CHARMSPEAK BUT NOT CHARMING

* . · ✹

✧ ✷ · * ·

END

[ A FOOL FOR YOU Pt. 2 ]

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Begitu melihat Chanyeol berderap marah keluar dari ruang klub, Sehun tahu mereka dalam masalah besar—pasalnya, Chanyeol bukan tipe orang yang emosinya mudah tersulut. Tapi terus terang saja, kasus yang mereka tangani satu bulan belakangan ini agak meresahkan. Bagaimana mungkin mahasiswa kampus mereka bisa bersikap begitu rendah dengan mencorat-coreti loker mahasiswa lain yang notabenenya populer? Mereka bukan di SMA lagi.

"Dimana tadi?" tanya Chanyeol dengan napas tersengal menahan marah.

"Eh," Sehun panik, "belok kiri, naik tangga ke lantai dua, di samping ruangan akademik."

Mereka tidak pernah ke gedung fakultas Sastra Inggris—gedung jurusan Junmyeon—sebelumnya. Tapi Junmyeon mengirimkan alamat kelasnya tersebut kepada Sehun lewat pesan, beserta video sembunyi-sembunyi yang menangkap basah Moon Taeil sedang menuliskan sesuatu pada sticky notes di pintu loker Baekhyun.

Junmyeon tidak sengaja menangkap basah pria itu sedang menuliskan kata murahan menggunakan spidol merah pada sticky notes dan segera merekamnya diam-diam menggunakan kamera ponsel, lalu mengirimnya kepada Sehun.

Begitu mereka sampai di ambang pintu, Chanyeol setengah berlari menuju Moon Taeil yang sedang diinterogasi oleh Junmyeon—duduk diam dan basah oleh keringat dinginnya sendiri—Chanyeol hampir menerjang pria itu, tapi Junmyeon menahan lengannya.

Satu hal yang tampak ganjil adalah bahwa meski hanya bersama Junmyeon, Taeil tampaknya cukup ketakutan—jelas sekali matanya memancarkan kengerian begitu ia melihat Junmyeon. Sehun jadi bergidik. Junmyeon berpostur lebih pendek dari Sehun dan Chanyeol, tapi tubuh pria yang lebih tua itu sangat atletis—Sehun yakin kepal tinjunya bisa membuat Taeil ambruk dalam sekali pukulan dengan hidung mengucurkan darah.

Sehun mendengar Chanyeol menggeram rendah, membuat pria itu tersenyum tipis. Hyung-nya yang satu itu benar-benar sudah tamat—dia jelas naksir berat kepada Baekhyun. Kalau tidak, maka ia jelas tidak akan bertindak sejauh ini.

Agak mengejutkan, sebenarnya. Sehun ingat Chanyeol menyukai beberapa hal—makanan manis, gitar, menulis lirik—tapi bukan makhluk hidup.

Sekarang, list-nya bertambah satu; Baekhyun.

Sepertinya yang terakhir itu membuatnya mabuk kepayang sehingga kandidat itu naik peringkat menduduki tempat pertama, mengalahkan kandidat makanan manis.

Sebelum Junmyeon sempat menghentikan pria tinggi itu lagi, Chanyeol telah meraih kerah Taeil dan menggengamnya geram, mengangkat kerah pria itu tinggi-tinggi sehingga Taeil terpaksa berdiri dengan ujung sepatu menyentuh lantai.

"Kenapa kau melakukannya?!" Chanyeol membentak, tidak repot-repot menggunakan kalimat formal kepada pria itu.

Sehun mendekati pria itu dan menepuk pundaknya, memberinya tatapan santai saja, hyung. Tapi Chanyeol mengacuhkannya. Sehun memutuskan untuk tidak menahan Chanyeol lebih jauh. Ia menarik kursi dan duduk, menyilangkan kakinya dengan ekspresi penuh minat. Chanyeol tidak pernah marah—tidak sekalipun selama Sehun mengenal pria itu. Tapi hari ini pengecualian—ia kepingin melihat Chanyeol setidaknya melayangkan satu jotosan.

"Bu-bukan aku!" suara Taeil bergetar dan panik.

Di belakang Chanyeol, Junmyeon menyeringai. "Kau yakin? Lalu siapa yang ada di video ini? Dopplegangermu?" pria itu berjalan mendekat, membuat Chanyeol menghempaskan genggamannya pada Taeil. Taeil hampir tersungkur dari bangkunya karena kakinya bergetar.

Sehun hampir tertawa—demi Tuhan, mereka bukan tukang gencet, tapi ternyata menggencet orang tidak sesulit yang Sehun perkirakan. Mereka bahkan belum melakukan apapun, tapi Taeil sudah gemetar seakan menahan kencing.

Setidaknya, begitu yang Sehun pikir. Tapi ternyata setelah meneliti ekspresi mengerikan Junmyeon, Sehun akhirnya tahu bahwa Taeil sangat takut terhadap hyung-nya yang paling tua itu.

Alasannya? Sehun masih tidak tahu.

Sehun harus mengatakan kepada diri sendiri bahwa Junmyeon bukan orang jahat (hey, dia mentraktir Sehun makan, menebenginya pulang, meminjaminya mobil dan terkadang ponsel. Mereka praktis kakak-adik yang senang berbagi—atau Sehun yang senang meminta-minta, lebih tepatnya).

"Kau tahu, Taeil." Junmyeon melanjutkan dengan suara pura-pura prihatin, "nilai akademismu bahkan tidak bagus. Bagaimana jadinya kalau video ini sampai ke akademik—yang jaraknya hanya beberapa meter dari kelas kita, omong-omong."

Sehun mengeluarkan seringai takjub. Junmyeon hyung gila. Dia benar-benar terdengar seperti tukang gencet kelas wahid sekarang.

Taeil melambai-lambaikan telapak tangannya ke depan tubuh dengan panik. "Ti-tidak, jangan. Kumohon."

"Kalau begitu, bicara." Kata Junmyeon akhirnya.

Taeil memandangi Chanyeol dan Junmyeon bergantian dengan wajah takut, ekspresinya menimbang-nimbang. Tapi akhirnya ia mengeluarkan ponsel dan menyerahkannya kepada Junmyeon. Chanyeol meneliti gerak-geriknya dengan mata setajam pisau.

"Ada grup," Taeil memulai, "anggotanya tujuh orang."

Junmyeon mengerutkan kening, matanya terpaku pada layar ponsel Taeil dan jemarinya bergerak lincah di atas layar. "Maksudmu grup dengan nama Kaum Pembantai Baekhyun?"

Mata Chanyeol melotot, menarik kerah pria itu lagi. "Kau yang bakal kubantai, sialan."

Sehun tak kuasa mengeluarkan tawa kecil—Junmyeon dan Chanyeol mengalihkan tatapan laser mereka kepada pria itu. "Sorry." Cicitnya.

Junmyeon kembali mengalihkan tatapannya kepada Taeil. "Lalu?"

"Kau bisa cek profile anggota grup itu." ucap Taeil, "enam diantaranya punya foto profil—termasuk aku. Tapi satunya tidak."

Mata Junmyeon masih terpaku di layar ponsel Taeil. "Usernamenya Pacman? Foto profilnya hanya layar hitam."

Taeil mengangguk. "Dia otak dari semua tindakan. Kami hanya kaki tangan." Suara Taeil terdengar seperti seorang korban, meminta belas kasih. "Aku juga baru melakukannya satu kali—baru hari ini ketika kau memergokiku. Sisanya mahasiswi tahun pertama—Boram, Minah dan Seri yang sering melakukannya."

Sehun memutar bola matanya jengah. Pria ini sama sekali tidak punya otak. Umur jelas tidak menentukan tingkat perilaku dewasa seseorang. Sebelum Chanyeol sempat menonjok wajahnya, Sehun meraih beberapa kertas yang tergeletak di dekat kakinya, meremukkan kertas itu dan melemparkannya kepada Taeil—tepat mengenai pelipisnya.

Taeil menoleh kepada Sehun dengan wajah galak.

Persetan kalau kau senior, pikir Sehun.

"Lalu menurutmu, sunbae," kata Sehun dengan jijik yang kentara, "kau setuju saja melakukan apa yang Pacman itu katakan kepadamu?"

Untuk satu detik, Taeil nampak tertegun, namun wajahnya kembali mengeras. "Kalian seharusnya melakukan ini kepada Baekhyun." Katanya marah, "bukan kepadaku. Aku hanya korban disini!"

Sehun bisa melihat darah naik ke ubun-ubun Chanyeol, "APA KATAMU?!"

Pria itu kembali ciut. "Tidakkah kau berpikir ini semua salahnya?!" Taeil mulai berteriak histeris. "Siapa suruh ia selalu menggibas-ngibaskan ekornya seperti anjing sedang birahi kepada semua orang? Dia itu binal. Menjilati siapapun tapi tidak juga menerima siapapun."

