Cerita ini hanya fiktif belaka dan seluruh hak cipta tidak berada di tangan penulis.

A/N: aku baru sadar kalau nama toko Poriot sama seperti nama karakter detektif di novel Agatha Christie, Hercule Poirot.

Maaf sudah menunggu lama untuk Chapter ini. Terima kasih yang sudah sabar menunggu, mereview chapter sebelumnya dan mencentang Follow dan favorite. Tanpa menunggu lagi selamat membaca!

6

Decit suara roda di rem terdengar saling bersahutan saat GTR hitam para agen PSB berhenti di depan gedung tiga tingkat rumah keluarga Mouri. Shinichi keluar dari kursi penumpang, diikuti agen-agen berjas dengan alat transmisi di telinga mereka. Hanya Shinichi seorang, diantara semua personil itu yang masih remaja dan tidak memakai jas. Ini memberikannya perasaan Dejavu seperti saat ia makan di kafetaria markas FBI. Membuatnya terlalu sadar pada tubuhnya yang terlihat lima belas tahun. Sesuatu yang pasti tidak dirasakan oleh dirinya yang lama, Shinichi yang arogan dan memandang dunia dengan sisi hitam putih yang tegas. Shinichi yang selalu menyatakan kebenaran dengan keyakinan pasti. Shinichi yang tidak pernah berbohong.

Tapi menjadi Conan telah membuatnya belajar banyak hal, terutama tentang sifat dasar manusia. Ia belajar tentang empati, tentang tidak hanya memandang dunia dari sudut pandang kebenarannya sendiri. Kebenaran yang subjektif. Apa itu kebenaran bila ia selalu berbohong? Tapi apakah salah untuk berbohong jika itu hal yang benar? Jadi sebenarnya kebenaran itu apa? Kebenaran itu semu, yang ada hanya merasa benar bagi dirimu sendiri. Conan si pembohong yang handal, yang telah memutarbalikkan dunia Shinichi hingga akhirnya ia tahu apa yang dibalik kebenaran tidak selalu keadilan. Dirinya yang lama pasti menganggap moralnya mengendor. Layaknya mereka yang memandang dunia dengan mata polos, memandang kebenaran dari sifat harafiahnya saja. Kebenaran yang ditentukan oleh lingkupnya sendiri, yang disepakati oleh mereka sendiri. Kebenaran yang menyalahkan perbedaaan, kebenaran yang akhirnya membawa ketidakadilan.

Sebelum menjadi Conan, ia tak kan memahami arti dari membunuh untuk menyelamatkan nyawa. Ia tak kan bisa menerima PSB bekerjasama dengan pencuri, ia akan menganggap moral FBI busuk karena membunuh orang tak bersalah demi sekedar bertahan sebagai mata-mata. Tapi kini Shinichi melihat dunia dari area abu-abu, dari kacamata distorsi yang melihat manusia dengan segala kelemahannya. Kini saat ia memandang pantulannya di cermin; cacat, lemah dan penuh luka, ia tahu itu bukan berarti ia pecundang. Sama seperti diri tiap orang dengan segala kelemahannya, mereka bukan benda yang dapat dinilai baik dan buruknya dari mata manusia yang sama cacatnya. Sejak saat Conan berhenti berkata jujur, Shinichi berhenti menghakimi. Kini ia memahami cara berpikir Jodie, Shuichi, Kazama-san, bahkan Kaito.

Mungkin itu pula yang membuat para agen memperlakukannya seolah ia bagian dari mereka. Orang-orang yang mengorbankan apapun, bahkan moralnya, agar yang lain tetap bisa hidup dalam kenaifan mereka. Orang-orang yang menceburkan diri dalam bayangan agar yang lain tetap bisa bercahaya. Orang-orang bermata lelah yang memandang hidup bukan sebuah tujuan, tapi alat agar dapat menyelamatkan yang lain.

"Kudou-san?" Kazama mengamatinya. Shinichi hanya menggeleng.

Beberapa meter dari mereka, dua mobil hitam besar VBIED (Vehicle-borne improvised explosive device) milik tim penjinak bom terparkir bersama sederet mobil kepolisian pusat yang datang lebih dulu. Aura ketegangan terasa begitu berat hingga tempat yang biasanya ramai itu menjadi sangat hening. Para personil polisi mengosongkan kafe Poirot dan menuntun para pelanggannya keluar menuju zona aman. Banyak diantara mereka yang menangis dan berpegangan satu sama lain. Tapi tidak ada yang protes, atau bahkan bersuara karena menyadari betapa serius masalah ini. Saat Shinichi menyapukan pandangannya, ia bersitatap dengan beberapa wajah familier. Takagi-keiji tampak lucu saat menyadari Shinichi berdiri di jarak pandangannya, di tengah polisi Keamanan Publik dan tim penjinak bom. Jika bukan karena ketegangan ini, mungkin Shinichi sudah tertawa. Ia hanya membalas singkat anggukan Sato-keiji sebelum wanita itu tenggelam dalam kerumunan.

