyum gugup karena jantungnya yang berdebar gila. "Namaku Chanyeol. Park Chanyeol."

Baekhyun membalas senyum Chanyeol sama ramahnya, balik menjabat tangan pemuda itu sebentar. Jemari sang anak terlihat lebih mungil dari milik Chanyeol. "Namaku Byun Baekhyun. Salam kenal," ia kemudian menambahkan, "Aku kelas sepuluh."

Tentu saja ia berusia lebih tua dari tebakan awal Chanyeol. "Kalau begitu panggil aku Hyung," sang pelanggan menjawab, diam-diam menyukai perasaan mendominasi ini. Ia selalu mendapat kepuasan aneh dari menjadi seorang kakak. "Aku mahasiswa semester enam. Salam kenal juga, Baekhyun."

.

.

Kuliah semester enam akan dimulai minggu depan. Chanyeol memutuskan untuk bertobat dari setiap aktivitas di luar kampus demi belajar, mengulang materi sekaligus mempelajari bahan ajar yang akan datang. Ditemani oleh Seulgi, mereka menghabiskan waktu berjam-jam di kafe terdekat—membeli secangkir kopi murah sebagai kawan kedua. Pemuda itu pikir otaknya akan meledak sebentar lagi; ia sudah memandang kosong ke depan tanpa memikirkan apa-apa sejak beberapa menit yang lalu.

Chanyeol merenung, mengistirahatkan mata dari layar laptop dengan melirik Seulgi, memandang gadis itu begitu tekun mencatat materi pada loose leaf—tulisan rapi yang diwarnai highlighter dan ilustrasi lucu. Ia menghela nafas, menggerakkan jemari di atas meja bersama pikiran serba Baekhyun mengerumuni otaknya. Pemuda itu menutup mata, berusaha untuk menghapus segala ingatan tentang seorang remaja yang memakai sweater kebesaran, tetapi beberapa ide melodi malah muncul secara tiba-tiba dalam kepalanya. Nyaris terhenyak, Chanyeol tergesa-gesa meraih ponsel, membuka aplikasi perekam suara lalu menekan tombol merah—bersenandung lembut sebelum inspirasi nada tadi hilang ditelan udara.

Seulgi sejenak menengadah dari binder glitter ungunya. "Whoa, sang komposer akhirnya mendapatkan inspirasi."

Chanyeol hanya meringis. "Aku harap aku bisa menyelesaikan sebuah lagu," pemuda itu mengusapkan jari telunjuk pada layar ponsel, mengamati puluhan rekaman suara yang terbengkalai di sana. "Aku terlalu sering merekam potongan nada tanpa menyatukan mereka."

"Mungkin kau membutuhkan seorang kekasih?" Seulgi menyarankan, langsung memanen rotasi mata dari Chanyeol. Sang sahabat justru terkikik. "Kenapa? Semangat kuliahku meningkat sejak aku bertemu Joohyun. GPA-ku melonjak drastis sekarang."

Rahasia bahwa Seulgi menyukai sesama jenis tidak terdengar mencengangkan bagi Chanyeol. Toh, keduanya bersahabat terlalu lama untuk memedulikan seksualitas satu sama lain (Chanyeol masih normal, omong-omong). Bae Joohyun sendiri adalah kekasih Seulgi. Seorang gadis semester delapan yang terlalu cantik dan menawan; idola universitas mereka dari jurusan Fisika. Mereka telah menjalin hubungan rahasia selama dua tahun, berpura-pura menjadi sahabat dekat di depan orang banyak kecuali Chanyeol.

Pemuda itu melambaikan tangan pasrah. "Terserah kau saja."

Chanyeol menghembuskan nafas panjang, pikiran kembali tertuju pada satu sosok yang sama lagi. Usut punya usut, Chanyeol sering mengunjungi kedai itu sekarang—terhitung sudah tiga kali ia ke sana sejak perkenalan mereka. Semua hanya demi menemui Baekhyun supaya keduanya dapat bernyanyi lagi atau, well, lebih tepatnya ia ingin mendengar suara Baekhyun secara langsung. Walaupun sang pelayan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia risih melihat kemunculan pemuda itu, Chanyeol rasa ia harus sedikit mengontrol keinginannya untuk bertamu di sana. Lagi pula, jika dipikir-pikir, ini seolah-olah memberi gambaran bahwa Chanyeol menyukai anak itu, dan sungguh, ia tidak ingin dicap sebagai pedofil gay yang mengincar remaja laki-laki!

"Hey, aku membutuhkan pendapatmu."

Seulgi menatap Chanyeol datar. "Tentang apa?"

"Ung," pemuda itu tidak tahu harus bercerita dari mana, terlebih dahulu mengarahkan pandangan sengit ke direksi gadis itu sebagai peringatan. "Sebelumnya, berjanjilah bahwa kau tidak akan berpikir macam-macam. Jangan meledekku, terlebih di depan Sehun atau Kyungsoo."

"Yup, yup," Seulgi mempertunjukkan raut muka mencemooh. "Jangan memperlambat pembicaraan."

Chanyeol menggembungkan pipi. "Baiklah," ia membuka mulut untuk sekadar mengambil nafas. "Menurutmu... akankah aneh jika aku—um," pemuda itu cepat-cepat menggeleng panik. "Seseorang meminta kontak seseorang lain yang baru ia kenal?"

Seulgi hanya mempertahankan pandangan hampa. "Tidak."

"Sungguh?" Chanyeol mendelikkan mata, agak menganga kemudian meneruskan, "Begini, aku—um, anggap saja dua orang baru bertemu beberapa kali dan mengobrol sedikit. Apabila aku—um," pemuda itu mulai kebingungan mengatur kata ganti orang ketiga demi menyembunyikan identitasnya, "Maksudku, apabila seseorang dari mereka meminta kontak yang lain untuk sekadar... um, anggap saja memperluas—um, relasi pertemanan—"

"Dude, kau bertele-tele," Seulgi menghentikan ocehan tidak jelas pemuda itu sebelum ia bisa berbicara lebih banyak lagi. Sang sahabat lantas menyipitkan mata curiga. "Chanyeol, apa kau hendak meminta kontak seseorang yang kau sukai?"

Manik pemuda itu seketika membulat. "Tidak!" ia berseru, mengalihkan tatapan ke layar laptop tidak terima. Baekhyun adalah seorang laki-laki, dan Chanyeol... ia tidak seperti Seulgi. Ia bukan gay! "Sudahlah, lupakan. Anggap saja aku tidak pernah bertanya."

Reaksi berlebihan Chanyeol menarik sudut bibir Seulgi untuk terangkat ke atas, memamerkan seringai serigala yang pemuda itu selalu benci. Seringai yang seakan-akan berbisik bahwa ia mengetahui semuanya. "Ha," ia berkata, "Rupanya kau memang menyukai seseorang."

Chanyeol berlagak mengetik sesuatu di Microsoft Word.

"Diam."

.

.

Chanyeol mengamati kedai itu dari jauh, jemari gugup bermain di sekitar case gitar. Pemuda itu sudah berdiri di halte bus selama kurang lebih lima belas menit, memandangi tempat tersebut tanpa keberanian untuk berjalan ke sana. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia akan berdiam diri seperti ini, menghitung jumlah pengunjung yang berlalu-lalang layaknya seorang pengecut tidak bertujuan. Perutnya keroncongan; bibirnya kering karena ia membutuhkan sentuhan alkohol. Chanyeol bolak-balik menelan ludah, mengangguk pada diri sendiri seraya mengeluarkan ponsel dari saku—memperagakan akting cuek seperti biasanya, mata dipaksa melekat pada layar.

"Selamat da—Chanyeol-hyung!"

Baekhyun berhenti mengelap meja untuk melambaikan tangan antusias, berpakaian sama seperti biasanya: sweater kebesaran dan celana training. Chanyeol mendongak dari ponsel guna melemparkan senyum tipis. Usai menghindari tempat ini selama seminggu, sesungguhnya ia juga merasa antusias untuk bertemu Baekhyun. Pemuda itu berdeham, berusaha untuk terdengar tenang sekalipun suaranya berakhir serak: "Oh, hai. Kau di sini."

Bagus, terhitung belum satu menit Chanyeol memasuki ruangan dan ia terlebih dahulu mempermalukan dirinya sendiri. Pertanyaan macam apa barusan? Baekhyun bekerja di kedai ini, tidak heran jika ia akan berada di sini. Damn it, Chanyeol bahkan bisa mendengar seruan menjengkelkan Nakamoto-gyosunim, dosen muda asal Jepang dari mata kuliah Matematika Diskrit, yang selalu menyebut siapa saja baka.

Baekhyun tertawa singkat. "Aku selalu di sini, Hyung."

Malam ini, kedai bibi Hyeri kedatangan bertubi-tubi pelanggan, kerumunan orang memadati tempat duduk sehingga Baekhyun pun kewalahan melayani mereka. Harapan Chanyeol untuk bernyanyi bersama kandas, sang remaja bahkan tidak ada waktu untuk mengobrol seperti kemarin—terlalu sibuk bolak-balik ke dapur guna mengantarkan pesanan. Pemuda itu mengacak-acak rambut frustrasi, memperlambat proses mengunyah supaya ia tidak perlu terburu-buru meninggalkan kedai. Chanyeol bahkan baru menghabiskan tidak sampai setengah botol soju selama tiga puluh menit, menghemat isi minuman tersebut secara efisien.

"Bagaimana kuliah Hyung hari ini?"

Chanyeol seketika melonjak, hampir menjatuhkan gelas kaca mungil ke lantai—terbatuk-batuk keras karena sedikit tersedak. Baekhyun mengerjapkan mata polos, menempati kursi depan pemuda itu canggung. "Maaf mengagetkan," ia menggaruk kepala sungkan, suatu tindakan lucu yang, mau tidak mau, membuat telinga pemuda itu memerah.

"Dosen kami tiba-tiba tidak masuk," Chanyeol memberitahu, memikirkan kebohongan lain untuk dikatakan, "Aku berlatih band seperti biasa." Padahal hari Jumat tidak termasuk jadwal latihan rutin, dan ia sengaja membawa gitar untuk mengiringi Baekhyun bernyanyi lagi. Kuliah juga baru akan dimulai hari Senin besok.

