Revenge

(sekuel dari Seduce)

Desclaimer : Naruto by Masashi Khisimoto

Pairing : Kiba/Ino

.

.

"Kumohon, cukup. Cukup Kiba." Ino terkulai di bawah kungkungan Kiba, dan merasakan sekujur tubuhnya akan patah seluruhnya.

Kiba menyeringai, dan menyadari jejak basah di bawah mereka sudah terlalu banyak. Tempat tidur mereka berantakan, sprei yang separuh tertarik ke bawah, dan baju mereka berserakan sepanjang lantai kamar. "Sayangnya aku belum selesai dengan ini." Dia tetap bergerak, dan merasakan sesuatu bakal meledak dalam dirinya. Sudah tak terhitung berapa kali Ino melenguh dan nyaris berteriak setiap kali ia menggerakkan sesuatu di bawah sana. "Kau cantik sekali sayang. Aku benar-benar tidak rela melepaskanmu." Tubuh telajang Ino tampak licin oleh keringat, dan demi Tuhan ia bahkan rela begadang semalaman bahkan jika beberapa jam lagi ia harus disibukkam dengan pekerjaan kantor.

"Kiba kumohon. Kumohon berhentilah." Rambut pirangnya acak-acakan, dia lelah dan nyaris kehilangan napas berkali-kali. Rasanya mau pingsan. "Kumohon berhentilah, kau mau membunuhku ya?" Dia merengek, tak kuat lagi menggerakkan tubuhnya. Ketika matanya menatap jam weker di atas nakas, ia mendapati pukul lima pagi lebih sepuluh menit. Oh yang benar saja, mereka menghabiskan 5 jam terakhir hanya untuk hubungan yang kasar dan brutal semacam ini.

"Bukankah kau menginginkan ini?" Dengan napas terengah, dia berusaha mencumbu bibir wanita di bawahnya. Membuatnya tidak dapat berkutik kecuali pasrah menerima perlakuannya. "Kau nyaris mempermalukanku di tempat umum honey."

"Aku..." Ino memalingkan wajah, berusaha menghindari ciuman suaminya karena sumpah bibirnya perih sekali. Entah berapa kali Kiba berusaha mencumbunya dengan cara kasar dan brutal tanpa peduli pekikan kesakitannya. "Aku minta maaf, berhentilah. Kumohon. Ini sudah diluar kesanggupanku, Kiba." Air matanya menggenang di pelupuk matanya. Dan meskipun ia sungguh mencintai pria di hadapannya, rasanya ini tidak lebih dari tindakan pemerkosaan.

Setelah mengalami klimaks terakhirnya, Kiba mendesah pelan dan berusaha melepaskan diri. "Oh honey, maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahan untuk menghabisimu." Dia berbaring di samping istrinya yang terkulai lemah, napasnya tampak tak teratur. "Lain kali pertimbangkan lagi jika ingin menggodaku di tempat umum."

Ino terisak pelan. "Aku berharap kau melakukannya dengan lembut, maksudku ayolah kau biasanya tidak sekasar ini."

Senyum pria itu mendadak luntur, dia meraih selimut tebal di lantai dan menyelimuti tubuh mereka. "Kau yang memulainya." Tangannya merangkul pundak ringkih itu, dan menciumi pipinya beberapa kali. "Aku janji lain kali akan melakukannya dengan lembut."

"Tapi sekarang kau akan membuatku benar-benar tidak bisa berjalan dalam satu minggu kedepan."

"Aku bisa menggedongmu."

"Sialan." Ino merasakan hangat yang menjalar dari tubuh Kiba, lengannya bisa merasakan debar jantung pria itu di dalam dada bidangnya yang mengagumkan.

"Jangan marah dong." Dia menghirup dalam-dalam aroma stroberi dari rambut pirang yang tergerai di hadapannya, dan mulai memejamkan mata merasakan bau harum yang menenangkan itu. "Well, bangunkan aku sekitar pukul sembilan. Bos mengajakku rapat dengan perusahaan dari China."

Ino mengernyit, oh ini hampir pukul setengah enam. Ia tidak yakin suaminya akan terlihat cukup segar ketika bangun nanti.

.

.