Beberapa awak media dari TV berita dan surat kabar bagian kriminal sudah berada di lokasi, dihalau pagar polisi, tapi tidak menyerah untuk mengambil gambar. Lesatan lampu blitz dan moncong kamera yang besar disodorkan di antara lengan polisi yang berusaha mendorong mereka mundur ke zona aman. Ma... sungguh wartawan sejati, batinnya datar. Selalu berhasrat mendapat berita aktual mengalahkan rasa takut. Entah dari mana mereka mendapat informasi secepat ini. Shinichi curiga, Lost Child sendiri yang menyebarkannya, agar ia bisa melihat Shinichi kalang kabut sambil bergelak tawa seperti sedang menonton drama.

Kamera di zoom ke arah satu-satunya remaja di tengah lautan polisi. Berdiri dengan tongkat berjalannya dan bluetooth di telinganya. Gambar itu disiarkan secara Live pada siaran berita nasional. Siaran yang juga sedang di tonton Ran. Wajah gadis itu memucat sembari perlahan berdiri dari sofanya. Matanya tidak meninggalkan layar yang memperlihatkan anggota penjinak bom dengan senjata laras panjang di punggung, serta seragam mereka yang berat dan helm pelindung, bergerak di setiap sisi gedung apartemennya; pria di barisan paling depan tampak membawa detektor. Tapi tidak ada diantara mereka yang berani masuk.

Lalu gambar beralih pada sosok KID yang berdiri di atap gedung dengan jubah putihnya yang berkibar. Tapi berbeda saat melakukan pencurian, ekspresi jahil itu kini digantikan tatapan tajam dan kerut serius. Gadis itu berlari ke arah jendela, seolah ingin benar-benar memastikan ia tidak sedang berkhayal. Di bawah, ia melihat Shinichi, memandang ke arahnya dengan ekspresi serius dan tampak seperti memberi komando.

Bluetooth di telinga Shinhichi mengeluarkan derak statis sebelum suara Akai Shuichi terdengar, "Boya," jeda sedetik, "Semua clear." Shinichi menyapukan pandangannya ke puncak-puncak gedung dan jendela-jendela tertinggi, yang ia percayai sebagai lokasi para agen FBI yang siap melindungi KID dari Sniper. Ia memberikan tanda aman pada KID dengan anggukan. KID melompat masuk lewat jendela seperti akrobatik veteran. Selama beberapa menit mereka menunggu informasi. Kerut di dahi Shinichi makin dalam saat kabar dari KID tak kunjung datang. "Ia masih belum menghubungi," komentar Kazama-san.

"Aku yakin itu artinya ia bisa melumpuhkan bom-nya sendiri."

"Apa kau yakin?"

"Dia KID. Kalau kau percaya aku bisa melakukannya, apalagi dia."

"Hm... selalu membuatku penasaran, dari mana kau belajar menjinakkan bom."

"Ayahku memberi latihan setiap kami liburan ke Hawai. Kau bisa menyebutnya tradisi keluarga."

Pria itu mengangkat alis dengan ekspresi skeptis, tapi belum sempat berkomentar saat keriuhan terdengar dan mereka melihat KID turun dari tangga bersama Ran dan memberi sinyal pada tim penjinak bom. "Bom itu ada di dalam paket yang di alamatkan pada detektif Mouri," jelasnya. "Ran-san belum membukanya karena Mouri-san sedang tidur. Kita beruntung kali ini."

Shinichi beralih pada Ran yang sedang diberi selimut oleh paramedis. "Kau tidak apa-apa, Ran?"

Ran mengangguk, "Sebenarnya ada apa, Shinichi?" ia melirik, dan berbisik, "Kenapa ada KID disini?"

"Sebelum itu," KID memotong, ia mengangguk pada Shinichi untuk mengikutinya. Mereka bergabung kembali pada personil PSB, "Aku juga menemukan ini," ia menyodorkan kertas terlipat pada Shinichi. "Ini seperti teka teki."

Kazama dan personil PSB beringsut melihat dari balik bahu Shinichi. Tulisan itu seperti kartu teka-teki pencurian KID. Sebuah bait berirama yang harus dipecahkan. Ia berbunyi;

Pada bangunan Spiral kembang api menyala

Tepat pada festival musim panas yang membara

Tepat pada tengah hari kembang api menyala

Semua orang berseru penuh europia

Mata biru Shinichi memindai pesan itu sambil bergumam, "Bangunan Spiral, kembang api, membara, tengah hari," ia menyebutkan tiap variabel itu dan seketika memucat, diikuti sedetik kemudian oleh sebagian besar agen PSB.

"Apa itu seperti dugaanku?" sahut KID. "Akan ada bom yang diledakkan lagi? Kenapa?"