"Keren," Baekhyun mengangguk-angguk terkesan, meletakkan nampan kosong ke atas meja. "Chanyeol-hyung pasti sangat populer di kampus. Para gadis biasanya menyukai pemain band."

Pemuda itu menggeleng, berlagak rendah hati kendati diam-diam merasa cukup congkak atas titel kakak tingkat yang ia pegang. Faktanya, ia memang tergolong super populer di kampus; lingkaran pertemanannya yang rata-rata mencakup mahasiswa idola (baca: Kris, Seulgi, Joohyun, dan Sehun) pun mendukung usaha panjat sosial pemuda itu. "Biasa saja," ia akhirnya menjawab, agak mengedikkan bahu. "Aku justru berpikir kaulah yang populer. Suaramu bagus dan kau juga menarik secara penampilan."

Senyum Chanyeol perlahan menghilang begitu pemuda itu menyadari apa yang telah ia katakan, betapa janggal pujian asal tadi terdengar. Sehun mungkin akan menghinanya "homo" jika ia mendengar ini. Pemuda itu langsung melirik kaku ke direksi lain, menuangkan soju ke dalam gelas bersama air muka pura-pura santai—suatu sandiwara yang tampaknya berhasil menipu si remaja. Chanyeol harap Baekhyun tidak berpikiran macam-macam, sebab apa yang ia maksud jelas tidak mengarah pada hal-hal aneh.

Tetapi Baekhyun justru terkikik kecil. "Terima kasih sudah beranggapan begitu," mata mungil anak itu tampak berkelip jahil. "Deskripsi Hyung tentangku sebenarnya agak berlebihan."

Chanyeol seketika merasa lega oleh respons tenang Baekhyun. "Segala yang berlebihan tidak selamanya buruk," ujarnya, terdiam sebentar untuk meneguk segelas bir sekaligus. "Bagaimana mungkin seseorang sepertimu tidak menjadi populer?"

"Entahlah," Baekhyun mengerutkan bibir, menggerakkan bola mata ke samping seolah-olah tengah berpikir. "Mungkin aku tidak ditakdirkan untuk menjadi populer?"

Kedatangan pelanggan baru mengganggu obrolan mereka; sang pelayan tergesa-gesa berdiri, merapikan piring bekas Chanyeol ke atas nampan sembari menyapa mereka. Pemuda itu menggertakkan gigi, memelototi para bapak yang kini bergurau keras di meja belakang—tidak tahu harus meluapkan kekesalan pada siapa. Baekhyun sekilas mengangguk sebagai salam perpisahan. "Aku permisi sebentar."

Tanpa menunggu apa-apa lagi, Chanyeol segera bangkit dari kursi untuk menginterupsi pekerjaan Baekhyun—tangan menahan lengan sang pelayan supaya ia tetap berada di sana. "Bolehkah aku meminta kontakmu?" pertanyaan itu terucap secara blak-blakan melalui mulut pemuda itu. Chanyeol mungkin akan menyesali tindakan ini dalam lima detik ke depan, tetapi ia tidak peduli. "Nomor ponsel atau KaTalk, mungkin?"

Melihat bahwa putra tunggal bibi Hyeri—Joonmyun—terdahulu turun tangan untuk melayani kumpulan pengunjung tadi, Baekhyun cepat-cepat menaruh nampan di atas meja lalu mengambil ponsel—membuka aplikasi KakaoTalk sebelum menyerahkannya pada Chanyeol. "Apa Hyung membaca pikiranku?" ia bercanda selagi pemuda itu mengetikkan nama ID dalam kotak cari. "Padahal aku hendak meminta kontak Hyung terlebih dahulu. Aku ingin mengajak Hyung ke kafe langgananku."

Chanyeol telah ditambahkan dalam daftar kontak Anda. Silahkan memulai obrolan!

Notifikasi tersebut memancing senyum Chanyeol untuk mengembang, terlebih oleh ajakan remaja itu barusan. "Ayo!" ia menjawab, melipat jari menjadi tanda "OK".

Baekhyun mengangguk semangat. "Ayo!"

.

.

Rumor beredar bahwa Profesor Hwang, dosen mata kuliah Permodelan Matematika I, akan mengadakan kuis pada kelas pertama mereka.

Chanyeol tidak seharusnya memercayai berita miring, tapi pemuda itu tetap belajar di waktu luang. Padahal ini masih jam sembilan pagi, dan sekalipun sang mahasiswa memang tidak memiliki kelas pada hari Rabu, tidur terdengar seperti opsi yang lebih baik daripada mempelajari materi baru. Mungkin sikap antusias belajar tersebut datang dari semangat untuk mengembalikan GPA tinggi. Anggap saja sebagai gejala awal suatu pertobatan.

Ponsel Chanyeol bergetar lagi, layar berkelap-kelip oleh preview pesan terbaru di aplikasi KakaoTalk. Pemuda itu hampir mengabaikan chat tadi jika ia tidak melihat nama pengirimnya.

Byun Baekhyun: Halo! Apa Hyung sibuk hari ini? [09:04]

Dua ibu jari Chanyeol bergerak cepat di atas keyboard, nyaris membalas pesansang adik kelas kurang dari satu menit kemudian.

Park Chanyeol: Tidak. Ada apa, Baekhyun? [09:04]

Chat barusan langsung terbaca; pemuda itu sedang menunggu jawaban Baekhyun ketika sebuah panggilan masuk tiba-tiba mengambil alih layar ponsel. Selama beberapa detik, Chanyeol hanya menatap kosong notifikasi tersebut sebelum ia ragu-ragu menggeser tanda hijau—menempelkan ponsel pada telinga. "Halo?"

"Chanyeol-hyung!" suara lucu Baekhyun mendengung dalam pendengaran, "Masih ingat tawaranku minggu kemarin?"

Chanyeol mengedipkan mata linglung, tidak berpikir lama untuk mengingat apa maksud Baekhyun. "Kafe favoritmu?"

"Mereka menawarkan diskon sepuluh persen hari ini! Apa kau tertarik?"

Pemuda itu melirik dokumen powerpoint dalam laptop, melihat bahwa ia hanya baru membaca lima dari 48 slides. "Tentu, jam berapa?" Chanyeol mencoba untuk mempertahankan intonasi ceria, "Aku tidak melakukan apa-apa hari ini," ia menambahkan sambil agak meringis.

"Jam sepuluh?" Baekhyun terlalu gembira untuk mendeteksi nada tidak yakin pemuda itu. "Kafe Pen&Paper. Alamat akan kuinformasikan lebih lanjut. Sampai ketemu di sana!"

Chanyeol bersiap-siap dalam durasi singkat, mengenakan kaus hitam polos dan jeans biru tua, poni dibiarkan ke belakang. Ia segera menuruni tangga, menguap selagi memasang jam tangan pada pergelangan—langkah sejenak terhenti ketika pemuda itu melihat Yoora berjongkok di kamar mandi. "Noona?" Chanyeol memanggil, alis terangkat penasaran. Sang Hyung sekilas menoleh, hendak mengatakan sesuatu sebelum tiba-tiba menunduk, memuntahkan makanan cukup banyak ke toilet. Pemuda itu berlari menghampiri Yoora, memijat-mijat punggung wanita itu supaya ia dapat memuntahkan sisa cairan yang lain. "Sudah berapa kali kuperingatkan untuk tidak makan terlalu banyak?" Chanyeol mengomel seperti seorang ibu rumah tangga, mengamati sang kakak membasuhkan air sabun pada dagu. "Perhatikan lambungmu. Kau jarang makan, tapi sekalinya kau makan, kau mengambil porsi yang berlebihan."

Dahi Yoora tampak mengkilap oleh keringat. "Aku lapar," sang kakak merengek manja.

Chanyeol menghela nafas pasrah, terbiasa menghadapi Yoora yang mudah sakit-sakitan. "Mau kubuatkan teh panas?"

Yoora menggeleng. "Tidak usah," bola matanya bergerak untuk memandang penampilan Chanyeol dari bawah ke atas. "Kau akan pergi?" Melihat anggukan Chanyeol, sang Noona lantas bertanya lagi: "Latihan band?"

"Bertemu teman," Chanyeol memberitahu, mengganti topik sebelum Yoora bisa menginterogasi lebih detail: "Apa Noona berani sendirian di rumah? Mau kutemani?"

Sang kakak menggerakkan tangan sebagai sinyal untuk mengusir Chanyeol. "Pergi sana, aku akan tidur," ia memalsukan intonasi risih, perlahan berdiri dari lantai atas pegangan pemuda itu. "Jangan terlambat menemui temanmu."

.

.

Kafe favorit Baekhyun terletak di tengah kota Seoul, beberapa meter mendekati Universitas Yonsei, berdesakan di antara sejumlah restoran menengah dan toko serba-ada. Secara penampilan, Pen&Paper terlihat kurang menarik dari luar: berukuran dua kali lebih sempit dibanding kafe langganan Chanyeol, dinding berwarna cokelat muda yang mulai memudar, perabotan yang agak berkarat, dan berbagai lukisan aliran abstraksionisme terpajang mengitari ruangan. Menu mereka terjual dalam harga yang sangat murah; mungkin ini salah satu alasan kenapa semua meja tetap penuh oleh mahasiswa universitas sebelah. Jika bukan karena Baekhyun, Chanyeol tentu tidak terpikat untuk mengunjungi kafe ini—pemuda itu masih kesal oleh air muka barista Pen&Paper yang tampak bosan melayani pelanggan.

Mereka duduk berhadapan di samping jendela, dua mug besar dan sepiring kue varian teh hijau menunggu untuk dicicipi—lagu-lagu akustik berbahasa Inggris mengiringi suasana tenang dalam kafe itu. Chanyeol terlebih dahulu mengaduk caramel macchiato panas yang ia pesan, membawa satu sendok ke mulut dan sejenak tertegun oleh rasanya yang enak. Sangat menakjubkan untuk kualitas minuman dengan harga terjangkau. "Wow," komentar pemuda itu, mendelikkan mata terkesan. "Sejak kapan kau berlangganan di sini?"

