Summary: Atas usulan Gempa, tujuh kembar BoBoiBoy pergi wisata ke pantai. Mereka optimis takkan terjadi sesuatu. Iya 'kan? Betul 'kan? [No pairings. Brotherhood.]

.

.

BoBoiBoy milik Animonsta Studios

Tak ada keuntungan materi apapun yang saya ambil dari sini.

.

Chapter I

Mochi

.

.

Ini seperti piknik keluarga dan jarang-jarang mereka pergi bertujuh. Biasanya jika mau pergi bersama, selalu saja ada yang sudah memiliki acara sendiri—entah harus ikut pelajaran tambahan (Thorn, Blaze), OSIS (Gempa), klub silat (Halilintar), klub sains (Solar), tanding futsal (Blaze, Taufan) atau klub memanah (Ice). Tapi hari itu Gempa bergumam tentang liburan keluarga dan dengan tak serius mengajak pergi kemah di pantai bersama-sama saat makan malam. Gempa sungguh tak menyangka proposalnya serta-merta disetujui keenam saudaranya. Gempa jadi terhenyak sebentar sambil mengusap dahi.

"Kenapa melongo Gem?" tanya Taufan, heran. Gempa menggeleng kecil.

"Tidak, hanya terkejut semuanya langsung setuju. Kapan terakhir kali kita jalan sama-sama? Kukira setahun lalu, itu juga tak semuanya bisa ikut," ujar Gempa. Halilintar yang merasa tersindir, langsung meletakkan sendok yang ia pegang.

"Gem, aku sudah minta maaf, aku lupa ada tanding silat waktu itu," ujar Halilintar agak hati-hati. Biarpun Halilintar kakak tertua dan yang paling garang, ia enggan menyulut kejengkelan Gempa. Sebab walau Gempa hanya kembar ketiga, Gempa adalah "manajer" sekaligus yang paling mengemong atau mengasuh keenam saudaranya. Yang paling penyayang dan paling telaten, yang paling perhatian dan paling lurus moralnya. Mau tak mau, kekerasan kepala Halilintar luluh juga.

Mendengar alasan dan permintaan maaf Halilintar, Gempa hanya tersenyum tipis.

"Bukan masih dendam karena waktu itu Kak Hali, hanya sedang bandingkan saja. Sebab memang agak mengejutkan," kata Gempa. "Jadi... benar ini semuanya bisa pergi? Solar, kamu bagaimana?"

Solar mengangkat pandangan dari makan malamnya saat dipanggil. Adik paling bungsu namun paling pandai (dan paling suka bersolek) itu hanya mengedikkan bahu.

"Aku tidak ada kegiatan klub. Laboratorium sedang diperbaiki," jawab Solar. Lengan bajunya yang berwarna putih bergaris kelabu ia singsingkan dan Solar kembali menyantap makanannya.

"Ice, Blaze?" tanya Gempa ke arah kembar duduk bersebelahan. Blaze—kembar keempat berbaju merah-jingga—menjawab dengan mulut penuh nasi dan ayam.

"Aku tak ada tanding bola!" sembur Blaze, sedikit nasi dan serpihan ayam keluar.

"Telan dulu baru jawab," tegur Gempa. Blaze hanya melemparkan cengiran tak bersalah. "Ice?"

"Kakak 'kan tahu kalau di antara semuanya aku yang paling menganggur," ujar Ice sambil menghirup es susu cokelatnya. "Klub memanah hanya dua kali seminggu, jadi aku santai."

"Oke, baguslah," ujar Gempa. Ia menoleh pada Taufan, kembar kedua berkaus biru tua yang sedang cengengesan sambil mencuri ayam dari piring Halilintar. Gempa berdehem sebelum pertengkaran Halilintar vs Taufan yang ke-21 pecah lagi hari itu. Sontak Taufan segera duduk tenang dan melemparkan lagi ayam yang ia curi ke piring Halilintar. Dengan kesal Halilintar kembali memungut ayamnya dan melemparnya ke piring Taufan.

"Jijik aku makan bekas tangan kau, kau saja yang makan sana! Jorok!"

"Tanganku bersih, lah!" bela Taufan sambil nyengir kuda. "Aku sudah cuci tangan pakai sabun."

"Biar tangan kau dikucek pakai karbol sekalipun, aku tetap takkan makan bekas kau pegang!"

"Ehem!" Gempa berdehem lagi. Halilintar dan Taufan langsung diam, mata mereka menatap ketakutan ke arah Gempa. Aura hitam seolah menguar dari tubuhnya, mata Gempa menyipit marah ke arah kedua kakak kembarnya itu.

"Makanan bukan mainan," geram Gempa, tenang namun seolah sedang mengutuk. Halilintar dan Taufan meneguk ludah. "Bisa dilanjutkan topik kita ini atau lanjut baku hantam? Kebetulan aku sudah lama tak olahraga," ancam Gempa. Halilintar dan Taufan seketika mengangguk patuh.

