Entah bagaimana ceritanya, Chanyeol sudah ada di rumah kami besok sorenya.

Aku tidak tahu apakah dia naik pesawat paling awal dari Brussels, ataukah naik jet milik perusahaan, atau bagaimana—yang jelas, aku terbangun di pelukannya begitu saja.

"Kasihannya Baekhyunku ini," gumam Chanyeol sambil mengusap sudut-sudut mataku yang membengkak. "Lihat, kau menangis semalaman sampai badanmu demam begini."

"Chan—Chanyeol! Be-benarkah ini Chanyeolku?" aku mengucek mata tak percaya melihat keberadaan suami yang sangat kurindukan akhirnya ada di hadapanku lagi.

"Iya, ini aku, Sayangku. Ssst, tenanglah."

Chanyeol membiarkanku membenamkan wajah di dadanya dan memeluk tubuhnya seerat yang kumampu, walau kedua tanganku rasanya tak bertenaga. Yang kuingat, tadi malam aku marah-marah hingga urat leherku nyaris putus, menangis hebat, kedua bocahku mengguncang-guncangkan badanku dan—

—apa aku jatuh pingsan?

"Anak-anak mana?" tanyaku dengan suara lemah.

"Mereka ada ruang bermain, bersama Sehwan."

Sehwan. Oh Sehwan. Oh. Sehwan. Anak Oh Sehun. Anak suamiku. Adik Haowen. TIDAK!

Aku nyaris saja jatuh limbung karena tiba-tiba turun dari ranjang kalau bukan karena Chanyeol yang langsung menggapaiku dan membuatku berbaring kembali seperti semula.

"Baekhyuna, dengarkan aku—"

"Tidak! Sehwan bukan anak Sehun, Chan! Sehunku tidak mungkin melakukannya!" raungku sambil berusaha melepaskan diri dari kungkungan badan Chanyeol. "Sehun tidak mungkin melakukannya dengan seorang wanita! Dia hanya mencintaiku, Park Chanyeol! Sehun hanya milikku dan aku tidak percaya dia punya orang lain selain aku!"

"Baekhyuna—"

"A-anak itu—dia bukan anak Sehun—anak Sehun cuma Haowen, hiks!"

"..."

"Usir mereka, Chan! Usir perempuan itu dan anaknya! Aku tidak ingin melihat mereka di sini!"

"Tapi Baekhyuna, Sehwan sedang tidak sehat—"

"AKU TIDAK PEDULI! USIR SAJA MEREKA—" ceracauku dibarengi isakan, "—usir mereka dari rumah kita—"

Sulit untuk kuterima. Mungkin ini karma untukku karena tidak bisa memilih antara Chanyeol dan Sehun tanpa membuat salah satu dari mereka merasa kecewa. Namun, haruskah mereka berdua muncul di saat-saat dimana kebahagiaanku berada di puncaknya? Sejeong dan Sehwan—haruskah mereka muncul dan membawa Sehun pergi dariku?

Apakah Sehun akan lebih memilih mereka dibanding kami?

Hingga malam harinya, yang kulakukan hanyalah berpelukan dengan Chanyeol di kamar karena demamku ternyata malah semakin parah. Yoora dan Yunho datang ke rumah kami atas permintaan Chanyeol untuk membantu mengawasi Haowen dan Baekhee karena aku tidak bisa ditinggal sendirian. Karena saat Chanyeol lengah sedetik saja dalam mengawasiku, yang kulakukan adalah berlari dari kamar dengan langkah gontai dan kembali menceracau memaki-maki Sejeong dengan kasarnya.

Padahal aku tahu, raut putus asa di wajah wanita itu sama persis seperti yang kumiliki dulu saat memilih untuk meninggalkan Sehun setelah mengetahui tentang kehamilanku. Persis ketika aku juga meninggalkan Chanyeol yang waktu itu lebih memilih Kyungsoo karena permintaan ibunya. Aku juga tahu kondisi Sehwan jauh dari kata baik. Kulitnya terlalu pucat dengan mata cekung dan tubuh kurus yang selalu lunglai tanpa tenaga. Berbanding terbalik dengan anak-anakku yang sehat dan lincah.