Baekhyun berseri-seri mendengar ulasan Chanyeol. "Beberapa minggu yang lalu," ia menjawab riang, cahaya matahari semakin menyegarkan ekspresi cerah sang remaja. "Aku menyukai atmosfer kafe ini."

Selama puluhan detik, keduanya sama-sama memilih untuk diam. Baekhyun menganggukkan kepala mendengarkan komposisi indie yang kini diputar, sementara Chanyeol tidak tahu harus mengawali topik apa. Pemuda itu akan sesekali mencuri pandang ke arah Baekhyun, memperhatikan kombinasi sempurna antara sweater warna saffron yang ia pakai dan kulit pucatnya—rambut cokelat muda berkilau di bawah seberkas sinar. Chanyeol mengambil beberapa sendok caramel macchiato sebelum berdeham santai.

"Bagaimana sekolahmu?"

Baekhyun mengembalikan atensi pada wajah pemuda itu. "Kami mempelajari matriks," ia memberitahu, mengepalkan masing-masing tangan bersemangat. "Kami juga belajar tentang advanced grammar. Dari semua mata pelajaran, aku tertarik pada Matematika dan Bahasa Inggris."

"Oh," Chanyeol terkekeh menyaksikan antusias berlebihan sang remaja. "Melihatmu sangat semangat membuatku rindu masa-masa SMA."

Baekhyun mengerutkan kening menyadari intonasi datar pemuda itu. "Apa kuliah tidak menyenangkan?"

Chanyeol menggeleng singkat. "Tidak seburuk yang kau pikirkan, tapi cukup buruk dibandingkan dengan SMA," ia menjilat sisa minuman di pojok bibir, merenungkan bagaimana kehidupan kuliahnya selama ini. "Lebih keras. Banyak tugas. Terlalu kompetitif. Entahlah. Aku ingin kembali menjadi murid SMA."

"Semangat, Hyung," Baekhyun mengangguk lambat, agak menganga mengetahui realita gelap tentang dunia universitas. "Apakah kuliah mengganggu aktivitas bermusik Hyung?"

Chanyeol menghembuskan nafas panjang. "Justru sebaliknya, Baekhyun," ia menjawab malas-malasan, "Bermusik mengganggu kuliahku." Pemuda itu lantas teringat oleh satu mata kuliah yang harus ia ulang, tidak sempat menahan diri untuk mengumpat keras: "Dosen bajingan," Chanyeol tahu bahwa Baekhyun sangat tersentak mendengar kata kasar tersebut, namun ia tetap berkomplain ria, "Mengingat ini membawa migrain ke kepalaku."

Sang remaja terdiam kaku ketika Chanyeol meneruskan, "Tolong maafkan mulutku yang kasar," ia memaksakan sebuah senyum. "Aku terbiasa berkata-kata kotor."

Baekhyun masih menatapnya ngeri. "Baiklah."

Chanyeol tertawa menyaksikan ekpresi Baekhyun, menyadari fakta lain bahwa tidak hanya takut mengumpat, sang remaja juga menghindari alkohol—terlihat dari bagaimana ia selalu menolak diberi segelas bir. Padahal memasuki zaman ini, banyak sekali anak di bawah umur yang diam-diam mengonsumsi bir, termasuk Chanyeol sendiri. "Kau seperti anak kecil saja," pemuda itu meledek, menyipitkan mata jahil. "Sangat polos."

"Bukan begitu," Baekhyun mengelak, bibir setengah mengerucut. "Ayah..." ia sejenak membisu, "Ia tidak pernah mengajarkan kami untuk berkata-kata kotor."

"Ayahku melakukan hal yang sama, dan aku tetap gemar mengumpat," Chanyeol mengangkat bahu cuek. "Relaks, Baek. Kau sudah hampir dewasa. Mengungkapkan kekesalanmu lewat kata-kata kasar bukanlah suatu hal yang buruk." Pemuda itu kemudian memandang Baekhyun curiga. "Biar kutebak, kau adalah anak bungsu?"

"Hm?" Baekhyun berhenti menyesap cokelat panasnya. "Tidak, aku bukan anak bungsu."

Chanyeol melebarkan mata tertarik. "Kau mempunyai kakak dan adik sekaligus?" Baekhyun setengah mengangguk. "Apa mereka tinggal di sini juga?"

Pertanyaan kasual barusan membungkam mulut Baekhyun, dan Chanyeol seketika mempunyai perasaan buruk tentang ini, meneguk liur menyaksikan perubahan drastis air muka anak itu. Keduanya sempat larut memasuki kesunyian, lagu akustik pelan bermain lewat beberapa speaker—mempercanggung keadaan yang telanjur kaku. Chanyeol tidak berani mengatakan apa pun hingga Baekhyun tiba-tiba menjawab, "Mereka tidak di sini."

Pemuda itu mengernyitkan alis. "Huh?"

"Keluargaku tidak di sini," remaja itu mengulangi, suara lebih lemah dari biasanya, "Mereka tinggal di tempat yang lebih tenang dari kota ini."

Mata kosong Baekhyun menatap ke luar jendela, kepala terangkat guna mengamati gumpalan langit berwarna biru—menampakkan suatu ekspresi sedih yang Chanyeol pikir tidak pernah muncul di wajahnya. Butuh beberapa detik bagi pemuda itu untuk menyadari bahwa Baekhyun adalah anak yatim piatu. Seluruh anggota keluarganya mungkin sudah meninggal, entah atas tragedi apa. Chanyeol serentak membisu, salah satu tangan mengepal dan merentang di bawah meja. Ia terpaksa menelan rasa penasaran dan tidak bertanya lebih lanjut.

"Maaf," pemuda itu akhirnya memecah keheningan, suara terbata-bata, "Maaf, aku tidak bermaksud—"

"Tidak apa-apa," Baekhyun segera menyela, intonasi datar yang membuat Chanyeol terpaku oleh rasa bersalah.

Pemuda itu sekilas melirik sang anak, mengeluarkan ponsel dari saku sambil terbatuk pelan—berusaha untuk mematahkan tensi kurang nyaman ini. "Baek?" usahanya guna mengalihkan pembicaraan sangatlah kentara, namun Chanyeol tidak peduli. "Apa genre musik kesukaanmu?"

Cahaya dalam wajah Baekhyun setengah kembali. "Klasik!" ia berseru, menoleh ke arah lain seolah-olah untuk berpikir lalu menambahkan, "Terkadang aku menyukai folk. Hyung?"

Selera musik Baekhyun memaksa Chanyeol guna terang-terangan menjawab: "Semuanya kecuali klasik dan folk." Gelak tawa sang bocah menghangatkan dada pemuda itu. Chanyeol lantas termenung, memikirkan penyanyi mana yang komposisinya mungkin setara dengan pilihan Baekhyun. "Apa kau pernah mendengar seorang penyanyi bernama Oohyo? Aku menyukai lagu-lagunya."

Melihat gelengan Baekhyun, Chanyeol pun mengeluarkan earphones, mengulurkan salah satunya ke direksi sang remaja. "Kemarilah," ia menginstruksi.

Baekhyun mengangkat alis. "Hm?"

"Agak mendekat," Chanyeol menggerakkan tangan canggung. "Aku akan memasangkan ini di telingamu."

Baekhyun mengikuti petunjuk Chanyeol, mencondongkan tubuh ke depan—aroma bedak bayi bergerak memasuki penciuman sang pemuda. Chanyeol berpura-pura santai, sebaliknya memasangkan earphone ke telinga Baekhyun dan mengabaikan betapa dekat posisi wajah mereka sekarang. Ia sejenak menatap playlist, memilih "Dandelion" sebagai lagu yang mungkin mendekati selera Baekhyun. "Dengarkan," Chanyeol bilang, menekan tombol play pada layar.

Permainan biola yang cepat mengawali lagu tersebut. Suara Oohyo bernyanyi tenang, mewarnai alur musik yang tiba-tiba melambat lalu menjadi cepat. Diiringi dengan kombinasi biola, gitar, dan drum pelan, Baekhyun tampak terhipnotis oleh temponya. Liriknya yang begitu polos dan tulus mungkin menyita perhatian sang remaja.

Saranghaeyo geudae

Aku mencintaimu

Issneun moseup geudaero

Sebagaimana dirimu

Perlahan, Baekhyun tersenyum tipis—kepala mengangguk untuk mengikuti alunan nada Oohyo.

Neoui modeun nunmul

Semua air matamu

Dakkajugo sipeo

Aku ingin menghapusnya

Selagi lagunya berputar, Chanyeol terperangkap antara mendengarkan komposisi ini atau memandangi ekspresi cerah Baekhyun. Ia memiliki rupa yang sangat feminin: setiap bagian dari wajahnya seolah-olah terpahat secara hati-hati dan halus. Chanyeol bahkan tidak tahu seseorang dapat terlihat sempurna di bawah sinar matahari. Sekalipun kulitnya pucat, sang remaja tetap memiliki cahayanya sendiri.

Entah kenapa, ada sebuah magnet yang mengikat pemuda itu untuk terus mengamati Baekhyun.

.

.

Chanyeol terduduk di depan komputer, mata sesekali memperhatikan layar ponsel. Ia dan Baekhyun tengah mengobrol di KakaoTalk, dan ini sudah tiga puluh menit sejak sang remaja terakhir membalas pesannya. Menggelengkan kepala, Chanyeol menolak untuk beranggapan bahwa ia sedang menunggu jawaban Baekhyun. Ia pun menguap, sekilas terpikir untuk jogging di sekitar perumahan hingga beberapa nada mendadak muncul dalam kepalanya. Pemuda itu langsung meraih ponsel, terburu-buru memasukkan password sebelum menekan icon aplikasi perekam suara—mendengungkan nada-nada tadi sampai selesai.

"Idiot!" teriakan ayah tiba-tiba terdengar. Chanyeol nyaris terhenyak, segera berdiri dan berlari keluar kamar—seketika panik untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Pemuda itu melihat bagaimana ayah mendelik ke arah ibu, mata dipenuhi amarah. "Tidak bisakah kau lihat apa yang kulakukan? Diamlah sebentar, pakai mulutmu untuk membicarakan hal yang lebih penting."