"Iya Gem, lanjut," ujar Taufan sambil tertawa garing. Halilintar bungkam dan khidmat menghabiskan makanan di piringnya.

"Oh, syukurlah," ucap Gempa kembali ceria. Ia lalu menoleh ke arah anggota terakhir.

"Kalau Thorn? Benar kamu tak ada rencana apapun untuk minggu ini?" tanya Gempa mengalihkan perhatian ke kembar keenam. Tampak seorang remaja bermata bulat memakai piyama hijau polkadot hitam. Pipinya membola seperti hamster karena penuhnya makanan di mulut. Masakan Gempa dan Taufan memang paling enak.

Thorn terus saja makan tanpa menyadari pertanyaan Gempa. Keenam saudara lainnya hanya menghela nafas. Sudah dimaklumi tabiat "polos"-nya itu.

"Thorn?" panggil Gempa lagi. Solar menyikut kakak kembarnya dan Thorn menoleh ke arah Solar.

"Kenapa Sol? Mau tambah ayamnya?" tawar Thorn disesela kunyahan. Mata dan pipi sama bulatnya. Solar hanya tersenyum kecil.

"Dipanggil Kak Gem tuh."

Thorn menoleh ke arah Gempa.

"Iya Kak Gem?" sahut Thorn.

"Nanti kamu betul tak ada acara? Coba ingat baik-baik," ujar Gempa. Thorn meneguk makanan di mulutnya.

"Nanti Thorn ada acara," jawabnya.

"Lho, katanya kamu mau ke pantai," ujar Gempa, heran. Thorn mengerucutkan alisnya.

"Iya, nanti Thorn ada janji," jawab Thorn agak ragu-ragu. Gempa semakin bingung.

"Kamu tak jadi ikut kita?" tanya Gempa, agak kecewa.

"Jadi Kak, mau ikut," kata Thorn.

"Tapi katanya ada acara? Mau kamu batalkan?" cecar Gempa. Thorn menggeleng.

"Tak boleh dibatalkan, Thorn harus ikut acaranya," kata Thorn, polos.

Gempa mengurut keningnya karena kerumitan logika Thorn.

"Thorn, acara kamu itu apa?" tanya Gempa dengan tempo dilambatkan agar Thorn mengerti. Thorn tampak berpikir.

"Ya... acara ke pantai dengan Kak Gempa dan semuanya," jawab Thorn, lugu. Gempa segera istighfar, tak mau marah. Blaze langsung tancap gas saat tahu maksud Thorn yang berputar-putar tapi kembali ke poin awal.

"Bilang daritadi kalau maksudnya acara itu juga!" seru Blaze sambil melempar tulang ayam ke arah Thorn.

"Aduh! Kotor, Kak Blaze!" protes Thorn.

"Haish," dengus Ice. Solar memutar bola matanya.

"Sudah, sudah," lerai Taufan sambil menahan tawa. "Yang penting semuanya bisa pergi. Iya 'kan?"

Gempa mengelus keningnya. Ini hanya acara pergi ke pantai, tentu tak ada yang perlu dikhawatirkan. Mereka semua sudah 17 tahun, sudah dewasa. Benar 'kan?

.

.

.

Pukul 10.30 a.m, Sabtu.

"Yeeey, kita sudah sampai!" sorak Thorn, Blaze dan Taufan bersamaan di depan jalan masuk tempat wisata. Beberapa penduduk desa memandangi mereka dengan heran.

"Agak terlambat dari jadwal semula tapi tak apa," ujar Gempa sambil tersenyum manis. "Lagipula, insiden tak terduga sudah kuduga sebelumnya."

Memang benar. Tadi subuh saat bersiap-siap, ada sedikit keributan. Halilintar tiba-tiba berteriak dari dalam kamar mandi dan tak lama kemudian ia keluar dengan handuk melingkar di pinggang. Sekujur badan dan kepalanya penuh busa sabun. Wajahnya tampak beringas sambil memegang botol sampo. Ia berkaok penuh amarah.

"Siapa yang ganti isi botol sampo dengan R*nso cair?! Ayo mengaku!"

Pelakunya Taufan, tentu saja. Halilintar hampir saja memaksa Taufan menenggak isi botol sampo itu tapi berhasil ditahan Gempa. Gempa menyuruh Halilintar kembali ke kamar mandi dan membilas rambutnya yang penuh deterjen sebelum rambutnya rontok sementara Taufan mendapat hadiah jeweran pedas dari Gempa. Jarang-jarang Gempa main fisik, tapi bila kenakalannya agak keterlaluan maka Gempa tak sungkan untuk menjewer atau menabok pelakunya agar memberi efek jera. Masih lebih baik dijewer daripada kena tabokan Gempa yang dikenal bisa membuat orang merenggang nyawa. Solar pernah tak sengaja melukai Thorn dan akibatnya Solar harus merasakan tabokan legendaris itu. Sakitnya meresap sampai ke sumsum, ujar Solar saat "diwawancarai" oleh Halilintar, Taufan, Blaze dan Ice.

