Pagi ini perasaanku diliputi lega luar biasa. Mengawali hari dengan rutinitas seperti yang biasa aku lakukan bukankah hal yang sangat sulit. Bangun, mandi, sarapan dan, menjaga toko. Tetapi ada yang kontras yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata, perasaan ini membuncah takut, kalut, dan bahagia diwaktu bersamaan.

Tidak ada yang lebih bahagia daripada memaafkan dan berdamai dengan masalalu?. Memang semua tidak biasa, tetapi pelan-pelan aku mencoba menyambung retak dengan bentuk bernama kepercayaan. Dalam jarak enam bulan, hidupku yang datar-datar saja berubah total. Tidak ada yang istimewa sampai akhirnya detik ini suasana hatiku mulai berubah, mulai sedikit merekah berbunga.

Salju pertama turun hari ini sejak pagi tadi. Diluar orang-orang sedikit mengencangkan pakaian mereka dan berjalan semakin cepat. Hari ini pun aku memakai mantel yang tebal. Satu minggu yang lalu sebelum aku berangkat ke Singapore, aku sudah berbenah segala keperluanku saat mulai memasuki musim dingin, semuanya sudah rapi dan siap dipakai kembali. Memang tidak baru, tapi cukup bagus untuk aku investasikan sampai 10tahun kedepan.

Salju yang turun menambah daftar kebahagiaanku hari ini. Didepan toko menumpuk mulai menggunung sampai mata kaki, entah mengapa menebarkan aroma segar yang menyengat sampai pada indra penciuman. Untuk itulah alasan mengapa aku sedikit bahagia. Terus menerus memandang tetesan salju yang jatuh menyebar, memandang kabut langit secara langsung yang masih sedikit gelap. Sedikit memekik akibat serangan licik hawa dingin yang memaksa.

Diseberang jalan, samar-samar aku melihat seseorang yang berdiri disamping tegapnya pohon yang berguguran. Postur tubuhnya yang tinggi dan memasukkan kedua jarinya kedalam saku bisa aku tebak hanya dengan sekali picingan mata. Disana, kekasihku berdiam diri tanpa beranjak.

Kekasih? Lucu sekali. Memproklamirkan diri sebagai kekasih Park Chanyeol setelah menjadi istrinya dimasa lalu. Pantas saja aku merasa seperti diawasi dari jauh. Tersembunyi oleh lalu lalang, aku masih terus menatapnya dari dalam kaca. Tubuhnya yang tidak bergerak sama sekali membuat instingku bergerak untuk menghampirinya sambil terus mengawasi.

Hawa salju yang pertama aku cium saat membuka pintu adalah, kebahagiaan. Meski sedikit gemetaran, aku tetap memantapkan langkahku menghampirinya.

"Ya! Apa yang kau lakukan disini? Hanya berdiam diri saja tanpa bergerak sedikitpun, ini dingin sekali" pekikanku mungkin terbawa angin. Chanyeol tampak tak bergeming. Tatapannya terus memandangku tanpa beralih sedikitpun.

Tiba-tiba ia bergerak mengangkat kedua tangannya untuk melepaskan resleting mantelku dan menyelipakan kedua tangannya masuk jatuh dikedua bahu. Hawa dingin langsung menusuk tulang belikat. Alasan mengapa ia hanya menggunakan mantel tipis membuat telapak tangannya membeku.

"salju pertama bersama orang yang paling aku sayang" desisnya diatas kepalaku. Aku ditariknya semakin erat dipeluk.

Senyumku mengembang bahagia.

"10tahun yang lalu kau tidak sayang aku?"

Chanyeol melepaskan pelukannya, kemudian mencium keningku sekilas. "sayang..." pelukannya kembali mengencang.

"ayo masuk, jangan berdiam diri disini tanpa alasan" tarikku langsung pada tangannya. Tanpa basa-basi ia tak menolak.

Suguhan pertama yang aku bawa adalah coklat panas yang masih mengepul. Mengusir hawa dingin yang terbawa sampai masuk kedalam rumah. Kemudian ttokpokki instan yang aku stok didalam rumah. Menghangatkannya dan menyuguhkan dihadapan Chanyeol sambil berseru "maaf aku hanya punya ini".

