Beware of what you wish for.

Chapter One.

"Make a wish."

Author's note. : fic yang satu udah kelar, sekarang bikin yang baru.. inspirasi dari film 13 going in 30. Genrenya sih komedi tapi gak tahu ya humornya dapat atau engak.

Pairingnya. Itaxino atau GaaxIno.

Kantin Konoha High begitu ramai oleh gerombolan siswa kelaparan. Ino bersama Sakura duduk berdua di sudut ruangan menghindari perhatian. Sasuke Uchiha kapten klub basket dan juga cowok paling populer di sekolah berdiri di depan mereka dengan nampannya.

"Boleh aku duduk di sini?"

Sakura langsung memasang senyum manis. "Silakan Sasuke." Mata gadis bersurai merah muda itu berbinar senang karena idolanya sudi duduk bersama mereka.

"Jangan duduk di sini. Banyak tempat lain yang kosong." Hardik Ino tanpa menatap si pemuda berambut pantat ayam.

"Oh Baiklah. Aku tak mau mengganggu kalian." Pemuda Itu pun pergi bergabung dengan Tayuya dan Shion yang merupakan gadis-gadis Cheerleaders.

Ino melahap kare ayamnya seakan tidak pernah terjadi apa-apa sedangkan rekannya tampak cemberut.

"Mengapa kau mengusir Sasuke? Kapan lagi idola sekolah mau duduk dengan kita." Sakura berwajah masam karena kesempatan berbicara dengan Sasuke menguap begitu saja.

"Apa kau yakin dia tak sedang mengusili kita? Atau kau mau fans fanatiknya mem-bully dirimu? Hari-hari di sekolah sudah buruk Sakura jangan menambah masalah." Dengus Ino sambil menyedot jus-nya.

Kehidupan remaja memang kejam. Terutama bila kau berbeda dengan yang lainnya. Setiap hari Ino diganggu. Apa yang salah bila ia suka memanjangkan rambutnya. Apa yang salah kalau dia memakai eye liner hitam tebal dan menindik hidungnya. Apa salah bila ia suka mengenakan pakaian berenda-renda. Ino suka mengekspresikan kepribadiannya dalam gaya gothic lolita. Dia menyukai dirinya terlihat imut seperti tokoh-tokoh anime favoritnya dan penampilannya tak ada hubungan dengan prestasi akademiknya, tapi dunia remaja itu kejam. Dia dianggap aneh dan selalu dikerjai, meski begitu Ino tetap teguh melakukan hal yang dia sukai. Terkadang menyakitkan di cemooh, dijauhi dan mereka selalu mengusilinya. Tapi dia hanya mengacungkan jari tengah dan berlalu. Mengapa ia harus berubah agar orang menyukainya? Dia tak pernah mengurusi orang, Dia tak pernah merugikan yang lainnya. Ino tak peduli bila satu-satunya teman yang ia miliki di sekolah hanya Sakura. Selama dia bisa jadi dirinya sendiri.

Ino sedang asyik membaca ulang manga favoritnya ketika Sabaku Gaara muncul di sebelahnya.

"Ah, Kau membaca apa?"

"Bukan urusanmu, hush...sana kembali ke habitatmu." Usir Ino. Ia tak suka cowok-cowok populer mendekatinya sebab ya begitu. Anak-anak cewek akan semakin kejam padanya.

"Aku juga suka membaca death-note." Ujarnya lagi mengabaikan kecuekan gadis itu.

"Benarkah?" Mata Ino berbinar menemukan orang yang memiliki ketertarikan yang sama.

Gaara duduk di sebelahnya. "Yep, aku juga menonton semua episode anime dan adaptasinya. Aku tak menyukai deathnote versi netflix sih. Itu penghinaan."

"Aku setuju."

Hari itu adalah awal kedekatan Ino dengan Sabaku Gaara. Selanjutnya mereka berdua sering bertemu untuk berburu komik dan doujinshi. Ino merasa bahagia menemukan cowok yang mengerti dunianya. Kecintaannya pada pria-pria dua dimensi beralih pada Sabaku Gaara. Mengapa dia baru menyadari betapa-emo nya penampilan Gaara. Dengan tatoo merah Ai di dahinya dan warna hitam permanen melingkari mata berwarna jade-indahnya. Mereka tampak serasi bersama.