Tabokan Gempa itu menjadi salah satu cerita menyeramkan untuk diceritakan saat mati lampu.

Maka setelah insiden sampo R*nso cair itu, Gempa segera mengambil alih kontrol dan mengatur lagi jalannya aktivitas agar mereka semua sampai tepat waktu. Untungnya Gempa berhasil mengendalikan kekacauan dan mereka tiba di kawasan pantai dengan waktu relatif awal. Mereka berhenti tepat di depan jalan masuk pantai.

"Ayo cepat bawa barang masing-masing!" titah Gempa sambil membuka pintu mobil van. Bak anak itik mengekori induknya, enam saudara Boboiboy mengekori Gempa keluar van sewaan itu dan serempak ke arah bagasi. Sibuklah mereka masing-masing membawa barang bawaan yang lumayan banyak. Gempa kalau berkemas-kemas sangat detil dan penuh antisipasi walau hanya berkemah selama sehari semalam saja.

Usai diangkut semua barang bawaan, Gempa mengucapkan terimakasih pada sang supir dan memberikan uang sewanya.

"Ayo Kak, kita masuk!" teriak Blaze, tak sabar. Di punggungnya terkait sebuah ransel besar. Gempa meraih keranjang makanan dan minuman.

"Iya, iya, ayo."

Pantai itu sepi dan itulah yang disenangi Gempa. Tak ada turis lain yang menganggu dan mereka bisa bebas mendirikan tenda di mana saja. Tepat setelah mereka menjejakkan kaki di pasir putih itu, serempak Blaze, Taufan dan Thorn langsung melempar semua barang bawaan ke pasir dan lomba lari menyongsong ombak laut sambil bersorak-sorai dan berseloroh.

"Oi! Kenapa asal lempar saja!" tegur Gempa sambil memungut semua barang yang dicampak sembarangan. "Langsung main tak mau bantu-bantu dulu!"

"Biarkan, Kak Gem. Mereka rindu kembali ke habitat asal," komentar Solar sambil menaikkan kacamata hitamnya. Halilintar dan Ice tersenyum-senyum mendengar ucapan Solar.

"Hush, jangan menghina saudaramu sendiri," tegur Gempa. "Ya sudah, kita berempat saja yang berbenah barang."

Maka, sementara tiga bocah bermain air, yang dewasa mulai membereskan perlengkapan. Gempa dan Ice bertugas menyiapkan makan tengah hari nanti, seperti menggelar tikar, mempersiapkan perabotan dan membakar ayam. Dari semalam, Gempa, Halilintar dan Thorn sudah memasak untuk bekal piknik, seperti memasak nasi dan merebus ayam untuk dibakar nanti. Katanya, tak seru kalau tak ada lauk yang dibakar.

Sementara itu, Solar dan Halilintar bekerja sama untuk mendirikan tenda. Mereka berdua berada agak jauh dari Gempa dan Ice yang lebih dekat di bibir pantai. Di sekeliling Solar dan Halilintar ada peralatan mendirikan tenda. Mereka berencana mendirikan dua tenda agak kecil untuk Blaze-Ice dan Solar-Thorn sementara satu tenda agak besar untuk geng tiga yang tertua, Hali-Tau-Gem.

"Kita dirikan tenda di sini saja, agak jauh dari laut. Nanti malam bulan purnama, air laut akan pasang tinggi," usul Solar.

Halilintar hampir menyetujui ide Solar sampai Halilintar melihat ke belakang. Ada banyak pohon kelapa menjulang tinggi seperti hutan kecil. Rerumputan tampak pendek seperti karpet, namun tetap saja kebun kelapa itu terlihat rimbun karena pepohonan yang besar-besar

Halilintar tahu sering muncul penampakan makhluk ghaib seperti kuntilanak atau pocong di sesela pohon. Mending kalau kuntilanak, Halilintar mungkin hanya menjerit manja dan ditertawakan. Tapi kalau tuyul? Halilintar paling takut dengan yang namanya tuyul. Pokoknya Halilintar paling anti dengan yang namanya setan berwujud anak kecil!

Halilintar mulai merinding membayangkannya. Solar heran tiba-tiba kakak sulungnya memucat roman mukanya.

"Ada apa?"

"Jangan kemah di sini, agak ke depan," ujar Halilintar.

"Kenapa? Bahaya nanti kalau air pasang," tepis Solar.

"Aku bilang, aku tak suka kalau di sini, dekat kebun itu bahaya. Bisa ada ular," kilah Halilintar. Solar mengangkat sebelah alisnya.

"Ular itu takut dengan manusia, mereka hanya mengigit saat terdesak. Di pantai banyak penduduk dan ribut begini pasti mereka sudah pergi. Lagipula rumputnya pendek sekali, hampir botak malah."