Aku tahu itu, karena aku juga seorang ibu—hanya saja, aku tetap tidak bisa terima. Aku tidak bisa dan tidak mau membagi Sehunku dengan orang lain. Aku tahu, aku egois.

"Mommy?"

"Sst, jangan bangunkan Mommy. Mommy sedang sakit."

"Jadi tidak bisa mewarnai bersama Baekhee?"

"Tidak bisa. Mewarnainya bersama Oppa saja, ya? Ayo kita pergi."

"Ta-tapi—mau Mommy~ hiks, Baekhee mau Mommy~"

Kesadaranku dipaksa untuk berkumpul saat mendengar bisik-bisik kecil di dekatku itu berubah menjadi rengekan tertahan. Selimutku seperti ditarik-tarik oleh tangan-tangan kecil dan sesuatu yang lumayan berat bergerak dari sampingku dan memaksa untuk merayap ke atas tubuhku.

"Hiks, Mommy bangunlah~bangunlah~"

Leherku dipeluk dan kurasakan tubuh kecil yang hangat itu terisak-isak di atas badanku.

"Baekhee ya, jangan seperti ini! Kasihan, Mommy sedang sakit!"

"Mau Mommy! Baekhee mau Mommy!"

"Eungh!"

"Mo-Mommy?"

Hal pertama yang kulihat adalah mata berkaca-kaca milik putriku dan wajah cemas milik Haowen yang berdiri di sebelah ranjangku. "Mommy sudah tidak sakit lagi?" tanya Haowen pelan. Tangan kecilnya menyentuh dahiku pelan, seolah ingin membandingkan panas tubuhku dengan tubuhnya.

Aku mencoba untuk tersenyum meski mataku perihnya bukan main. "Sudah tidak. Mommy sudah sembuh karena Haowen dan Baekhee telah menjadi anak baik dan merawat Mommy saat sedang sakit semalaman," ujarku pelan sambil membawa Baekhee dalam dekapan. Sepertinya gadis kecilku itu benar-benar menginginkanku setelah seharian tidak bisa bersama. Ia langsung tenang dan tidak melakukan apapun selain meletakkan kepalanya di dadaku dan bermain-main dengan kancing piyamaku sambil menghirup aroma tubuhku sepuasnya.

"Tapi—tapi bukan Haowen dan Baekhee yang merawat Mommy. Papa yang melakukannya," jawab Haowen jujur.

"Benarkah?" tanganku yang satunya lagi mengelus rambut Haowen penuh kasih sayang.

"Ung!"

"Memang Papa yang merawat Mommy semalaman, tapi Haowen juga hebat sekali karena telah membantu Papa mengasuh Baekhee,"

Kami sama-sama menoleh ke arah pintu dimana Chanyeol bersandar di dekatnya sambil melipat tangan di depan dada. Dia tersenyum manis sekali, terutama ketika matanya bertatapan dengan Haowen, sorot matanya tidak bisa berbohong kalau ia benar-benar bangga atas apa yang telah lelaki kecil kami itu lakukan.

"Haowen tidak—hebat..." Haowen menunduk sedikit tapi pipinya langsung memerah. "Papa yang hebat,"

Chanyeol terkekeh dan berjalan mendekat, langsung menggendong Haowen begitu ia tiba di sebelah ranjangku. "Kau juga sudah menjagakan mereka saat Papa dan Daddy tidak ada. Mengasuh Baekhee, melindungi Mommy, menjadi anak baik dimana saja kau berada—bukankah hanya jagoan yang bisa melakukan itu semua? Bahkan Spiderman saja belum tentu bisa melakukannya sebaik Haowen."

