Our Way to Live On

Chapter 3

SasuSaku fanfic

Disclaimer : Masashi Kishimoto

.

.

.

Perkuliahan mereka telah berakhir minggu lalu karena sudah memasuki musim panas. Beruntung bagi Sakura karena ia menjadi lebih rileks dalam menjalankan hari-harinya, tidak ada lagi Sakura yang dikejar waktu akibat tugas, kerja paruh waktu dan kerajinannya. Ia akhirnya bisa memfokuskan perhatian sepenuhnya kepada kerajinan tembikar yang memasuki fase akhir. Ia juga sudah meliburkan diri di tempat kerja paruh waktunya.

Ga Eul menyambut keputusannya dengan suka cita, gadis Korea itu senantiasa menyemangati Sakura sejak ia mendengar dari mulut Sakura sendiri bahwa Sakura akan berpartisipasi dalam pameran tersebut. Madame Agatha juga turut memberikan perhatian.

"Oh, kau akan pergi ke dokter?" tanya Ga Eul yang baru saja keluar dari kamarnya dengan penampilan acak-acakan sedangkan Sakura sudah berpenampilan rapi di pagi itu. Sakura mengangguk dan memakai sepatunya.

Akhir-akhir ini Sakura sering bermimpi buruk dan sering terjaga tengah malam, mungkin karena kegugupannya terhadap pameran itu. Jadi Ga Eul menyarankan Sakura untuk pergi ke dokter langganan mereka, Umino Iruka, dokter yang juga berasal dari Jepang dan sudah mengenal baik dengan mereka.

"Okey. Hati-hati di jalan," setelah mengatakan itu, Ga Eul melenggang ke dapur untuk mengambil minum.

Setelah menaiki bus selama 15 menit, Sakura sampai di sebuah gedung tua bercat putih, "Siang, Dokter Iruka," sapa Sakura setelah masuk ke ruangan praktik Iruka. Iruka tersenyum dan mengangguk.

"Jadi apa keluhanmu, Sakura?" tanyanya ramah.

Sakura menyampaikan keluhannya tentang ia yang akhir-akhir ini mimpi buruk dan Iruka hanya mengangguk-angguk. "Apa kau meminum obatmu secara rutin?" tanya Iruka.

Sakura mengangguk, tidak ingin jujur bahwa karena kesibukannya ia jadi tidak teratur minum obatnya.

"Okey. Jadi kuanggap ini hanya karena kelelahanmu saja, aku akan memberikanmu obat biasanya,"

Sakura hanya mengangguk dan tersenyum ala kadarnya, tak ingin banyak membuka mulut, ia cepat lelah akhir-akhir ini.

Setelah Sakura menebus obatnya pada Ms. Vianne, gadis gemuk yang sering menatapnya sinis. Ia segera pulang ke apartemen dan melanjutkan kerajinannya, ditemani ocehan Ga Eul yang tak bisa diam mengenai Jepang.

.

.

.

Butuh sebulan lebih untuk menuntaskan kerajinan Sakura, dengan bantuan dan dorongan dari Ga Eul dan Madame Agatha, Sakura dapat menyelesaikan 9 cangkir cantik berhias bulan sabit yang warna-warni berukuran mungil yang akan dipamerkan di Jepang nanti.

Senyum lebar tak bisa lepas dari wajah Ga Eul, besok mereka akan pergi ke Jepang dan selama satu bulan penuh, mereka akan tinggal di sana. Diberkatilah Madame Agatha yang dengan rendah hati membayarkan kehidupan mereka selama di Jepang.

Sakura sebenarnya juga senang karena akan kembali ke tempat yang menjadi negara kelahirannya walau ia mengeluh akan merindukan Luxembourg tercintanya ini.

Tapi kenapa perasaannya tidak enak?

.

.

.

"A-annoo, U-Uchiha Sa-suke-san?" Sasuke mendongak dari layar ponselnya, seorang wanita manis berperawakan mungil kini menatapnya ragu. Hyuuga Hinata.