Remaja berusia lima belas tahun itu jatuh cinta untuk pertama kalinya. Semenjak ia sering terlihat bersama Gaara, tak ada lagi yang berani mem-bullynya. Tak hanya populer, Gaara juga dikenal sebagai preman di sekolah jadi anak-anak lain takut padanya.

Pada hari minggu mereka jalan berdua. Gaara menemani Ino menuju salah satu toko buku.

"Apa yang kau beli?" tanya pemuda itu melihat bungkusan di tangan Ino.

"Rahasia." Ucap gadis itu mengerucutkan bibirnya yang diwarnai merah.

"Hm.. kau tak mempercayaiku Ino? Bukankah kita teman."

"Baiklah, Aku beritahu tapi jangan mengejekku."

Gaara mengerutkan kening mengangkat alisnya yang non-eksis. "Komik BL. Kau suka membaca tentang dua cowo begituan."

Muka Ino bersemu merah, "Aku pikir lucu aja."

"Kau ini unik sekali." Gaara menatap Ino dengan mata bersinar. "Bagaimana kalau kita makan es krim. Aku yang traktir."

Gaara menggandeng tangan Ino. Jantung gadis itu berdebar-debar. Begini ya rasanya debaran yang dirasakan MC komik shoujo yang sering dia baca. Sepertinya Ino memang naksir berat pada Gaara.

.

.

Ino bersama Sakura mengerjakan tugas di perpustakaan sekolah. Mata hijau sakura mengamati gadis pirang itu dengan curiga.

"Ada apa denganmu dan Sabaku Gaara? Kenapa kalian begitu dekat? Apa kalian pacaran."

"Aku harap kami pacaran, tapi tidak. Kami kadang jalan bareng karena dia ternyata juga suka komik dan anime."

"Ho...Pig, Kau memang naksir Gaara. Jahat sekali kau menghinaku karena nge-fans dengan pangeran Sasuke sedangkan kau sendiri memuja cowok beken nomor dua disekolah."

"Apaan sih, lebay banget. Situasi kita berbeda tahu. Sasuke bahkan tak sudi menatapmu sedangkan Gaara sering jalan berdua denganku."

"Bagus untukmu, tapi aku merasa aneh saja. Gaara yang preman itu tiba-tiba mendekatimu."

"Mungkin dia baru sadar kalau Yamanaka Ino itu cantik dan unik. Udah, jangan ngerumpi melulu. Tugasnya belum selesai nih."

Gaara dan Ino berbeda kelas. Sebelum kegiatan klub dimulai pemuda berambut merah itu menemuinya.

"Ino, Hari sabtu ada pesta kostum di rumah Naruto. Apa kau mau datang bersamaku?"

"Kau pikir mereka mau menerimaku?" selama ini setiap ada pesta Ino dan Sakura tak pernah di undang. Gadis pirang itu maklum hanya anak populer saja yang bisa datang di pesta-pesta keren yang diadakan anak senator Namikaze.

"Ayolah, Kau temanku juga. Naruto dan Sasuke tidak seburuk yang kau pikirkan."

"Baiklah, Aku mau."

"Oke. Aku jemput nanti jam tujuh malam. Berdandanlah yang cantik."

Ino tersipu malu. Akhirnya ia berkencan. Gadis itu semakin yakin Gaara juga menyukainya. Kalau tidak buat apa dia mengajak Ino ke pesta yang diadakan teman-temannya.

Hari sabtu pun tiba. Ino begitu antusias. Ia menghabiskan uang jajannya bulan itu untuk membeli pakaian baru dan sepatu. Ia menghabiskan waktu satu jam untuk menggulung rambut lurus panjangnya menjadi ikal-ikal besar. Ia puas dengan bayangannya di cermin. Ia tampak seindah boneka porcelain. Ino mendengar mobil berhenti di depan rumahnya. Dia pun segera turun dan berpamitan dengan ayahnya.

"Mau ke mana putriku begitu cantik."

"Mau ke pesta ulang tahun teman, Bye ayah. Aku sudah di jemput."

Ino ternganga melihat sedan mewah yang terparkir di depan rumahnya. Anak orang kaya memang beda. Gaara mengenakan kemeja hitam dan celana jeans turun dan membukakan pintu mobil. "Ayo princess, kita berangkat."

"Mengapa kau tak memakai kostum?" tanya Ino melihat penampilan kasual Gaara.