Waduh, gawat, pikir Sehun. Alarm berbunyi nyaring di kepalanya ketika ia melirik kepalan tangan Chanyeol yang berbentuk seperti godam seberat 10 kilo.

Sehun memang menyukai ide bahwa Chanyeol harus sesekali menjotos orang, tapi kalau dia sedang marah seperti itu, nyawa Taeil bisa melayang.

Sebelum Chanyeol sempat melayangkan tinjunya dan sebelum Sehun campur tangan, Junmyeon sudah melompat lebih dulu dan menerjang Taeil hingga pria itu terlentang ke belakang sembari memegangi dada, meringkuk di lantai.

"Bangsat sialan," maki Junmyeon yang membuat mata Sehun melebar, "bukankah kau juga mengekori Baekhyun kemana-mana seperti anjing birahi? Kau sinting ya?"

Taeil tersengal dengan suara penuh dendam. "Bahkan setelah semua perhatian yang kuberikan, Baekhyun tidak pernah melirikku!"

Chanyeol berderap seperti orang kesetanan seakan hendak mencabik-cabik Taeil, dan Junmyeon berhasil menahan dadanya—lagi.

"Salahkan wajahmu yang tidak rupawan kalau Baekhyun ternyata menolakmu." Junmyeon mendengus. "Lagi pula, bukan salah Baekhyun kalau dia terlahir dengan wajah sempurna dengan banyak penggemar—hidup tidak adil, teman. Jangan pahit begitu. Kau terlihat menyedihkan hanya karena Baekhyun tidak memilihmu."

Sehun yakin dirinya baru saja merona—sebagian dirinya ingin berteriak JUNMYEON HYUNG KAU KEREN SEKALI!

Taeil mengaduh, seiring dengan tarikan napas Chanyeol yang sedang berusaha mengendalikan diri.

"Jauh-jauh dari Baekhyun." Kata Chanyeol dengan nada memperingati. "Kau bersyukur aku tidak melakukan apapun padamu kali ini. Tapi jika nanti aku menangkap basah kau masih melakukan hal rendahan semacam ini—" Chanyeol tertawa sinting, "kau bisa mati, bung."

Chanyeol benar, Sehun menyetujuinya. Taeil harus bersyukur bukan Chanyeol yang menghajarnya—karena kalau demikian, mereka bertiga harus repot mencari rencana untuk menyembunyikan mayat hari ini.

"Sekarang," lanjut Chanyeol, "katakan siapa si Pacman ini."

Pria yang terlentang itu batuk-batuk, berusaha untuk duduk. Wajahnya merah, ekspresinya menahan sakit. Ia menggeleng lemah. "Aku tidak tahu."

Chanyeol menyalak. "Bagaimana mungkin kau tidak tahu?!"

"Aku sungguh tidak tahu." Suara Taeil memelas. "Kami tidak pernah bertemu. Hanya bertukar pesan di grup. Dia mengundangku ke grup itu beberapa bulan lalu, berkata bahwa kami adalah kaum yang Baekhyun sia-siakan, dan Baekhyun harus menerima pembalasan atas itu. Sejauh ini memang hanya tujuh orang, tapi aku yakin Pacman berusaha untuk merekrut lebih banyak orang."

Apa-apaan? Pikir Sehun sambil mengerutkan hidung jijik. Kaum? Memangnya mereka ini sejenis sekte?

Ekspresi Junmyeon menunjukkan bahwa ia bisa muntah kapan saja. "For fuck sake Taeil, it's not that deep."

Sehun jarang sekali mendengar Junmyeon menyumpah, dan tiap kali ia melakukannya, pria itu selalu mengatakannya dalam bahasa Inggris—seksi.

"Kau tidak tahu rasanya!" Taeil histeris. "Baekhyun selalu berbicara kepadaku dengan suara manis, bahkan sebelum aku menyadarinya, dia membuatku melakukan ini-itu tanpa bisa kutolak! Bukan hanya ia juga melakukan itu pada semua orang, tapi bahkan setelah aku melakukan semua yang ia inginkan… dia—"

"Tutup mulut!" untuk pertama kalinya, Sehun membentak pria itu, bahkan membuang kalimat formalnya. Sehun tidak peduli dengan kenyataan bahwa ia berada di tahun pertama sementara Taeil adalah senior kampusnya. Pria ini sakit.

Chanyeol terlihat jelas sekali berusaha untuk mengendalikan diri. Sehun bisa merasakan rasa muak hyung-nya itu tiap kali Taeil mengucapkan nama Baekhyun. "Kau sungguh tidak mengetahui siapa Pacman?" Chanyeol mengulangi pertanyaannya.

"Tidak." Taeil menggeleng lagi. "Aku bersumpah."

Junmyeon kemudian menyerahkan ponsel Taeil yang sedari tadi ia genggam kepada Chanyeol. "Kau dengar Chanyeol, Taeil. Jangan pernah terlibat dalam hal menjijikkan seperti ini lagi. Jadilah manusia yang layak. Kau tidak serendah ini."

Taeil tidak menyahut.

"Untuk sementara waktu, aku menyita ponselmu." Lanjut Junmyeon.

Taeil seperti hendak protes, tapi Junmyeon dan Chanyeol serentak berbalik dan memunggungi pria itu.

Sehun mengekori kedua hyung-nya.


Chanyeol teringat perkataan Junmyeon sebelum mereka pulang tadi.

Apa kau punya rencana?

Ia menimbang-nimbang ponsel Taeil di tangannya. Jawabannya mungkin ya—Chanyeol bahkan sudah melancarkan rencana itu, tapi Chanyeol yakin dirinya tidak akan menyukai rencananya. Tapi meski begitu, ia memamparkan rencanaya kepada Junmyeon dan Sehun. Ketika ia selesai berbicara, Sehun dan Junmyeon tampak sama engannya dengan Chanyeol.

Pria itu teringat omongan Sehun setelahnya. Kau yakin, hyung?

Tidak. Pikirnya. Ia tidak suka bahwa rencana ini mungkin akan melibatkan Baekhyun. Chanyeol ingin menyembunyikan kenyataan bahwa ada sekte sinting bernama Kaum Pembantai Baekhyun yang berusaha mem-bully pria manis itu. Tapi di sisi lain, Chanyeol juga ingin Baekhyun bersikap dewasa—dan bersikap dewasa kadang bisa membuat kita terluka.

Chanyeol menghela napas. Ia bersandar di bahu kasurnya sambil memetik melodi acak dari gitar akustiknya. Sejurus kemudian, ia teringat perkataan Taeil tadi sore.

Siapa suruh ia selalu menggibas-ngibaskan ekornya seperti anjing sedang birahi kepada semua orang? Dia itu binal. Menjilati siapapun tapi tidak juga menerima siapapun.

Kalimat itu membuat telinga Chanyeol berdenging—anjing birahi saja sudah buruk, tapi Taeil berpikir makian itu belum cukup dan menambahkan kata binal disana. Baekhyun bukan orang seperti itu. Dia mungkin agak sedikit kelewat menikmati semua perhatian yang tertuju padanya, tapi Chanyeol percaya Baekhyun bukan orang seperti itu.

Kau tidak tahu rasanya! Baekhyun selalu berbicara kepadaku dengan suara manis, bahkan sebelum aku menyadarinya, dia membuatku melakukan ini-itu tanpa bisa kutolak! Bukan hanya ia juga melakukan itu pada semua orang, tapi bahkan setelah aku melakukan semua yang ia inginkan…

Chanyeol membenci dirinya karena ia bisa merasakan apa yang sesungguhnya Taeil rasakan. Chanyeol yakin dirinya bukan orang yang tamak karena ia cukup senang hanya dengan menikmati Baekhyun dari jauh. Tapi sekarang, setelah insiden dimana Baekhyun bilang ia menyukai Chanyeol dan akhirnya mereka resmi berkencan, Chanyeol seperti bisa merasakan kegetiran Taeil.

Bagaimana jika Baekhyun masih melakukannya—menggoda orang lain?

Chanyeol membenci dirinya karena meragukan Baekhyun.

Bahkan saat sedang bersama saja, Baekhyun selalu nampak gusar. Chanyeol tidak pernah melihat Baekhyun tersenyum selama mereka bersama. Chanyeol memang sepayah itu. Dia mengeluarkan kalimat-kalimat buruk kalau dia gugup—jelas sekali melukai hati Baekhyun sekarang.

Sejurus kemudian, jantungnya melompat ketika ponselnya bergetar lembut. Satu pesan masuk—pertahanan Chanyeol serasa roboh begitu ia melihat nama yang tertera—hanya satu huruf; B.