Kazama-san menyahut, "Karena ia tahu Shinichi punya koneksi yang bisa membantunya mencegah ledakan di kediaman keluarga Mouri. Jadi, bom disini hanya dipakai sebagai pengulur waktu, sementara bom yang asli akan meledak sebelum kita bisa bertindak."

Shinichi melirik jam tangannya, "Kita punya waktu kurang dari tiga jam untuk menemukan bom-nya."

"Bagaimana kau tahu?"

"Teka-teki itu menunjukkan waktu. Tepat pada tengah hari yang membara, bom itu akan meledak pukul 12.00, dan kita hanya punya waktu kurang dari 3 jam untuk menemukan lokasinya." Ia menoleh pada agen di sampingnya, "Kohaku-san, apa ada bangunan disekitar sini yang berhubungan dengan spiral?"

Agen tersebut mengambil tablet dan menyisir internet, mata hitamnya bergerak cepat seirama dengan jarinya. Beberapa agen lain ikut melakukan hal yang sama, "Ada beberapa nama yang mengarah pada kata Spiral. Tapi itu bukan bangunan signifikan, hanya dua toko kelontong dan sebuah taman kanak-kanak."

"Apa mungkin berada di wilayah lain Jepang?"

Shinichi menggeleng, "Jika ini teror untukku, maka Lost Child pasti ingin aku melihatnya. Ini bagai pertunjukan baginya, dimana aku adalah penonton tunggal yang akan menyaksikan kematian atas namaku. Jadi, tempat itu harus berada di kota ini. Tempat yang mungkin mudah kujangkau atau kulihat dari sini."

"Tapi tidak ada arsitektur yang mengarah ke spiral, ataupun nama... " Kaito menggosok dagunya. Lalu matanya melebar. "Jika itu bukan salah satunya, itu berarti—"

"Struktur?" Shinichi dan Kaito berkata bersamaan.

"Struktur bangunan sprial," salah satu agen mengetik di google. "Sebuah inovasi baru bangunan tahan gempa yang pondasinya berbentuk seperti spiral ke atas, sehingga ia dapat mengurangi gesekan saat terjadi gempa. Ada satu bangunan yang seperti itu di kota ini. Hotel Marukoshi yang baru saja dibuka!" tanpa menunggu mereka bergerak. Intruksi di berikan dan pasukan ditarik untuk disebar.

Shinichi menatap ke arah Ran yang sekarang sedang berdiri bersama ayahnya di dekat mobil ambulan. Gadis itu merasakan tatapannya dan berjalan selangkah ke arahnya sambil mengulurkan tangan. Bersamaan, lengan Shinichi ditarik, dan Kaito menatapnya tajam sambil menggeleng, seolah berkata ini belum saatnya.

"Tenang aja," sahut Kazama. "Kami meninggalkan agen disini bersama agen FBI yang bertugas menjaga keluarga Mouri."

Ia benar, ini belum saatnya. Shinichi tertatih masuk ke dalam mobil bersama seluruh personil PSB. Teriakan-teriakan komando terdengar, dan siapapun sadar ini belum selesai. Para kru wartawan berlarian menuju mobil mereka untuk mengikuti polisi. Dari balik kaca jendela gelap anti peluru, Shinichi melihat ke arah Ran dan menutup mata penuh penyesalan saat menemukan ekspresi kecewa disana. Tapi ia mengeratkan genggaman. Tidak sekarang, fokus, Shinichi! Ia tidak boleh goyah. Organisasi Hitam sudah menggaungkan pernyataan perang. Gerilya kini sudah berubah menjadi perang terbuka. Seperti iring-iringan menyambut ajal, mobil mereka melesat menuju medan perang. Entah darah siapa yang nanti akan tertumpah.

Tentu saja berbeda antara mengamankan gedung tiga lantai dengan sebuah Hotel. Mobil-mobil hitam besar VBIED milik tim penjinak bom mulai berdatangan dari markas di seluruh negeri. Helikopter polisi menurunkan personil gabungan ke atap gedung. Sementara personil Kepolisian Metropolitan Jepang berjuang mensterilkan gedung dari rakyat sipil. Keramaian itu ditambah dengan mobil-mobil van wartawan berantena yang diparkir tepat dipinggir pagar polisi. Reporter berdiri di atap van untuk memberikan laporan langsung. Semua itu diikuti massa penasaran, yang mengacungkan ponsel mereka untuk video instagram. Jalan besar di depan Hotel di blokir dan ditengah semua kekacauan itu Shinichi berdiri menghadap cetak biru gedung Marukoshi yang digelar pada bagasi depan mobil.

Laporan-laporan dari tim penyisir terdengar dari radio-radio hitam berteknologi tinggi. "Lantai satu clear, lantai dua clear—" Shinichi melihat orang-orang keluar dari gedung, berdesak-desakan dan bergerak lambat.