"Tak bisa," ujar Halilintar sambil melipat tangannya ke dada. "Aku takkan biarkan kau membahayakan adik-adikku sendiri. Pohonnya cukup lebat dan ular bisa datang kapan saja."

Solar tersenyum miring. Ia seolah mengejek Halilintar.

"Jujur saja kau takut nanti malam ada hantu di balik pohon," tuding Solar. Halilintar terkejut didakwa begitu namun sedetik kemudian ia kesal bercampur malu.

"Enak saja! Aku bukannya takut ya! Tapi kau yang membahayakan orang lain! Katanya paling pandai, tapi tak ada buktinya!" bentak Halilintar. Telinga Solar memanas.

"Wei, kau yang mau membuat kita semua hanyut karena air pasang!" ujar Solar, tak kalah.

"Mana ada hanyut! Kita bukannya tepat di sebelah air!" debat Halilintar lagi.

"Ish, ini antisipasi! Kita harus pikirkan matang-matang!" balas Solar dengan sengit. "Daerah ini ombaknya besar-besar, apalagi saat bulan penuh!"

"Jangan berlagak pandai, kalau saat tidur nanti ada tuy—ular maksudku, bagaimana!"

Solar mengangkat alisnya dengan skeptis. Halilintar seperti hendak menampar mulutnya sendiri yang tanpa sengaja memberitahu alasan sebenarnya. Maka, Halilintar sengaja bungkam sambil menatap Solar dengan pandangan menantang seolah ia takkan segan-segan berkelahi jika Solar mulai mengejeknya.

Sayangnya walau Solar itu agak sombong, belakangan ini akibat didikan dan nasehat Gempa, tabiatnya mulai melunak terutama pada saudaranya. Solar mulai belajar mengalah dan berkompromi untuk menang—memanglah manusia harus berkembang, tak selamanya menjadi anak-anak dan mengikuti egoisme. Maka daripada itu, Solar mengigit egonya, menganggap debat ini perkara remeh yang tak perlu dan memutuskan mengalah pada kakaknya yang keras kepala itu. Di samping itu, Solar agak kasihan dengan sifat Halilintar yang diam-diam lebih penakut daripada Thorn.

Lagipula, siapa tahu alasan "ada ular"-nya Halilintar benar dan mereka dalam bahaya? Mereka bisa saja pindah ke tempat yang tak dekat pepohonan dan tak juga dekat air laut.

"Oke, ya sudah," ujar Solar sambil memunguti perkakas tenda. "Kita pindah ke tempat lain."

Halilintar terkejut dengan Solar yang tiba-tiba melunak—biasanya Solar akan mencaci tingkat intelegensi lawan debatnya dan takkan mundur dalam membela pandangannya. Sangat tak biasa melihat Solar mengalah, sama anehnya melihat Thorn bisa mengerjakan soal matematika rumit. Halilintar lalu mengamati punggung Solar yang mengangkut peralatan tenda ke tempat agak jauh dari kebun kelapa—sesuai dengan keinginan Halilintar. Perlahan, ada perasaan malu merayapi hatinya melihat adiknya lebih dewasa daripada dirinya—kegagalan diri Halilintar memenuhi sebuah standar sosial di mana sang kakak harus lebih mumpuni dalam berdiplomasi daripada adiknya. Pada saat yang sama, Halilintar baru menyadari jika kecerdasan Solar tak hanya mengenai logika, ia pun cepat belajar mengawal emosinya.

Halilintar rasa, ia juga harus belajar dari Solar walau perlu waktu agak lama.

.

.

.

"Ayo makan! Sudah matang!" teriak Gempa pada tiga "bocah" yang berada tak jauh dari sana.

Dari kejauhan, Thorn, Taufan dan Blaze masih terlalu seru bermain di laut—kali ini Taufan menaiki papan seluncur menaklukan ombak dan Blaze mencoba juga walau ia masih suka jatuh tercebur. Thorn, karena sering ceroboh, maka ia tak diperbolehkan main papan seluncur dan harus pakai ban pelampung agar tak tenggelam. Akibatnya si hijau polos itu hanya bisa berenang sambil menonton saja.

Teriakan dan sorak-sorai terdengar kencang terutama suara Blaze yang mendominasi dan tawa Taufan yang terlalu keras. Thorn bertepuk tangan dengan gembira, matanya kian membulat, kagum menyaksikan Taufan berseluncur mulus bersama ombak tinggi. Jelas saja mereka takkan mendengar panggilan Gempa. Terlalu seru.