Mendengar nama hero kesayangannya disebut, otomatis mata Haowen berbinar-binar. Ia mengeratkan pelukannya di leher Chanyeol, sedangkan suamiku itu bertukar senyum penuh arti padaku. "Kalau begitu, nanti kalau sudah besar Hao bisa jadi Spiderman?" bisiknya malu-malu.

"Tentu saja bisa!"

Mau tidak mau, kehangatan merayapi relung hatiku karena interaksi alami antara Chanyeol dan Haowen adalah salah satu hal terbaik yang pernah kulihat.

"Bagaimana perasaanmu, Baekhyuna?"

"Sudah jauh lebih baik. Terima kasih karena telah merawatku, Chan."

Chanyeol melirik pada Baekhee yang terlihat nyaman di dekapanku seolah tak tertarik dengan apapun selain eksistensiku. "Dia rewel semalaman, bahkan Yoora nuna harus berulang-kali membuatkan susu karena dia terus mencampakkan botolnya hingga isinya tumpah dan bersikeras tidak mau minum kalau bukan kau yang membuatkan."

"Benarkah?" Aku mengulum senyum sambil merendahkan pandangan untuk menelisik ekspresi putriku. "Jadi Baekhee-ku ini tadi malam nakal dan tidak menuruti perkataan Bibi Yura, ya?"

"Ti-dak na-kal! Baekhee baik, kok!"

Dia protes padaku tapi kemudian menyembunyikan wajahnya lebih dalam di dadaku.

Pagi itu, Chanyeol memohon padaku untuk tidak memikirkan apapun dulu karena sebenarnya demamku belum sepenuhnya sembuh. Dia ingin aku menjaga emosi karena ternyata kemarahanku yang meluap-luap kemarin, membuat Haowen dan Baekhee ketakutan padahal bukan mereka sasarannya. Dia juga masih belum mengerti sepenuhnya tentang permasalahan ini. Begitu ia mendengar percakapanku dengan Sejeong melalui telepon kemarin, Chanyeol langsung pulang karena ia tahu sesuatu yang tidak beres sedang terjadi dan ia bilang ia mendapati anak-anak tengah menangisiku yang tak kunjung membuka mata.

Meski benci mendengarnya, namun Chanyeol bilang Sejeong-lah yang pertama kali memindahkan tubuhku ke kamar dan merawatku sebelum ia tiba. Ia juga menyiapkan makanan untuk kedua anakku—dan juga anaknya—bahkan mengantarkan buah hatiku tidur—menyelimuti mereka—

—aku tidak mau dengar lebih lagi karena belum apa-apa ia sudah lancang mengambil alih tugasku sebagai ibu dari Haowen dan Baekhee.

Karena aku sudah berjanji agar tetap tenang dan beristirahat di kamar saja, maka Chanyeol juga berjanji untuk membawa Sehun pulang ke Korea secepatnya agar masalah ini bisa jelas dan diselesaikan dengan baik.

Agar Sehun segera menjelaskan siapa dua orang asing itu, apa hubungan mereka, benarkah Sehwan adalah anaknya selain Haowen-ku—

—dan kalau semua itu memang benar, maka aku sudah memikirkan sebuah jalan keluar. Hanya ada satu—

—aku minta cerai.

Karena tadi malam Baekhee kurang bisa tidur dengan nyenyak, maka kubiarkan saja dia tidur di pelukanku meski aku sedikit khawatir demamku bakal menularinya. Yura nuna beberapa kali berniat mengambil alih Baekhee agar aku bisa beristirahat dengan tenang, namun aku menolak karena berdekatan dengan anakku nyatanya membuatku merasa jauh lebih baik.

Sedangkan Haowen—

—aku tidak tahu sejauh mana dia mengerti akan ketidak-beresan ini, namun tampaknya ia tak terlalu mempermasalahkan tentang kemunculan anak lelaki lain yang mengaku-ngaku kalau Sehun juga ayahnya.