"Tidak cukup cepat!" seru Shinichi frustasi, ia melirik alrojinya yang detik demi detik menelan kesempatan mereka. Ia membuka teka-teki itu lagi dan mencari arti dari tiap katanya. "Pada bangunan Spiralkembang api menyala. Tepat pada festival musim panas yang membara. Semua orang berseru penuh europia. Tepat pada tengah hari yang membara—festival musim panas!" ia mendongak, sedikit terkejut saat menyadari tatapan semua agen tertuju padanya.

"Kudou-san?"

"Festival Musim panas selalu diadakan pada bulan Juli. Bulan ke tujuh, bom itu ada di lantai tujuh!"

Seketika perintah di teriakkan dan agen bergerak. "Kumohon," batin Shinichi, "Semoga sempat!"

Transmisi berderak sebelum suara jernih terdengar, "Kazama-san, lantai 7 clear! Kami tidak menemukan apapun!"

Shinichi menggigit bibir. Ujung jarinya menyentuh dagunya selagi ia berkonsentrasi, Dimana? Dimana!

"Darling," suara Akai Shuiichi terdengar, tampak seperti sedang berlari. "Aku masuk."

"Shuichi-san!—"

"Seperti katamu, bom itu pasti berada di lantai 7. Tapi kau lupa memperhitungkan kebiasaan orang Jepang yang selalu menghapus angka 4." Terdengar suara terkesiap dari agen yang ikut mendengarkan. "Aku masuk."

"Kau punya waktu kurang dari 10 menit, Shuichi-san!"

"Ara… apa aku mendengar nada khawatir?" suara napas terdengar jelas saat ia berlari.

"Jika kau sampai mati, aku akan menarikmu sendiri keluar dari neraka dan membunuhmu sekali lagi!"

"Darling, kau membuatku tersanjung. Aku yakin kau bisa menemukanku dimana pun aku berada dengan keahlianmu."

Pipi Shinichi merona, tapi ia berusaha keras menjaga ekspresinya tetap datar.

Kaito mengerang di sebelahnya, "Mo~ berhenti saling merayu!"

"KID," Shinichi menatapnya tajam.

Ia menghela napas, "Oke, oke. Aku akan jadi back-up," ia melemparkan bom asap dan menghilang dari tempat itu. Tak lama mereka bisa melihat parasut KID melayang di dekat puncak gedung.

"Shinichi," suara berat dan tenang Akai Shuichi seketika mengembalikan fokus Shinichi. "Detektor tidak bisa menemukannya dimana-pun."

Shinichi merasakan rasa darah saat ia menggigit bibirnya, mereka hanya punya waktu 3 menit. Ia menyangga tubuhnya dengan kedua tangannya sementara matanya menyusuri tiap detail yang ada di cetak biru. Lalu matanya berhenti, "Shuichi-san. Apa ada lift yang berhenti di lantai itu?"

Tak lama terdengar balasan, "Hanya ada satu dengan tanda rusak."

"Satu—lebih dari cukup. Periksa atapnya! Kau hanya punya waktu kurang dari 2 menit!" Shinichi mendongak ke arah Hotel. "KID, kau punya parasut lebih?"

Jeda sejenak. "Tentu."

"Bagus. Waspada."

"Roger."

"Kazama-san. Perintahkan Helikopter terbang rendah. Bersiap untuk menerima kargo."

Pria itu menegakkan punggung dengan mata terbelalak. "Apa rencanamu?"

"Rencana cadangan," sahut Shinichi sambil menghitung detik dalam arlojinya.

"Shit!"

"Akai-san?!" Kazama berseru.

"Bom itu dilengkapi password. Kita tidak punya waktu!"

Shinichi menghela napas, dengan nada tenang berkata, "Shuichi-san, helicopter menunggumu di atap, KID akan membawamu kesana. Ia punya parasut cadangan. Kau mengerti?"

Pria itu tertawa pelan, "Mengerti." Jawabnya, disusul suara tembakan. Kamera wartawan diarahkan ke jendela lantai 8 yang seharusnya adalah lantai 7. Gambar yang di zoom memperlihatkan sosok pria berpakaian serba gelap melompat dari sana dan di tangkap KID. Hanya sekilas tertangkap kamera, rambut pirang merah mudanya. Tapi itu sudah cukup menimbulkan spekulasi siapa pria itu.

Akai Shuichi dengan penyamaran Okiya Subaru tidak pernah membayangkan jika hari itu ia akan berakhir sebagai pemain acrobat. KID menjatuhkannya dari ketinggian dua meter dan ia mendarat sambil berputar-putar dengan gerakan terlatih. Kotak berisi bom aman dalam pelukannya. Ia menerima ransel parasut yang dilemparkan dan tidak menunggu dua kali, berlari ke arah Helikopter. "Keluar. Biar kuterbangkan sendiri," pilot polisi itu terbelalak saat melihatnya membawa paket bom yang masih berdetik. Angkanya sudah menunjukkan 56s.