"Biarkan saja Kak Gem, nanti mereka capek dan lapar sendiri," ujar Ice sambil sibuk membolak-balik ayam di pemanggang. Gempa menghela nafas seraya menaruh potongan sayur di piring. Ia memperhatikan sajian di depannya—semua sudah lengkap sekali. Ada periuk nasi, ayam bakar yang masih panas, sayur kukus, sambal, air es dan daun pisang bersih sebagai piring. Ada juga satu termos es lidah buaya racikan Ice telah siap dan gelas-gelas plastik—semua makanan dan minuman diletakkan di atas tikar bambu dan menunggu disantap. Sebotol sabun cuci tangan juga sudah siap dan sebaskom air jernih yang diambil dari rumah wisata. Tinggal orangnya saja lagi yang terlalu asyik bermain untuk makan bersama.

"Ya sudah, kita panggil Kak Hali dan Solar saja," putus Gempa.

Gempa lalu menoleh ke arah Halilintar dan Solar yang masih sibuk membangun tenda—sejujurnya Gempa agak tak biasa juga melihat sang kembar tertua bersama si kembar termuda. Mereka sama-sama tertutup dan pemilih dalam berkawan, namun Gempa melihat Halilintar dan Solar begitu akur mendirikan tenda. Sesekali Solar terlihat mengatakan sesuatu dan Halilintar hanya tersenyum tipis menanggapi celotehan Solar. Bagi Gempa pemandangan itu sangat aneh namun sangat menyenangkan hatinya. Tamasya ini menyatukan yang tadinya tak bisa bersatu.

Gempa sampai terharu.

"Kak Hali dan Solar tak jadi dipanggil makan?" tanya Ice sambil menaruh sepiring lagi ayam bakar di atas tikar. Gempa tersenyum riang, membuat Ice agak bingung.

"Nanti saja. Biar Kak Hali dan Solar akrab dahulu. Jarang-jarang mereka bersama," gumam Gempa. Ia lalu menoleh dan melihat Ice sudah mengambil nasi banyak sekali dan ayam bakar sampai lima potong. Gempa berseru kaget.

"Astaghfirullah Ice, ingat kolesterol! Mau cepat-cepat kena stroke?"

Ice mau menangis rasanya.

.

.

.

Sore itu semua orang bersiap-siap dan harus bersih menyambut malam. Gempa memastikan semua "bawahannya" beratur dan tak ada yang tidur malam ini dengan badan lengket oleh keringat. Atau tidur kedinginan dan penuh nyamuk. Atau shalat tak tepat waktu. Katanya, biar dimana pun jangan lupa dengan pemilik bumi ini. Harus bersopan-santun pada yang empunya "rumah", ujar Gempa sambil menarik lengan Blaze agar mau shalat berjamaah.

Lepas shalat Isya dilalui dengan lancar dan penuh kegembiraan—mereka menyalakan api unggun dan makan jagung bakar sampai puas. Cokelat hangat dan mochi strawberry kenyal buatan Taufan juga tersedia untuk semuanya dan mereka melakukan permainan ketangkasan. Seperti biasa, untuk masalah kecepatan Halilintar dan Solar selalu "berebut" merebut posisi nomor 1 dan Blaze merajuk karena kalah. Tak ada hal ganjil dan mereka tidur malam itu dengan badan lelah namun hati riang.

Tapi masalah muncul saat mereka tidur.

Pukul 12 malam, semua sudah terlelap di tenda masing-masing. Blaze satu tenda dengan Ice, si jago merah itu mengambil tempat tidur terlalu luas hingga Ice terdesak ke pojok namun mereka tetap nyenyak. Solar dan Thorn berbagi tenda, setengah badan Thorn menindih perut Solar namun Solar tetap tertidur karena sudah biasa dijadikan bantal oleh kakaknya itu. Gempa yang paling banyak tugasnya pun sudah tertidur, ia dalam tenda paling besar bersama Halilintar dan Taufan.

Tengah malam itu, Halilintar dan Taufan duduk bersama di luar tenda sambil mengobrol ringan—dua gelas kopi menemani pembicaraan mereka. Walau mereka sangat sering bertengkar, mereka juga paling akrab dan sering berbincang bersama. Halilintar tengah menggerutu tentang regulasi baru di klub pencak silat dan Taufan mendengarkan dengan serius.

"Kesiswaan memutuskan untuk memotong anggaran padahal klub silat adalah klub paling banyak menyumbang prestasi, tapi tak ada sokongan," gerutu Halilintar. "Aku sebagai ketua klub silat disidang kepala sekolah karena masalah anggaran seragam, padahal untuk turnamen harus ada seragam yang merepresentasikan sekolah kita, bukannya kita mau jajan!"

Taufan mengangguk simpati. Ia mengamati wajah kakaknya yang tampak gusar sekali.

"Kapan turnamennya, Kak Hali?"

"Dua bulan lagi. Aku tak tega meminta anggota membeli seragam baru. Kebanyakan anak silat tak mampu membelinya. Seragam lama saja turun-temurun dengan angkatan lalu," ujar Halilintar frustasi sambil mengacak rambutnya. Taufan menepuk pundak Halilintar.

