Direktur Ubuyashiki tidak berkomentar ketika mendengar aduan Shinazugawa Sanemi perihal kelalaian Tanjiro menjaga Giyuu. Dengan jujur, Tanjiro bercerita mengenai rekening hidup yang dia catat agar Giyuu bersemangat menjalani hari-harinya. Belum pernah selama karirnya menjadi dokter, ia menemukan seorang pasien memukul seorang dokter karena sugesti positif seorang suster. Kasus yang cukup bombastis sampai terdengar tidak masuk akal.

"...Giyuu-san berjanji pada dirinya sendiri..." Tanjiro menunduk dan berbisik, setengah menahan tangis. "Kalau dia akan memukul Shinazugawa-sensei sebagai bukti kalau dia sudah sembuh."

"Tomioka-san itu pasien stadium akhir SOSDS." Direktur Ubuyashiki menambahkan. "Harusnya kau yang paling tahu soal catatan perkembangannya, Tanjiro-kun."

Tanjiro mengangguk.

"Sanemi," Direktur Ubuyashiki menoleh pada si dokter berambut putih jabrik. "Kau punya sesuatu yang ingin kau sampaikan?"

"Aku bisa bilang, separuh dari kejadian ini salahku juga." Sanemi bersidekap. "Aku hanya kesal melihat anak itu sudah menyerah. Kalau kata-kata manis tidak lagi mempan memberinya alasan hidup, kurasa kata-kata kasar yang buruk dan menyakitkan hatinya bisa berguna."

Baik Tanjiro maupun Direktur Ubuyashiki menoleh, melempar tatapan heran.

"Oyakata-sama..." Sanemi menghela nafas pendek. "Pernah dengar istilah dendam bisa membangkitkan seseorang dari kuburan?"

"Kau ingin Tomioka-san menaruh amarah padamu, sehingga dia bisa membalasnya saat dia sudah sehat?" tanya Direktur Ubuyashiki.

Sanemi cuma mengangguk pelan dan rendah. Direktur Ubuyashiki merenung sejenak. Lama sekali sampai akhirnya ia tersenyum manis dan tertawa pelan.

"Kau sampai memikirkannya seperti itu. Sanemi baik sekali, ya? Aku sampai tersentuh mendengarnya."

Si dokter orthopedi cuma membuang muka acuh, meski pipinya sekilas merona.

"Tapi karena ini perkelahian, aku terpaksa memberi sanksi." Direktur Ubuyashiki menopang dagu. "Sanemi dilarang praktek selama 3 hari. Lalu Tanjiro-kun, dilarang libur selama 3 pekan."

"Heh?" keduanya terperangah.

"3 minggu tanpa libur itu bukan apa-apa." Direktur Ubuyashiki menatap lembut pada Tanjiro. "Apalagi kau tampak sangat mengkhawatirkan Tomioka Giyuu-san."

Tanjiro cuma bisa menunduk.

"Sanemi boleh pergi. Mulai besok polimu ditutup sampai 3 hari ke depan, ya."

"Terima kasih atas kebijaksanaan Anda."

Sanemi bangkit dan membungkuk hormat sebelum pergi meninggalkan ruangan Direktur Ubuyashiki. Tanjiro ditinggal berdua. Direktur Ubuyashiki menarik kursi agar bisa duduk berdampingan dengan Tanjiro. Pemuda berambut merah gelap itu menyodorkan sebuah buku tulis dengan judul Rekening Hidup Tomioka Giyuu. Direktur Ubuyashiki membacanya dengan seksama. Ada ekspresi terkejut singkat, lalu senyum manis tipis dan akhirnya tepukan lembut di pundak Tanjiro.

"Tanjiro-kun," katanya. "Tomioka-san membuat banyak sekali daftar. Dengan kondisinya yang seperti itu, tidak heran kalau sekarang dia harus kembali lagi kesini."

"Aku melanggar janjiku, oyakata-sama." Tanjiro tercekat menahan isak. "Padahal aku sudah sangat sesumbar mengatakan bahwa setelah ada aku, aku tidak akan membuat Giyuu-san kembali berbaring dirawat di rumah sakit lagi!"

"Apakah kau tahu betapa berartinya catatan ini untuk Tomioka-san?"