Meskipun tubuhnya luar biasa lelah dan berbaring di tempat tidur adalah pilihan paling menakjubkan, Ino tetap tidak bisa membiarkan Kiba pergi ke kantor di hari Minggu tanpa sarapan. Itu akan membuatnya merasa bersalah sepanjang hari. Jadi ia bangun ketika jam weker menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh. Di atas kaki-kakinya yang agak goyah, dia berjalan ke kamar mandi. Membersihkan diri dengan siraman air hangat yang membuat otot-otot tubuhnya jauh lebih rileks, kemudian membungkus tubuhnya dengan gaun mandi yang hangat. Ia harus bergegas menyiapkan sarapan sebelum Kiba yang pulas mulai terbangun.

.

.

"Berapa lama lagi kau akan tidur beruang besar?" Ino berbisik di depan wajah Kiba yang terlelap. Kelopak matanya rapat, dan napasnya naik turun secara perlahan. Ia tidak ingin membangunkan pria itu dengan ciuman srperti biasanya, karena itu akan membuat bibirnya yang bengkak akan semakin terluka. "Kiba, bangun. Ini sudah hampir pukul sembilan."

Bibirnya bergerak-gerak membentuk senyuman, dan ketika matanya perlahan terbuka ia mendapati bibir bengkak istrinya dan bercak-bercak merah di leher--bekas gigitan--terlihat menyedihkan. "Oh sayang kau wangi sekali." Alih-alih bangun, ia malah merangkul tubuh ramping wanita itu dan menciumi wajahnya dengan sayang. "Apa aku terlalu menyakitimu?"

"Well, sejujurnya ya." Ino mendengus, sakit di selangkangannya masih terasa begitu nyata. Intinya tubuhnya benar-benar nyaris hancur, namun hancur dalam cara yang nikmat.

"Kalau begitu kenapa kau memaksa bangun?"

"Membuatkanmu sarapan adalah tanggung jawabku." Matanya berhadapan langsung dengan iris karamel pria itu, menangkap seraut ekspresi mesum di sana ketika tangannya tak sengaja menyentuh otot-otot liat di lengan bagian atasnya. Oh, demi Tuhan pria ini begitu seksi. Dan bayangan tubuh polos di balik selimut itu membuatnya cepat-cepat menggelengkan kepala. "Aku tidak mau kau lupa makan hanya karena aku tidak membuatkanmu sarapan."

"Aku kan bisa beli di luar."

"Tapi biasanya kau melupakan itu." Ino bergerak menjauh, dan berjalan keluar kamar. "Mandilah dulu, sarapan sudah siap di meja makan."

Kiba terkekeh dan menyibak selimut, dia berjalan ke arah kamar mandi dengan mata yang tidak bisa menyembunyikan rasa kantuknya. "Oh sialan, permainan tadi malam benar-benar membuatku lelah."

.

.

"Kau bisa mengolesi luka di lehermu dengan salep, kurasa lebamnya akan segera memudar." Katanya ketika menerima uluran jas dan tas kerja dari tangan Ino. "Dan ya, kurasa aku harus menahan diri untuk tidak mencium bibirmu untuk beberapa hari." Dia meringis aneh, perpaduan antara penyesalan dan permintaan maaf.

Wanita pirang itu memutar bola mata, mendengus pelan dan memiringkan kepala dengan tawa setengah konyol. "Well, kau akan pulang malam terus dalam beberapa hari ke depan. Kurasa ada jeda panjang untuk tidak melakukan hal 'itu' lagi."

"Tenang saja. Lain kali aku akan melakukannya dengan lembut sesuai permintaanmu." Katanya sebelum mencium dahi istrinya, dan merangkul pundaknya sembari berjalan menuju pintu keluar. "Mungkin aku akan kembali sebelum tengah malam. Aku akan menelfonmu ketika istirahat makan siang. Bye."

Ino balas melambai ketika Kiba berjalan menuju mobil hitamnya yang terparkir di halaman depan. Sembari menyaksikan mobil itu yang mulai meninggalkan pelataran, Ino mengenang kembali komentar teman-temannya jika Kiba adalah pria lembut dan luar biasa sopan. Ah, mereka belum tahu saja bagaimana liarnya dia ketika di atas ranjang.

End

Ah... takut dosa tapi tangan ini nggak mau berhenti nulis. Well, mungkin terlalu pendek dan aneh. Aku minta maaf jika ada yg nggak nyaman baca fic ini.

Fic ini ditulis untuk hiburan semata.

Tinggalkan kritik dan sarannya.

~Lin

11 Juli 2019