"Naruto sudah menyiapkan satu untukku di sana."

Ino benar-benar merasa seperti cinderella. Mungkin dia juga bisa menjadi populer dengan gayanya sendiri.

Rumah Namikaze Naruto membuat Ino takjub. Mereka baru saja melewati gerbang rumah paling besar yang Ino pernah lewati. Pilar-pilar menjulang menopang atap tinggi bangunan yang menurut Ino layak di sebut istana. Sungguh beruntung Naruto bisa tinggal di tempat seperti ini. Musik terdengar menggelegar dari arah kebun dan kolam berenang."

"Hebat sekali, orang tua Naruto mengizinkan dia membuat pesta sebesar ini."

"Orang tua Naruto jarang di rumah dan kau tahu bagian terbaiknya. Kita bisa minum bir."

"Bukankah itu illegal."

"Masa bodoh Ino. Di tempat ini tak ada orang dewasa yang mengawasi kita."

"Oh, Baiklah."

Sopir Gaara meninggalkan mereka di sana. Ino agak segan melangkah masuk. Di dalam sudah terdengar suara percakapan orang-orang. Gadis itu berharap Gaara menggandeng tanggangnya, tapi pemuda itu melangkah sendiri tanpa memedulikannya. Ino tak punya pilihan selain mengikuti pemuda itu.

Mereka masuk ke ke dalam tanpa mengetuk pintu dan puluhan pasang mata menatap Ino dengan heran dan menghina.

"Sasuke, Mana uangku." Teriak Gaara pada pemuda yang sedang bercengkerama dengan Shion.

"Kau berhasil rupanya." Pemuda Uchiha itu menyerahkan segepok uang pada pemuda berambut merah itu.

"Bukan pekerjaan mudah."

Mata Ino melebar, Gaara selama ini menipunya. Tak ada pesta kostum semua orang datang dengan pakaian kasual. Hanya dia yang tampak mencolok dengan gaun-nya. Ia mengenal wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang dia lihat di sekolah. Mereka menatapnya dengan menghina. Ia mendengar mereka mengatainya Norak. Yang paling menyakitkan Sabaku Gaara tersenyum senang terlihat puas dengan penghinaan yang Ino terima.

"Apa-apaan ini Gaara?"

"Aku berusaha memenangkan tantangan dari Sasuke. Kau pasti berpikir aku naksir padamu Ino, tapi kau salah. Aku merasa jijik padamu. Cewek otaku yang suka berdandan seperti gadis kecil dengan gaun berenda dan membawa-bawa boneka."

"Taukah kalian teman-teman. Cewek ini juga punya hobi yang lebih menjijikkan. Dia tergila-gila dengan cerita gay. Bisa kalian bayangkan isi otaknya yang mesum."

"Bangsat, kau Gaara." Ino menahan tangisnya. Ino hendak berlari pergi. Tayuta, Shion dan gengnya juga berada di sana mencegatnya di pintu keluar.

Mereka semua memegangi Ino. "Mau ke mana? Kami belum selesai denganmu."

"Lepaskan aku." Ino meronta-ronta. Mereka menyeretnya ke arah kolam berenang.

"Kau pikir dirimu cantik, eh. Atau sok unik dan anti mainstream" Tayuya menjambak rambut Ino. Gadis pirang itu merintih.

"Dunggu sekali kau berpikir bisa pacaran dengan Gaara, tahu diri dong!"

"Yeah, Seharusnya kau berkaca. Kau cuma gadis aneh." Mereka beramai-ramai menceburkan Ino ke dalam kolam. Sementara anak-anak lain hanya menonton dan menertawainya. Puas mengerjai Ino. Mereka akhirnya mengusir gadis malang itu.

Ino menangis sesenggukan di halaman rumah Naruto. Ponselnya mati terkena air. Pakaian nya yang indah basah kuyup. Make upnya luntur. Ia merasa ingin mati.

Naruto, Sang tuan rumah merasa tak enak hati dengan kelakuan jahat teman-temannya. "Apa kalian tak keterlaluan?"

"Tidak, Cewek itu saja yang tak tau diri, lihat saja besok, apa dia masih berani muncul di sekolah." Gaara membela diri. Ia meninggalkan Sasuke dan Naruto untuk menggoda salah satu senior di sekolahnya.