Tanjiro menggosok matanya dengan kasar, tidak kuat membendung tangis. "Apapun yang kulakukan, aku tidak bisa membuat saldonya bertambah. Saldo hidupnya terus berkurang. Semua yang kulakukan sia-sia."

"Tentu saja tidak." Direktur Ubuyashiki tersenyum. Ia mengembalikan catatan itu. "Kami semua yang bertugas di rumah sakit ini tahu sekali bagaimana lamanya Tomioka-san dirawat. Kebahagiaan pasien mempengaruhi kesehatannya juga."

"Tapi—"

"Tapi kau tidak bisa memaksakan dirimu sendiri." Tegas Direktur Ubuyashiki. "Kau tidak bisa memaksa Tomioka-san melakukan sesuatu diluar keterbatasannya. Tomioka-san juga tidak bisa memaksamu melakukan sesuatu diluar tanggung jawabmu."

"Maafkan aku sudah lancang, mencampuri urusan profesionalitas dengan urusan pribadi." Tanjiro menggigit bibirnya.

"Tetapi, kau harus memaksakan dirimu melakukan yang terbaik demi Tomioka-san." Direktur Ubuyashiki menyodorkan sekotak tisu ketika melihat Tanjiro tidak kuasa menahan tangis. "Ada 3 poli di rumah sakit yang paling menguras kesehatan mental, baik dokter atau pun suster. Apa kau tahu 3 poli tersebut, Tanjiro-kun?"

Tanjiro dengan polos menggeleng.

"Yang pertama adalah gynaecologisy—poli kandungan. Melihat bayi yang lucu-lucu baru lahir memang momen yang mengharukan. Tetapi proses kehamilan, persalinan dan pasca persalinan kadang tidak seindah yang kita bayangkan. Ada beberapa orangtua yang kesulitan punya anak. Atau tidak menginginkan anaknya. Atau kehilangan anaknya pada proses persalinan. Karena itu, orang-orang jaman dulu bilang anak adalah buah hati, kan? Begitu banyak cinta, kasih sayang dan pengorbanan yang terwujud dalam sosok seorang anak."

Tanjiro mengangguk paham. Ia mengerti betul pembicaraan Direktur Ubuyashiki soal anak. Kedua orangtuanyaa punya anak banyak, dan Tanjiro berusaha setegar mungkin menjadi sosok kakak yang bisa meringankan beban orangtuanya dan menjadi panutan adik-adiknya. Cibiran tetangga mengenai keluarganya yang punya banyak anak memang sering menyakitkan hati kalau terdengar, tetapi ayah dan ibu mereka tidak peduli. Mereka ingin punya banyak anak agar anak-anak keluarga Kamado punya teman seumur hidup mereka. Agar anak-anak itu bisa kenyang mengecap kasih sayang dari keluarga yang sederhana tapi saling mencintai satu sama lain.

"Yang kedua?" tanya Tanjiro.

"Oncology—poli kanker." Direktur Ubuyashiki bersandar. "Semua tentang kanker itu sulit, rumit dan menyebalkan. Seperti dipaksa ikut lomba marathon halang rintang dengan mata tertutup. Kita harus siap terhalang dan tersandung, sambil terus berlari mengejar ketertinggalan. Kendati begitu, pantang menyerah dan waspada penuh adalah kewajiban bagi seorang dokter spesialis kanker. Kocho-sensei dan Kanae-sensei mungkin terdengar judes dan bawel bagimu, bagi Tomioka-san, bagi semua pasien dan suster mereka. Tapi percayalah, mereka melakukan segala yang mereka bisa demi menggapai kesembuhan."

Tanjiro mengangguk. Ucapan Direktur Ubuyashiki sangat lembut dan membuat hatinya ringan. Tidak ada maksud menggurui atau menyudutkan. Semua kalimatnya tepat sasaran.

"Dan yang terakhir, adalah psychiatry—poli kejiwaan. Jujur saja, ini adalah bidang kedokteran tersulit kalau kubilang. Karena masalahmu ada di sini," Direktur Ubuyashiki mengetuk-ngetuk pelan kening lebar Tanjiro. "dan disini." Lalu menepuk pelan dada si suster.

"Tingkat luka hati dan jiwa setiap orang berbeda." balas Tanjiro.