Polisi itu tampak ragu saat menyadari wajah familier itu sebagai kekasih Heisei Holmes. Tapi perintah yang diteriakkan di telinganya dan ekspresi menakutkan pria itu, membuatnya akhirnya melompat keluar. Helikopter meluncur naik dengan gerakan mulus, berputar-putar menyeimbangkan tubuhnya dan melesat dengan kecepatan tinggi. Polisi muda itu berpikir, ia akan menceburkan diri ke dalam sumur jika pria itu hanya orang biasa. Siapapun dia, ia tahu tidak ada selain penegak hukum yang diperbolehkan masuk ke gedung ini, apalagi membawa bom-nya. Ia hanya mengetahui siapa pria itu dari media yang memberitakan identitasnya sebagai mahasiswa S3. Tapi kejadian ini memberinya bukti bahwa pria itu punya identitas tersembunyi. Polisi muda itu membuat gerakan mengunci bibir pada rekannya yang balas mengangguk dengan wajah tegang.

Shinichi menggenggam tangannya seolah berdoa. Tapi benaknya kosong. Ia hanya bisa menatap saat baling-baling Helikopter itu berputar membawanya terbang makin tinggi. Lautan wajah menatap ke arah langit, bersatu pada hitungan mundur tanpa suara. Semua layar menayangkan pemandangan damai yang sama, langit Beika yang biru dan tenang. Bahkan hanya ada sedikit awan. Waktu seolah berhenti, bahkan suara reporter berita tak terdengar dari tablet di atap mobil yang menunjukkan siaran sama di seluruh negeri. Ia merasa napas tiap orang berhenti, menantikan sesuatu yang akan terjadi saat Helikopter itu menghilang dari pandangan.

Shinichi merasakan setetes air mata jatuh dan lenyap di pipinya.

Lalu… dengan disaksikan oleh seluruh Jepang… waktu itu habis.

Keheningan total-lah yang mengerikan. Seolah merenggut napas. Lalu bintik cahaya muncul di langit. Titik berkilau itu mengembang, seakan memperbesar dirinya, lalu terurai di langit membentuk rangkaian cahaya menyilaukan. Seperti kembang api. Cahaya itu melesat ke segala penjuru dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Bergemuruh dengan tekanan yang sangat keras. Gemuruh itu membawa hempasan angin. Mereka semua menjatuhkan tubuh ke bawah, bergelung sambil melindungi kepala. Air mancur di halaman Hotel meledak menyemburkan airnya ke atas bersamaan dengan kaca-kaca jendela pecah. Sekelompok orang berlari menghindar salah satu van wartawan yang terguling keras. Shinichi merasakan tubuhnya di tahan oleh lengan-lengan kuat agen di sekitarnya.

Sesaat mereka semua hanya bisa termenung dalam keheningan total. Lalu keheningan itu perlahan dipecahkan oleh desiran. Desiran itu berubah menjadi gumaman. Lalu, meledak menjadi suara bergemuruh. Mendadak ada begitu banyak orang yang berteriak serempak. "Lihat! Lihat!" mereka menunjuk keatas.

Titik hitam dengan parasut rusak berayun keras di udara.

"Akai-san!"

"Shu!"

Kaito berlari melompat ke atap mobil dan rotor-nya meledak, membawanya melesat ke angkasa. Parasutnya mengarahkannya tepat menuju Shuichi dan dengan satu lengan ia menyambarnya. Mereka bertemu dalam benturan keras, tapi Kaito tidak melepas genggamannya sekalipun ia merasakan tulangnya retak.

"Shinichi. Aku akan membawa Okiya-san ke Jiji," suara Kaito terdengar di telinganya, sementara ia menatap parasut KID yang bergerak menjauh.

"Tolong jaga dia."

"Roger."

"Shinichi." Kazama-san membuka pintu mobil untuknya sambil memberi isyarat ke arah media.

Shinichi melompat masuk, tapi tidak sebelum Megure berlari diikuti Sato dan Takagi. "Kudou-kun!"

"Megure-keibu."

Mata pria itu memandang sedetik ke arah tongkat dan Kazama-san yang sedang memberikan komando dengan alat transmisi di telinganya. Gesturnya seolah memberikan kesempatan dan privasi untuk mereka berbicara. "Kudou-kun. Kau bisa mengandalkanku untuk menangani media. Tapi aku sangsi jika keterlibatanmu masih rahasia. Apa yang kau inginkan aku katakan pada mereka?"

"Sama seperti biasanya, Megure-keibu. Aku hanya informan."

"Informan kepolisian?" pria itu melirik Kazama. "Aku yakin semua yang melihat berita tahu jika lebih dari itu, Shinichi."

Shinichi membuka dan menutup mulutnya kembali. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Kazama memotongnya, "anda bisa bilang jika ia bekerja bersama PSB."

"Kazama-san!"