Merasa bertanggung jawab. Naruto menengok keluar rumah. Ia masih melihat Ino berjongkok di gerbang rumahnya. Gadis itu pasti kedinginan. Ia berjalan ke sana menyampirkan jaketnya pada bahu Ino yang basah.

"Aku memanggilkan taksi untukmu."

Ino tidak berkata apa-apa.

Sesampainya ia di rumah. Cepat-cepat dia menanggalkan pakaian dan meringkuk di kasurnya. Ia memeluk bonekanya yang diberi nama annabelle dan menangis sesenggukan. Dia benci sekolah, dia benci masa-masa remaja. Ia benci tubuhnya yang mungil dan berdada rata. Ia tak suka teman-temannya. Ino ingin jadi dewasa agar ia tak mengalami semua ini. Ia pun jatuh tertidur karena kelelahan.

.

.

.

Ino mengerjap, Mengapa kepalanya berasa berat. Ia merasakan sesuatu menindih perutnya. Gadis pirang itu pun terkejut menemukan wajah asing berbaring di ranjangnya.

"Kya..." Ino berteriak kencang membangunkan pria yang tertidur di sebelahnya.

"Ada apa?" Pria berambut hitam itu mengusap mata heran melihat kepanikan Ino.

"Siapa kau?" Tanya Ino panik.

Pria itu tertegun dan mendudukkan dirinya. Selimut yang menutupi tubuhnya melorot memamerkan dada yang telanjang. Ino secara refleks menutup mukanya. Tidak ingin melihat pemandangan najis itu.

"Jagan bergurau pagi-pagi, Ino. Tidak lucu."

"Apa yang kau lakukan padaku, Om? Apa kau menculikku?" Ino panik dan ketakutan.

"Ah, Mau bermain role play sayang? Aku mengerti. Aku memang menculikmu mau apa, Kau tak bisa lari dari sini."

Ino langsung melompat turun dari tempat tidur. Menjauhi pria asing itu. "Serius, Aku akan memberitahu ayahku dan polisi." Ino meraih ponsel yang dia lihat di samping tempat tidurnya. Ia bingung kapan dia diculik. Seingatnya ia pulang dari pesta sialan itu lalu menangis semalaman. Ia tak ingat bertemu dengan om-om mesum.

Pria itu mencekal tangan Ino dan merampas ponsel di tangannya. "Jangan coba-coba, apa kau ingat apa yang bisa aku lakukan terhadap gadis nakal sepertimu."

Tubuh Ino gemetar ketakutan. Pria asing itu mencengkeram lengannya dan menundukkan wajah hendak menciumnya. Ino pun meronta dan melakukan hal yang gadis-gadis lakukan di saat terdesak. Ia mengarahkan sebuah tendangan keras ke selangkangan pria itu. "Lepaskan aku paedofil."

"Owh..." Penyerangnya berguling di lantai kesakitan. Ino berlari keluar pintu.

"Ini tidak lucu Ino."

Ino berada di ruang duduk yang luas dan tidak ia kenali. Ia melihat telepon kabel di atas meja dapur. Cepat-cepat ia menghubungi polisi. Suaranya bergetar karena panik.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Tolong pak, saya diculik dan disekap oleh om..om mesum."

"Di mana lokasi anda?"

"Saya tidak tahu. Tolong selamatkan saya pak, saya mau diperkosa."

"Baiklah, Nona. Tenang. Kami akan melacak sinyal telepon anda."

Setelah itu Ino mencoba menghubungi ayahnya tapi nomor yang ia tekan tidak bisa tersambung. Pria itu muncul lagi di ruang tamu. Ia berjalan tertatih-tatih hanya dengan mengenakan celana boxer-nya.

"Ino, Sakit sekali tahu. Teganya kau menendang kebanggaanku."

"Diam di situ, Jangan mendekat." Ino mulai melemparkan benda-benda di sekitarnya ke arah pria itu.

"Stop-stop, ini sudah keterlaluan sayang. Jangan lempar lagi. Apa kau mau menyakitiku. Masa tega begitu pada pacarmu?" Itachi menghindar dari vas kristal yang Ino lemparkan ke arahnya.

"Pacar?" Ino mengernyit. Dia tak pernah pacaran. "Aku tak pernah pacaran, kalau pun aku pacaran mana mungkin aku sudi pacaran dengan orang tua sepertimu."