Tangannya membuka pesan itu secepat kilat—kepalanya melayang lagi memikirkan kencan pertama mereka hari ini—kencan yang buruk, jelas saja. Tapi membuat Chanyeol sangat bahagia. Ia mengingat ujung jemarinya yang menyentuh kening Baekhyun—jemarinya berkedut hebat lagi sekarang.

Sibuk?

Hanya satu kata, tapi senyum Chanyeol mengembang lebar.

Chanyeol mengambil terlalu banyak waktu untuk memikirkan balasan itu. Tangannya sudah mengetik 'tidak' tapi kembali menghapus, lalu menuliskan hal yang sama dan menghapusnya lagi—entah untuk yang keberapa kalinya.

Pria itu hampir melemparkan ponselnya ke seberang ruangan ketika ponselnya bergetar lagi—kali ini getarannya lebih panjang.

Incoming call: B

Dadanya mulai sesak lagi. Ia menggeleng kuat, berusaha menjernihkan kepalanya.

Oke Chanyeol, santai saja. Ingat kata Sehun; JANGAN TEGANG.

Chanyeol menekan tombol hijau. "Ya?" suaranya keluar sangat mulus dan terkesan malas dari yang ia perkirakan—sial. Chanyeol memukul kepalanya kuat ketika ia mendengar Baekhyun mendesah sedih.

"Kau tidak membalas pesanku, jadi kupikir kau memang sibuk?" suaranya yang manis benar-benar membuat Chanyeol mampu menghantamkan kepalanya ke dinding kamar sekarang. Chanyeol memeluk gitarnya makin kuat, berharap gitar akustik itu Baekhyun.

"Tidak juga." Kata Chanyeol kalem. Ia menjauhkan ponsel dari telinga dan menarik napas lalu membuangnya cepat.

"—lagu."

Chanyeol mengepalkan tangan. Ia tidak menangkap kalimat Baekhyun sepenuhnya karena sedang berusaha mengatur napas tadi. "Maaf?" balas Chanyeol dengan suara yang terkesan seperti sori, aku tidak mendengarmu karena kau tidak penting. Apa tadi?

Baekhyun mendesah lagi. "Apa kau memang sebegitu sibuknya sampai tidak bisa berbicara padaku?"

Suara Chanyeol mulai panik. "Tidak!"

Ada jeda lama. "Ya sudah, jangan membentakku seperti itu." Chanyeol bisa mendengar suara merajuk Baekhyun ketika ia mengucapkan itu dan berusaha kuat menahan diri untuk tidak membayangkan wajah kesal Baekhyun yang sangat menggemaskan—bibirnya menekuk lucu, pipi menggembung, tatapan galak—cukup.

Aku tidak sedang membentakmu, pikir Chanyeol nelangsa. Kenapa dirinya menyedihkan sekali, sih?

"Maaf." Kata Chanyeol pelan dan sungguh-sungguh.

"Kau bisa ucapkan kalimat lain yang lebih dari satu kata?" suara Baekhyun jengkel.

Seperti apa? Chanyeol membatin, tapi tidak menyuarakannya. Sudah bagus aku bisa buka mulut dan bukan mengap-mengap kehabisan napas karena berbicara denganmu.

Chanyeol teringat lagu yang baru-baru ini ia coba mainkan. Ia menekan tombol loudspeaker pada layar ponsel dan meletakkannya di atas kasur. Punggungnya mulai tegak, mengambil posisi hendak memetik gitar.

Baekhyun pasti mendengar bunyi kasak-kusuk itu, karena ia bertanya, "Chanyeol? Kau masih disana?"

Mulut Chanyeol terkatup rapat, namun jemarinya mulai bermain dengan piawai. Ia bisa mendengar Baekhyun terkesiap, tapi si mungil itu tidak mengatakan apa-apa. Chanyeol tidak terlalu percaya diri dengan suaranya, jadi ia memetik gitar sembari bersenandung setengah hati—berusaha untuk membuat jemarinya tidak gemetar dan senandung lirih dari tenggorokannya pecah.

Chanyeol tidak tahu berapa lama ia mengulang chorus itu, kemudian memberanikan diri untuk bernyanyi dengan lembut pada lirik terakhirnya. "You're my, my, my, my…" Chanyeol menarik napas dan menghembuskannya dengan sepenuh hati, "lover."

Sejurus kemudian, Chanyeol bisa mendengar Baekhyun mengeluarkan helaan napas seperti sedang tersenyum. Chanyeol berhenti memetik gitarnya.

"Lover—Taylor Swift." Suara Baekhyun mengalir dengan jernih, seakan pria mungil itu sedang berada di samping Chanyeol. "Aku suka lagu itu."

Kedua sudut bibir Chanyeol membentuk senyum lebar sekarang—kenyataan bahwa selera musik mereka juga sama membuat jantungnya baru saja berhenti selama sedetik.

"Nyanyikan sekali lagi, ya? Hm, hm? Please?"

Chanyeol menyeringai. Nada suara Baekhyun yang manja sedikit membuat jemari Chanyeol tergelincir ketika ia hendak memainkan kunci lagunya. Ia bersumpah akan memberikan apapun untuk berada di hadapan Baekhyun dan mendengar kalimat permohonan itu dari bibirnya secara langsung, ditambah dengan ekspresi manisnya.

Kali ini, Chanyeol memberanikan diri untuk bernyanyi—masih dengan suara yang lirih. "Can I go, where you go?" Baekhyun mulai menyenandungkan lirik yang sama, senyum Chanyeol melembut. Ia sungguh bisa merasakan kehadiran Baekhyun di sisinya—dan demi Tuhan, suaranya sangat indah sampai Chanyeol merasa sesuatu membuncah dari dalam dadanya. "Can we always, be this close? Forever and ever and oh, take me out, take me home. You're my, my, my, my… lover."

Ada keheningan yang sangat menenangkan setelah itu, ditemani oleh petikan gitar Chanyeol.

"I really like you, you know."

Petikan gitar berhenti. Chanyeol mematung, merasakan perasaan hangat membakar seluruh tubuhnya—matanya mulai panas. Sejujurnya, Chanyeol adalah tipe orang yang mudah tersentuh, dan sedikit cengeng. Chanyeol yakin otaknya mengalami malfungsi lagi karena ia tidak membalas perkataan Baekhyun, hanya menikmati sensasi luar biasa yang kalimat itu bisa lakukan di seluruh tubuhnya—degup jantungnya yang menggila, sensasi membakar di sekujur kulitnya, perasaan terik di dasar perut.

"Eh, baiklah." Kata Baekhyun dengan suara yang terkejut, sepertinya baru menyadari bahwa dirinya mengucapkan kalimat barusan keras-keras. "Terima kasih untuk lagunya. Selamat mal—"

"Baekhyun." Chanyeol tiba-tiba bersuara. Ia tidak bisa menjadi pengecut seperti ini. Seluruh tubuhnya dijalari perasaan hangat yang menggetarkan ketika ia mengucapkan nama itu. Meski pikirannya kosong, Chanyeol tahu ia harus mengucapkannya—karena kalau tidak, ia bisa mati dengan menanggung seluruh penyesalan terburuk dalam hidupnya. Pasti.

"Ya?" Baekhyun menguap, suaranya terdengar mengantuk.

"I love you more."

Bunyi terkesiap sekali sebagai balasan, lalu jeda lagi untuk beberapa saat. Smbungan di seberang telepon terdengar sangat sunyi.

"Ja-jangan tutup… te-teleponnya." Seperti biasa, keberanian itu hanya muncul secara kilat, lantaran suaranya kembali mengkhianatinya. Chanyeol berdeham pelan, menelan ludah kasar. "Aku—eh, itu… umm… aku akan… uh, anu… menyanyikan lagu sampai kau tertidur—itupun kalau kau mau. Kalau tidak—"

"Tentu." Chanyeol bisa mendengar senyum dari kalimat Baekhyun.

Takut dirinya mengocehkan omong kosong lagi, Chanyeol memutar otak dan mencari lagu yang pas untuk penghantar tidur. Jemarinya mulai memetik senar gitar lagi, senandung halus dengan suara berat memenuhi kesunyian mereka.

Beberapa puluh menit berlalu, dan Chanyeol bisa mendengar suara napas Baekhyun yang halus, rapuh, dan teratur.

Chanyeol membiarkan dirinya memainkan beberapa melodi lain.

Sudah dini hari ketika Chanyeol memutuskan untuk memutuskan sambungan telepon. Namun sebelum ia melakukannya, Chanyeol membawa ponsel ke bibir. "Sweet dreams, angel." Bisiknya, kemdudian mengecup pelan layar ponselnya.

Layaknya orang idiot, senyum lebar yang terpatri di wajahnya tak kunjung meluntur.