Raut muka ibu kebingungan. Ia mencondong tubuh ke belakang guna menghindari amarah ayah. "Kenapa kau berteriak?" ibu mengernyitkan alis. "Aku hanya memberitahumu tentang cucu Eunhee!"

Ayah semakin terlihat muak. "Aku tahu, tapi aku tidak menyuruhmu untuk menyodorkan ponsel ke wajahku demi menunjukkan foto bayinya," ia menunjuk ponsel ibu seolah-olah itu adalah barang yang menjijikkan. "Aku harus mempersiapkan presentasi untuk meeting besok pagi!"

Ibu termenung, air muka kosong selama beberapa detik hingga ia membuka mulut, "Apa—"

"Ada apa ini?" Chanyeol memotong pertanyaan ibu, berupaya untuk menjadi penengah dari pertengkaran ini. Pemuda itu bahkan tidak tahu apa yang terjadi. "Kenapa Ayah berteriak?"

Ibu hendak menjawab, namun ayah terlebih dahulu menyambar, "Ibumu tidak berhenti berbicara!" ia seenaknya melempar koran ke atas meja, membiarkan beberapa helai kertas tercecer di lantai. "Ayah lelah mendengarnya."

Tindakan kasar ayah mengejutkan Chanyeol. Pemuda itu sempat termenung selagi ibu membela diri, "Ini... foto cucu Bibi Eunhee," ia menyodorkan ponsel tersebut pada Chanyeol, menunjukkan sebuah foto bayi perempuan yang cantik. "Bukankah ia sangat lucu? Ayah tiba-tiba marah karena Ibu menunjukkan foto ini padanya."

Seringan ayah mencemooh percakapan mereka. "Bagus," ia berkomentar sarkastis. Chanyeol menatap bingung ekspresi mencemooh ayah. "Sekarang kau mulai mahir mencari muka di hadapan anak-anakmu."

Chanyeol tidak tahu harus mengatakan apa. "Ayah..."

"Aku akan pergi," ayah cepat-cepat mengambil kunci mobil, melemparkan satu pandangan terakhir pada mereka berdua. "Aku muak dengan lagak baikmu."

Air mata mengintip di balik mata ibu. "Yeobo," ia tergesa-gesa menyentuh lengan ayah, berusaha untuk menenangkan pria itu—tubuh terseret karena ayah mempercepat langkahnya menuju pintu. "Jangan marah," Chanyeol hanya terdiam menyaksikan ibu yang mengemis-ngemis di depan ayah, mengulangi permintaan maaf berkali-kali sekalipun ayah tidak menggubris. "Perhatikan kondisi jantungmu. Maafkan aku."

"Bajingan!" ayah menyingkirkan pegangan ibu, mendorong wanita itu untuk menjauhinya. Manik Chanyeol melebar. Ia langsung menghampiri ibu, memegang bahu wanita itu selagi ayah menjerit kesetanan: "Persetan dengan kondisi jantungku. Aku ingin mati supaya aku tidak perlu menemuimu lagi!"

"Ayah!" Chanyeol berseru, menelan rasa takut untuk memberitahu beliau secara baik-baik, "Ibu hanya menunjukkan foto cucu Bibi Eunhee... Bukankah agak berlebihan jika Ayah bereaksi seperti ini?"

"Chanyeol!" ibu mencengkeram tangan Chanyeol, setengah mendelikkan mata ke arah pemuda itu. "Jangan ikut campur!"

Wajah ayah memerah karena emosi yang luar biasa bergejolak. "Kau lebih membela Ibu daripada Ayah? Tidakkah kau lihat bahwa Ibumu mengganggu konsentrasi Ayah untuk menyusun presentasi besok pagi?" ayah kemudian mengarahkan jari telunjuk pada ibu. "Ia terus mengoceh tentang seorang bayi yang orang tuanya bahkan tidak Ayah kenal!"

Chanyeol menganga. Ia terkejut, sungguh-sungguh terkejut dengan sikap ayah yang berlebihan. Memang, bibi Eunhee adalah salah satu teman ibu dan ayah tidak mengenalnya, tapi Chanyeol tidak mengerti kenapa isu sederhana tadi akan memicu amarah beliau. Ayah sudah keterlaluan; Chanyeol tidak mungkin menoleransi ini. Ia telah gusar oleh sesuatu yang sepele; ayah juga melemparkan kata-kata kasar kepada ibu.

Chanyeol menggeleng. Ibu tidak layak diperlakukan seperti ini. "Bukan begini caranya..." ia memberanikan diri untuk berbicara, mengungkapkan perlawanan atas tindakan beliau. "Ayah tidak bisa serta merta memaki-maki Ibu untuk suatu permasalahan yang sangat sepele."

Argumen Chanyeol mengakibatkan ayah untuk naik pitam. "Kau berani melawan Ayah sekarang?" Sebuah tamparan keras mendarat di pipi sebelah kiri Chanyeol. Pemuda itu mendelikkan mata tidak percaya, sementara ibu berteriak, memegang bahu ayah untuk menenangkan beliau. Ayah melepas paksa pegangan ibu. "Kau bahkan tidak mempunyai otak secerdas Yoora! Bisa-bisanya kau menasihatiku?!" ia menjerit, satu per satu kata yang diucapkan menyakiti pemuda itu. "Lihat dirimu! Membawa gitar ke mana-mana layaknya seorang berandal tidak bermasa depan! Kau pikir kau bisa mencari uang dengan bermusik?!" ayah meraih kerah baju Chanyeol, memaksa pemuda itu dalam sebuah kontak mata tajam. Mata Chanyeol terasa panas di bawah pandangan mengejek ayah. "Tingkatkan dahulu GPA-mu sebelum kau berbicara. Kau cukup beruntung untuk diterima di universitas ternama dengan otak pas-pasan itu. Pecundang."

Begitu cengkeraman pada kerahnya melonggar, Chanyeol mencuri keheningan untuk keluar dari rumah—melarikan diri dari segala caci maki yang ayah tujukan padanya. Ia tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi, sesuatu dalam dirinya menyetujui label yang ayah berikan bagi pemuda itu. Pecundang, Chanyeol diam-diam tersenyum kecut. Di mana sosok pria yang dahulu mendukung hobinya dalam bermusik? Di mana sosok pria yang dahulu menyemangati Chanyeol untuk masuk Universitas Nasional Seoul?

"Chanyeol!" Chanyeol tahu bahwa ibu mengikutinya dari belakang, namun ia justru mempercepat jalannya. Pemuda itu harus menutup mata dan telinga dari hinaan ayah. "Chanyeol! Tunggu Ibu!"

Udara di luar terasa lebih dingin dari biasanya. Langkah kaki Chanyeol melambat, nafas terengah-engah usai berlari secepat mungkin, menunggu hingga detak jantungnya stabil. Ibu telah berhenti mengejarnya, dan kini ia berjalan mengikuti ke mana pun kakinya bergerak, tatapan kosong mengamati deretan rumah di kompleks mereka. Sebuah taman bermain muncul dalam pandangan pemuda itu, dan ia menghampiri salah satu ayunan untuk sekadar duduk di sana—melamun entah sampai berapa lama.

Ketika Chanyeol menengadah, pemuda itu melihat seseorang familier berdiri di tengah jalan—tubuh mungil dengan sweater kebesaran dan celana training. Ia sedang memegang ponsel, menoleh ke segala arah layaknya orang linglung sebelum mata mereka tiba-tiba bertemu.

"Hyung?"

Setidaknya suara Baekhyun mampu menenangkan perasaan Chanyeol.

.

.

Keduanya menduduki ayunan, sesekali berayun lambat di sana—menyukai angin yang akan menggelitik wajah mereka pada setiap ayun. Chanyeol dan Baekhyun saling membisu, terjebak dalam pikiran masing-masing dan menyatu bersama keheningan. Setengah dari pemuda itu ingin memulai obrolan, tapi ia tidak sanggup. Hazel lebarnya tetap menatapi tanah, kepala menunduk untuk menahan air mata yang akan turun.

"Hyung tidak apa-apa?"

Chanyeol sekilas menoleh pada Baekhyun, mengangkat bahu singkat. Pemuda itu lantas memulai topik baru untuk mengalihkan atensi sang remaja dari pertanyaan barusan: "Apa yang kau lakukan di sini, omong-omong? Bukankah jam begini adalah waktu belajar murid SMA?" ia mengernyitkan dahi. "Kau tidak bekerja paruh waktu hari ini, kan?"

Baekhyun menggeleng, justru menyodorkan sebuah bungkusan pada Chanyeol. "Aku kemari untuk menyerahkan ini."

Chanyeol mengambil bungkusan tersebut penasaran, mengintip ke dalam untuk melihat sebuah kotak bekal di sana. Sebelum ia merespons, Baekhyun terlebih dahulu berbicara, "Aku memasakkan Hyung ayam teriyaki..." ia ragu-ragu menatap Chanyeol, ekspresi seperti waswas untuk melihat reaksi pemuda itu. "Kemarin Hyung bilang Hyung ingin mencicipi masakanku?"

Jantung Chanyeol berdebar lebih cepat, dan ia kehilangan kata-kata. "Whoa, aku tidak menyangka kau akan memasakkanku sesuatu," Chanyeol menelan liur. "Terima kasih. Kebetulan aku sangat lapar sekarang." Dengan hati-hati, pemuda itu membuka kotak bekal tadi, sekilas mengagumi betapa rapi potongan ayamnya tertata sebelum meraih sumpit dan melahap salah satunya. "Enak," Chanyeol segera berkomentar, dan ia tidak berbohong. Baekhyun tampak puas mendengar pujian sang pemuda. Chanyeol kemudian berbasa-basi, "Bagaimana kau tahu tempat tinggalku?"

"Hyung sempat menyinggungnya beberapa kali," jawab Baekhyun, malu-malu menyentuh bagian belakang dari lehernya. "Aku bolak-balik menelepon Hyung untuk menanyakan alamat secara detail, tapi nomor Hyung tidak aktif. Beruntung kita bertemu di tengah jalan."