"Itu hanya rahasia karena B.O," sahutnya. Megure membisikkan kata B.O dengan penuh selidik. "dan sekarang mereka tahu, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Menegaskan hubunganmu dengan PSB akan lebih membuat mereka hati-hati menyerangmu."

Megure-keibu melirik Kaito, "dan KID?"

"Dia bekerja bersama kami," pria itu melihat kea rah media dan mendorong Shinichi masuk, "Saat kita bicara sekarang, surat perintah penghapusan daftar hitam dari Interpol dan PSB pasti sudah sampai ke divisi 2. Ia sudah bukan lagi buronan internasional."

Megure mengangguk. Lalu ia menatap Shinichi penuh peringatan, "Kau harus menjelaskan sesuatu padaku, Shinichi-kun."

"Keibu—"

"Paling tidak, apa yang bisa kau jelaskan," desaknya tegas. "Kami terlalu buta untuk membantumu. Dan serangan teroris ini…" pria itu menggelengkan kepalanya. "Aku yakin berhubungan dengan B.O?"

Shinichi memucat. "Megure-keibu!" sergahnya panik, "Kau tidak boleh mengatakannya pada media—"

Pria itu mengibaskan tangan, "Aku tahu. Aku akan menumpahkan semuanya pada PSB. Ini jaringan terorisme, lagi pula," pria itu menoleh kesana-kemari, memastikan tidak ada yang mengupingnya, "Kasus yang kau tangani bersama FBI?" bisiknya.

Shinichi mengangguk.

Pria itu mundur, "Kau bisa mengandalkan kami. Kau tidak sendirian, Shinichi."

Shinichi tersenyum, "Aku tahu."

Mobilnya melesat meninggalkan lokasi, tak lama diikuti mobil-mobil GTR yang lain.

"Kau melakukannya sampai sejauh itu?"

"Hm?"

"Menghapus daftar hitam KID."

"Ah…" Kazama mendorong kacamatanya. "Kita sedang menangani kasus panjang. Bisa jadi seumur hidup."

Shinichi menaikkan alis, "Jadi kau tidak khawatir jika dia mulai mencuri?"

Kazama mendengus, "Apa dia pencuri? KID selalu mengembalikan barang yang diambilnya," jeda sejenak, "Lagi pula, pencurian bukan masalah PSB."

"Heh~" Shinichi tersenyum miring, sudah tahu PSB sering menutup matanya dari apa yang mereka anggap ikan kecil demi menangkap yang lebih besar, "Kaito pasti protes. Daftar hitam itu seperti piala baginya."

"Kita akan membuatnya sibuk sebelum ia sempat memikirkan itu."

Shinichi terbangun keesokan paginya dengan demam ringan dan persendian yang sakit. Setelah roler coster kemarin, tubuhnya baru sadar hantaman yang di dapatnya setelah adrenaline menghilang. Rasa panik mengaburkan rasa sakit, dan sekarang ia merasakan hantamannya dua kali lebih besar. Untung saja Kaito sudah meninggalkan secangkir kopi di meja. Ia menghabiskan satu jam sendiri di kamar mandi dan kelelahan saat sudah keluar. Dengan energi yang terkuras itu, ia memandang lemari bajunya dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil baju paling atas. Ia mengerjap pada pakaian itu, ini bukan tipikal baju yang biasa ia pakai, alih-alih ingat pernah membelinya. Itu berarti Haibara memutuskan belanja untuknya, mungkin ia tidak tahan melihatnya memakai kemeja kebesaran. Benar juga, setelah mengecek isi lemari itu, ia sadar, baju lamanya berada pada rak paling bawah. Baju itu berupa rajutan tebal berwarna putih berlengan panjang yang cocok untuk musim dingin. Ia melengkapinya dengan jins biru terang, memberinya kesan naif dan polos, terlebih dengan tubuhnya yang masih tampak seperti anak 15 tahun.

Ia turun perlahan menuju suara televise menyala. Shinichi mengerjap saat melihat wajahnya di layar. Kaito terkikik sambil memindah saluran dan menemukan tayangan yang sama. "Ini terjadi sejak kemarin. Stasiun berita terus menayangkan hal yang sama."

"Apa untungnya menayangkan berita lama?"

"Tampaknya mereka menganalisis keterlibatanmu dan alasan serangan teroris ini. Kepolisian tidak menjelaskan penyebab dan pelakunya, melemparkan semuanya pada PSB. Tapi media tahu tak kan mendapatkan apapun dari badan intelejen itu. Jadi, mereka mengalihkan pada berita yang lebih menjual, seperti keterlibatanmu. Omong-omong, Megure-keibu mengatakan pada media jika kau bekerja dengan PSB."

"Kazama-san yang menyuruhnya bilang begitu. Dia pikir akan membuatku lebih aman jika B.O tahu PSB mem-back-up ku."

"Heh…"

"Kepolisan kini menghapus daftar hitam-mu."