Tapi kemudian dentingan notifikasi ponsel membuyarkan fantasinya. Chanyeol menyadari bahwa itu adalah notifikasi ponsel Taeil. Ia merampas ponsel yang tergeletak di dekat bantal, lalu mengeceknya.

Pacman membalas usulan Chanyeol (yang berpura-pura menjadi Taeil) di grup. Selain Taeil, isi penghuni grup adalah kaum hawa yang memiliki alasan sama; cemburu kepada paras rupawan Baekhyun—hal ini Chanyeol ketahui dari membaca history chat mereka yang berisi tentang hinaan-hinaan kepada Baekhyun. Kebanyakan dari mereka berkata bahwa kecantikan Baekhyun adalah 100% didapatkan dari operasi plastik (membuat Chanyeol tanpa sengaja memutar bola matanya kesal). Orang bodoh yang baru pertama kali melihat Baekhyun juga tahu bahwa paras rupawan yang ia miliki itu alami—jelas saja warisan dari orang tuanya. Selain itu, ada juga si Pacman sinting yang Chanyeol masih belum ketahui gendernya.

Sebelumnya, Chanyeol membuka membiarkan telunjuknya untuk men-scroll layar ke atas dan kembali membaca usulan yang ia paparkan.

[Taeil] : Sepertinya pesan-pesan kita selama ini tidak tersampaikan dengan benar kepada Baekhyun.

[Boram] : Tuh, 'kan. Kubilang juga apa. Pantas saja si jalang itu masih terlihat hepi-hepi saja.

[Hyunjoo] : Taeil sunbae, aku kali ini menyerah saja.

[Taeil] : Kenapa?

[Hyunjoo] : Agak keterlaluan, menurutku.

[Seri] : Taeil sunbae, halo!

[Taeil] : Halo, Seri.

[Seri] : Eh, Hyunjoo! Apanya yang keterlaluan?!

[Taeil] : Ladies, tenang dulu. Aku punya rencana.

[Minah] : Rencana?

[Taeil] : Yep.

[Taeil] : Kurasa Baekhyun juga sama sekali tidak terpengaruh dengan pesan-pesan yang kita tinggalkan di lokernya. Menurutku, ada yang berusaha melindunginya sehingga pesan itu tidak sampai.

[Taeil] : Kita harus benar-benar menyampaikan pesan itu kepada Baekhyun secara langsung.

[Boram] : Caranya?

[Taeil] : Tasnya.

[Dana] : Halo semuanya! Oh, rencana baru ya? Bagus!

[Dana] : Apa maksudnya dengan tasnya, sunbae?

[Taeil] : Maksudku, pesan-pesan kalian yang penuh kasih sayang itu, bagaimana kalau kita masukkan semua ke dalam tasnya?

[Minah] : Wah.

[Seri] : Aduh, terlalu beresiko, sunbae. Aku tidak mau melakukannya.

[Boram] : Aku juga tidak…..

[Hyunjoo] : Sudah kubilang aku mundur saja.

[Minah] : Hyunjooooo!

[Hyunjoo] : Sorry.

[Seri] : Jadi bagaimana, sunbae?

[Taeil] : Aku juga telah melakukan bagianku hari ini. Bagaimana dengan yang lain?

Itu adalah akhir dari percakapan, hingga akhirnya Pacman muncul.

[New] [Pacman] : Aku setuju kalau agak beresiko. Tapi menarik. Akan kucoba. Kali ini, biar aku yang menghukum Baekhyun. Terima kasih atas kerja sama kalian selama ini.

Tidak ada yang membalas.

Chanyeol tersenyum.


Pagi itu, Baekhyun terbangun dengan perasaan berbunga-bunga. Begitu matanya membuka, ia cekikikan dan memeluk gulingnya, sedikit mendesah kecewa ketika melihat bahwa sambungan telepon sudah dimatikan sekitar jam 2 dini hari.

Baekhyun sudah tahu Chanyeol piawai bermain gitar—hei, dia gitaris band kampus mereka—tapi bernyanyi? Wah, itu cerita lain.

Chanyeol bukan tipe vokalis dengan vokal yang powerful. Tapi suaranya benar-benar unik—berat, dalam dan basah—membuat Baekhyun merasakan kulitnya tergelitik dan jari-jari kakinya kebas. Ketika ia bernyanyi, Baekhyun bersumpah dirinya sedang melihat dirinya bergandengan tangan dengan Chanyeol melewati taman tulip—mimpi saja.

Entah kapan hal itu akan terjadi.

Tapi kemudian, wajah Baekhyun menghangat.

I love you more, katanya, dengan suara yang berat dan serius.

Jadi Baekhyun benar-benar tidak bertepuk sebelah tangan, 'kan? Maksudnya, perasaan mereka sebenarnya mutual?

Chanyeol benar-benar teka-teki yang sulit ditebak.

Dirinya tidak mempan terhadap charmspeak Baekhyun, belum lagi wajahnya selalu datar ketika mereka berinteraksi.

Tapi kalimat itu masih terkunci baik di benak Baekhyun. Ia yakin dirinya tidak bermimpi.

I love you more.

Baekhyun cekikikan lagi, meninju bantalnya gemas—setelah akhirnya diteriaki oleh sang Ayah untuk bangun dan segera bersiap-siap untuk kuliahs.


Mata Baekhyun hampir sewarna oli sekarang.

Mood-nya jelek sekali.

Pasalnya, Chanyeol benar-benar seperti menganggap Baekhyun tidak ada.

Ketika sampai di kelas pagi ini, Baekhyun tanpa sadar memikat begitu banyak orang sepanjang lorong. Mereka bersahut-sahutan mengatakan bahwa Baekhyun terlihat sangat cerah hingga menyilaukan—ya, dia memang berdandan sedikit hari ini. Ia mengenakan celana jins ketat yang memamerkan tungkainya, kemeja putih polos yang dipadukan dengan kardigan pink, serta topi beret yang juga berwarna pink. Baekhyun jarang memakai aksesori kepala, tapi ketika ia bercermin pagi ini, ia merasa aura merah muda di sekeliling tubuhnya makin pekat sehingga ia memutuskan untuk mengenakan beret dengan warna serupa.

Baekhyun tanpa sadar menebarkan terlalu banyak pesona sehingga setengah dari populasi mahasiswa yang hanya lalu-lalang di lorong tanpa sadar mengekorinya hingga ke kelas. Matanya berbinar cokelat madu. Baekhyun menyadarinya ketika sampai di ambang pintu kelas, menarik napas untuk menurunkan sedikit kadar pesona itu—lalu melihat Chanyeol, masih duduk di bangku yang sama paling ujung.

Saking senangnya, Baekhyun melambai kepada pria itu.

Tapi Chanyeol hanya menatapnya selama sedetik lalu menunduk, menulis sesuatu pada buku catatannya.

Bibir Baekhyun yang tadinya merekah manis kini turun hingga beberapa senti. Segera saja, warna matanya menggelap.

Apa yang tadi malam itu mimpi?

Baekhyun meremas ujung kardigannya dengan gelisah.

Sepertinya memang mimpi.

Ia menghembuskan napas lelah dan berjalan gontai masuk ke kelas, aura merah muda di sekitar tubuhnya mulai menipis.

Seperti biasa, Baekhyun lebih memilih duduk di deret bangku paling depan—hanya saja, Taeyong sudah duduk di sana kali ini.

"Morning!" sapanya ceria.

Baekhyun tersenyum setengah hati lalu menghempaskan diri ke bangkunya dengan kesal. Ia yakin Taeyong berceloteh tentang banyak hal hari itu, tapi tidak ada satu kata pun yang masuk ke dalam telinganya.

Jangankan Taeyong. Bahkan pada saat kelas sudah dimulai, Baekhyun hanya menatap kepada layar proyektor dengan mata kosong.

Jatuh cinta benar-benar sulit.

Baekhyun membuat kesalahan pertamanya di situ.

Ugh, Baekhyun merasa begitu buruk sehingga ia yakin dirinya bisa menangis kapan saja. Segala usahanya untuk berdandan hari ini benar-benar tidak ada gunanya—Tidak. Pemikiran itu tiba-tiba saja membuat perutnya mulas—bukan hanya masalah berdandan. Tapi semua usaha untuk membuat Chanyeol menganggap dirinya menarik benar-benar tidak ada yang bekerja.

Jadi ia bangkit dari tempat duduk, berkata kepada dosen yang tengah mengajar di depan kelas bahwa ia perlu ke toilet dan segera berjalan dengan langkah kecil namun cepat.

Ketika ia sampai di toilet, Baekhyun menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin.

Kau bisa mendapatkan semua orang, batin Baekhyun miris, tapi tidak orang itu.