Chanyeol sempat terdiam untuk menatap Baekhyun, mengamati raut muka ceria sang remaja. "Ya," ia berkata dalam suara serak, mata tertuju pada makanan. "Sangat beruntung."

Baekhyun menoleh, menyadari perubahan intonasi Chanyeol. "Hm?"

Chanyeol berpura-pura tidak mendengar, membiarkan percakapan mereka berhenti di sana. Keheningan kembali melingkupi mereka; pemuda itu menghabiskan bekal dalam diam, dan sang remaja tidak mendorongnya untuk mengatakan sesuatu. Chanyeol sekedar mengangguk saat Baekhyun menyerahkan sebotol air putih, meminum hampir setengahnya dalam sekali teguk. Ia melamun selama beberapa detik sebelum memanggil pelan, "Baekhyun?"

Sang remaja menatap pemuda itu. "Ya?"

Chanyeol tidak mengalihkan mata dari tanah. "Apa aku terlihat seperti seorang berandal tidak bermasa depan?"

Pernyataan tersebut jelas mengagetkan Baekhyun, sebab remaja itu tergesa-gesa berbicara, "Tidak. Tentu saja tidak," ia terdengar agak terbata-bata. Chanyeol tetap menunduk sekalipun ia tahu Baekhyun memandanginya. "Siapa yang mengatakan itu?"

"Seseorang yang sangat berarti dalam hidupku," ingatan Chanyeol melakukan kilas balik lagi, dan ia tersesat dalam kata-kata menyakitkan ayah, sesuatu dalam dadanya seperti ditekan. "Apakah aneh jika aku sedih karena dianggap begitu?" Baekhyun masih terdiam ketika Chanyeol melanjutkan, "Selama ini ia selalu mendukung apa yang kulakukan. Ia adalah seorang sosok yang lembut, perhatian, dan suportif. Tapi—tapi entah bagaimana, ia bertransformasi menjadi seseorang yang tidak aku kenal. Hari ini ia menunjukkan sisinya yang lain kepadaku. Sisi yang tidak pernah aku lihat selama 22 tahun hidupku. Sisi... sisi yang mungkin akan aku benci."

Ia menghela nafas lemah. "Aku takut membencinya, Baekhyun..." Chanyeol semakin menundukkan kepala, manik terpejam supaya air mata tidak berhamburan. Pemuda itu tidak ingin menangis di depan Baekhyun. "Apakah ini salahku? Karena aku tidak bisa memenuhi ekspektasinya?"

Sebuah tangan menyentuh bahu Chanyeol lembut.

"Terkadang... orang-orang yang paling berarti dalam hidup kita adalah satu-satunya yang akan melukai kita," suara Baekhyun terdengar menenangkan, layaknya sebuah lulabi yang mampu meringankan perasaan Chanyeol. Pemuda itu seolah-olah dibawa kepada masa lalu kala neneknya masih hidup, terduduk di samping tempat tidur dan menceritakan dongeng sebelum ia tidur. Chanyeol harap ia bisa mendengar suara Baekhyun hingga ia terlelap. "Aku tidak tahu kenapa. Terdapat banyak hal yang menurutku masih menjadi misteri."

"Ini bukan salah Hyung," genggaman pada bahu Chanyeol seperti menyerahkan kekuatan. "Jangan berpikir bahwa sisi barunya adalah akibat dari kesalahan Hyung," sebuah jeda, dan Chanyeol akhirnya mengangkat kepala untuk menatap Baekhyun, tenggelam dalam obsidian lelaki mungil itu. Ia tidak melihat apa-apa kecuali ketulusan serta kelembutan di sana, dan darahnya berdesir tenang oleh pandangan sang remaja. "Seseorang berubah atas keinginannya. Apabila ia melemparkan kesalahan pada sekitarnya, maka ia hanya mementingkan diri sendiri."

"Jangan membenci kalau Hyung tidak ingin membenci," Baekhyun menggeleng, kata demi kata yang ia ucapkan terukir dalam otak Chanyeol. Sebuah pesan yang pemuda itu ingin pegang meskipun sulit. Ia tidak tahu kenapa. "Apa pun yang berawal dari kebencian tidak pernah berakhir dengan baik."

Chanyeol tersenyum tipis, menelan keinginan untuk mencurahkan seluruh kesedihan saat itu juga. Ia belum siap untuk membuka diri kepada orang lain, apalagi menunjukkan sisi lemahnya pada mereka.

Pemuda itu ingin menghadapi ini sendiri.

.

.

Chanyeol akhirnya pulang usai mengungsi ke apartemen Sehun selama empat hari—makan, mandi, dan mengerjakan tugas di sana layaknya sebuah benalu. Ia terkejut kala mendapati Yoora di ruang tengah, terduduk pada sofa bersama pandangan hampa ke televisi. Dari air muka sang kakak, Chanyeol dapat melihat bahwa ia tidak memperhatikan tontonan yang diputar. Yoora bahkan tidak menyadari kedatangan pemuda itu walau pintu ditutup cukup keras.

Dahi mengerut, Chanyeol pun memecah keheningan: "Noona?"

Yoora seketika berkedip, menoleh ke direksi sang adik sebelum perlahan memperoleh kesadaran. Ia berdeham kaku. "Chanyeol," ia melambaikan tangan. "Kau pulang."

Chanyeol tidak membalas sapaan ramah sang kakak, meletakkan sepatu ke sebuah rak dekat pintu sebelum berjalan ke tangga. "Noona tidak pergi kencan? Ini malam minggu," ia berbasa-basi, sedikit merasa bersalah karena bersikap cuek pada Yoora. "Apa Seungho-Hyung pergi ke luar kota?"

"Hubungan kami sudah berakhir."

Chanyeol berhenti, sekilas melirik Yoora—menelusuri ekspresi kosong Noona-nya—sebelum mengangguk. "Oh," ia merespons singkat, tidak mencari tahu lebih lanjut. Yoora jelas masih tertekan soal ini; pemuda itu tidak mau menambah rasa stres sang kakak.

"Kau tidak pulang selama beberapa hari," Yoora tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Chanyeol langsung menggertakkan gigi, mengetahui ke mana arah pembicaraan mereka akan berlabuh. "Apa kau tahu bahwa Ayah harus ke rumah sakit untuk checkup? Dadanya sakit."

Chanyeol menatap Yoora tajam. "Apa kau akan menyalahkanku?"

Yoora menghela nafas, menggelengkan kepala melihat sikap defensif sang adik. "Bukan begitu," ia mengelak, "Setidaknya kau harus mengunjunginya."

Chanyeol cepat-cepat menaiki tangga. "Ayah tidak akan sudi menemuiku setelah apa yang terjadi kemarin."

Yoora berdiri untuk mengejar sang adik, menahan lengan pemuda itu. "Chanyeol—"

"Kau tahu aku tidak pernah melawan mereka," Chanyeol menoleh ke belakang, seluruh frustrasi menyala di balik dua hazel lebar. "Tapi Ayah—ia—" pemuda itu sempat kesulitan untuk bernafas, pernafasan sesak karena harus menjelaskan kejadian menyakitkan beberapa hari lalu, "Ia memaki-maki Ibu untuk sesuatu yang sangat sepele, mengata-ngatainya kasar meskipun Ibu terus meminta maaf. Aku—aku tidak mengerti apa yang terjadi pada Ayah. Ia sudah berubah," Chanyeol setengah mencengkeram masing-masing bahu Yoora, pandangan memohon ke arah sang kakak: manik menyorot kekecewaan. "Tolong jangan katakan bahwa hanya aku yang menyadari ini."

Yoora memejamkan mata. "Aku tahu," ia menelan ludah, membuka keduanya untuk menatap Chanyeol pasrah. "Aku terkejut melihat pertengkaran hebat mereka minggu lalu."

Chanyeol mengangkat satu alis. "Kapan?"

"Hari Kamis," Yoora memberitahu secara spesifik, dan ketika sang adik tampak bingung, ia meneruskan, "Kau tidak tahu karena saat itu kau pergi bersama temanmu."

Baekhyun, nama itu muncul dalam otak Chanyeol. Pemuda itu lupa bahwa mereka bertemu di kafe hari Kamis. "Penyakit Ayah kambuh karena Ibu ingin memenangkan argumennya," suara Yoora memasuki pendengaran Chanyeol, mencuri atensi sang adik. "Entah kenapa Ayah... menjadi sangat kasar pada Ibu."

Chanyeol membuang muka. "Sudahlah, aku lelah. Aku akan tidur."

Namun, Yoora belum selesai. Ia menghalangi sang adik sebelum ia bisa pergi. "Chanyeol," nadanya waswas, "Ada... sesuatu yang perlu kau ketahui."

"Apa lagi?" Chanyeol sedikit mendesis.

Yoora menelan liur. "Ayah..." ia meneliti raut muka Chanyeol selagi ia berkata, "Ayah menjalin hubungan dengan seorang wanita lain."

Chanyeol menoleh. "Apa?" ia mendelikkan mata. "Jangan bercanda."

Yoora menundukkan kepala. "Ayah sering menemui kekasih gelapnya di hotel JW Marriott," ia menengadah guna memandang Chanyeol serius. "Inilah alasan kenapa ia selalu menghilang, terutama pada hari Rabu dan Sabtu."

Tatapan Chanyeol mulai bergetar, jantung berdegup oleh ketakutan. "Bohong."

"Kau ingat workshop jurnalistik yang kuhadiri di hotel JW Marriott beberapa minggu lalu?" Yoora melanjutkan, sekalipun ia tahu bahwa setiap kalimat yang keluar dari mulutnya menghancurkan sang adik. "Aku melihat mereka."

Chanyeol mengambil sebuah langkah ke belakang. "Tolong jangan berbicara lagi," pemuda itu segera menaiki tangga, mengabaikan Yoora yang terus memanggil namanya.

.

.