"Meski obat-obatan dan konsultasi memang metode yang digunakan, menjadi dokter kejiwaan memiliki sedikit keistimewaan." Direktur Ubuyashiki menambahkan. "Kau harus tahu bagian mana yang tepat untuk di'sentuh' supaya sembuh."

Tanjiro tersenyum mendengar penuturan sang direktur Rumah Sakit Kimetsu.

"Kalau pikiranmu sedang kusut atau hatimu sedang sedih, cobalah berkunjung ke ruangannya Himejima-sensei, di lantai 5." Tukas Direktur Ubuyashiki. "Di rumah sakit ini, beliau sepi pasien. Teh sakura buatan beliau juga enak sekali, lho."


Setelah insiden konyol tersebut, Giyuu kembali dirawat di kamarnya. Ia belum bangun sejak kejadian itu, meski tanda-tanda vital dan hasil pemeriksaannya baik-baik saja. Kadar trombosit darahnya melonjak dan tingkat agregasinya meningkat, hingga Kocho-sensei harus memberinya obat pengencer darah guna mencegah kemungkinan stroke atau gagal jantung. Kanae-sensei mendiagnosa aktivitas fisik berat beberapa hari belakangan menyebabkan kesadaran Giyuu menurun.

Tanjiro menunggui pasiennya dengan perasaan berkecamuk. Kardiogramnya berbunyi lambat. Denyut jantungnya ada tapi lemah sekali.

60 hari lagi. 86.400 menit.

SRAAAAKKK.

Tanjiro menoleh. Itu si dokter ortophedi yang pipinya sebelah membengkak. Sanemi mencopot jas dokternya, datang dengan sebuah ukulele. Tanjiro hanya memperhatikan pria garang itu menggeser pelan tubuh Giyuu dan duduk menyamping di kasur pemuda berambut legam yang tengah tidak sadarkan diri tersebut.

TING TING TRING TING TING TRING.

TING TRING.

"...take my mind and take my pain..." suara serak itu berbisik lirih, menyanyikan sebuah lagu berbahasa Inggris yang begitu lembut. "...like empty bottle takes the rain...and heal, heal...heal, heal..."

Tanjiro menoleh. Tangannya tanpa sadar meremas catatan rekening hidup Tomioka Giyuu. Si dokter berambut putih jabrik itu tampak tidak peduli dengan Tanjiro, atau dengan yang lain. Ia masih melanjutkan petikan ukulele dan lagu bertempo lambat tersebut.

And take my past
And take my sense
Like an empty sail takes the wind
And heal, heal, heal, heal

And tell me somethings last
And tell me somethings last

Take a heart
And take a hand
Like an ocean takes the dirty sand
And heal, heal, hell, heal

And tell me somethings last

Itu dia.

Itu lagu yang dibilang Giyuu seperti mantra. Lagu yang diminta Giyuu pada Sanemi dalam rekeningnya. Tanjiro dibuat merinding dengan bait-bait singkat dan petikan lemah ukulele tersebut. Cara Sanemi menyanyikannya rapuh sekali, lebih terdengar seperti doa dibandingkan sebuah lagu.

Heal, heal...

Sembuh, sembulah...

Setelah diam sesaat, Sanemi mengulangi kembali lagu itu sekali lagi. Tanjiro memilih diam, mendengarkan. Ia menggenggam satu tangan Giyuu, mengusapnya lemah. Kalau keajaiban bisa terjadi, harusnya Giyuu bisa langsung lompat bangun dan mendadak sehat mendengar lagu tersebut.

"Bocah."

Tanjiro menengadah, menatap Sanemi yang kini meletakkan ukulele di pangkuannya.

"Kau itu cuma suster." Katanya ketus.

"Aku tahu." Balas Tanjiro lemah.

"Kanae dan Kocho yang mengobatinya. Bocah jabrik dan si tua bangka yang membayar biaya pengobatannya."

"Aku juga tahu, Shinazugawa-sensei." Ujar Tanjiro lagi.

"Bakar buku itu." kata Sanemi sambil menujuk buku tersebut. "Kau tidak pantas menghitung usia Tomioka dan memperlakukannya seperti rekening bank."

"Tapi—"

"Kau cukup merawatnya saja." Sanemi memotong. "Berhentilah berlagak seperti Tuhan."