"Hmm aku ada ide. Bagaimana kalau kita modif sendiri saja baju lama menjadi—"

"Thorn hilang!"

Halilintar dan Taufan terperanjat lalu menoleh ke arah sumber suara. Tampak Solar mendatangi mereka dengan wajah pucat pasi. Kaus lengan panjang putihnya disingsingkan hingga siku, ia tak memakai kacamatanya. Rambutnya tampak berantakan tanpa topi putihnya. Halilintar dan Taufan berdiri dari pasir menyongsong Solar.

"Hilang bagaimana?" tanya Taufan, cemas.

"Dia pergi ke toilet mungkin," kata Halilintar.

"Aku sudah cari di rumah wisata, tapi nihil. Ini tak biasa, Thorn pasti beritahu kalau mau pergi," ujar Solar dengan nada tinggi. "Kalian berdua 'kan sejak tadi belum tidur, apa kalian melihatnya?"

"Kami sama sekali tidak melihatnya," jawab Halilintar. Solar kian tegang dan tangannya terkepal erat. Taufan berusaha menghiburnya.

"Bawa tenang, Solar," kata Taufan sambil meremas pundak Solar. "Kita ambil senter, mungkin Thorn mengigau dan berjalan tanpa sadar."

"Tapi Thorn tak pernah sleepwalking lagi!" tepis Solar. "Itu 'kan hanya sampai Thorn kelas 4 SD!"

"Solar, tenang dulu," ujar Halilintar, ia tak pernah melihat Solar panik seperti itu. "Kita akan cari sama-sama sampai dapat," putus Halilintar sambil meraih senter yang tergeletak di pasir.

"Blaze dan Ice bagaimana?" tanya Taufan sambil mengambil senternya.

"Bangunkan mereka, tapi jangan bangunkan Gempa," kata Halilintar. "Ingat terakhir kali Thorn hilang dan Gempa bereaksi seperti apa?"

Taufan merinding.

"Oke, aku bangunkan Blaze dan Ice, Kak Hali dan Solar duluan saja," ujar Taufan sambil menyerahkan senternya pada Solar dan pergi ke tenda milik Blaze dan Ice. Halilintar dan Solar langsung bertolak dari kawasan kemah mereka.

"Kita cek di kebun itu, takutnya Thorn tersesat di sana," ujar Solar sambil berlari ke arah kebun kelapa. Halilintar mengikutinya dari belakang.

Setelah mendaki bukit pasir yang lumayan tinggi, mereka akhirnya sampai di kebun kelapa tersebut. Malam seperti ini membuat kebun itu seolah lubang hitam yang menganga lebar siap menelan siapapun dalam kegelapan yang membutakan. Halilintar dan Solar menyalakan senter mereka lalu memasuki kawasan itu. Siang hari, kebun ini tampak ramah dan mengundang siapapun untuk berteduh di bawahnya—namun saat malam hari di bawah bulan penuh, tempat itu seolah menjanjikan banyak petaka bagi siapapun yang berani memasukinya... dan Thorn mungkin tersesat di dalamnya, sendirian tanpa penerangan. Solar kian cemas hingga ia meremas kuat senter di pegangnya. Ia tak pernah setakut ini dalam hidupnya.

"Thoorn!" panggil Halilintar. Ia menyorotkan senternya ke segala arah. "Thorn! Di mana kau?"

"Thorn!" seru Solar.

Mereka semakin dalam memasuki kawasan itu sambil terus memanggil saudara mereka. Tanpa terasa langkah kaki mereka membawa mereka kian jauh hingga area pantai terlihat seperti garis tipis saja. Senter-senter mereka seperti cahaya lilin yang redup karena kegelapan yang begitu pekat, namun Halilintar dan Solar tetap maju mencari saudara mereka.

Sementara itu, Taufan, Ice dan Blaze mencari di pesisir pantai dan kawasan rumah penduduk.

"THOOORRRRNNN!" jerit Blaze dengan berlinang air mata. "JANGAN MATI DULUUU!"

"Hush, Kak Blaze," tegur Ice sambil menutup mulut kakaknya. "Ini 'kan kampung penduduk, nanti mereka terbangun dan marah."

Blaze mengusap air mata dan menarik ingusnya.

"Nanti kalau Thorn tak ditemukan bagaimana?" ujar Blaze sambil sesenggukan. "Diculik terus dijual bagaimana? 'Kan dia saja yang paling mudah ditipu."

"Jangan berprasangka dahulu, lebih baik kita fokus mencari," tegur Ice. Matanya dengan awas menatap sekeliling rumah penduduk yang sepi, kakinya terus melangkah menyusuri jalan—namun ia tak menemukan sosok Thorn. Mungkin ia tak ada di sini.

Sedang fokus mencari petunjuk, tiba-tiba Taufan muncul dari sudut jalan. Wajahnya berkeringat dan ia agak pucat. Taufan menghampiri kedua adiknya.

"Ketemu?" tanya Taufan.