Mikoto beberapa hari ini terus merengek mengenai kencan buta hingga membuat Sasuke pusing dan akhirnya berjanji untuk bertemu dengan Hinata terlebih dahulu. Jadi disinilah mereka, di café favorit orang dari kalangan atas seperti mereka.

Sasuke mengangguk dan menatap penuh penilaian kepada Hinata. Sedangkan wanita itu hanya menunduk, tampak gugup.

Jelas. Sasuke penuh dengan aura intimidasi, Sasuke tak akan menyalahkan wanita ini.

"Kau ingin memesan apa, Hinata?" Sasuke berusaha bersikap sopan kepada wanita bangsawan ini.

Hinata akhirnya mendongak, memperlihatkan pupil mata sewarna mutiara kepada Sasuke, "Tolong disamakan saja, Uchiha-san," katanya singkat.

Oke, Sasuke akhirnya memesan dua expresso untuk mereka. Bukan masalah kan? Toh, wanita ini yang meminta pesanan mereka sama.

.

.

.

Sakura merasa kepalanya pusing saat melihat banyaknya orang yang berlalu-lalang di Narita International Airport. Ugh, dia mulai menyesal ke Jepang. Berapa sih jumlah populasi di Tokyo hingga di bandara saja seramai ini? Padahal ini sudah malam.

"Sakura, kau bisa berbahasa Jepang dengan lancar kan? Ayo ke apartemen yang kita sewa selama sebulan ini. Pandu jalannya!" perintah Ga Eul seperti ratu. Sakura mendelik dan menghembuskan nafasnya kesal.

Sambil menggerutu Sakura memeluk erat kotak yang berisi 9 cangkir karyanya, lalu berjalan cepat sembari menarik kopernya, tak peduli panggilan Ga Eul yang merasa ditinggal.

Setelah sampai di apartemen kecil mereka, yang disewa dengan uang Madame Agatha. Sakura dan Ga Eul masuk ke kamar mereka masing-masing. Beristirahat setelah menempuh panjang sebelum besoknya pergi berkeliling Tokyo.

Sakura merebahkan badannya di ranjang itu lalu menghela nafas. Rasanya aneh saat ia harusnya senang karena kembali ke negara asalnya, ia malah merasa tidak enak. Seolah alam sadar bawahnya menginginkan ia segera pergi dari Jepang, apa ia terlalu mencintai Luxembourg hingga berpikiran buruk seperti ini?

Tapi pameran tembikar ini adalah impian yang mustahil ia raih tanpa adanya dorongan Ga Eul dan Madame Agatha. Masih diingatnya dengan jelas saat Ga Eul turut membantu membakar dan mewarnai 9 cangkir istimewanya tanpa mengeluh sama sekali, wajah welas asih Madame Agatha ketika Sakura ke rumahnya untuk melanjutkan pekerjaannya.

Mungkin ia hanya butuh tidur. Perjalanan dari Luxembourg ke Jepang menghabiskan belasan jam di udara, selain itu mungkin karena ia terbiasa dengan suasana damai di Luxembourg lalu tiba-tiba disuguhkan pemandangan orang yang berlalu-lalang tanpa henti membuatnya sakit kepala.

Sakura membuka tasnya, mencari obat resep Dokter Iruka lalu meminumnya agar kepalanya tidak lagi pusing ketika bangun tidur nanti.

Keesokan paginya, ia dan Ga Eul siap-siap untuk pergi ke Makuhari Messe, tempat yang menjadi pameran tembikar dilaksanakan dan kabarnya merupakan gedung pameran paling mewah di Tokyo.

Mereka naik kereta api dari stasiun Tokyo ke stasiun Kaihimmakuhari selama setengah jam. Kotak berisi kerajinannya dipeluk erat-erat, tak ingin ada kejadian yang tidak diinginkan dan membuat perjuangan mereka sia-sia.