"Shinazugawa-sensei..." Tanjiro memandang geram. "Ucapanmu kasar sekali."

"Kau pikir kegiatan-kegiatan tidak berguna begitu bisa berpengaruh apa? Rekening hidup aneh itu bisa berbuat apa untuk kankernya?" tanya Sanemi tajam. "Bahagia bisa bikin sembuh? Kau pikir ini drama televisi, apa? Sakit ya sakit. Orang sakit harusnya berobat, berdoa dan berusaha sembuh. Bukannya kabur, bikin ulah dan pura-pura bertingkah seperti orang sehat!"

"Shinazugawa-sen—"

"Kalau memang mau mati, nggak usah tanggung-tanggung. Minta saja disuntik mati sekalian." Ujarnya lagi. "Di luar sana, banyak orang yang tetap tidak selamat meski sudah berusaha sekuat tenaga untuk sembuh."

Tanjiro terpaku. Ia sadar, perkataan tadi bukan ditunjukkan untuknya. Tetapi untuk Giyuu yang terbaring tak berdaya. Sanemi terlihat tidak peduli apakah Giyuu mendengarnya atau tidak. Tetapi ia percaya, suaranya pasti sampai pada Giyuu.

"Kalau kau memutuskan untuk terus hidup, alasanmu tidak boleh setengah-setengah." Suara Sanemi pias. Telunjuknya menuding Tanjiro. "Dan setelah kau memperjuangkan segalanya, terlepas apapun yang terjadi dengan si keparat ini nantinya, itu bukan salahmu."

Mata gelap Tanjiro membulat. "Me...meski Giyuu-san nantinya...me..me..."

Tanjiro tidak kuat melanjutkan kata-katanya. Ia tidak ingin membayangkan Giyuu meninggal. Setelah beberapa hari melihat bagaimana cerah senyumnya dan betapa indah binar matanya karena kembali bisa merasa seperti orang hidup, Tanjiro bisa porak-poranda kalau sampai Giyuu meninggal. Bagaimana dengan Sabito? Atau Urokodaki-san? Mereka pasti begitu berduka kalau sampai kehilangan orang yang begitu mereka sayangi.

"Ini pelajaran buatmu juga. Sebagai sesama tenaga medis." Sanemi menghela nafas pelan. Tanjiro memberanikan diri menatapnya. Si dokter ortophedi mengepalkan tangannya. Matanya memerah berkaca-kaca. "Berusahalah sebaik mungkin dan berdoa. Tugas kita hanya itu saja."

"Shinazugawa-sensei..."

"Sembuh atau tidak itu kehendak Tuhan." katanya lagi. "Tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan atau terapi. Atau apapun."

Si suster berambut merah gelap itu tersenyum lembut. "Anda sangat peduli pada Giyuu-san, Shinazugawa-sensei."

Sanemi menggosok matanya. Ia membuang muka kesal, lalu menunduk. Rambut panjang Giyuu yang terburai ia pilin ujungnya sedikit.

"Kalau dia masih hidup, mungkin seumur orang ini." katanya. Suaranya terdengar jauh seperti sedang mengembara. "Adikku, Genya."

"Anda punya adik?"

"Banyak." Sanemi mendengus pelan. "Satu sudah mati."

"Oh." Tanjiro menggumam singkat. "Maafkan aku."

Sanemi mengangguk. "Kecelakaan, mungkin. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Intinya dia berkelahi dan cedera. Awalnya dia sering mengeluh sakit pinggang setelah itu. Kami tidak begitu mempedulikannya sampai akhirnya dia kolaps di sekolah."

"Penjepitan syaraf?" tebak Tanjiro.

Sanemi menggeleng. "Kerusakan jaringan di bagian sarcal. Ada retak besar yang menimbulkan infeksi sumsum tulang belakang. Lalu, infeksinya berubah menjadi spinal osteosarcoma. Genya jadi lumpuh karena itu. Berhenti sekolah. Biaya pengobatannya mahal sekali. Genya ingin sembuh dengan cara apapun. Aku susah payah untuk membuatnya sembuh meski orangtuaku sudah menyerah."

Tanjiro mengerenyit. Mendengar penuturan tersebut rasanya sangat mengiris kalbu.