Sekarang, rasanya, anugerah yang Aphrodite berikan kepada—charmspeak dan segala tipu muslihat, bahkan paras manis—tidak ada gunanya.

Baekhyun menarik topi beretnya kasar, sengaja membuat rambutnya berantakan. Ia sudah memantapkan hati bahwa dirinya tidak pantas diperlakukan seperti ini—ia akan mengakhiri hubungan sepihak ini dengan Chanyeol sehabis kelas jam pertama. Harus.

Tapi kemudian, ketika langkah gontainya kembali menuju kelas, seisi ruang kelas sudah ricuh.

Di dekat meja dosen—yang sosoknya sudah hilang entah kemana, Chanyeol sedang menduduki Taeyong—tangan kiri merenggut kemeja flanelnya, sementara tangan kanan terkepal hendak meninju wajah pria itu.


"Karena keperluan rapat jam 11 siang ini, aku akan meninggalkan kalian dengan tugas resume. E-mail-kan segera kepadaku, deadline-nya jam 12 malam ini. Selamat bersenang-senang!"

Suara keluhan dan teriakan protes menggema di seluruh penjuru ruangan.

Chanyeol bukan salah satunya, karena hawa panas yang ia rasakan tidak ada tandingannya dengan tugas yang harus dikumpulkan jam 12 malam. Kenapa ia memakai topi beret seperti itu? pikir Chanyeol gusar—setengah gusar, sebenarnya. Sisanya adalah rasa senang seperti habis disuntik oleh kafein.

Baekhyun manis bahkan tanpa perlu berusaha—nah, sekarang bayangkan kalau ia mencoba untuk berusaha—memangnya mau kemana dia berdandan sangat manis seperti itu?

Chanyeol harus membeku beberapa saat ketika Baekhyun melambaikan tangannya pagi ini. Ia hanya tidak mau terlihat seperti orang idiot—bahkan kepalanya sudah menunduk terlebih dahulu sebelum ia sadari.

Baekhyun tidak menoleh ke belakang sepanjang sisa kuliah itu, lalu tahu-tahu saja ia berdiri dan meminta ijin untuk ke toilet. Chanyeol harus menahan kakinya untuk tidak mengekori pria mungil itu.

Setelah memeritahukan rencananya kepada Junmyeon dan Sehun secara detail sebelum berangkat kuliah, mereka bertiga resmi dalam status siaga sekarang. Mereka tidak bisa meninggalkan Baekhyun sendirian. Inilah kenapa Chanyeol tidak ingin melibatkan Baekhyun. Cewek-cewek sinting dari grup yang juga sama-sama sinting itu mungkin saja bertindak dan menyerang Baekhyun secara fisik.

Namun Pacman menyetujui usulan idenya—yang berarti, ada kemungkinan besar dia akan melancarkan aksi sendirian.

Alasan lain yang juga membuat Chanyeol harus pasang mata baik-baik untuk mengintai siapa saja yang berusaha mendekati Baekhyun—terutama yang mengincar tasnya.

Sekitar beberapa menit setelah dosen mereka undur diri, Chanyeol menyadari bahwa seseorang yang duduk di samping Baekhyun—Lee Taeyong, barangkali?—memasukkan buku hitam tebal ke dalam tas Baekhyun. Lalu ia dengan panik mengemasi buku dan alat tulisnya sendiri dan bangkit.

Alis Chanyeol naik sebelah.

Sesuatu yang sangat buruk terbetik di pikirannya.

Tidak. Tidak mungkin.

Chanyeol tanpa sadar berdiri, kakinya melangkah panjang-panjang untuk sampai di deretan bangku paling depan.

Ia menarik keluar buku hitam tebal itu dari tas Baekhyun, kemudian membukanya kasar—belasan foto Baekhyun yang diambil secara candid jatuh bertebaran di lantai, semuanya sudah dicoret merah pada bagian mata, berikut ditulis dengan pesan-pesan tak senonoh.

Napas Chanyeol memburu.

Dihempaskannya buku itu dengan marah, lalu berderap mendekati Taeyong yang sudah sampai di ambang pintu—menoleh terkejut kepada Chanyeol karena bunyi debuman buku yang menyentuh lantai.

Tangan Chanyeol terulur jauh ketika ia berlari mendekati Taeyong, menarik pria itu dalam sekali sentakan dan melempar tubuh kurusnya. Punggung Taeyong melengser di lantai porselen, kepalanya menghantam kaki meja dosen. Chanyeol tidak butuh waktu lama untuk memposisikan diri diatas tubuh pria itu dan merenggut kasar kemeja flanelnya.

"Pacman?" tanya Chanyeol, suaranya terdengar geli sekaligus murka.

Pupil Taeyong melebar. "A-apa yang kau ocehkan?! Lepaskan aku!"

Chanyeol mengangkat tangan kanannya yang sudah membentuk kepalan tinju. "Bangsat!"

Tapi kemudian kepalan tangannya berhenti di udara ketika ia mendengar seseorang berteriak. Suaranya sangat familiar sehingga Chanyeol merasa hatinya diremas-remas.

Ia menoleh dan mendapati Baekhyun jatuh terduduk tak jauh dari dirinya dan Taeyong, tengah bersimpuh dengan wajah terkejut sementara matanya menatap foto-foto candid dirinya sendiri yang ditulisi berbagai kalimat kotor dan makian kasar. Baekhyun meraup foto itu satu-satu, tangannya bergetar. Chanyeol bisa melihat matanya merah menahan tangis.

Sial, sial, sial.

"Aku sungguh ingin membunuhmu," kata Chanyeol dengan suara berbahaya, tapi ia melonggarkan cengkraman tangannya pada kemeja Taeyong dan menghempaskan pria itu kasar hingga ia mengaduh. Chanyeol berdiri setelahnya, menginjakkan salah satu kakinya di dada Taeyong. Pria itu sama sekali tidak bisa bergerak di bawah tumpuan tubuh Chanyeol. Dengan cepat, ia menelpon Sehun.

Dalam dua kali nada tunggu, Sehun mengangkat ponselnya. Sebelum Sehun protes, Chanyeol sudah terlebih dahulu berbicara. "Kelasku. Sekarang. Pacman." Lalu mematikan ponselnya begitu saja.

Ia menekankan kakinya lebih kuat lagi di dada Taeyong, mendengar pria itu tersedak kesulitan mengambil napas.

Sehun akan tiba kurang dari dua menit, pikir Chanyeol. Tidak apa-apa, Taeyong tidak akan mampu kabur.

Chanyeol memutuskan untuk melangkah mendekati Baekhyun. Kerumunan di sekitar pria mungil itu makin ramai, berbisik-bisik dengan kalimat yang membuat hati Chanyeol sakit.

Baekhyun tidak berhak mendapatkan perlakuan seperti ini. Tidak sekarang, tidak nanti, tidak selamanya.

Berjongkok, Chanyeol menyelipkan sebelah lengannya di pinggul Baekhyun dan mengangkat pria itu untuk berdiri. Tubuh Baekhyun lemas, dan Chanyeol yakin ia tidak akan mampu bertumpu pada kakinya sendiri. Tangannya masih bergetar, meremas beberapa foto. Chanyeol membawa Baekhyun merapat ke tubuhnya sendiri, berharap setidaknya membagi sedikit kehangatan kepada tubuhnya yang gemetar hebat.

Chanyeol memapah pelan pria itu keluar dari ruangan, kaki Baekhyun setengah menyeret di lantai.

Ia berpas-pasan dengan Sehun dan Junmyeon di ambang pintu.

Chanyeol memberinya tatapan yang mungkin berarti bunuh bajingan itu untukku sambil mengangguk, dan Sehun maupun Junmyeon balas mengangguk mengerti.

Terakhir, Chanyeol menyerahkan ponsel yang mereka sita paksa dari Taeil dan memerikannya kepada Junmyeon, lalu setelah itu ia mengendalikan diri dan hanya membiarkan Baekhyun yang ada dipikirannya.


Chanyeol tidak yakin kemana harus membawa Baekhyun selain ruang klub mereka. Chanyeol memegang salah satu duplikat kuncinya, dan dia berpikir bahwa Baekhyun membutuhkan ruangan yang sunyi dan tenang.

Sambil memapah Baekhyun dengan sebelah tangan, yang omong-omong tidak sulit dilakukan, tangan lain Chanyeol berusaha membuka kunci pintu. Ketika pintu terbuka, ia menguncinya dari dalam dan membawa Baekhyun duduk ke salah satu kursi.

Baekhyun menunduk, beberapa air mata sudah lolos. Lututnya bergetar dengan kedua tangan yang masih meremas foto dirinya sendiri.

Chanyeol menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia menyeret kursi lain dan duduk di hadapan Baekhyun, dekat dengan susunan drum dan kertas-kertas berisi lirik lagu.

