Prolog

Daiki menenggak entah gelas wiski yang keberapa malam itu. Kepalanya terasa berat dan indra perasanya kebas. Namun, ia tetap memaksa bartender untuk membuatkannya segelas lagi. Meski sudah berusia dua puluh dua tahun, baru kali ini Daiki mengerti alasan mengapa sebagian orang ketagihan minum-minum. Ia menikmati sensasi yang menumpulkan pikiran dan emosinya, meredakan sakit yang kerap kali menyiksa ketika ia sedang sadar.

Ia menumpukan pipi pada kedua lengan yang dilipat di atas meja bar. "Ayolah, kau pe … pedi ... pelit sekali," ujarnya dengan artikulasi yang sudah tidak jelas. "Segelas lagi."

"Kau sudah terlalu mabuk. Ini sudah lewat tengah malam, siapa yang akan membawamu pulang nanti? Aku jelas tidak mau mengurusimu, Aomine-san," kata sang bartender, Takahashi, yang sudah sebulan ini terus melayani Daiki. "Cukup sekali saja kau merepotkanku."

"Cih. Aku ini ... pelanggan. Segelas lagiii …!"

"Hmm, berhubung aku hanya bekerja di sini, sebenarnya aku tidak begitu peduli kau akan kembali atau tidak kemari."

Daiki menyipitkan mata. Takahashi memang bartender paling kurang ajar. Bukannya Daiki mengenal bartender lain untuk membandingkan sifat mereka, tapi ia yakin karena Aomine Daiki selalu benar. Ah, tidak, tidak, ia jadi terdengar seperti Akashi. Semabuk apa pun ia, mengingat Akashi masih membuat dirinya sedikit merinding.

Daiki menghela napas panjang dan tengah berpikir apakah ia harus menangis atau justru mengancam Takahashi untuk memberinya segelas lagi, ketika pintu bar dibuka. Dengan setengah sadar, ia melirik ke arah pintu, dan—

Punggung tangan Daiki menyenggol gelas kosong di meja. Ia mendengar suara gelas pecah samar-samar, tanpa benar-benar mengerti apa yang terjadi. Sesosok laki-laki bertubuh tinggi berjalan ke hadapannya. Rambut pirangnya berkilau ditimpa cahaya temaram lampu bar.

"Aah, kau memecahkan gelas. Kumasukkan ke tagihanmu, oke, Aomine-san," ujar Takahashi.

"Kise." Daiki tidak menggubris Takahashi. Ia mengerjap, mencoba untuk memfokuskan penglihatannya yang berbayang. "Oi, Kise?"

Kise tersenyum. Setengah bersandar pada meja bar, tubuhnya menghadap Daiki, tapi ia melirik Takahashi. "Biar aku yang bayar." Ia mengeluarkan dompet dan menyodorkan kartu pada Takahashi.

"Kau ingin aku melunasi semua tagihan Aomine-san dengan ini?"

"Boleh saja."

Daiki mengerutkan dahi. "Oooi, kau datang untuk mentraktirku?"

"Tidak, Aominecchi." Kise mengedipkan sebelah mata. "Aku datang untuk menyeretmu pulang."

Dan, memang itulah yang Kise lakukan. Ia tidak menunggu lama—setelah Takahashi mengembalikan kartunya, ia mengangkat lengan Daiki dan melingkarkannya ke pundak. Tentu saja Daiki menyuarakan protes, tapi sepertinya yang keluar dari bibirnya hanya gumaman tidak jelas yang kemungkinan besar tidak Kise mengerti. Di depan bar kecil yang terletak di gang sempit dekat jalan utama Shibuya itu, taksi sudah menunggu. Kise mendorong tubuh Daiki masuk, sebelum ia sendiri duduk di sisi Daiki.

"Kau tagu, ... ta … hu dari mana aku …." Daiki mengibaskan sebelah tangan, seolah itu bisa menjelaskan isi hatinya. Terakhir kali ia berbicara dengan Kise adalah di acara makan-makan yang diadakan Satsuki setengah tahun lalu. Tidak seperti Satsuki, Daiki tidak pernah peduli untuk menjalin kontak dengan teman lama. Sudah jelas mereka tidak begitu akrab lagi, tapi Daiki tidak senaif itu untuk berpikir kedatangan Kise saat ini adalah kebetulan.

Ternyata, Kise paham maksudnya. "Momocchi. Tadi aku makan siang dengannya, dan katanya, 'Dai-chan keterlaluan, setiap hari membuat seorang lady khawatir'."