"Aku kalah. Kami kalah dengan waktu." Nafas Sanemi berubah menjadi isakan. "Kendati ada orang baik hati yang memberikan kami donor untuk mengoperasi Genya, operasinya gagal. Dia mati di tengah pembedahan."

"Shinazugawa-sensei..." Tanjiro menutup mulutnya, terperangah. "Apa..apa meninggalnya adikmu adalah alasanmu untuk menjadi dokter?"

"Cukup Genya saja yang mati." Kata Sanemi sambil menyeka pipinya. "Bedebah-bedebah itu harus sembuh. Harus sehat. Operasi, obat, terapi medis, terapi nonmedis; apapun jalannya. Akan kubuat mereka semua sembuh tanpa harus lama-lama dan berulang kali bertemu denganku. Aku juga tidak suka sering bertemu dengan mereka."

Tujuan yang sangat mulia. Tidak banyak dokter jaman sekarang yang seperti Sanemi. Aoi benar, Sanemi luarnya saja yang ganas. Hatinya sangat lembut. Terlebih, tekadnya kuat dan sangat teguh. Ia mempelajari segala macam ilmu agar bisa menolong orang dengan lebih efisien. Dunia medis perlu banyak orang-orang seperti Shinazugawa Sanemi-sensei. Tanjiro memantapkan dirinya. Ia ingin memelihara prinsip luhur seperti si dokter orthopedi tersebut.

"Shinazugawa-sensei..." Tanjiro berdiri dan membungkuk hormat. "Terima kasih. Anda keren sekali."

"Jangan mengada-ngada."

Sanemi mendengus. Ia memungut ukulele yang dibawanya dan pergi begitu saja. Tanjiro kembali memperhatikan kondisi pasiennya. Ajaib, angka pada kardiogramnya perlahan naik hampir ke tingkat normal. Tanjiro berjalan mendekat ketika melihat perlahan kelopak mata Giyuu bergetar singkat, lalu mengerjap-ngerjap lemah hingga terbuka. Apakah Giyuu tahu bahwa Sanemi datang menjenguknya? Apa kata-kata keren tadi sampai pada alam bawah sadarnya? Entahlah, Tanjiro tidak tahu mana yang benar. Yang ia tahu, Giyuu bangun. Mulai sadar. Safir cemerlang itu melirik lemah, seakan menstabilkan penglihatannya. Tanjiro menggenggam tangan Giyuu yang dingin dan lunglai, yang dibalas dengan genggaman lemah.

"Syukurlah kau sudah sadar, Giyuu-san." kata Tanjiro ceria.

Giyuu cuma mengangguk singkat.

"Kalau kau masih belum kuat, tidur lagi saja." Tanjiro menelusupkan tangan Giyuu ke pipinya. "Simpan tenagamu untuk pulang nanti."

Giyuu tersenyum lemah saat ia kembali menutup matanya. Angka di kardiogram sudah bagus. Kali ini Giyuu bukan tidak sadarkan diri, tetapi sudah dalam fase tidur. Lebih baik begini untuk sementara waktu. Tidak hanya untuk pulang, Giyuu juga butuh banyak tenaga kalau dia mau sembuh.

Memukul Shinazugawa-sensei sampai jatuh [22 menit].

Membuat Shinazugawa-sensei menyanyi lagu Heal-Heal untuk Giyuu-san [49 menit].

Total pengeluaran [71 menit].

Sisa saldo waktu [86.329 menit].


a/n

Heal by Tom Odell.


Akhirnya setelah berbulan-bulan terbengkalai, author bisa update. Selepas kembali lagi ke fandom voli-volian dan baper berkelanjutan karena salah satu fic masih kosong review (iya he'euh authornya lagi ngambek), author memutuskan mengubek-ubek fic lama yang belum dilanjutkan dan masih bisa dijalankan. Sampe lupa lho pernah nulis ini. Update kali ini emang singkat banget, maafkeun. Selanjutnya author akan berusaha lebih keras menyajikan asupan giyuutan yang lebih greget untuk kalian semua, ya! Jangan lupa review di bawah ini oce, oce oce? Yosh! Author pamit dulu. Sekian bacotan kali ini. Sampai ketemu di chapter selanjutnya!