"Apakah anda Haruno Sakura-san?" seorang wanita berambut hitam pendek menyapanya saat mereka baru saja masuk ke aula Makuhari Messe. Sakura mengangguk sedangkan Ga Eul hanyalah diam.

"Nama saya Shizune, wakil dari tim pengumpulan karya. Bagaimana perjalanan anda ke Jepang, Sakura-san?" tanya Shizune basa-basi selagi memandu mereka berkeliling di Event Hall.

"Tidak terlalu baik, Shizune-sama. Sepertinya aku dan temanku ini masih jet lag," Sakura terkekeh. Ia melihat bagaimana tim pameran sedang bekerja keras mendekorasi aula besar Makuhari Messe. Walau dekorasi tampaknya masih 30 % tapi Sakura yakin jika sudah 100 % nanti akan sangat menakjubkan, melihat betapa kerasnya perjuangan mereka.

"Acara pameran tinggal satu minggu lagi, kami bekerja keras untuk merampungkan kekurangan yang ada," jelas Shizune singkat. Mata hitamnya melirik kotak yang dipeluk Sakura, "Apakah itu adalah karyamu, Sakura-san?"

Tersadar dari lamunannya, Sakura buru-buru memberikan kotak itu pada Shizune. Shizune menerimanya dengan senyum manis.

"Aku melihat karyamu dari foto yang kau kirim minggu lalu, aku harus mengakui itu keren," puji Shizune tulus. Ga Eul tersenyum lebar dan menyodok lengan kurus Sakura namun gadis berambut soft pink itu menarik senyum kecil.

"Aku harap kau tidak kecewa saat melihat karyaku secara langsung," canda Sakura kering. Jujur saja, ia tidak merasa bangga dengan karyanya sama sekali karena ia tidak percaya diri.

"Aku ingin sekali menemani kalian berkeliling hall ini tapi aku ada pekerjaan lain. Jadi kutinggal ya? Untuk undangan pembukaan pameran, akan kami kirim lewat pos ke alamat tempat tinggalmu selama di Tokyo ini," Shizune berkata seperti itu dan membungkukkan badannya, di balas oleh Sakura dan Ga Eul.

"Wow, bukankah ini keren, Sakura? Di Luxembourg, tidak ada gedung sebesar ini! Bahkan kurasa kampus kita kalah besar dari gedung ini!" puji Ga Eul berlebihan setelah mengunci mulutnya ketika ada Shizune tadi.

Sakura mengangguk dan terkekeh, "Ini gedung yang keren. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana pameran nanti, pasti ada banyak orang yang datang," katanya menghela nafas.

.

.

.

"Sasuke-sama, saya sudah mendapatkan informasi yang anda inginkan," kata Kakashi, Sasuke mengangkat kepalanya dan mengangguk.

"Kau bisa menaruhnya," balas Sasuke acuh tak acuh. Ia lebih sibuk mempelajari dokumen ditangannya daripada melihat wajah Kakashi yang ditutup masker. Namun Kakashi yang hanya berdiri di depan mejanya tanpa mengatakan apapun membuat Sasuke mau tak mau mengangkat kepalanya.

"Apa ada yang ingin kau katakan lagi?" tanya Sasuke akhirnya.

"Nona Hyuuga berada luar," kata Kakashi lamat-lamat, Sasuke mengetatkan rahangnya dan wajahnya menjadi dingin.

"Sedang apa dia di sini?" ada helaan nafas di sana, "Tidak, suruh dia masuk kemari,"

Kakashi mengangguk dan keluar dari ruangan tersebut. Tiga detik setelah Kakashi keluar, pintu kembali terbuka dan memunculkan bangsawan itu. Hinata masuk dengan senyum malu-malu. Sasuke menatapnya datar, tampak tidak berminat sama sekali.

"A-ano, aku ingin mengajak Sa-Sasuke-kun makan siang," ajak Hinata dengan semburat kemerahan yang kentara diwajahnya.