"APA! Hei Shinichi! Jangan mengabaikanku. Apa makhsudmu!" serunya pada Shinichi yang pergi keluar, "Jangan keluar!"

"Apa?!"

"Lihat," pemuda itu menyibakkan tirai. Di depan pagar rumahnya berkumpul banyak wartawan.

"Bagus. Sekarang aku bahkan tidak bisa keluar!" suara klakson dan keriuhan tiba-tiba membuat Shinichi mendongak. Ia melihat mobil Okiya Subaru masuk diikuti beberapa mobil yang ia ingat milik para agen FBI. Tak lama beberapa orang keluar untuk menghalau wartawan, dan pria berambut pirang merah muda keluar. Shinichi membuka pintu sebelum pria itu meraihnya.

Ia tersenyum miring selagi Shinichi memindainya. "Hanya rusuk retak dan kehilangan kesadaran," pria itu menyentil dahinya, "Apa kau sudah makan?"

Shinichi menggeleng.

"Kau ingin makan diluar? Aku kelaparan."

"Em…" Shinichi melihat banyak wartawan yang masih bergerombol disana, tapi tidak menghalangi jalan. Lalu ia mengangguk.

"Bagus. Aku menemukan kafe baru, kudengar cake disana enak." Pria itu membantu Shinichi menuruni undakan, "Kau tidak ikut, Kuroba-kun?"

"Nah," pemuda itu mengibaskan tangan, "Aku mau jadi obat nyamuk." Shinichi merona dan menusuknya dengan pandangan tajam. "Tapi kalau kau mau berbaik hati membawa oleh-oleh…" ia menyengir.

"Tentu. Duluan, darling," katanya sambil membuka pintu mobil. Shinichi memutar bola matanya.

Kafe itu terletak tak jauh dari SD Teitan. Jadi, wajar saja jika berpapasan dengan detektif cilik disana. Terutama karena itu kafe baru dan sedang banyak promo. Mereka sedang makan bersama professor Agasa dan Haibara saat Shinichi masuk. Tatapan ketiga detektif cilik itu tiba-tiba berbinar dan mereka saling menyiku satu sama lain seolah tidak percaya orang yang berdiri di depannya adalah Kudou Shinichi.

Ia melemparkan pandangan menusuk pada Subaru yang pasti sudah merencanakannya bersama Haibara dengan misi mereka untuk mengembangkan kehidupan sosialnya. Menghela napas, Shinichi berjalan mendekat, "Profesor, Haibara-chan."

"Oh! Shinichi-kun! Kebetulan sekali kita bertemu disini." seru pria itu seolah ia belum tahu Shinichi akan kesini. Tapi mengenalnya bertahun-tahun membuatnya bisa melihat dibalik senyum riang itu ada professor yang gelisah karena tidak bisa berbohong. Ia menahan diri untuk tidak memutar bola matanya di depan anak-anak.

"Yeah," ia melirik detektif cilik, "Dan kalian?"

"Kami detektif cilik!" seru mereka. "Perkenalkan, namaku Tsuburaya Mitsuhiko, ini Yoshida Ayumi— "

"Salam kenal!" seru gadis itu.

"Namaku Genta!"

"—dan Kojima Genta."

Subaru menarik kursi untuknya dan membantunya duduk, seolah ia tidak bisa melakukannya sendiri saja! Shinichi mengernyit padanya, tapi pria itu hanya memasang tampang polos.

"Salam kenal," ia mengangguk singkat pada ketiga anak itu, "Kudou Shinichi."

"Kami tahu!" seru Ayumi.

"Kami melihatmu di TV! Juga Conan sering bercerita tentangmu," sahut Genta. Nama Conan yang disebut membuat suasana tiba-tiba muram.

Tatapan Shinichi melembut. "Hm… Ah…Conan-kun? dia salah satu detektif cilik juga?"

Mereka memberikan seruan afermatif, "dia sangat pintar."

"dan dewasa…" Ayumi menatap sedih, "Tapi Conan-kun tiba-tiba harus kembali ke Amerika. Ia bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal…"

"Ayumi-chan…"

"Aku tahu, professor. Seperti yang kau bilang, ia pergi untuk tinggal bersama orang tuanya. Tentu saja aku senang ia akhirnya bisa bersama mereka, tapi…" lalu tiba-tiba gadis itu mendongak, "Shinichi nii-san, kau adalah sepupu Conan-kun, kan? Apa kau bisa menghubungkan kami dengannya?" Tanya-nya sambil berkaca-kaca.

Shinichi menelan ludah, berhadapan dengan tiga mata penuh harap. "Maaf. Aku tidak bisa melakukannya." Ketiga detektif cilik itu berseru protes, sebelum akhirnya ditenangkan Haibara.

"Aku yakin Conan-kun dan Shinichi nii-san punya alasan," sahut gadis itu sambil matanya menusuk Shinichi tajam.