"Jejaknya saja tak ada," gumam Ice. Taufan menghembuskan nafas keras-keras lalu berlutut di tanah sambil mengacak rambutnya.

"Aaaaaggh! Ke mana perginya adikku paling imut ini?!" teriak Taufan, frustasi.

"Wajah kita semua sama," komentar Ice, tapi tak digubris Taufan. Ia semakin asyik panik seiring dengan berkembang biaknya imajinasinya.

" Jangan-jangan, Thorn sudah... sudah..."

"Thorn sudah matiiii huaaa!" sambung Blaze, menangis tak kalah kencang. Merasa dikompor-kompori, Taufan ikut sedih dan mulai menangis keras-keras. Ice bingung mau tenangkan yang mana dulu, yang pasti Taufan dan Blaze terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Sedang ribut-ributnya dan Ice berusaha menenangkan, terdengar suara yang mengejutkan mereka bertiga.

"Hei, kalian!"

Sontak Taufan dan Blaze berhenti menangis lalu berpaling. Mereka bertiga melihat empat orang penduduk asli berjalan mendekati mereka. Taufan, Blaze dan Ice agak gugup ditegur begini, takut dimarahi. Mereka sudah berkeliaran tengah malam dan membuat keributan. Bisa-bisa mereka dianggap wisatawan rusuh dan diusir.

Ke empat penduduk bertubuh besar-besar berjalan kian mendekat. Taufan, Blaze dan Ice meneguk ludah melihat wajah-wajah garang tersebut. Habislah sudah, mereka takkan bisa mencari Thorn!

Sementara itu, Halilintar dan Solar masih terus menyusuri barisan rapat pepohonan tersebut. Sesekali mereka harus menghalau kawanan ganas nyamuk-nyamuk kebun. Meskipun mereka sudah memakai jaket tapi rupanya nyamuk mengincar wajah dan leher mereka. Walau harus sering mengusir serangga penganggu itu, Halilintar sama sekali tak risau dan Solar pun terlalu kalut untuk terusik dengan serbuan nyamuk. Yang terpenting Thorn harus ditemukan. Mungkin Thorn juga tersiksa dengan serbuan nyamuk tanpa losion. Mungkin Thorn kedinginan. Mungkin juga ia tengah sekarat, digigit ular berbisa seperti ucapan Halilintar...

Solar menarik nafas dalam-dalam agar ia tenang. Setelah berhasil mengatur perasaannya, Solar kembali fokus mencari. Ia terus menyorotkan senter ke berbagai pelosok, matanya mencari tanda-tanda keberadaan Thorn. Mungkin Thorn sedang panik mencari jalan pulang—berlari tak tentu arah. Atau mungkin ia sedang terluka?

Solar merasakan hawa dingin melingkupi dirinya. Panik kembali menguasai kepalanya dan ia berusaha keras untuk mengendalikan perasaannya lagi namun sulit. Ia menghirup nafas dalam-dalam namun dadanya sesak. Perutnya tiba-tiba mual karena serangan kecemasan, hawa panas dan dingin membasuh tubuh dan jantungnya berdebar begitu kencang. Solar tak pernah merasakan takut sehebat ini... jika terjadi sesuatu pada Thorn, maka Solar akan—

Tiba-tiba, Solar merasakan sesuatu menyentuh kepalanya. Solar menengadahkan wajah dan melihat Halilintar menatapnya dengan ekspresi khawatir. Solar baru menyadari ia tengah duduk di tanah. Sejak kapan ia duduk? Solar tak ingat.

"Kenapa?" tanya Solar, suaranya terdengar seperti bisikan. Halilintar terus memandanginya dengan waspada.

"Kau tiba-tiba ambruk tadi. Sebaiknya kau kembali ke tenda, wajahmu pucat. Biar aku cari Thorn," putus Halilintar. Solar menggeleng.

"Jangan—'

"Sekarang kamu hanya menjadi beban," ujar Halilintar dengan tenang. Solar berjengit. "Kita kembali sebentar ke tenda dan aku akan bangunkan Gempa agar ikut mencari Thorn."

Solar baru saja hendak membantah dengan sarkatis saat sebuah ledakan kecil mengejutkan mereka. Walau kecil, telinga mereka berdengung dan membuat adrenalin memacu mereka berlari pergi. Halilintar dan Solar masih disorientasi, kaki mereka terseok-seok—telinga mereka masih berdenging dan mereka tak tahu apa yang terjadi. Mereka menoleh ke belakang setelah dirasa agak jauh dan samar terlihat seseorang bertubuh tinggi membidik senapan ke arah mereka. Adrenalin kian menderas dan respons otak reptil membuat Halilintar dan Solar terus berlari dengan jantung hampir meledak.