Chanyeol tampak sedikit menggigil, sesekali menggosok telapak tangannya sambil mendesis. "disini masih dingin sekali. Heater dirumahmu baik-baik saja kan?"

Aku mengangguk. "heater disini sedikit membantu meski aku harus berpakaian tebal saat tidur, aku sudah terbiasa bertahun-tahun disini. Apa kau masih kedinginan? Mau pulang saja atau..?"

"kau mengusirku?"

Aku menggeleng tidak enak. "tidak..tidak.. Kupikir kau tidak nyaman" aku bangkit mencari padding milikku yang lain dan kembali menyerahkannya kepada Chanyeol.

"pakai ini, semoga sedikit membantu. Aku merasa tidak enak saat kau bertamu dimusim dingin. Maafkan aku"

Ia segera memakainya dan lihat, tidak sedikitpun membantu menghilangkan hawa dingin. Padding tidak bisa tertutup karena ukuran tubuh Chanyeol yang lebih besar dariku. Aku berinisiatif beranjak mencari pakaian ditumpukan kardus. Milik Ayah masih ada beberapa sebelum aku buang. Mungkin ukurannya sedikit lebih besar.

Aku kembali tergopoh menyerahkan padding yang lain. "pakai ini, milik Ayah. Semoga sedikit membantu"

Chanyeol terdengar mendesis kesal.

Dasar orang kaya!

"akhirnya sedikit membantu, kau bisa kembali bekerja." Berani-beraninya ia mengusirku dirumahku sendiri.

Aku memicingkan mata. "kau juga harus bekerja, apa yang kau lakukan disini?"

Chanyeol menatapku datar sebentar lalu sibuk dengan ttopokki dan coklat panas. "aku meminta libur hari ini, kau tidak perlu khawatir atau mengusirku untuk pulang" ucapnya masih sedikit memyesap coklat panas. Bibirnya terus meniup pinggirian coklat yang akan ia minum.

"baiklah jika kau mau disini" aku bergegas keluar. "ingat! Jangan mengacak-acak rumahku" teriakku kemudian menutup pintu.

...

Sedari siang, pandanganku tidak lepas dari balik pintu. Sampai jam menunjukkan akan tiba petang, aku mengusahakan mempercepat pekerjaanku, menata barang baru yang datang, sesekali pandanganku alihkan. Chanyeol sama sekali tidak memberikan tanda-tanda akan keluar atau pergi dari rumahku. Sejak pagi tetap berada disana. Semakin aku biarkan, semakin gusar selama bekerja. Malam mulai menjemput dan salju semakin deras turun.

Bertamu selama itu tidakkah membuat curiga dua orang lain yang sedang berada ditempat yang sama. Chanyeol bedebah!. Gampang sekali membuat orang-oramg kerepotan.

"yunjin-ah, selesaikan ini ya. Unnie ingin masuk mengembil sesuatu dikamar"

Itu hanya alibiku saja.

Dengan langkah tergesa, aku masuk tanpa peringatan dan pandanganku mengedar. Dimana si brengsek Park Chanyeol?

Secepatnya aku berlari membuka pintu kamar dan melihatnya meringkuk lelap dibalik padding dan selimut tebal.

Jantungku mendadak kaku tak bergerak. Aku selalu waspada dengannya, tapi pria ini dengan santai menepis segala waspadaku dengan tingkah yang diluar dugaan.

Pamdanganku teralihkan karena mendengar suara hentakan kakk menaiki tangga.

"Unnie, malam ini akan badai salju, tutup sekarang saja tokonya. Aku ingin pulang cepat" Sujin melongokkan kepalanya sedikit saat tau pintu rumahku terbuka lebar. Mungkin ia sedang berhati-hati karena ada tamu yang sedari tadi belum pulang.

"baiklah, tutup saja. Aku yang akan mengabari tuan Kim. cepat kemasi barang-barangmu dan pulanglah sebelum semakin malam" Sujin tertawa bahagia. Ia baru saja menang tawar menawar denganku. Anak itu.

Apa tadi?

Badai salju.

"Chanyeol, ireona-" aku mengguncang tubuhnya agar bangun. Tidak mungkin sampai esok aku terus satu atap dengannya. Itu tidak benar.

Kudengar ia melenguh merasa terusik tidurnya.

"Ya! Park Chanyeol ireona!!" teriakku kalap.