Sejumlah foto mengisi layar ponsel Chanyeol. Dalam foto-foto tersebut, ayah sedang berada di lobi hotel JW Marriott, lengan merangkul pinggang seorang wanita cantik: rambut keriting berwarna pirang dan tubuh elok, terbalut oleh gaun ketat yang memamerkan aset-aset menggairahkan. Dari sudut ini, ia bisa melihat bahwa sang wanita berusia pertengahan dua puluh, tipikal pelacur yang biasanya memangsa pria kaya. Mereka terlihat mesra, saling berbisik dan berbagi seringai nakal—tangan ayah menggerayangi area-area privat wanita itu. Ia hendak menekan exit jika pengirim foto-foto tadi tidak menambahkan pesan baru.

Park Yoora: Aku tidak berbohong. [18:52]

Chanyeol mematikan ponsel, punggung tersandar ke pilar halte dan kepala tertunduk. Pikiran pemuda itu hampa, terlalu terguncang untuk bahkan berkonsentrasi. Bunyi klakson mobil dan ambulans yang bersahutan tidak menghancurkan lamunannya, justru mengantar sang pemuda pada kekosongan. Chanyeol tidak tahu hingga berapa lama ia akan berdiri di sana untuk sekadar termenung, menyengsarakan diri sendiri dengan rasa jijik atas foto-foto tadi.

Ketika ia memutuskan untuk pergi, pemuda itu tidak sadar bahwa ia telah memasuki kedai tempat Baekhyun bekerja.

"Chanyeol-hyung!" panggil sang remaja, melambaikan tangan ceria dari balik kasir. Mendengar salam hangat Baekhyun, Chanyeol dapat sedikit tersenyum, kendati tidak selebar biasanya. "Seperti biasa?"

Setelah melayani bertubi-tubi pelanggan, semangkuk ramyeon dan sebuah botol soju varian orisinil ditaruh ke atas meja Chanyeol. Baekhyun menempati kursi di seberang sang pemuda, mengawali obrolan sederhana: "Hari yang buruk?"

Chanyeol tidak membalas kontak mata Baekhyun. "Hari yang buruk," ia menyetujui, menuangkan bir ke sebuah gelas kecil—sekilas mengangkatnya ke direksi sang remaja. "Kau mau?" Baekhyun menggeleng kecil. "Tentu saja," Chanyeol menyeringai tipis. "Satu, kau masih di bawah umur. Dua, kau masih sangat polos..." ia beralih untuk meminum bir, bernafas lega setelahnya. "Aku dan teman-temanku pertama kali minum soju saat kami seumuranmu."

Obsidian Baekhyun tampak penasaran. "Apa soju membuat Hyung merasa lebih baik?"

Pemuda itu menaikkan bahu. "Mungkin," ia memutus sumpit untuk meratakan bumbu dalam ramyeon, sesekali melempar tatapan pada Baekhyun. "Apa kau tidak lapar? Kita bisa makan bersama."

Tawaran barusan berakhir ditolak lagi. Sejenak, Baekhyun menyimak cara Chanyeol menyantap ramyeon, bagaimana lelah raut mukanya terlihat. Sekalipun lampu berada tepat di atas kepala mereka, Baekhyun tidak melihat cahaya dalam hazel Chanyeol. Sesuatu telah meredupkan sinar dari pemuda itu.

"Apa seseorang yang berarti dalam hidup Hyung menyakiti Hyung lagi?"

Suara Baekhyun mengakibatkan Chanyeol untuk diam, menyelipkan beberapa jeda sebelum berbicara pelan: "Baekhyun, kenapa seseorang harus memberitahu keburukan anggota keluarga mereka pada orang lain?" ini bukan respons dari pertanyaan Baekhyun, tapi sang pemuda tidak peduli. "Masa bodoh jika orang lain yang akan mengetahui ini adalah anggota keluarga mereka sendiri."

Baekhyun mengerjapkan mata. "Hm?"

"Lupakan," Chanyeol tergesa-gesa menyela, "Aku hanya... kecewa. Kecewa dengan pola pikir seseorang itu."

Baekhyun tetap menatap Chanyeol. "Hyung kecewa karena kenyataan yang ia bongkar?"

"Aku kecewa karena ia enggan menyembunyikan itu pada dirinya sendiri," Chanyeol beralasan, pandangan lurus ke mangkuk ramyeon. "Kalaupun benar, haruskah ia memberitahukan ini pada anggota keluarganya? Apakah yang ia dapat dari menyebarkan keburukan anggota keluarganya sendiri? Segala hal yang buruk akan terbongkar pada akhirnya. Kenapa ia harus mencari tahu terlebih dahulu? Bukankah ia justru menyakiti mereka?"

"Mungkin terdapat hal lain yang memaksanya untuk melakukan ini."

Chanyeol menengadah. "Apa?" nadanya tiba-tiba kasar, ekspresi seperti menantang sang remaja. "Aku tidak melihat keuntungan dari menyerang anggota keluargamu sendiri. Aku mengerti mungkin ia tidak bermaksud buruk—tapi—" ia menutup mata letih, segala bentuk spekulasi memadati benaknya. Chanyeol tidak mau memikirkan ini, dan karena itulah ia menggeleng. "Lupakan. Kau bahkan tidak tahu apa yang aku bicarakan."

Tetapi, Baekhyun mengerti maksud Chanyeol. "Dendam. Amarah yang memuncak," ia setengah mengangkat bahu selagi menyebutkan, "Perlindungan terhadap diri sendiri. Ada berbagai alasan yang hanya ia ketahui, Hyung."

Chanyeol membisu sebentar. "Mungkinkah ia berbohong?"

Jawaban Baekhyun membekas dalam pikiran pemuda itu.

"Kenyataan hanya diketahui jika kita melihat realita yang sesungguhnya."

.

.

Chanyeol melihat mereka.

Ayah dan jalang itu. Mereka sedang menunggu di lobi hotel JW Marriott hingga sebuah taksi berhenti untuk menjemput keduanya. Chanyeol membuang muka ketika tangan ayah menjamah pantat sang wanita, menepuknya singkat selagi ia memasuki taksi. Pemuda itu menyesal telah datang kemari, mengintip dari balik mobil dan mematung di sana layaknya orang bodoh. Seorang pecundang yang takut bertindak usai dihadapkan pada realita yang sesungguhnya.

Kenyataan bahwa Yoora memang tidak berbohong.

Bayangan ayah dan kekasih gelapnya menghantui kepala Chanyeol, menghancurkan semangat pemuda itu untuk melakukan sesuatu. Ponselnya sering dibiarkan mati, hanya sesekali membalas pesan. Ia berhenti menghadiri kelas, tidak ada motivasi untuk belajar—justru mengabaikan seluruh deadline tugas yang semakin menumpuk. Pemuda itu mengurung diri di kamar, tenggelam di antara gitar dan tempat tidur, terjaga semalaman dan terlelap di siang hari.

Batang hidung Chanyeol baru muncul pada Senin pagi. Mengenakan hoodie dan jeans, pemuda itu menghadiri kelas Permodelan Matematika I seolah-olah eksistensinya tidak lenyap minggu kemarin. Ia bertindak seperti biasa, tersenyum lebar dan bercanda supaya seluruh mahasiswa dalam kelas tertawa. Bagaimanapun juga, Chanyeol adalah sang extrovert populer yang disegani semua orang. Ia harus mahir menyembunyikan emosi.

Mereka tengah berjalan ke perpustakaan ketika Kris bertanya, "Ke mana saja kau minggu lalu?" sang pemuda menatap Chanyeol curiga. "Seratus persen menghilang dari muka bumi. Sehun bilang kau mungkin tersesat di Narnia."

Chanyeol mendengus. "Lucu sekali," ia merespons seadanya, tidak bersemangat untuk tertawa. "Aku melewati fase malasku kemarin," kebohongan meluncur secara natural dari bibirnya, "Tidur, makan, bermain gitar. Selesai."

Kris menepuk punggungnya. "Pikirkan jatah bolosmu, kawan."

Chanyeol menghela nafas. Ia hendak menanggapi Kris, namun sebuah notifikasi baru menyita perhatian sang pemuda.

Byun Baekhyun: Halo, Hyung. Apa kabar? Maaf mengganggu... apa Hyung sibuk? [10:27]

.

.

Chanyeol tidak menyangka bahwa ia akan cukup dermawan untuk membantu seseorang pindah rumah.

Karena, di sinilah pemuda itu sekarang, naik-turun tangga guna membawa sejumlah kotak kardus ke apartemen baru Baekhyun—bersikeras mengangkat seluruh barang sang remaja. Chanyeol terengah-engah, kemeja agak basah oleh keringat kendati cuaca yang cukup dingin. Sesungguhnya, ia tidak tahu kenapa ia melakukan ini. Dua jam tadi, ia masih bersantai di kampus hingga pesan teks Baekhyun masuk, malu-malu meminta tolong pemuda itu untuk membantu proses pindah rumahnya. Chanyeol langsung menyetujui, entah atas simpati atau rindu mengobrol karena lama tidak bertemu. Mungkin dua-duanya.

Tempat tinggal Baekhyun terletak di lingkungan padat tengah kota, sebuah lokasi strategis dekat Universitas Nasional Seoul. Salah satu gedung tua yang terdiri atas lima lantai, lift rusak, serta dinding penuh coretan. Apartemen Baekhyun berada di lantai tiga: ukuran kecil dengan satu kamar mandi, satu kamar, dan dapur minimalis. Ada sedikit sarang laba-laba di (hampir) setiap pojok atas dinding, debu-debu menutupi gagang pintu sekaligus berserakan di lantai.

Begitu mereka selesai membersihkan setiap sudut ruangan, Chanyeol menduduki kursi makan—mengistirahatkan kepala pada meja. Ia hampir tertidur di sana kalau bukan karena bau ramen yang mendadak mengisi penciumannya.

Baekhyun terduduk di hadapan sang pemuda, tangan lentik mendorong salah satu dari dua cup ramyeon instan ke arahnya. Uap lezat muncul dari dalam cup tersebut. "Maaf, hanya ini yang aku punya."

Chanyeol seketika bersemangat. "Tidak ada yang lebih baik dari ramyeon instan," ia berkata jujur, mengamati ramen sembari memutus sumpit. "Terima kasih."