Daiki melengos. "Lady …."

"Intinya," kata Kise, "Momocchi mencemaskanmu. Aku mencemaskanmu."

Daiki tidak menjawab. Tidak ada yang perlu ia jawab. Alih-alih, ia memerhatikan lampu-lampu jalanan yang berkelebat di jendela mobil dengan mata yang setengah tertutup. Kise tidak mungkin mengerti apa yang Daiki rasakan.

"Kau tahu, Aominecchi," sambung Kise. Sebelah tangannya menyentuh sisi tangan Daiki yang tergolek di antara mereka. Gerakan sederhana itu membuat Daiki meliriknya. "Tidak ada satu pun yang bisa kukatakan untuk meringankan penderitaanmu. Aku tahu basket adalah segalanya bagimu. Dari dulu. Tapi, aku bisa membantumu dalam hal lain."

"Seperti membayar semua tagihanku."

"Tentu saja tidak." Kise merengut. "Aku hanya melakukan itu sekali ini saja, mengerti?"

"Cih." Aomine mencibir. "Siapa yang mau bantuanmu, bodoh, booooodoh—uh." Ia menutup mulut dengan telapak tangan, merasakan dorongan untuk mengeluarkan isi perut.

"Tuan, maaf, apa mau berhenti dulu?" Supir taksi menegur, intonasinya terdengar seolah ia takut Daiki mengotori mobilnya. Cih.

"Aominecchi, kau mau muntah?" Kise menyentuh pundak Daiki. "Kau bisa tahan?"

Daiki hanya menjawab dengan lenguhan yang bisa mengalahkan sapi.

"Tuan," desak supir taksi.

"Baiklah, tidak jadi ke Nihonbashi. Turunkan kami di apartemen yang dekat perempatan, Pak," kata Kise.

Supir taksi mempercepat laju mobilnya, dan dengan segera mencapai tempat tujuan. Ia menghentikan kendaraan tepat di depan sebuah gedung apartemen tinggi bercat putih.

Kise menarik tubuh Daiki keluar dari taksi setelah membayar. "Ayo, Aominecchi. Kita tidak jadi ke apartemenmu."

"Haah?" Daiki menyahut dengan malas. Kini rasa ingin muntah sudah mereda, tapi sebagai gantinya, kepalanya berdenyut tidak keruan. "Kau mencu—culikku ke mana …."

"Apartemenku," bisik Kise di telinga Daiki. Mau tidak mau, tubuh Daiki bergetar oleh gairah. Sial, dia terlalu mabuk.

"Kiseee …."

"Ssst, kau bisa mengganggu para tetangga. Ini sudah pagi buta." Kise menekan empat nomor sandi kamarnya untuk membuka pintu kaca otomatis. Lantas, ia setengah menyeret Daiki masuk ke lobi, dan Daiki memanyunkan bibir sementara menunggu lift.

"Kise, aku tidak mau kau, uh, kau …."

"Iya, iya," Kise menjawab sambil lalu.

Daiki menyandarkan pipi pada bahu Kise, dan mungkin ia sempat kehilangan kesadaran entah beberapa lama, karena ketika ia membuka mata lagi, Kise sedang memutar kunci kamarnya.

"Kiseee, kau mau mengajakku menginap? Kau mau mengambil kesempatan dariku?"

Kise tertawa. Ia membopong Daiki yang merasa semakin tidak bisa mengontrol tubuhnya sendiri. Untunglah kamar Kise tidak terlalu luas. Dengan cepat, Kise sudah mendudukkan Daiki di kasur tanpa menyalakan lampu. Sinar bulan menembus melalui jendela kamar yang tidak tertutup tirai.

"Buka kemejamu, Aominecchi."

Jari-jari Kise melepaskan kancing-kancing baju Daiki. Wajahnya terlihat santai dan—di tengah cahaya temaram, garis-garis wajah Kise begitu lembut.

Tanpa bisa dihentikan, Daiki menangkup rahang Kise, lalu perlahan membawa wajahnya sendiri mendekat.

"Aominecchi."

Tangan Kise menahan tubuh Daiki.

"Ki—"

"Kau bau alkohol dan tidak bisa berpikir jernih," ujar Kise dengan suara lembut. Sambil menyentuh punggung tangan Daiki yang masih merengkuh wajahnya, ia memandang Daiki dengan ekspresi yang tidak bisa Daiki baca. "Kuambilkan minum."