Pada saat seperti ini, Chanyeol tahu dirinya memang seorang pecundang total. Ia tidak tahu bagaimana harus membuat Baekhyun merasa lebih baik. Chanyeol merentangkan tangannya ragu-ragu, kemudian menyentuh pergelangan tangan Baekhyun lembut. Ia berusaha melepaskan genggaman pria mungil itu dari foto-foto yang tidak seharusnya ia lihat.

Kepalan tangan Baekhyun mengendur, ia membiarkan Chanyeol mengambil beberapa foto dari tangannya. Chanyeol membawa foto itu ke dalam saku belakang celana jinsnya. Baekhyun kemudian mendongak dan menatap Chanyeol dengan wajah memerah dan mata berkaca-kaca.

"Ceritakan." Katanya, suaranya sedikit bergetar.

Chanyeol membalas tatapan itu lurus dan dalam. "Kau sungguh ingin tahu?"

Baekhyun mengangguk.

Dengan berat hati, Chanyeol menceritakan semuanya. Dimulai dari dirinya yang mendapati loker Baekhyun yang ditempeli sticky notes—semuanya hingga ke detail.

"Taeil sunbae?" kata Baekhyun tak percaya.

Chanyeol mengangguk.

"Dan bahkan juga Taeyong…." Suaranya menciut.

Bibir Chanyeol seakan terkatup rapat. Ia tengah berusaha memikirkan kalimat menghibur untuk Baekhyun, tapi tidak ada satu pun yang muncul ke permukaan. Chanyeol merasa dirinya sendiri juga marah—dan kemarahan itu sama sekali belum ia lepaskan kepada orang yang bersangkutan.

Lalu kemudian Baekhyun tertawa, tapi air matanya makin menjadi sehingga ia sesengukan. "Ku-kurasa aku pantas mendapatkannya," kata Baekhyun, mencoba untuk bergurau tapi suaranya terdengar pilu.

Jangan tegang, kata Sehun.

Ikuti saja nalurimu.

Chanyeol melakukannya—memajukan tubuh lalu menangkupkan kedua telapak tangannya ke pipi Baekhyun dan membawa kening pria itu untuk menyatu dengan keningnya.

"Tidak," bisik Chanyeol. "Kau tidak pantas mendapatkannya. Mereka yang jahat—sangat jahat, karena telah melakukan ini padamu."

Chanyeol mendengar Baekhyun meregek, napasnya putus-putus, lalu tiba-tiba saja Baekhyun melemparkan diri kepada Chanyeol.

Mata Chanyeol melebar, tapi tangannya bergerak sesuai nalurinya—merengkuh Baekhyun dengan sikap protektif sementara Baekhyun sesengukan. Chanyeol menunduk untuk mengecup pundak Baekhyun dengan sikap menenangkan, kemudian kecupannya beralih ke leher, naik ke pelipis dan kemudian ke puncak kepala.

Chanyeol tidak berusaha mengeluarkan kalimat apapun untuk menenangkan Baekhyun—action speak louder than words, dia percaya itu.

Ketika akhirnya Baekhyun menarik diri, wajahnya sudah bengkak. Chanyeol hampir nyengir melihat betapa menggemaskan wajahnya bahkan ketika ia menangis, tapi Chanyeol berhasil menahan diri.

"Aku sudah tidak apa-apa sekarang." Baekhyun seakan menegaskan itu untuk dirinya sendiri. "Aku sudah tidak peduli lagi."

"Aku akan membuatnya jera. Dia tidak akan melakukan apapun lagi kepadamu." Chanyeol tiba-tiba menyahut, sedikit terkejut dengan nada bengis yang keluar dari mulutnya sendiri. Chanyeol hanya tidak mau membuat Baekhyun takut.

"Terima kasih," Baekhyun memaksakan sebuah senyum. "Sungguh, terima kasih karena sudah melakukan banyak hal untukku, meski aku berharap kau memberitahuku yang sesungguhnya lebih awal." Ada nada getir pada kalimat terakhir itu.

Chanyeol tidak menjawab, dan ia juga tidak menyalahkan Baekhyun. Baekhyun berhak marah atas apa yang sudah ia sembunyikan satu bulan belakangan ini—tapi Chanyeol tidak menyesalinya. Baekhyun tidak seharusnya melihat sesuatu yang mengerikan seperti itu. Apa yang mereka tuliskan di loker Baekhyun adalah bentuk pelecehan, dan Chanyeol tidak bisa membiarkan Baekhyun melihatnya. Meski pada akhirnya ia tetap membuat Baekhyun menangis—itu adalah satu hal yang ia sesali. Ia berharap bisa menyelesaikan masalah ini diam-diam tanpa Baekhyun ketahui hingga akhir.

"Maka dari itu… kupikir…" Baekhyun memundurkan tubuhnya makin jauh seakan berusaha menghindari Chanyeol, "semuanya cukup jelas untukku."

Kening Chanyeol berkerut. "Apa maksudmu?"

"Bukankah semuanya didasari oleh rasa simpati—atau boleh kukatakan, kasihan?" mata Baekhyun menatap lantai, tidak berani melihat Chanyeol.

Kerutan di kening Chanyeol makin dalam, tapi ia tidak bersuara, menanti Baekhyun untuk melanjutkan.

"Maksudku," lanjut Baekhyun lagi dengan wajah kesakitan, seakan setiap kalimat yang akan ia keluarkan adalah duri dalam daging, "kenyataan bahwa kau berkencan denganku—karena kasihan? Bukan benar-benar karena kau menyukaiku?"

Mata Chanyeol membelalak, rasa panik mulai mendera tubuhnya. Ia mengepalkan tangan kuat, kepalanya berpikir keras mencari jawaban untuk menjelaskan perasaan yang sesungguhnya kepada Baekhyun.

Chanyeol terdiam lama, matanya hanya memelototi Baekhyun tidak percaya.

Baekhyun berusaha tersenyum. "Tidak apa-apa, kau tidak perlu menyangkal—"

Chanyeol menyambar sebelah tangan Baekhyun. Ia tidak tahu kenapa ia melakukannya, tapi ia punya firasat ia akan menyesalinya kalau ia tidak melakukan itu.

Action speak louder than words.

Ya, benar.

Chanyeol membawa tangan Baekhyun ke dadanya—menekannya kuat.

Kau harus merasakannya, batin Chanyeol, apa yang selalu kurasakan saat aku berada di dekatmu.

"Ka-kau—"

Jantung Chanyeol berdentam kuat dibawah tekanan tangan Baekhyun, begitu kuat sehingga Chanyeol yakin ia bisa menyalurkan getaran hebat itu melalui telapak tangan Baekhyun.

"Ini," potong Chanyeol, "selalu terjadi. Bahkan hanya ketika aku mendengar namamu." Giliran Chanyeol yang tidak berani menatap Baekhyun. Matanya menatap lurus pada lututnya sendiri.

Baekhyun bergeser maju. "Lalu… yang kau katakan tadi malam… bukan mimpi—aku tidak bermimpi?"

Chanyeol berpikir keras lagi. Roda-roda gigi dalam kepalanya seperti sedang berputar gila-gilaan. Ia kemudian teringat kalimat memalukan itu—jadi ia memberanikan diri untuk mendongak dan menatap Baekhyun meski sekujur tubuhnya gemetar. "I love you. More."

Senyum Baekhyun mengembang, dan Chanyeol merasa kepalanya baru saja meledak.

Sebelum Chanyeol bisa memulihkan diri, Baekhyun sudah melompat dan duduk di pangkuan Chanyeol—memagut bibirnya.

Otak Chanyeol memproses sentuhan intim mendadak itu dengan lamban—setelah akhirnya kembang api seperti meletus di setiap pori-pori kulitnya—terutama bibirnya.

"Ba-Baekhyun," Chanyeol berusaha bernapas di sela-sela ciuman panas itu, "tunggu."

Chanyeol memegang pundak Baekhyun dan berusaha mengerahkan segala sisa kekuatan terakhirnya untuk mendorong Baekhyun menjauh—meski setiap denyut nadinya memberontak untuk melakukan itu, berbisik bahwa dia bisa saja melahap Baekhyun dengan segera—namun akal sehatnya tetap menang.

Baekhyun bersungut-sungut tak senang begitu ia menarik diri dari Chanyeol, wajahnya cemberut. Baik napas Chanyeol dan Baekhyun sama-sama memburu.

"Tidak suka?" tanya Baekhyun, jelas merajuk.

"Hmmmm." Chanyeol mendesah untuk menahan dirinya, tapi ia tertawa kecil—berharap meredakan jantungnya yang sedang melompat-lompat riang.