"Terima kasih," Baekhyun membalikkan perkataan sang pemuda, mengangkat ramyeon menggunakan sumpit. "Maaf merepotkanmu di siang bolong."

Chanyeol agak tergesa-gesa makan. "Tidak apa-apa," ia melambaikan tangan. "Aku senang bisa sedikit membantu."

Keduanya lantas menikmati ramyeon dalam hening. Chanyeol mengamati sekitar, menyadari sesuatu yang janggal sambil menimang-nimang. Usai berpikir panjang, pemuda itu ragu-ragu memecah rasa penasaran: "Kau... tidak mempunyai foto keluarga?"

Baekhyun menengadah. "Hm?" ia mengedipkan mata kosong. "Tidak."

"Kenapa?" Chanyeol keceplosan bertanya. Ketika ia melihat perubahan ekspresi Baekhyun, ia tergesa-gesa mengoreksi dirinya, "Maaf, jangan menjawab kalau kau keberatan."

"Kami tinggal di desa yang terpencil," Baekhyun memberitahu, tatapan seperti melamun. Sang remaja sedang melakukan kilas balik terhadap masa lalunya. "Tidak ada teknologi canggih. Kami tidak pernah mengambil foto keluarga."

"Oh," Chanyeol ingin menanyakan bagaimana keluarganya meninggal, tapi ia tidak tega.

"Kami kecelakaan dalam perjalanan ke kota," ia meneruskan, sumpit memainkan ramyeon dalam cup. "Kami jatuh ke jurang dan aku adalah satu-satunya yang selamat."

Chanyeol sejenak membisu. Ia tidak tahu harus merespons apa selain... "Aku turut berduka cita."

Baekhyun hanya tersenyum.

"Apa kau tidak mempunyai saudara di sini?"

Baekhyun menggeleng. "Dahulu aku tinggal di panti asuhan, tapi aku memutuskan untuk kemari. Tinggal di kota. Mencapai cita-cita. Meskipun itu berarti aku harus tinggal sendiri."

Chanyeol merasa tertohok. Sang remaja terdengar tenang—pasrah, bahkan—selagi ia bercerita tentang masa lalunya yang sungguh tragis bagi anak seusianya. Pemuda itu tidak bisa membayangkan apa yang ia lakukan jika ia menjadi Baekhyun. Mungkin ia akan memilih untuk mati daripada hidup sendiri.

"Tenang," suara Baekhyun menginterupsi sang pemuda, raut muka seakan-akan ia tahu apa yang Chanyeol pikiran. "Aku mendapat beasiswa asal aku mempertahankan peringkat pertama."

Chanyeol mengangguk. Ia tersenyum tipis, mengetahui bagaimana menderitanya Baekhyun namun ia tidak menyerah. Sang remaja mempunyai mimpi; ia akan berjuang untuk mencapai cita-citanya. Di sisi lain, Chanyeol baru menghadapi sebuah masalah keluarga dan ia telanjur stres berat. Masalah yang dialaminya bukan apa-apa dibanding Baekhyun.

Pemuda itu menghembuskan nafas. "Aku harap aku bisa sekuat dirimu."

"Huh?" Baekhyun memiringkan kepala, raut muka bingung. "Tapi Chanyeol-hyung terlihat seperti seseorang yang kuat."

Anggapan Baekhyun menampar Chanyeol. Pemuda itu lantas tertawa, sebuah tawa panjang yang hampa dan menyedihkan. Menyadari perubahan atmosfer di sana, ekspresi Baekhyun berangsur-angsur menjadi bingung. Sang remaja tampak terkejut, hendak membuka mulut jika Chanyeol tidak tiba-tiba memotongnya: "Tolong jangan katakan apa pun."

Pemuda itu mengangkat ramyeon menuju mulut, menelan mereka lambat hingga suatu rasa familier bercampur pada bibirnya—pandangan mulai kabur secara perlahan. Air mata terlebih dahulu berjatuhan, mengalir deras dari matanya sebelum ia dapat mengontrol mereka. Chanyeol mencengkeram sumpit, menjauhkan diri dari cup ramyeon untuk menunduk. Ia menangis, dan menangis, entah untuk berapa lama, meluapkan seluruh rasa kecewa, sedih, dan tertekan melalui tangisan yang panjang.

Baekhyun tidak mengatakan apa-apa. Chanyeol mengangkat kepala, melihat pandangan sang remaja yang menyerupai dirinya. Mereka sama-sama terlihat sedih.

"Aku membencinya," Chanyeol berbisik lemah, "Aku tidak mau membencinya, tapi aku tidak bisa."

Baekhyun meraih tangan Chanyeol, sekilas mengejutkan sang pemuda akan seberapa dingin jemari remaja itu. Chanyeol menatap tangan mereka.

"Kenapa ia melakukan ini pada kami?" suaranya semakin pelan, "Aku tidak mengerti."

Baekhyun tetap membisu.

"Aku seharusnya tidak mencari tahu," Chanyeol berbisik lemas, "Aku hanya menyakiti diriku sendiri dengan mengetahui semuanya... Aku membenci perasaan ini."

Ia membungkuk, menyembunyikan wajah di antara lengan pada meja untuk menangis. Nafasnya terengah-engah; Chanyeol tidak menyadari bahwa Baekhyun telah menghampiri pemuda itu lalu melingkarkan tangan di sekitar bahunya.

"Aku tidak pernah menangis, tapi lihatlah... aku menangis sekarang," ia terkekeh kaku, tangan menghapus air mata yang telanjur membasahi wajahnya. "Ini memalukan."

Baekhyun menepuk bahunya. Sentuhan singkat remaja itu menyengat kulit Chanyeol. "Kau melakukan hal yang benar."

"Apa?" ia menengadah, memandang lurus ke arah Baekhyun. "Untuk mempertunjukkan kelemahanku?"

Baekhyun melepas pelukan mereka untuk mengusap pipi Chanyeol, tangan mungil menjamah wajah pemuda itu—air mata membasahi jemarinya. "Untuk melepaskan perasaan yang selama ini kau tahan," ucapnya tenang, menyingkirkan poni dari dahi Chanyeol. "Menangis mungkin tidak menyelesaikan suatu masalah, tapi setidaknya... itu bisa menenangkan perasaanmu."

Obsidian Baekhyun menghipnotis Chanyeol untuk terus menatap.

.

.

Chanyeol tidak berhenti memikirkan Baekhyun. Seberapa peduli remaja itu; seberapa dewasa pola pikirnya bagi seseorang yang baru berusia enam belas tahun. Baekhyun tidak pernah menanyakan apa yang terjadi; ia tidak memaksa Chanyeol untuk menceritakan semuanya, mengetahui bahwa Chanyeol mungkin belum nyaman untuk memberitahu masalahnya. Akan tetapi, ia di sana untuk menenangkan Chanyeol.

Pemuda itu membuka ruang obrolan terakhir mereka, menekan foto sang remaja untuk memandangi profilnya. Byun Baekhyun, Chanyeol mengulang nama tersebut berkali-kali. Ia telanjur melamun untuk menyadari bahwa ia tidak sengaja menekan tombol "panggil". Suara panggilan yang terhubung lantas membangunkan pemuda itu.

Dua hazel seketika melebar.

"Sial!" ia terburu-buru membatalkan, namun panggilan sudah terlebih dahulu diangkat—durasi bergerak cepat dari detik pertama.

Suara Baekhyun muncul lewat speaker ponsel.

"Halo, Hyung?"

Chanyeol ingin lompat dari atas jendela.

"Uh, tidak," ia membuka mulut waswas, meringis geli oleh bagaimana memalukan suaranya terdengar. "Maaf, aku tidak sengaja memencet tombol..." sebuah jeda selagi ia memukul kepalanya lambat. "Apa kau sedang belajar?"

"Ya."

Chanyeol memejamkan mata. "Maaf, maaf. Aku akan mematikan telepon—"

"Oh, jangan ditutup!" seruan Baekhyun sedikit mengejutkan Chanyeol. "Apa sekarang kau cukup sibuk untuk mengobrol?"

"Tidak..." Chanyeol merespons tidak yakin.

"Ayo mengobrol!"

Antusias Baekhyun mencuri gelak tawa Chanyeol. "Tentang apa?"

"Semuanya!" ia menyahut seperti anak kecil. Chanyeol tersenyum membayangkan mata mungilnya melengkung menyerupai bulan. "Warna kesukaanmu, musik kesukaanmu, permainan kesukaanmu saat masih kecil. Aku akan mendengarkan sambil mencatat ulang materi."

"Sangat kekanak-kanakkan," Chanyeol berkomentar, menggeleng tidak percaya. "Baiklah, akhir-akhir ini, aku lumayan tertarik dengan R&B..."

Mereka selesai mengobrol kala jam sudah menunjukkan waktu jam tiga pagi.

.

.

Chanyeol termenung di depan komputer, kertas-kertas berserakan pada meja ditemani pensil dan penghapus. Ia kehabisan kata-kata untuk menulis lirik meski kumpulan nadanya hampir selesai. Akibat masalah keluarga, sang pemuda telah mengabaikan lagu tersebut selama satu bulan. Ini pun belum termasuk kebiasaannya untuk sering bertamu ke apartemen Baekhyun: mengerjakan tugas, bermain gitar, bernyanyi, makan di sana layaknya penghuni kedua.

Menggumamkan nada pelan, mata Chanyeol terpejam selagi ia menulis beberapa kata.

There you stand, opened heart, opened doors

Full of life with a world that's wanting more

But I can see when the lights start to fade

The day is done and your smile has gone away

Ia terus menulis.

Let me raise you up

Let me be your love

Suaranya merdu saat ia bernyanyi, pikiran terpusat pada seseorang. Ia hendak meneruskan pengerjaan lagu begitu ia menyadari siapa inspirasi di balik potongan lirik barusan. Chanyeol serontak mendelik. "The fuck!" ia berteriak seperti orang gila, membanting kertas tadi hingga penghapusnya jatuh ke lantai. Pemuda itu mengerang lebih keras.