Buktinya, mereka tetap bermain bersama meski Saehwan tampak tidak begitu antusias dan selalu lesu tiap kali diajak mencobai mainan atau komik-komik baru.

Tapi aku adalah ibu Haowen. Aku yang melahirkannya meski dulu aku menolaknya mati-matian. Karena itulah, aku tetap bisa melihat sorot cemas dan takut tersirat di mata Haowen tiap kali ia beradu pandang dengan Saehwan dan ibunya.

Mungkin ketakutan kami sama.

Takut kalau orang-orang baru ini akan merebut Sehun dan membawanya pergi dari kami.

Namun berdiam di kamar menurutku adalah tindakan pengecut. Karena itulah, setelah merasa tubuhku membaik serta memperbaiki posisi badan Baekhee yang selama berjam-jam tidur pulas disebelahku, aku memutuskan untuk keluar dan menghadapi mereka.

Waktu itu aku terlanjur gelap mata dan meledak-ledak tanpa mendengarkan penjelasan Sejeong, dan kali ini, aku harus bisa menekan emosiku dan membicarakan semuanya dengan kepala dingin.

Ketika aku keluar kamar, aku mendapati wanita itu tengah berdiri di ruang tamu menghadap ke arah foto keluarga berukuran super besar yang dipajang di dinding. Sehwan sedang duduk di lantai di dekat kaki ibunya sambil memegang mobil mainan milik Haowen. Aku tidak melihat keberadaan Chanyeol dan anak-anakku—mungkin mereka pergi ke suatu tempat atau entahlah.

"Ekhm,"

"E-eh? Ah, Anda sudah bangun Tuan—Baekhyun?" wanita itu berbalik dan gestur tubuhnya berubah menjadi canggung sekali. Seakan-akan keberadaanku sangat mengintimidasinya. Bukan hanya dia, bocah kecil bernama Sehwan itu langsung bersembunyi di balik kaki sang ibu begitu mendengar suaraku.

"Ta-takut—" rengek anak itu tak tenang. Ketika mataku terpaku pada mainan Haowen yang ia pegang, bocah itu mendadak meletakkan benda itu ke lantai seolah tahu bahwa memegang sesuatu yang bukan kepunyaannya adalah suatu dosa di bawah atap rumah ini.

"A-apa Anda sudah merasa lebih baik?" sambung Sejeong lagi. Ingin sekali rasanya membalas pertanyaan wanita itu sesinis mungkin, tapi semarah apapun aku, Byun Baekhyun bukanlah orang yang hobi memaki-maki orang lain.

Kemarin itu adalah pengecualian.

"Hm, jauh lebih baik," jawabku pelan. "Mau duduk dan minum teh bersamaku? Sepertinya kita perlu bicara."

Entah karena alasan apa, Sejeong tampak ketakutan tapi ia dengan antusiasnya menyambut ajakanku. Sehwan ia pangku ketika kami duduk di meja makan, walau anak itu jelas sekali seperti ingin kabur karena tak tahan melihat ekspresi wajahku yang baginya mungkin terlihat kejam.

"Kami bertemu di Amerika, ketika Sehun berada di tahun pertama sekolah kedokterannya," jelas Sejeong ketika aku mulai bertanya tentang hubungan mereka. "Kami saling mencintai dan—" ia melirik anak yang ia pangku. "—Sehwan lahir dari hasil percintaan kami dua tahun kemudian."

Aku mencoba tetap mendengarkan dengan tenang seakan-akan Sehun yang tengah ia bicarakan dengan wajah penuh cinta itu bukanlah Oh Sehunku yang juga kucintai sepenuh hati.

"Namun Sehwan terlahir dengan penyakit jantung bawaan. Dia juga selalu gampang sakit sejak bayi. Hal itu sangat membuat Sehun terpukul dan ia bilang padaku ia akan belajar lebih giat agar menjadi dokter hebat yang bisa menyembuhkan Sehwan kami nantinya,"

"Hah," tanpa sadar aku mencelos. Sehun ingin jadi dokter yang hebat karena Sehwan katanya? Setahuku, akulah satu-satunya alasan kenapa ia memilih profesi itu.