Ciuman itu luar biasa. Chanyeol tidak bisa mengatakan kalimat lain selain itu. Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan apa efek ciuman itu terhadap sistem dalam tubuhnya. Tapi Chanyeol ingin mengenal setiap inci dari Baekhyun terlebih dahulu. Ia tidak pernah benar-benar bertatapan dengan Baekhyun karena sifat pengecutnya, tapi ia berusaha memfokuskan diri untuk tenggelam pada sensasi yang ia rasakan saat ini saja.

Wajah mereka sangat dekat, terlebih karena Baekhyun memilih untuk duduk di pangkuan Chanyeol.

Ibu jari Chanyeol menelusuri kening Baekhyun, turun ke alis dan mata. Matanya berwarna cokelat cerah, hampir keemasan. Ia menyelipkan sejumput rambut two-toned Baekhyun ke belakang telinga—takjub akan bagaimana rambut itu terasa sangat halus di tangannya, lalu ujung jarinya turun membelai tulang pipi dan garis rahang Baekhyun.

Baekhyun memejamkan mata sambil terkikik. "Geli." Katanya, dan Chanyeol tersenyum.

Chanyeol membiarkan tangannya turun ke leher Baekhyun, dan ia bisa merasakan pria mungil itu bergetar di pangkuannya.

Dia kemudian mengecup puncak kepala Baekhyun, perlahan menghirup aromanya yang khas—Baekhyun berbau sangat enak. Sungguh, enak dalam artian seperti sesuatu yang sangat manis. Chanyeol bisa mencium sedikit aroma mentega leleh, kayu manis dan madu dari aroma tubuhnya.

Memejamkan matanya, Chanyeol menurunkan kecupannya ke kening, meraba-raba Baekhyun dengan bibirnya dan menanamkan setiap inci Baekhyun ke dalam benaknya. Baekhyun bahkan tidak berusaha untuk menahan desahannya lagi, membuat Chanyeol tersenyum ketika ia membawa bibirnya turun ke leher pria mungil itu.

Di ceruk lehernya, kombinasi dari ketiga aroma tadi sangat kuat sehingga Chanyeol merasa dirinya mabuk—membuat Chanyeol tak kuasa untuk menanamkan beberapa kecupan lagi ke leher Baekhyun, membuat pria mungil itu tertawa geli.

Chanyeol menarik diri setelahnya, tapi kedua lengannya memeluk pinggul Baekhyun dengan ketat, menempelkan tubuh mereka erat.. Chanyeol bisa melihat sedikit ekspresi kecewa yang berusaha Baekhyun sembunyikan ketika Chanyeol menarik wajahnya dari ceruk leher pria itu.

"Kau indah, Byun Baekhyun." puji Chanyeol sungguh-sungguh, kali ini menatap Baekhyun lurus dan tulus. "Dan kau milikku."

Baekhyun bersemu, menggigit bibirnya.

Chanyeol tahu bahwa itu adalah waktunya—jadi ia memajukan kepala dan mencium Baekhyun.

Ciuman itu lamban dan dalam, tidak tergesa-gesa seperti yang Baekhyun lakukan sebelumnya.

Chanyeol tidak bisa menghentikan senyumannya begitu lidahnya mencecap bibir Baekhyun. Dia memang terasa manis, seperti yang Chanyeol duga. Lebih manis dari semua dessert yang pernah membelai lidah Chanyeol.

Chanyeol menggigit bibir bawah Baekhyun dengan lembut, merasakan rasa lapar yang begitu sangat ketika bibirnya mulai memagut Baekhyun. Baekhyun membuka mulutnya makin lebar sembari mendesah begitu Chanyeol menggigit bibirnya, memberikan Chanyeol akses lebih dalam. Ciuman itu sekejap saja berubah kasar—lebih kasar dari sebelumnya. Lidah Chanyeol menjelalah makin dalam, membuah kepala Baekhyun bahkan sampai mundur, namun Chanyeol mengangkat tangan dan menekan tengkuk pria mungil itu, tidak berniat untuk melepaskan ciumannya.

Baekhyun harus menepuk dada Chanyeol untuk memberi kode bahwa ia kehabisan napas, jadi Chanyeol dengan enggan menarik diri—tidak terlalu jauh, karena Chanyeol sama sekali belum merasa cukup mencecap rasa manis itu. Ia masih merasakan rasa laparnya. Ia ingin lebih. Chanyeol maju sedikit, menjilat rahang Baekhyun, merasakan indra pengecapnya meledak oleh rasa manis yang luar biasa. Tubuh Chanyeol bergetar hebat. Ia belum pernah merasakan rasa manis seperti ini, dan hal itu membuatnya ketagihan.

Tangan Chanyeol masih di tengkuk Baekhyun, kemudian menekannya lembut untuk menempelkan kening mereka.

Mereka sama-sama berusaha menenangkan degup jantung yang liar dan napas yang tidak teratur.

"Honeysuckle." Bisik Chanyeol, ia bergerak maju untuk mengecup dan menjilati rahang Baekhyun lagi, lalu turun ke bawah untuk melakukan hal yang sama pada ceruk lehernya. "Honeysuckle." Rasanya semakin pekat dan manis, begitu juga dengan aromanya.

"A-apa?" Baekhyun balas berbisik, tidak mengerti mengapa Chanyeol mengucapkan kata honeysuckle dua kali.

Rasamu. Aromamu. Tapi Chanyeol tidak menyuarakannya, sebaliknya ia hanya tersenyum dan menanamkan kecupan-kecupan lain di kulit Baekhyun, karena sebanyak apapun ia ingin berhenti, dirinya tidak bisa berhenti.

Tapi kemudian Baekhyun menyentakkan diri dari Chanyeol.

"Biarkan aku melakukan satu hal lagi." Ujar Baekhyun serius.

"Apa?" Chanyeol tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

Baekhyun menarik dan membuang napas perlahan beberapa kali, kemudian menatap lurus pada mata Chanyeol. Matanya masih terlihat sama, keemasan dan cerah. Ia mengedipkan matanya, tersenyum begitu manis. Mau tidak mau, Chanyeol juga ikut tersenyum.

Melihat Baekhyun dari jarak sedekat ini… Chanyeol pikir hanya bisa ia lakukan dalam mimpi. Tapi Baekhyun sungguh berada di hadapannya. Di pangkuannya. Dengan lengan memeluk pinggulnya, sementara Baekhyun sendiri mengalungkan lengannya di sekeliling leher Chanyeol. Selain itu, mereka sudah berciuman dua kali. Chanyeol meneguk ludahnya dengan susah payah, melihat bibir kemerahan Baekhyun dengan rasa lapar yang sulit dijelaskan. Rasa manisnya masih bisa ia cecap di ujung lidah, tapi ia ingin merasakannya lagi.

"Beri aku lima juta won."

Senyum Chanyeol memudar. "Lima juta won?" tanya Chanyeol, jelas bingung. "Untuk apa kau butuh uang sebanyak itu?" Chanyeol kemudian memasang wajah terkejut, "jangan bilang kau dililit hutang?!"

Baekhyun mengerang sambil menengadahkan kepalanya ke belakang dengan gaya frustasi. "Sekali lagi." Katanya penuh tekad.

"A-apa?"

"Chanyeol," suaranya manis dan mendayu-dayu, "beri aku lima juta won."

Chanyeol benci mengatakan ini. Tapi ia bukan anak orang kaya, dan pemikiran bahwa dirinya tidak bisa memenuhi keinginan Baekhyun membuatnya agak merasa rendah. "Aku tidak punya uang sebanyak itu." Jawab Chanyeol sendu, "maafkan aku."

Pupil Baekhyun melebar. "Oh, tidak, tidak," ujarnya panik dan maju untuk mengecup bibir Chanyeol sekilas. "Aku tidak bermaksud seperti itu, maafkan aku."

Chanyeol sungguh-sungguh tidak mengerti. Baekhyun ingin lima juta won, tapi ternyata tidak benar-benar menginginkannya? Berbagai pertanyaan itu membuatnya bingung, namun sudut mulutnya otomatis terangkat ke atas ketika Baekhyun mengecup bibirnya. Chanyeol menjilat bibirnya sendiri setelah itu, merasakan rasa manis itu menempel sedikit di sana.

Baekhyun mendesah setelahnya. "Kau sungguh tidak terpengaruh oleh charmspeak-ku."

"Charm—apa?" Chanyeol mengerutkan keningnya.

"Charmspeak." Koreksi Baekhyun sambil tersenyum. "Percaya atau tidak, aku bisa membujuk orang-orang dengan suaraku."

Chanyeol memberengut. "Apa itu sebabnya kau selalu berbicara dengan sangat seduktif seperti itu?"