Dan, dengan itu, perlahan Kise menarik tangan Daiki turun, kemudian beranjak dari tempat tidur, membiarkan tangan Daiki jatuh di sisi tubuhnya.

Sial. Apa-apan yang Daiki lakukan itu? Sudah jelas Kise itu straight. Tidak mungkin ia mau menghibur Daiki sejauh itu. Namun, Daiki tidak bisa membawa dirinya menyesali kelakuannya. Sakit kepalanya semakin hebat dan kerongkongannya kering.

Ah, persetan pada semua ini! Daiki menghempas badan ke kasur dan segera menyesalinya begitu tindakan itu membuatnya semakin mual. Daiki bergeser ke sisinya dan menutup mata beberapa detik, hingga sensasi yang mengocok perutnya mereda.

Lantas, ia membuka mata kembali, memandang tanpa fokus ke sekeliling kamar Kise.

Pada dinding yang berseberangan dengan kasur, tergantung sebuah foto raksasa. Kise …. Di dalam foto itu adalah Kise. Pada keremangan kamar, secercah cahaya dari luar menyentuh foto itu, seakan memang ingin memperlihatkannya pada Daiki. Kise di dalam foto menatap para pengamatnya dengan tajam. Wajahnya serius sekaligus angkuh, mengingatkan Daiki pada Kise yang kerap menunjukkan ekspresi itu pada detik-detik genting pertandingan basket, saat ia terancam kalah dan Kise mulai melupakan topengnya.

Dan … oh, bagus sekali. Sekarang Daiki teringat lagi pada basket yang begitu ingin ia hapuskan dari pikiran, sampai-sampai ia akrab dengan gelas-gelas alkohol akhir-akhir ini. Tangan tidak kasatmata meremas rongga dada Daiki. Sakit yang telah ia lupakan kini kembali dengan sengit.

Basket, sepenting apa pun, pada akhirnya hanyalah sebuah permainan. Banyak yang beranggapan begitu. Namun, Daiki tanpa basket rasanya seperti kehilangan separuh hidupnya. Pelatihnya, sponsor-sponsor yang mengelu-elukannya, teman satu timnya—semuanya berpaling dari Daiki begitu ia sudah tidak lagi mampu menjadi ace mereka. Ia terpaksa berhenti basket karena tubuhnya menjadi usang. Lututnya cidera dan ia tidak bisa lagi melompat, apalagi melakukan footwork andalannya tanpa merasa sakit.

"Aominecchi, ini." Tanpa disadari Daiki, Kise sudah kembali ke ruangan dan duduk di samping kepala Daiki.

Ia menyentuh bahu Daiki, dan dengan enggan, Daiki bangkit sembari dibantu Kise. Lalu, ia menerima gelas dari Kise dan menenggak air dengan rakus.

"Pelan-pelan, nanti kau malah tersedak dan muntah," kata Kise.

Daiki menurunkan gelasnya lagi dan berdiam untuk beberapa masa. Hangat tubuh Kise menjalari udara, membuat sisi kiri Daiki memanas.

Sialan. Semakin ia berada di kamar ini, semakin Daiki merasa mabuknya hilang. Tangan Daiki otomatis naik dan mengusap wajahnya.

Lalu, meski ia sadar Kise asli ada di sebelahnya, mata Daiki lagi-lagi tertarik untuk memandangi foto besar di seberang ruangan. Kise seakan tidak tergapai di foto itu. Memang, Daiki menyadari kalau Kise itu atraktif. Ia sudah mengakui itu, bahkan sebelum Daiki menerima kenyataan bahwa dirinya gay. Namun, di dalam foto itu, Kise seperti lebih dari itu—ia lebih menawan. Leher jenjang dan wajah simetris. Mata indah yang angkuh sekaligus mengundang. Baju atasan yang tidak dikancing hingga memperlihatkan dada dan perut berotot. Foto itu meneriakkan seks.

"Aominecchi?"

Daiki melirik Kise yang asli. Tch, untunglah kamar ini gelap. Andai Kise tahu kalau Daiki junior telah bangun akibat melihat fotonya …, entah reaksi Kise akan bagaimana.

"Kau dari tadi melihat foto itu …," lanjut Kise. "Aku … jadi punya ide."

"Hah?"

Kise tersenyum sumringah padanya.

"Hei, Aominecchi," katanya, "Bagaimana kalau kau kukenalkan ke fotografer favoritku?"

Bersambung