"Ah…" ia memandang ke atas, tak mampu menatap mereka sambil berbohong, "Itu karena, satu-satunya jalan untuk menghubungi Conan hanya lewat FBI," terdengar suara-suara terkesiap, "dan itu hanya dilakukan untuk urusan darurat saja."

"Apa Conan terlibat hal berbahaya?!" seru Ayumi.

"Ah, tenang saja. Ia berada di tempat paling aman—"

"Apa itu berarti FBI sedang melindunginya? Apa ini ada hubungannya dengan orang tuanya?" lalu mata Mitsuhiko jatuh ke tongkat Shinichi, "Apa ini berhubungan dengan kasus yang kau tangani?" anak laki-laki itu merona melihat Shinichi menatapnya penuh selidik, "Um… kupikir itu aneh saat kau kembali dan Conan menghilang. Lagi pula sejak kau kembali, kau langsung terlibat dengan kasus besar. Juga penyiar berita bilang kau terlibat dengan PSB, walau aku tidak tahu apa itu, tapi sepertinya penting."

"Itu seperti FBI di Jepang," sahut Okiya.

"Bukankah itu seperti agen rahasia!?"

"Mata-mata!"

"Bodoh, itu CIA!"

"Apa itu mirip 007?" Genta menoleh pada Subaru.

"Ah… kurang lebih."

"Wooow!" seru mereka bersamaan. Shinichi tersenyum susah.

"Jadi," ia mengalihkan pembicaraan, "Karena itu aku ingin kalian berhati-hati. Sebagai teman Conan dan detektif cilik, mungkin akan ada orang berbahaya yang ingin mencaritahu tentang Conan."

Mereka bertiga mengangguk dengan ekspresi serius. "Kami akan membantu Conan! Jika ada orang jahat yang memburunya, kami detektif cilik akan menghentikannya!"

Shinichi memucat, "Tidak!" serunya sambil menggebrak meja. Membuat semua orang berjingkat kaget dan ekspresi ketiga anak itu ketakutan. "Kalian tidak boleh mengikuti mereka atau berusaha menyelidiki sendiri. Mereka orang yang berbahaya."

"Tapi—"

"Kau bilang Conan pintar, bukan?" mereka mengangguk, "Kalian yakin ia bisa menangkap penjahat manapun dengan kecerdasannya?" mereka mengangguk lagi. Haibara menaikkan alis, penasaran kemana arah pembicaraan ini tertuju. "Dan lihat apa yang dilakukannya. Ia pergi, bersembunyi. Conan yang cerdas tahu bahwa ini bukan kasus yang bisa ia tangani. Jika kalian ingin membantu Conan, jangan terlibat hal berbahaya dan membuatnya khawatir. Kalian mengerti?"

Mereka perlahan mengangguk. "Shinichi nii-san… apa kau sedang menyelidikinya?"

Shinichi mengangguk.

"Kami mengerti. Kami akan waspada pada orang jahat dan menghubungimu saat menemukan mereka."

Kemudian, sisa waktu yang tersisa, mereka habiskan untuk menikmati cake. Tidak butuh waktu lama untuk anak-anak itu kembali ceria. Shinichi berakhir mengikuti mereka jalan-jalan di taman.

"Trims, Subaru-san…"

"Hm?"

"Aku tidak tahu jika aku membutuhkan itu… berbicara dengan mereka," Shinichi menatap sedih ke arah anak-anak yang berjalan di depannya bersama professor Agasa.

"Sure, darling."

Subaru berjalan di belakangnya sambil tersenyum dan tampak tak berbahaya. Padahal, matanya menyapu ke seluruh penjuru secara periodik. Mengawasi tiap ancaman sambil sesekali menanggapi ocehan detektif cilik. Saat itu lah tiba-tiba ia melihat Shinichi berhenti, wajahnya pucat dan ia menatap ke kejauhan. Subaru tidak bisa menemukan apapun dari arah pandangannya. Tapi ia tahu pasti ada penyebab dari Shinichi yang tiba-tiba gemetar hebat.

Subaru bergerak menutupi Shinichi, "Shinichi-kun?"

"Aku merasa ada orang yang menatapku—" ia memeluk tubuhnya.

"Aku tidak melihat siapapun."

Shinichi mengusap wajahnya, "Jika kau tidak merasakannya, mungkin cuma perasaanku saja…" ia tersenyum lemah.

Subaru hanya menatapnya, berdiri waspada disisinya dengan tangan aman di pinggangnya. Ia yakin, apapun itu bukan hanya Shinichi yang sedang paranoid.

Bersambung.

A/N: Aku bingung dengan penggunaan nama Akai. Yang benar itu Shuichi atau Shuuichi? karena ada perbedaan terjemahan di anime dan manga, juga di AO3 dan FFN dan google menyalahkanku saat memakai Shuuichi! Hahaha kebingungan ini membuatku galau.