Kening Itachi berkerut menambah jumlah keriput yang menghiasi wajahnya. Kata-kata Ino tak ada yang masuk akal. "Apa yang terjadi Ino? Apa kau mengonsumsi narkoba semalam?"

"Narkoba, aku tak pernah menyentuh barang haram. Pokoknya jangan mendekat om, atau aku akan menggigitmu."

Itachi yang pusing melihat tingkah Ino jadi kesal mendengar pintu apartemennya di gedor-gedor.

"Buka, atau kami dobrak pintunya." Terdengar teriakan di luar sana.

Mendegar ada orang, Ino berteriak. "Tolong aku pak aku disekap di sini."

Itachi yang masih di kamar berkutat dengan pakaian terkejut melihat empat orang polisi mengacungkan pistol ke arahnya.

"Angkat tangan."

Itachi yang takut dan bingung menurut saja. "Pak polisi sepertinya ada kesalahpahaman di sini."

"Kami menerima laporan ada penculikan di rumah ini."

"Sumpah pak, Saya tidak menculik siapa-siapa."

"Dia berbohong pak." Ino merasa lebih baik melihat polisi datang melindunginya dari om mesum yang tidak dia kenal. "Om ini paedofil yang mau berbuat aneh-aneh denganku."

Sekarang para polisi itu yang bingung. Melihat wanita dewasa bergaun tidur seksi memanggil pria yang katanya menculik sebagai om dan paedofil. Mereka pikir yang menelepon tadi adalah anak di bawah umur.

"Tuan polisi sekalian, sepertinya ini salah paham. Wanita itu adalah tunangan saya dan dia sedikit mengalami gangguan jiwa kebetulan sedang kumat karena obatnya habis. Tidak ada penculikan di sini. Jika kalian tak percaya tanyakan saja pada tetangga dan pegawai di sini. Wanita ini sudah tinggal bersama saya selama satu tahun."

"Dia bohong pak, saya tidak mengenal orang itu dan saya tidak gila."

Polisi memborgol Itachi demi keamanan dan mereka mulai bertanya pada orang sekitar dan memang benar mereka adalah pasangan. Akhirnya polisi melepas pria malang itu.

Itachi membungkuk meminta maaf pada para polisi itu. "Maaf sudah menyusahkan kalian."

Itachi berkacak pinggang. "Bisa jelaskan padaku apa yang terjadi? Kalau kau masih aneh begini aku akan membawamu ke dokter."

"Pokoknya jangan dekat-dekat, Om. Atau aku akan berteriak. Heran mengapa polisi itu tak menangkapmu."

"Ino, berhenti memanggilku Om, rasanya aneh. Aku hanya sepuluh tahun lebih tua darimu."

"Benarkah? Boros banget mukamu. Kau tak terlihat seperti pria berusia dua puluh lima tahun."

"Dua lima? Umurku empat puluh tahu dan aku masih terlihat muda untuk ukuran pria sebayaku." Itachi kesal dibilang boros muka. Gila saja dia menghabiskan berjuta-juta untuk krim anti-ageing masa tidak ada efeknya.

"Sebentar-sebentar, Kalau itu benar. Masak iya sih umurku tiga puluh tahun."

"Memang kau pikir umurmu berapa?" tanya Itachi.

"Aku ini lima belas tahun."

"Sepertinya memang ada yang salah dengan otakmu deh, sayang. Aku antar ke dokter ya."

"Gak, gak mau om. Jangan panggil sayang. Jijik tau. Di mana kamar mandinya?" tanya Ino lagi.

"Apa kau kena amnesia ya? Tiba-tiba lupa semuanya. Itu toiletnya di sebelah dapur."

Ino melintasi dapur, menoleh sedikit memastikan om mesum itu tak mengikutinya. Demi keamanan dia mengambil pisau dapur. "Jangan coba macam-macam." Wanita pirang itu mengacungkan pisau pada Itachi. Lalu mengunci pintu kamar mandi.

Tanpa sengaja ia melintas di depan sebuah cermin dan melihat bayangannya.

"Oh my God! " teriaknya keras. Ia bingung melihat tubuh dan rupanya sedikit berbeda. Ia memencet dadanya tak percaya. Ini asli. Sejak kapan ukuran dadanya mengembang seperti ini. Kenapa dia tiba-tiba jadi wanita dewasa? Gadis itu kebingungan sendiri.