Chanyeol dengan refleks langsung bangkit, dengan tampang bangun tidur seperti kebingungan.

"aish!! Baekhyun-ah, kau tidak lelah selalu datang kedalam mimpiku ya" paraunya kembali meringkuk.

"tidak ada mimpi disini. Cepatlah pulang, nanti malam akan badai" aku mengguncang tubuhnya. Ia mengerang. "berisik. Sebentar lagi aku pulang" gumamnya.

...

Jika malam selalu berpendar pada gelap. Seharusnya aku bisa lebih tegar melewati pekatnya, badainya, anginnya dan segala kerumitan.

Pertama kali sejak beberapa tahun lalu, aku diliputi canggung luar biasa. Setiap kali tidak sengaja saling melirik atau sedikit saja menggoyangkan kepala untuk bersitatap, pipiku otomatis merona semerah tomat.

Ada apa denganku?

Bukankah dahulu aku telah terbiasa dengan tatapan dan sentuhan Park Chanyeol? Tapi mengapa sekarang rasanya berbeda sekali. Jantungku seperti tertiup angin badai yang tengah terjadi diluar, menerbangkan nya dengan semena-mena sampai-sampai ingin mencuat keluar. Jantungku? Apakah kau masih baik-baik saja.

Park Chanyeol, tidak pernah berubah hanya bau tubuh dan segala yang melekat yang membuat jantungku ingin melompat-lompat. Park Chanyeol tidak pernah berubah, hanya saja hatiku yang berubah, menjadi tergila-gila.

Sejak 10menit yang lalu, aku memaksa diri untuk berkutat didapur dan memasakkan makanan sederhana untuk malam penuh badai hari ini. Park Chanyeol benar-benar tidak ingin pulang, raga dan jiwanya tidak ingin beranjak sekalipun hanya satu inchi dari pintu rumah.

Makan malam terasa menegangkan karena kami sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing. Canggung, entah apa yang ia pikirkan.

"skill memasakmu semakin bertambah, ini semua nikmat' tiba-tiba pujiannya mendadak membelah diam. Aku yang sedari tadi mencuri-curi pandang pun tiba-tiba gelisah. "Sweetheart, terimakasih makan malamnya" sebuah pujian, lagi. Disertai telapak tanganku yang berlari masuk kedalam genggamannya.

Aku tersenyum canggung, menarik sedikit bibirku tersenyum. "keadaan yang mamaksaku. Terima kasih atas pujiannya" jawabanku malu-malu. Memindahkan segala bekas-bekas makanan dan menyelesaikan nya dengan cepat.

Setelahnya kami duduk berdua menghalau dingin badai saling mendekap. Aku bersandar didada nya dengan nyaman. Suara tawa renyah yang sedari tadi aku dengar karena ceritaku membuat sesuatu dalam diriku bergejolak antusias. Dalam hati tertawa riang ingin berteriak pada dunia malam.

Malam ini, entah mengapa aku bahagia. Rembulan sepertimya iri sehingga bukan malam cerah yang tampak, tetapi badai yang datang.

"kau bahagia tidak?" tanyaku tiba-tiba. Tawa kencang kami berdua mendadak terdiam. Aku mendongkak untuk meneliti wajahnya.

Aku tertawa canggung. "tidak perlu dijawab, aku tau kau bahagia" aku menjawabnya dengan percaya diri sekali, tanpa sedikitpun ragu.

"jangan mengecewakanku lagi Chanyeollie, wanita bekas sepertiku tidak akan pantas memandang dunia dengan kepala tegak, tidak berharga untuk dipertahankan pula.." aku bergerak melepaskan diri dan merubah posisi dudukku menghadapnya.

Mendekap dan menjatuhkan pelukanku didadanya, aku melanjutkan "..aku bisa merasa kecewa berkali-kali lipat dari sebelummya jika ini terjadi kembali. Jangan tinggalkan aku, sendiri didunia ini terasa sangat asing, kejam dan menakutkan".

Kulihat matanya berkaca-kaca. "jangan lagi tinggalkan aku"

Itu sebuah permohonan putus asa dari wanita lemah sepertiku.

Dekapannya semakin erat. "tidak akan ada yang meninggalkanmu. Janjiku pada Tuhan, aku akan tepati sampai aku mati"