Peluru berterbangan di sekeliling mereka dengan bunyi menulikan telinga, entah sudah berapa butir peluru melesat namun Halilintar dan Solar terus berlari dalam pola acak agar sulit dibidik. Mereka tak sempat mengkhawatirkan satu sama lain. Kaki mereka terus berderap pergi seiring dengan peluru yang menghujam sekitar mereka. Halilintar meringis saat peluru hampir menembusnya namun malah mengenai pohon—akibatnya beberapa serpihan kayu terpental dan melukai keningnya. Samar-samar, Solar merasakan sesuatu merobek pundak jaketnya namun ia tak tahu apa itu. Mereka terus berlari tanpa henti di antara pepohonan dan peluru serta kegelapan pekat.

Perlahan, garis pantai mulai terlihat dan bersamaan dengan jauhnya jarak bidikan, si penembak sudah berhenti menembaki namun Halilintar dan Solar masih terus berlari seolah nyawa di ujung tanduk—dan dalam kasus ini, mereka harus cepat atau mati.

Melesat laju, Halilintar dan Solar berhasil keluar dari hutan kelapa gelap itu dan mereka meluncur menuruni bukit pasir menuju tempat kemah mereka. Ada orang berbahaya di dekat sana dan mereka harus memperingatkan saudara mereka yang lain!

Halilintar sampai lebih dahulu di kawasan perkemahan dengan nafas terengah-engah diikuti Solar. Ia lalu menyapu pandangan sekitar. Tak ada Blaze, Ice dan Taufan—itu berarti hanya ada Gempa saja sedang tertidur di tenda. Dengan cepat, Halilintar membuka tenda paling besar hendak membangunkan Gempa namun ternyata tenda itu—

"Kosong?" ucap Solar sedikit terkejut. Nafasnya masih belum beratur. "Kenapa bisa kosong?"

Halilintar tak menjawab, ia tak paham situasi ini. Ia memasuki tenda dan menekan kantung tidur Gempa. Kosong. Halilintar terhenyak sesaat, hatinya mencelos. Bagaimana bisa terjadi hal seperti ini?

Solar sendiri agak terkejut namun ia bisa diasosiasi dahulu—ketiadaan Gempa sedikit mengalihkan Solar dari kekalutannya pada Thorn. Solar lalu merogoh sakunya mengambil ponsel.

"Mungkin Kak Gem membawa ponsel, sekalian hubungi Taufan, Ice dan Blaze."

Halilintar menoleh ke arah Solar yang sibuk mengaktifkan ponselnya. Betul juga, mengapa tak ia pikirkan daritadi? Hanya Thorn saja yang tak membawa ponsel.

Tapi sebelum Solar menghubungi siapapun, tiba-tiba Halilintar menarik tangan adiknya untuk pergi. Halilintar berlari menuju sebuah batu karang agak besar dan menyorokkan tubuh Solar agar tersembunyi. Halilintar sendiri berdiri agak ke depan sambil melindungi tubuh Solar. Malam ini memang agak terang karena bulan purnama, namun bayang-bayang juga agak membesar dan menutupi figur keduanya. Dengan hati-hati, Halilintar mengintip dari balik batu karang. Matanya berusaha menangkap apa yang terjadi walau sulit.

"Ada apa?" tanya Solar setengah berbisik. Halilintar menunjuk ke arah kawasan kemah mereka.

"Ada orang datang."

.

.

Bersambung

.

A/N

Wah awal tadi mau buat fluff tapi memang karena tipikal saya akhirnya malah jadi begini...

Yosh, saya sudah beritahu ini di Selendang Merah.

Saya menulis ini sebenarnya karena saya mau beri contoh kalau ff tanpa unsur yaoi/shounen-ai dan zina perempuanxlaki masih bisa menarik, tergantung bagaimana kita meramunya. Menulis ff seperti memasak. Tak perlu ditambahkan narkotika biar sedap, hanya perlu rempah-rempah saja. Sama juga dengan menulis, kita tak perlu hal buruk agar ff kita menarik. Dengan menulis hal buruk, kita juga turut menormalkan prilaku buruk. Lama kelamaan hati kita condong pada hal buruk dan diam saja melihat hal buruk.

Jika mati, kita mau dikenang sebagai apa? Sebagai penulis dari tulisan yang buruk?

Pun orang banyak mengeluh mengapa hidup mereka tak pernah bahagia dan selalu merasa kekurangan? Salah satu alasannya adalah karena berperilaku buruk dan bangga dengan perilaku buruknya. Apalagi berteman dan saling mendukung dalam perbuatan buruk. Lalu memandang indah perbuatan buruk itu.

Menulis yaoi/shounen-ai/zina dan merasa bangga dengan hasil karyanya adalah termasuk golongan orang yang lupa mengapa mereka ada di dunia ini. Kenapa kita ada di dunia ini?

Mohon nasihatnya bila saya salah juga. ^-^ itu sangat membantu saya dan menyenangkan hati saya.

Dan silakan review jika ada tanggapan, kritik, saran dan komentar tentang fanfic ini~!