Baekhyun hanya mengangkat bahu. "Aku sering melakukannya kepada orang-orang," aku Baekhyun, ekspresinya jelas tidak bangga, "itu membuatku senang, bahwa orang-orang melakukan yang kuinginkan. Tapi aku malu karena sudah melakukannya. Kurasa itu sebabnya Taeil sunbae dan Taeyong menyimpan dendam kepadaku."

Kalimat Taeil tiba-tiba terngiang lagi di kepala Chanyeol; Kau tidak tahu rasanya! Baekhyun selalu berbicara kepadaku dengan suara manis, bahkan sebelum aku menyadarinya, dia membuatku melakukan ini-itu tanpa bisa kutolak!

Jadi itu sebabnya….

"Aku menjijikkan, ya?" Baekhyun memaksakan sebuah tawa.

Chanyeol menggeleng tak setuju, membelai kepala Baekhyun dengan sayang. "Benar, itu hal yang salah karena kau memanfaatkannya untuk membuat orang-orang melakukan hal yang kau inginkan, tapi mereka juga tidak berhak untuk membalasmu seperti itu. Tindakan yang mereka lakukan adalah sesuatu yang tidak pernah bisa kumaafkan."

Baekhyun tersenyum lembut. "Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku punya kau sekarang."

"Bagus." Chanyeol nyengir, kemudian, "tapi kau bilang aku tidak terpengaruh oleh charmspeak-mu. Apa… apa aku tidak normal?"

"Astaga," Baekhyun tertawa, suaranya seperti alat musik paling indah yang pernah Chanyeol dengar, "aku bilang padamu bahwa aku bisa menyihir orang-orang dan kau berpikir bahwa kau yang tidak normal?"

"Yeah…" Chanyeol ikut tertawa, "kurasa begitu."

"Mungkin," kata Baekhyun selanjutnya, "kau memang tidak normal. Tapi aku menyukainya. Kau berbeda dari yang lain. Kalau aku memintanya kepada orang normal, mereka akan segera terbirit-birit untuk memberiku uang lima juta won."

Pemikiran itu membuat Chanyeol merinding. "Jangan lakukan itu."

Masih tertawa, Baekhyun kemudian berkata, "tapi, apa aku boleh melakukannya sesekali untuk bersenang-senang? Maksudku, seperti untuk mengerjai orang?"

Kepala Chanyeol menggeleng kuat, tapi kemudian berhenti. "Kurasa… kau boleh menggunakannya dalam situasi tertentu."

"Seperti?"

"Mau balas dendam dengan orang-orang brengsek yang sudah membuatmu sedih?"

Baekhyun membeku, wajahnya langsung muram.

"Hei," panggil Chanyeol lembut, menyentuh pipinya dengan ujung jemarinya, "jangan takut. Aku bersamamu." Sebelah tangannya yang bebas meraih tangan Baekhyun dan meremasnya, "aku tidak akan membiarkan mereka melakukan hal-hal buruk kepadamu lagi."

Baekhyun mengangguk, lalu tersenyum kecil. Chanyeol bergerak maju dan mengecup ujung hidungnya.

"Bisakah kau meminta Taeil atau Taeyong lari memutari lapangan basket dengan hanya memakai dalaman?" tanya Chanyeol, ia nyengir lebar.

Baekhyun tertawa. "Tentu saja!" wajahnya kembali cerah.

"Kalau begitu, ayo!" ia meletakkan tangan di pinggul Baekhyun dan membuat tubuhnya dan tubuh Baekhyun berdiri sekaligus. "Tapi, sebelum itu, boleh aku menciummu sekali lagi?"

Baekhyun tidak menjawab, tapi melemparkan diri ke tubuh Chanyeol sambil mengalungkan lengannya erat pada leher pria yang lebih tinggi itu.


Tubuhnya pendek dan gempal, telinganya mencuat lebar seperti peri, dan ia menggunakan kacamata. Di taman bermain itu, tidak ada yang mau menjadi teman bermainnya, alhasil ia hanya duduk di ayunan dengan bunyi derit besi karatan yang memekkakkan telinga—sementara dari seberang lapangan berpasir anak-anak lain bermain perosotan dan jungkat-jungkit bersama.

Bocah gempal itu juga ingin bermain jungkat-jungkit, tapi ia tidak bisa memainkannya sendiri. Ia pernah mengajak salah seorang anak laki-laki lain, tapi anak itu mengatainya goblin buruk rupa.

Kakinya yang gemuk terayun-ayun malas, sementara kepalanya terkulai ke bawah.

"Oh, anakku sayang." Bocah gempal itu mendongak dan melihat perempuan yang sangat cantik dengan gaun putih dan topi jerami sedang berdiri di hadapannya, menghalangi sinar matahari sore itu.

Ibunya pernah berkata untuk tidak berbicara sembarangan dengan orang asing, tapi wanita itu sangat cantik sehingga ia tidak bisa mengalihkan pandangannya.

"Siapa namamu?"

"Park Chanyeol." Jawab bocah gempal itu seketika. Ia menyesal setelahnya, karena ia tiba-tiba saja teringat pesan Ibunya.

"Kenapa kau bermain sendiri?"

Chanyeol cemberut. "Mereka bilang aku goblin jelek."

"Ya ampun," desah wanita itu, "mereka benar-benar buta, ya. Mereka semua akan menyesali kalimat itu begitu kau dewasa, nak. Aku bisa melihat bahwa kau tumbuh dengan baik menjadi pria yang seksi."

Chanyeol mengerutkan keningnya, sama sekali tidak mengerti apa yang sedang wanita itu katakan.

"Kau cocok sekali menjadi kandidatku." Kata wanita itu selanjutnya.

Lagi, Chanyeol tidak menyahut karena ia sama sekali tidak mengerti apa yang wanita itu ocehkan.

Wanita itu kemudian memungut salah satu ranting dan memberikannya kepada Chanyeol. "Coba gambar sesuatu di atas pasir." Perintahnya.

Chanyeol tahu ia tidak mau, tapi toh ia tetap melakukannya. Dia melompat dari ayunan dan meraih ranting itu, lalu tahu-tahu saja sudah menggambar angsa di atas pasir. Wanita itu bertepuk riang. "Lihat, lihat! Sudah kubilang kau cocok untuk salah satu anakku."

Selanjutnya, wanita itu meletakkan satu jarinya di kening Chanyeol. Sesuatu bercahaya dari sana, membuat kepala Chanyeol pusing. Anehnya, ia masih mendengar suara wanita itu dengan jelas.

"Kau kebal terhadap kalimat manisnya. Kau tidak terpengaruh terhadap tipu dayanya. Tapi kau jatuh cinta kepadanya, dengan cara yang unik dan aneh. Kuberikan restuku untukmu."

Chanyeol mengerjap beberapa kali. Pandangannya kabur, dan ia merasa kepalanya pusing. Jadi ia melepas kacamatanya, melihat dunia tampak sangat jelas. Ia mencoba memasang kacamatanya lagi, tapi sensasi mengabur dan pusing itu kembali. Chanyeol memilih untuk melepaskan kacamatanya.

Ia sadar satu hal—wanita itu menghilang. Seperti tidak pernah berada di sana. Keadaan taman bermain juga tampak seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda wanita yang sangat cantik dengan gaun putih dan topi jerami di dekat taman bermain.

Nun jauh di seberang jalan, seorang wanita dengan gaun putih dan topi jerami sedang berjalan sambil bersenandung ria.

Merpati putih yang terbang di atas kepalanya protes. "Melakukan trik untuk anak-anakmu lagi, Dewi Aphrodite?"

Wanita itu terkekeh, mengibaskan tangannya. "Diamlah, Cupid."

Merpati itu bertengger di topi jeraminya. "Kau kadang agak kejam terhadap anak-anakmu."

"Aku hanya mencoba membuat takdir menjadi lebih menarik," sangkal wanita itu, kemudian bertepuk tangan dengan semangat lagi. "Aku tidak sabar untuk melihat bagaimana kisah cinta mereka!"

Merpati itu hanya menggeleng, sungguh tidak memahami jalan pikir majikannya. "Anak-anakmu tidak akan pernah menyukainya."

Mata wanita itu berkilat-kilat geli. "Oh, kita lihat saja nanti."[]


A/N : SO FAR, THIS IS THE LONGEST CHAPTER I'VE EVER WROTE.

Pegel. Tapi seneng. Akhirnya, selesai juga. Aku harap kalian puas sama ending cerita ini.

Aku resmi jadi mahasiswi tahun akhir, udah semingguan ini. Jadi mungkin agak bakal lama buat update Asylum Breakout. I'm deeply sorry. Tangan gatel mulu mau nulis, tapi mesti nyari judul skripsi. Ah, dilema.

Makasih buat yang sudah menyempatkan diri untuk baca! I LOVE YOU ALL!

See you (not very) soon!

Last but not least, as always, a little review wont hurt, ya?

Lots of Love, xoxo