"Tidak, tidak," ia tidak berbicara pada siapa pun, jantung berdebar-debar oleh ingatan tentang mata mungil dan bibir tipis kemerahan. Sang pemuda semakin salah tingkah detik demi detik. "Ini adalah lagu pertemanan..." ia meyakinkan diri sendiri, mengangguk cepat. Pada akhirnya, Chanyeol meremas rambutnya, mencoret lirik tersebut dalam sekali gores. "Sial!" ia mendesis, menimang-nimang keputusan guna mencari lirik baru. Tapi liriknya sesuai dengan nada lagu ini, sebuah pendapat berargumen di otaknya—merumitkan pikiran yang telanjur kacau.

Chanyeol menghela nafas pasrah. Mungkin ia perlu melanjutkan lirik ini sedikit dan melihat progresnya. Kalau hasilnya tidak bagus, ia akan menulis ulang.

Puncak pensilnya kembali menyentuh kertas, menggores abjad baru kala sebuah teriakan menghentikan tindakan pemuda itu.

"Chanyeol!" suara ayah bergema dalam rumah, "Chanyeol! Turunlah sekarang!"

Chanyeol langsung menjatuhkan pensil. "Sebentar," ia mengernyitkan alis, terburu-buru menghampiri asal teriakan tersebut.

Ayah dan ibu berdiri di hadapan televisi, raut muka yang berbanding terbalik antara satu sama lain. Mata ibu berkaca-kaca, sementara ayah tampak marah besar—tangan seolah-olah siap untuk menampar ibu kapan saja. Jas hitam yang sang pria kenakan membawa memori Chanyeol kepada malam itu, dan ia meringis, mencoba guna tidak meledak saat itu juga lalu menyerang ayah. Ia harus bersikap tenang, terlebih menghadapi sikap temperamental beliau.

"Chanyeol, putuskan sekarang juga," ayah menatap Chanyeol, manik mendelik tajam. "Dengan siapa kau akan tinggal? Aku... atau Ibumu?"

Chanyeol melarikan hazel ke arah ayah lalu ibu. "Ada apa ini?" ia bertanya linglung.

"Yeobo," ibu memohon tidak berdaya, air mata mengalir seraya ia memegang lengan sang suami. Ayah melepas kasar genggaman ibu, ekspresi jijik yang begitu kentara. "Aku minta maaf. Mari kita diskusikan ini dengan tangan dingin."

"Berhenti memanggilku yeobo!" ayah setengah mendorong ibu, teriakan yang terlalu kasar untuk ditujukan pada istrinya. Terutama istri yang telah merelakan waktu dan tenaganya demi merawat beliau selama masa kritisnya di rumah sakit. "Kau bilang kau ingin bercerai karena kau lelah menghadapi sikapku yang berlebihan ini. Baiklah kalau begitu, aku menyetujui keputusanmu!" Chanyeol mengepalkan tangan, segala sesuatu yang meluncur dari mulut kotor pria itu memancing amarahnya. "Lagi pula, aku bosan mendengar celotehmu setiap hari. Menjijikkan."

Mendengar ini, Chanyeol menyeringai masam. Sebuah ekspresi asing untuk dilihat di wajah ceria sang pemuda. "Ibu? Menjijikkan?" ia mendelik tajam, memanfaatkan perbedaan tinggi mereka untuk memandang rendah beliau. "Lucu sekali mendengar itu keluar dari mulutmu."

"Bajingan!" ayah langsung menampar Chanyeol, meninggalkan bekas merah di sana. Chanyeol terdiam, raut muka datar seolah-olah tindakan barusan tidak berdampak apa-apa baginya. Tetap saja, ia tidak percaya bahwa tangan yang dahulu menepuk bahu sang pemuda adalah tangan yang kini menamparnya. Ibu berteriak histeris, namun Chanyeol tidak mendengarnya, terpaku pada transformasi sikap ayah untuk menyadari apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Kontak mata intens antara ayah dan Chanyeol bertahan selama beberapa detik sebelum ayah menggeram: "Beruntung kau terlebih dahulu memperlihatkan sikap kurang ajarmu padaku. Setidaknya sekarang aku tahu siapa yang nantinya berhak memperoleh hak asuhku."

Chanyeol tertawa keras, menahan tekanan yang tiba-tiba menyiksa pernafasannya. "Aku tidak membutuhkan hak asuh Ayah," ia menggertakkan gigi. "Aku bahkan akan memilih tinggal di pinggir jalan ketimbang berada di bawah satu atap dengan Ayah."

Satu tamparan keras mengenai pipi Chanyeol lagi. Pada titik ini, pemuda itu hanya menyeringai kecil, terbiasa untuk menerima tamparan atas setiap perlawanan yang ia lakukan. Hazel lebar bergerak untuk menatap ayah hampa, tidak takut menyaksikan murka ayah yang menjadi-jadi. "Diam!" beliau menjerit, ekspresi seperti kesetanan. Dadanya naik-turun karena kehabisan nafas. "Terus saja menjawab! Apakah Ibu mengajarimu untuk melawanku?"

"Hentikan, Sungjin!" ibu menangis tersedu-sedu, menggelengkan kepala ke direksi Chanyeol. "Berhenti menampar Chanyeol!"

"Bahkan seorang anak paling patuh di dunia ini pun akan melawan apabila ia dihadapkan pada Ayah!" ia terus menyerang, mengabaikan tamparan yang menyengat pada pipinya. "Aku tidak percaya Ayah akan melakukan ini pada kita."

Ayah mengerutkan dahi, suara berangsur-angsur tenang tapi tetap penuh amarah. "Kita? Aku bukan keluargamu lagi," Chanyeol mengepalkan tangan. "Kau pikir aku sudi menganggap laki-laki tidak bermasa depan sepertimu anakku?"

Pemuda itu mendelik. "Brengsek..."

Mata ayah seketika melebar. "Apa kau bilang?"

"Brengsek," ulang Chanyeol lebih keras, mengambil kepuasan dari wajah terkejut beliau. "Aku tidak menyangka kau akan menjadi brengsek seperti ini."

Ibu menganga, tidak percaya mendengar kata-kata sang putra. "Chanyeol!" ia memegang bahu pemuda itu, menatapi ayah waswas. "Chanyeol, hentikan!"

Kali ini, ketika ayah hendak menampar Chanyeol untuk yang ketiga kalinya, pemuda itu terlebih dahulu menahan pergelangan tangan beliau—sebuah cengkeraman kuat yang akan meninggalkan bekas merah nantinya. Menginjak usia 21, fisik Chanyeol jelas lebih kuat daripada pria itu, dan ia tahu bahwa ayah tidak akan mampu menyingkirkan tangan sang putra. Kalah telak, ayah sempat terpaku oleh sikap lancang Chanyeol, memandang antara cengkeraman jemari pemuda itu dan wajahnya yang merah karena gusar.

"Chanyeol! Tolong hentikan!" ibu memohon-mohon, berdiri di tengah mereka sembari menatap Chanyeol. Tetapi sang putra tidak menggubrisnya. "Ingat penyakit Ayahmu!"

"Aku tidak peduli!" Chanyeol mendesis berbahaya, secara kasar melepas genggaman untuk mendorong keras tubuh ayah ke belakang—melihat bagaimana beliau hampir kehilangan keseimbangan. Tangan ayah bertumpu pada sofa, kepala terangkat untuk menatap Chanyeol tidak percaya. "Bajingan ini lebih baik mati sebelum ia dapat melakukan lebih banyak dosa!"

Ucapan pemuda itu menciptakan ekspresi tercengang di wajah menua sang ayah. Beliau tentu tidak bodoh untuk menyadari apa maksud Chanyeol. "Berhenti memperlakukan Ibuku secara semena-mena!" ia berteriak, memperingatkan ayah lewat hazel yang menyala. "Kalau kau ingin bercerai, silahkan saja bercerai. Aku akan sangat senang untuk memutus segala hubungan dengan keparat ini."

Nafas Chanyeol tidak stabil, air mata mengancam untuk segera hambur.

"Pergilah dari sini secepatnya. Haruskah aku mengingatkanmu bahwa rumah ini adalah milik orang tua Ibu?" ia tidak terbiasa mengungkit asal-usul harta karena mereka adalah keluarga. Apa yang mereka punya adalah milik bersama. Namun, pemuda itu tidak peduli sekarang. Ayah harus mengetahui posisinya. "Aku tidak sabar memulai lembaran baru tanpa kehadiran pengkhianat sepertimu."

Dalam kekacauan ini, Chanyeol ingin melarikan diri lagi. Ia tergesa-gesa memasuki mobil, mengebut di antara banyak mobil, mematikan radio kala lagu kesukaannya diputar. Air mata kini membasahi wajah Chanyeol; ia menangis, satu tangan menyetir—entah ke mana pun mobil ini membawa sang pemuda—dan satunya untuk meredam tangisan dari bibirnya. Ia kelelahan, seakan-akan ia harus berjalan menyusuri perjalanan yang panjang, bertumpuk-tumpuk beban sengaja ditaruh di punggungnya supaya ia menderita. Sejenak, pemuda itu terpikir untuk berbaring di tengah jalan, menunggu hingga kendaraan datang untuk menghancurkan tubuhnya.

Mobil Chanyeol terparkir di sekitar tempat tinggal Baekhyun. Kaki jenjang menuntun pemuda itu untuk berjalan menaiki tangga, begitu familier oleh suasana sepi dalam gedung tua ini. Chanyeol tidak mendengar apa-apa; ia tidak membiarkan suara memasuki pendengarannya. Karena begitu ia berhenti di depan apartemen Baekhyun, ia tahu ia hanya ingin mendengar suara remaja itu.

Chanyeol hanya mengizinkan kelima inderanya di dekat Baekhyun.

"Tunggu sebentar," derap kaki terdengar mendekati pintu usai bel dibunyikan. Sosok mungil itu akhirnya memasuki pandangan sang pemuda. Baekhyun mengerjapkan mata terkejut, terlebih karena tamunya hadir dengan keadaan berantakan. "Oh, Hyung—"

Ketika Chanyeol tiba-tiba memeluknya untuk tersedu lebih keras, Baekhyun tidak berkata apa-apa lagi.