Sasuke melirik jam digital yang terpasang di dindingnya, sudah masuk jam makan siang. Biasanya Kakashi memesankan makan siang untuknya jadi ia bisa makan di ruangan ini.

"Kenapa tiba-tiba mengajakku makan siang?" Sasuke bertanya, sekedar basa-basi saja. Hinata mengulum senyum malu-malu.

"Bibi Mikoto menelponku dan memintaku untuk mengajakmu makan siang, katanya kau jarang sekali makan siang di luar kantor," cicit Hinata pelan.

Walau sebenarnya bukan itu alasan utama Hinata memberanikan diri ke UHA Capital, Mikoto memang memintanya untuk mengajak Sasuke makan siang namun alasan utama Hinata pergi ke UHA Capital adalah karena ia ingin tahu kabar dari pria tampan didepannya ini. Pertemuan mereka seminggu yang lalu menyisakan debaran yang aneh di dalam dada Hinata.

Walau saat itu Sasuke bersikap biasa tanpa adanya perhatian yang berarti, Hinata menganggap hal itu istimewa. Biasanya laki-laki yang dijadwalkan bertemu dengannya dalam rangka kencan buta akan bersikap penuh pesona yang terlalu dibuat-buat hingga membuat Hinata tidak nyaman. Namun dengan Sasuke…

Hinata menatap mata hitam Sasuke yang kembali terpaku ke dokumen-dokumen pentingnya.

Ia merasa beda, padahal yang mereka lakukan di café waktu itu hanyalah berdiam diri dan meminum expresso. Hinata merasa aman dan nyaman juga entah mengapa…merasa bangga.

"Apa kau mau ikut makan siang denganku?" ajak Hinata sekali lagi karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Sasuke. Sasuke menatapnya dengan tatapan yang dalam dan Hinata tak bisa menenangkan debaran jantungnya yang seolah marathon.

"Kau yang pilih tempatnya, Hinata-san," dibalas oleh Hinata senyuman lebar dan anggukan kencang.

Akhirnya Hinata memilih tempat makan siang mereka, sebuah restaurant di Tsukuji Tamasushi, salah satu restaurant untuk orang-orang berdompet tebal seperti mereka. Jaraknya dengan UHA Capital sekitar 30 menit. Hinata sengaja memilih restaurant itu agar ia bisa lebih lama bersama Sasuke, dan lagipula Sasuke tak tampak keberatan sama sekali.

Mereka di ruangan privat, menunggu pesanan datang. Hinata sengaja memilih ruangan privat karena sadar benar bahwa hubungan mereka masih belum jelas dan ia tidak ingin Sasuke merasa terganggu dengan gossip yang bisa saja muncul hingga akhirnya berimbas pada Hinata sendiri.

"Sasuke-kun, apa kau tahu minggu depan akan ada pameran tembikar di Makuhari Messe?" Hinata memberanikan diri untuk berbicara setelah diam terlalu lama.

Sasuke mengangkat kepalanya dari layar ponselnya, ia mengangguk sekali tanpa membuka mulut sedikitpun. Hinata tersenyum senang karena berhasil mengalihkan perhatian Sasuke.

"Aku dan Neji nii-sama akan ke sana di hari pembukaan, apa Sasuke-kun juga diundang?" tanyanya lagi. Sasuke hanya mengangguk sekali.

Sasuke tidak mau repot-repot memberitahu Hinata bahwa sebenarnya UHA Capital adalah salah satu sponsor terbesar dalam pameran tersebut, dan tentu saja ia diundang. Tidak seperti Hyuu Corp yang diundang hanya sekedar formalitas saja.

Hinata akan membuka bibirnya lagi untuk berbicara namun diinterupsi kedatangan chef yang membawa pesanan mereka, hingga ia akhirnya menelan bulat-bulat kalimat yang ingin ia keluarkan sampai mereka berpisah di ujung jam makan siang.

.

.

.

tbc