"Sehun bilang ia kembali Korea hanya sebentar. Ia ingin membuktikan pada orangtuanya kalau dia bukan lagi Sehun yang dulu mereka kenal. Ia ingin membangun nama di rumah sakit terkenal di negara ini, dan nantinya setelah sukses, ia akan membawa kami ikut serta untuk menetap,"

"..."

"Sehun berjanji kalau ia akan menikahiku secara resmi dan kami akan merawat Sehwan bersama-sama,"

"..."

"Namun ternyata—Sehun telah melupakan janjinya,"

Wanita itu mulai menitikkan airmata di depanku tanpa tahu kalau aku juga punya keinginan untuk menangis yang sama besarnya seperti dia.

"Ia juga telah melupakan Sehwan. Beberapa bulan yang lalu penyakit Sehwan kambuh dan dia harus dirawat lagi di rumah sakit. Hanya ada kami berdua. Aku bekerja apa saja demi mendapatkan uang untuk membiayai Sehwan. Sehun memang mengirimkan uang untuk biaya pengobatan tapi yang putraku butuhkan adalah kehadiran ayahnya. Sehwan merindukan Sehun, kami berdua sama-sama merindukan Sehun," ujarnya diselingi isakan pelan.

Tidak, malah keinginanku untuk berurai airmata lebih besar karena pengakuannya barusan baru saja membuatku merasa sangat terkhianati oleh Sehun. Setelah apa yang ia lakukan, setelah semua yang kami jalani bersama—ternyata ia punya orang lain selain aku? Ia punya keluarga lain selain yang ia miliki di rumah ini?

"Ka-kami sangat merindukan Sehun dan bertanya-tanya kenapa ia tidak pernah kembali ke Amerika, ternyata karena ia telah menemukan kebahagiaannya di sini."

Dan anehnya, jutaan kemarahan yang ingin kulampiaskan hanya terpendam di diriku tanpa bisa terucap melalui lidahku yang kelu. Aku tak tahan lagi untuk tidak menangis. Ada banyak hal yang kutangisi saat ini.

Sehun ternyata bukan hanya mengkhianatiku, namun ia juga mengkhianati Sejeong dan Sehwan.

Dan bodohnya, aku menerima Sehun begitu saja beberapa tahun lalu ketika ia kembali hadir dalam hidupku tanpa pernah bertanya-tanya tentang apa saja yang telah ia lalui saat tidak bersamaku.

Aku percaya dengan semua yang Sehun katakan tanpa pernah berusaha mencari tahu kebenaran dari setiap ucapannya.

Aku menjalani pernikahan yang bahagia dan bergelimang harta dengan Sehun tanpa tahu kalau di suatu tempat di luar sana, ada orang-orang yang menunggu kepulangannya dalam kehidupan yang serba kekurangan.

"E-eomma, lapar—" bisikan lirih yang menginterupsi pembicaraan kami itu mengguncang batinku tanpa ampun. "A-apa kita tidak boleh makan lagi seperti tadi malam?"

"Sst, Sehwana, sabar sebentar, oke? Tuan, maafkan kelancangan putra saja—"

"Kita lanjutkan nanti saja, Sejeong ssi. Kalian berdua makanlah, kasihan anakmu tampaknya sudah kelaparan sejak tadi,"

"Ta-tapi—"

"Aku ingin kembali beristirahat di kamarku,"

Dengan langkah gontai, aku bergegas masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Tubuhku merosot begitu saja di depan pintu dan tangisanku tak bisa dibendung lagi.

Sehun jahat.

Tapi aku lebih jahat karena telah memisahkan mereka tanpa kusadari.

Belgium, 11th of July 2019

I'm still trying to find my passion again. Sorry.